ã 2003 Chamidun Daim
Posted 12 April,
2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian
Bogor
April
2003
Dosen :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
PENGEMBANGAN
KEMITRAAN DAN DUKUNGAN PENDANAANNYA
DI
BIDANG PERKEBUNAN
Oleh:
E-mail:
ditcom@indosat.net.id
I.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Perkembangan usaha perkebunan sampai pada
pertengahan Pelita II, menunjukkan bahwa perkebunan rakyat dan perkebunan besar
tumbuh dalam kondisi yang sangat berbeda. Perkebunan besar memiliki kemampuan
teknologi, manajemen, pasar dan sosial ekonomi, sedang perkebunan rakyat
mempunyai karakteristik produktivitas yang rendah tidak memiliki akses pasar,
usaha tani yang kecil dan terpencar serta kondisi sosial ekonomi yang
lemah.
Sebagaimana tercatat hingga belakangan
ini, dari total luas areal perkebunan Indonesia yang mencapai sekitar 14,2
juta ha, sebagian besar atau sekitar 83,3% merupakan areal perkebunan rakyat.
Perkebunan rakyat tersebut mampu menyerap keluarga petani untuk menjadi
pengkebun sampai sekitar 16 juta keluarga. Sedang hasil yang diperoleh mencapai
sekitar 57% dari pendapatan seluruh sub-sektor perkebunan pada tahun 1998.
Meskipun perkebunan rakyat berkembang dalam kondisi dengan berbagai kelemahan
namun demikian mempunyai peranan sangat strategis sebagai sumber pendapatan
petani dan penghasil
devisa yang melebihi usaha perkebunan besar . Untuk itu kebijaksanaan
pemerintah dalam pembangunan perkebunan menempatkan perkebunan rakyat sebagai
sasaran utama dan perkebunan besar sebagai pendukung.
Upaya pemerintah dalam pengembangan
perkebunan melalui pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Unit Pelaksana Proyek
(UPP), Swadaya dan Perkebunan Besar (PB), merupakan upaya untuk mendorong dan
menempatkan usahatani perkebunan rakyat tetap memiliki peran strategis dalm
perekonomian. Pola PIR diarahkan pada wilayah-wilayah yang mempunyai
aksesibilitas rendah (remote), sedangkan UPP dan Swadaya pada sentra-sentra
perkebunan rakyat dan pola Perkebunan Besar pada wilayah-wilayah yang mempunyai
aksesibilitas baik diarahkan untuk turut mendorong wilayah sekitarnya pada
radius ± 30 km, disamping mengembangkan kebun sendiri.
Dalam pembangunan perkebunan, khususnya
perkebunan rakyat yang dilaksanakan selama ini, sebagian besar mendapat dukungan
dana dari fasilitas kradit lunak jangka panjang perbankan seperti KIK/KMKP,
Kredit Investasi untuk PIR-Transmigrasi. Fasilitas kredit tersebut telah
dimanfaatkan sejak tahun 1977, kecuali Skim Kredit PIR-Transmigrasi yang mulai
tahun 1986. Beberapa skim kredit lunak tidak tersedia lagi sejak awal tahun 1990
dengan keluarnya Paket Januari tahun 1990 (Pakjan 90), kecuali untuk pendanaan
kegaiatan-kegiatan yang telah disetujui sebelumnya.
Kemudian sejak tahun 1993 dilanjutkan dengan penyaluran skim KKPA untuk memenuhi kegiatan KKPA-PIR-BUN, KKPA PIR-Trans KTI, dan KKPA-Tebu Rakyat. Keseluruhan Skim kredit tersebut memperoleh fasilitas KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia). skim kredit tersebut untuk mendukung koperasi dalam pengembangan perkebuanan seperti PIR-Bun KKPA, dan PIR-Trans KKPA untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI).
2.
Kemitraan Usaha
Landasan pengembangan kemitraan di bidang
pertanian dalam Undang-undang No. 12
Tahun 1992 telah menetapkan :
a. Pasal 47 (ayat 3),”Badan Usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman”.
b. Pasal 47 (ayat 4),”Pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangan kerjasama dengan petani”.
c. Pasal 49 “Pemerintah membina usaha lemah serta mendorong dan membina terciptanya kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan antara Pengusaha lemah dan Pengusaha kuat di bidang budidaya tanaman”.
Sejak 1993 dalam GBHN diamanatkan agar
pengembangan dan pembinaan Usaha nasional didorong melalui perluasan kerjasama
dan keterkaitan usaha antara usaha skala besar menengah dan kecil berdasarkan
kemitraan yang saling menunjang, menguntungkan dengan semangat kebersamaan dan
kekeluargaan.
