γ 2002 Yulianus Paonganan Posted 26 November, 2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Prof Dr Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
(Trochus niloticus Linn.)
Oleh:
IKL C661020011
E-mail: ypaonganan@yahoo.com
1.
Pendahuluan
Hewan moluska khusunya dari jenis gastropoda yang
di Indonesia dikenal sebagai siput, atau juga kerang-kerangan telah lama
dikenal oleh masyarakat dengan beragam kegunaan. Seperti di Irian pada jaman
dahulu, masyarakat pegunungan menggunakan cangkang siput sebagai mata uang.
Jenis cangkang siput yang digunakan terutama dari jenis Cyprea annulus
dan Cyprea meneta yang berukuran besar. Nilainya cukup tinggi jika
dibandingkan dengan mata uang sekarang, satu keping bisa ditukrkan dengan
seekor babi. Bahkan menurut informasi dibeberapa tempat masih digunakan
disamping mata uang lain.
Pemanfaatan kerang oleh manusia selain cangkangnya juga dagingnya yang
memiliki nilai gizi yang tinggi karena proteinnya yang tinggi. Pemanfaatan
cangkang kerang yang beraneka ragam membuat penelitian-penelitian dari berbagai
aspek hewan ini telah mulai berkembang sejak dulu. Beberapa jenis
kerang-kerangan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi khususmya
digunakan sebagai perhiasan adalah tiram mutiara Pinctada maxima, Pinctara
margaritifera dan species lain yang mengahasilkan mutiara. Selain itu juga
siput dari jenis Trochus niloticus yang memiliki lapisan mutiara pada
cangkangnya yang dikenal sebagai Mother of pearl yang pemanfaatannya
sangat beragam.
Kerang Lola (Trochus niloticus) merupakan
hewan moluska dari kelas Gastropoda yang hidup di rataan terumbu karang. Kerang
ini memiliki manfaat ekologis di ekosistem terumbu karang sebagai herbivora
yang mengontrol populasi makroalga. Terutama sebagai bahan makananya.
(Asano,1944, Paonganan 2000). Selain itu kerang ini juga memiliki potensi
ekonomis yang cukup tinggi karena memiliki cangkang dengan lapisan mutiara yang
bermutu tinggi. Cangkangnya dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis
industri seperti cat, kancing , perhiasan dan lain-lain (Morehouse, 1932;
Rao,1937).
Kerang lola hidup pada perairan laut, terutama
pada ekosistem terumbu karang. Hidup sebagai pengeruk alga (grazer) yang
menempel pada karang-karang mati. Berdasarkan penelitian beberapa ahli
menyatakan bahwa distribusi vertikal lola pada suatu perairan berdasarakan diameter cangkang. Lola dengan
cangkang yang berdiameter kecil ditemukan pada perairan dangkal, semakin besar diameter cangkang maka semakin dalam
habitatnya. (Mc.Gowan, 1958; Gail, 1957; Paonganan 1997; Paonganan 2000)
Penelitian tentang kemungkinan pemanfaatan kerang
Lola serta segal aspek kehidupannya telah dimulai sejak tahun 1912 di New
Caledonia. Berbagai kajian dari aspek bilogi dan ekologi juga telah dilakukan
terutama dalam upaya budi daya, baik itu di Indonesia maupun di berbagai
negara. Indosesia sebagai salah satu
wilayah yang merupakan habitat lola sejak dahulu telah dilakukan penangkapan secara tradisional. Kegiatan tersebut
semakin meningkat dengan berkembangnya berbagai industri yang memakai cangkang
lola sebagai bahan baku. Dengan menurunnya populasi lola khususnya di perairan
Indonesia, maka Pemerintah dalam hal
ini Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.12 tahun 1987 yang
menyatakan bahwa lola adalah salah satu hewan yang dilindungi.
2.