Dalam rangka memasuki era perdagangan bebas baik regional maupun internaisonal (AFTA, APEC dan WTO), maka masing-masing negara mempersiapkan diri melalui penataan kerjasama di berbagai bidang yang dilandasi oleh kemitraan. Kemitraan sekarang ini merupakan landasan bentuk kerjasama yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan lingkungan dalam era teknologi dan globalisasi.
Dalam bidang pembangunan perkebunan, maka
kemitraan dapat diimplementasikan dalam beberapa bentuk seperti Pola Perusahaan
Inti Rakyat (PIR), Bangun Operasi Transfer (BOT), Kerjasama Operasional (KSO),
Kontrak Faring (KF) dan Dagang Umum (DU).
II.
PENGEMBANGAN KEMITRAAN
PERKEBUNAN
1.
Pola Kemitraan
Perkebunan
Pola kemitraan di bidang perkebunan telah
dilakukan sebelum memasuki PJP I melalui kerjasama “Pengusaha” dengan “Petani”
seperti yang dilakukan oleh pabrik rokok dengan petani tembakau virginia,
perusahaan perkebunan dengan petani kapas atau petani tebu pada program Tebu
Inti Rakyat (TIR). Dalam kebijakan pemerintah, pola PIR merupakan kelanjutan,
peningkatan, perluasan, penataan dan pemantapan dari kerjasama kemitraan
sebelumnya.
Sampai saat ini, telah dikenal pola kemitraan seperti pola PIR, BOT, KSO, KF dan DU. Dalam memilih pola kemitraan tentunya harus tetap sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, pemasok bahan baku industri, peningkatan produktivitas, peningkatan pendapatan. Perlu pula diperhatikan kelemahan petani yang umumnya meliputi teknologi, modal, akses pasar, pengolahan hasil, SDM, kelembagaan dan produktivitas. Berdasarkan berbagai faktor tersebut maka dapat disarankan bahwa kemitraan pola PIR lebih tepat untuk terus dikembangkan pada pembangunan dibidang perkebunan. dengan demikian pendekatan sektor agribisnis dan agroindustri harus terus dapat dikembangkan.
2.
Perkembangan kemitraan
Perkebunan
Keberhasilan pembangunan pola PIR
beberapa tahun belakangan ini, telah memberi pengalaman yang sangat berharga,
sehingga keterpaduan sistem agribisnis dan agroindustri yang dikembangkan dapat
diaplikasikan pada pola pembangunan perkebunan yang lain. Kehadiran
Pengusaha pengolah atau prosessor
dapat juga berperan dalam pemberdayaan (empowerment) petani di bidang teknologi,
modal, kelembagaan dan lain-lain sehingga ketersediaan bahan baku dapat lebih
terjamin dalam volume dan mutu.
Progres sampai saat ini, memperlihatkan
bahwa kemitraan pada pola PIR terus berkembang sedang pada pola UPP, Swadaya
memerlukan kehadiran dari mitra usaha, walaupun masih terbatas pada tingkat
kelompok tani. karena itu pada pola UPP dan Swadaya terus ditata dan
dikembangkan sampai mencapai skala ekonomi. Perkembangan kemitraan agribisnis
pada pembangunan perkebunan dapat digambarkan sebagai berikut
:
No. |
Program |
Jumlah Perusahaan Mitra |
Areal Plasma (HA) |
Rencana Investasi (Juta
Rp) |
1. |
Pola
PIR ·
PIR-BUN ·
PIR-Trans ·
PIR-Trans
KKPA (KTI) ·
PIR-Bun KKPA
*) |
10 56 94 163 |
477.658 753.038
1.625.500
1.655.480 |
2.605.156 4.518.228
14.629.500 7.963.000 |
2. |
POLA
UPP/Swadaya |
84 |
71.286 |
32.130 |
Keterangan : *) Telah operasional 29
perusahaan.
Sumber : Direktorat Jenderal
Perkebunan
3.
Hasil Yang
Dicapai
Konstribusi
pola PIR dalam pembangunan baik makro maupun mikro antara lain
:
1.
Semakin
berkembangnya komoditi andalan dan unggulan keberbagai propinsi yang sebelumnya
hanya terkonsentrasi di Sumatera Utara dan Jawa seperti Kelapa Sawit dan
Kakao.
2.
Keberhasilan
BUMN-PTPN sebagai “pionir” dalam pembangunan “remote area” turut mendorong
kepercayaan dan minat investor swasta dan petani untuk menjadi
peserta.
3.
Usaha mencegah
kesenjangan sosial antara Pengusaha dan Petani dengan semakin terciptanya
keterpaduan dan kebersamaan antara usaha Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat
dalam “Kemitraan”.
III.
DUKUNGAN
PENDANAAN
Dalam kondisi
perekonomian Indonesia yang sangat terpuruk sejak krisis moneter pertengahan
Juli 1997, sub-sektor perkebunan termasuk yang menjadi andalan sebagai penghasil
devisa. Terkait dengan itu program pembangunan perkebunan lewat pola PIR
(Perkebunan Inti Rakyat) tetap dipergencar, yang menurut Departemen Kehutanan
dan Perkebunan (Dephutbun) diproyeksikan membutuhkan dukungan dana melalui
program KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) pada tahun 2000 mencapai
sekitar Rp. 3,899 trilyun.
Dengan adanya
kebijakan pemerintah melaui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999 tentang Bank Indonesia, maka
bank tersebut tak lagi berkewajiban
menyediakan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk mendukung
kredit program. Namun pemerintah menunjuk lembaga keuangan untuk melanjutkan
kredit program pengembangan perkebunan tersebut, yakni PT. Permodalan Nasional
Madani (PNM), PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI), KUT (Kredit Usaha Tani), dan KKOP
(Kredit Koperasi untuk Operasi Pangan). PNM diwajibkan menyalurkan kredit untuk
KKPA Umum. Sedang BRI menyalurkan krdit untuk KKPA tebu
rakyat.
Penyediaan kredit melalui pola KKPA
selama ini pun bermanfaat untuk pembangunan perkebunan, pabrik atau unit
pengolahan hasil perkebunan. Dalam pembangunan perkebunan, baik kebun maupun
pabrik diusulkan supaya tak dipersyaratkan lagi adanya avalis. Dengan demikian
koperasi yang sudah mandiri mampu membangun industri pengolahan yang
terintegrasi dengan kebunnya, walau tanpa ada perusahaan
inti.
Menurut Dephutbun, besarnya kebutuhan
dukungan kredit pola KKPA terhadap pengembangan perkebunan, khususnya perkebunan
rakyat, yang mencapai sekitar Rp. 3,899 trilyun untuk pengembangan areal
perkebunan sampai seluas 732.835 ha. Total luas tersebut merupakan PIR-Trans
Tahap I yang meliputi 135.641 ha, PIR-Trans Kawasan Timur Indonesia (KTI) 17.000
ha, PIR-Bun KKPA 542.194 ha.
Secara terinci pola pengembangan
perkebunan, luas areal pengembangan perkebunan, dan kebutuhan kreditnya dengan
pola PIR pada tahun 2000 sebagai
berikut :
Tahun Anggaran
2000
No. |
Pola
Pengembangan |
Luas
(Ha) |
Dana
Yang Dibutuhkan (Rp
Milyar) |
I. |
Pola PIR-Trans Tahap
I a.
Pemeliharaan b.
Penanaman
baru c.
Pembangunan PKS sebanyak 9 unit
masing-masing dengan kapasitas 60 ton TBS/jam |
106.625 29.016 |
213 106 720 |
|
J u m l a
h
I |
135.641 |
1.039 |
II. |
PIR-Trans
KKPA di KTI a. Penanaman
baru |
17.000 |
62 |
|
J u m l a
h II |
17.000 |
62 |
III. |
PIR-Bun KKPA 1.
Sudah
berjalan
2.
Sedang
dalam proses Penanaman
baru |
102.831 69.363 370.000 |
206 253 850 1.350 |
|
J u m l a
h
III |
542.194 |
2.659 |
IV. |
Pengembangan dengan pola baru
(Kep. Menhutbun No.
107/1999) sesuai IUP yang
diterbitkan a. Penanaman
baru |
38.000 |
139 |
|
J u m l a h IV |
38.000 |
139 |
|
J u m l a h I + II + III + IV |
732.835 |
3.899 |
( T )
Sumber : Dephutbun, pertengahan Januari
2000
1. Permasalahan
Disamping hasil-hasil yang dicapai
ternyata masih dijumpai berbagai permasalahan yang memerlukan perhatian dan
penanganan dari pemerintah. Kemitraan perkebunan dengan pola PIR merupakan upaya
untuk menciptakan kebersamaan dan keutuhan dari dua pelaku ekonomi yang
berangkat dari kondisi awal yang berbeda. Kemitraan yang diharapkan ternyata
memerlukan proses dan waktu, beberapa permasalahan yang perlu terus ditangani
adalah kerjasama secara transparan. Ketersediaan dana saat ini , PT Permodalan
Nasional Madani yang menggantikan fungsi dari Bank Indonesia dalam
menyelenggarakan kredit program perlu mendapat prioritas terutama terhadap
proyek/program yang sudah/sedang berjalan. Hal ini perlu diperhatikan karena
apabila terlalu lama terhenti karena proses peralihan fungsi tersebut akan
memberikan dampak tidak hanya ekonomi tetapi juga sosial.
2.
Upaya Pemantapan
Keberhasilan kemitraan perkebunan sangat
bergantung kepada pihak yang bermitra. Pengusaha harus menyadari bahwa para
petani memerlukan berbagai upaya pemberdayaan. Banyak faktor yang menjadi
kelamahan memerlukan bantuan teknis seperti teknologi, modal, kelembagaan, SDM,
processing dll. Sebaliknya
petani juga memahami dan merasa perlu kehadiran mitra usaha. Kemitraan usaha
perkebunan mengacu pada terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterampilan dan
interdependesi yang dilandasi saling percaya dengan keterbukaan (transparasi).
Kemitraan akan terwujud
dengan terciptanya :
1.
“Saling
membutuhkan atau interdepedensi”. artinya pengusaha memerlukan pasokan bahan
baku, sedang petani memerlukan bimbingan teknologi, pemasaran,
processing.
2.
“Saling
menguntungkan” artinya kedua belah pihak harus dapat memperoleh “nilai tambah”
dari kerjasama.
3.
Saling
memperkuat artinya kedua belah pihak sama-sama memahami hak dan
kewajiban.
Upaya pemantapan yang memerlukan
perhatian dan penanganan antara lain :
1.
“Kerjasama”
yang transparansi sejak awal sehingga masing-masing pihak tahu dan sadar hak-hak
serta kewajibannya.
2.
“Kelembagaan” penumbuhan dan pengembangan
fungsi dari kelembagaan kelompok tani merupakan basis produksi terkecil dari
manajemen produksi yang dilakukan “mitra usaha” atau “perusahaan inti”.
Koperasi/KUD harus lebih terkonsentrasi pada sektor jasa angkutan pupuk,
angkutan produksi, dll).
Penanganan
kelembagaan tidak saja pada tingkat
petani tetapi juga pada “Perusahaan Mitra”.
3.
“Kualitas SDM”,
pada tingkat petani memerlukan peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan
pengorganisasian. Perusahaan mitra dalam peningkatan kemasyarakatan, sosiologi,
dan kelembagaan petani.
4.
“Skala ekonomi”
utam,anya pada pola UPP dan swadaya terus harus “ditata dan dibutuhkan” sampai
mencapai usaha berskala ekonomi.
5.
“Revitalisasi”,
perusahaan inti pada pola PIR.
Tugas uatama
perusahaan ini untuk tetap menjaga agar pengelolaan produksi tetap sesuai dengan
standar teknis. Perusahaan inti sejak awal pembangunan sampai pasca konversi
tetap mempunyai tanggung jawab, sehingga produktivitas tanaman tetap
optimal.
6.
“Kelembagaan
usaha”, sejalan dengan perubahan lingkungan dengan persaingan tenaga kerja, upah
yang semakin meningkat, perlu diambil langkah-langkah agar kelangsungan usaha
yang berskala ekonomi pada pola PIR dapat dipertahankan. Salah satu alternatif dengan membentuk “satu
unit usaha” terintegrasi antara inti dan Plasma baik modal, lahan, processing
maupun manajemen.
Pengembangan
kemitraan agribisnis sub sektor perkebunan terus dikembangkan dan ditata
sehingga semakin mewujudkan hasil-hasil pembangunan berbasis agribisnis dan
agroindustri untuk tercapainya “peningkatan pendapatan” melalui produktivitas
yang optimal dan efisien sehingga memiliki daya saing di pasar
bebas.
Guna
mendukung kelanjutan pengembangan sub-sektor perkebunan, khususnya terhadap
usaha perkebunan skala kecil, menengah, Koperasi, serta perusahaan patungan
koperasi-Investor, perlu ada bantuan pemerintah berupa dukungan pendanaan
melalui kredit program KKPA atau kredit lunak jangka panjang lainnya
1.
Adlin U
Lubis dan Daswir, 1996, Progress of Oil Palm Industry in The Last Ten Years In
Indonesia, Makalah dalam Proceeding of The 1996 Porim International Palm Oil
Congress.
2.
Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2000, Statisttik Perkebunan Indonesia,
Jakarta
3.
Laporan
Bank Indonesia, 1999