Biologi Lola
Lola (Trochus niloticus Linn.)
untuk pertama kali di deskripsi oleh Linnaeus pada tahun 1767. Hasil deskripsi
tersebut menyebutkan bahwa lola merupakan kerang berukuran besar, cangkngnya
berbentuk kerucut dengan 10 sampai 12 buah ulir (suture). Perputaran
seluk (whorl) berbentuk spiral yang jelas. Beberapa seluk permulaan
memiliki tonjolan-tonjolan kecil. Seluk akhir (body whorl) berbentuk
lingkaran yang cembung dan membesar. Kolumellanya tipis yang ujungnya memiliki
tonjolan seperti gigi. Cangkngnya berwarna dasar krem keputihan dengan corak
bergaris merah lembayung, sementara dasar cangkangnya berbintik merah muda.
Berdasarkan deskripsi tersebut maka klasifikasi kerang lola adalah sebagai
berikut (Springsteen and Leobrera, 1986):
Filum :
Moluska
Kelas :
Gastropoda
Sub Kelas :
Prosobranchia
Ordo :
Archaeogastropoda
Super Famili : Trochacea
Famili :
Trochidae
Genus :
Trochus
Spesies :
Trochus niloticus Linn.
Anatomi
lola untuk pertama kali diteliti oleh Robert pada tahun 1900 (Moorehouse,
1932). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di bagian kepalanya terdapat
sepasang tentakel, sepasang bintik mata dan sebuah tonjolan yang disebut
proboscis pendek dan tidak aktif digerakkan. Mulutnya terletak di bagain
ujung kepala dengan dua buah bibir lateral. Didalam rongga mulutnya terdapat
banyak gigi radula mulai dari bagian atas hingga bagian bawah mulut dan
berakhir di bagian depan mulut dekat bibir. Antara mulut dan cangkang terdapat
juntaian dari bagian mantel berbentuk cerobong.
Gambar 1.
Morfologi Kerang Lola (Trochus niloticus Linn.)
Secara histologi,
Pradina dan Arafin (1993) mengamatinya dengan hasil bahwa system organnya tidak
memiliki perbedaan yang berarti dengan gastropoda umumnya. Struktur anatomi dan
fungsi faal tubuhnya tersusun dan didukung oleh jaringan-jaringan dasar berupa
epitel, jaringan ikat dan sebabut-serabut otot. Memiliki matel yang tipis dan
liat, Insangnya terdapat dalam ruang mantel yang berupa lembaran-lembaran
menyerupai sisir berwarna abu-abu muda, kadang-kadang dilapisi silum
ditengahnya. Alat pencernaannya terdiri atas rongga mulut, osefagus, kelenjar
ludah, tembolok, lambung, kelenjar pencernaan (hati dan pancreas) serta usus,
rectum dan anus. Dinding saluran pencernaannya tersusun atas lapisan mukosa,
lapisan muskularis serta lapisan serosa. Dari hasil penelitian diketahui bahwa jenis makanan lola berupa alga dari
jenis Cyanophyta, Phaeophyta, Rhodophyta serta Clorophyta dan beberapa jenis
foraminifera, pasir dan detritus ( Asano 1944,; Soekendarsi et al.,
1988).
3.
Reproduksi Kerang Lola.
Kerang lola
merupakan hewan diesius yang masing-masing individu memiliki kelamin
tunggal. Berdasarkan morfologi sulit diketahui perbedaan jenis kelamin karena
tidak adanya cirri-ciri kelamin sekunder yang membedakannya. Metode klasik yang
diperkenalkan oleh Amirthalingan (1932) untuk melihat jenis kelamin lola adalah
dengan memotong bagian apeks secara longitudinal. Dari sit dapat dilihat adanya
perbedaan warna dari gonad jantan dan betina. Gonad jantan berwarna krem
keputihan sedangkan gonad betina berwana hijau tua. Namun metode ini sangat
merugikan karena harus mengorbankan hewan tersebut. Penelitian yang dilakukan
oleh Dobson and Lee (1996) dan Paonganan (2000) menyebutkan bahwa ada
kecenderungan yang besar untukmembedakan jenis kelamin lola dari penampakan
morfologi lola. Lola betina meiliki cangkang dengan perbandingan diameternya
lebih besar dibandingkan dengan tinggi cangkang, sementara yang jantan
sebaliknya.
Menurut Pradina
dan Dwiono (1994), proses perkembangan gonad lola dogolongkan manjadi empat
tahap perkembangan, yaitu:
1.
Proliferasi
; gonad hanya meiliki ovum dalam jumlah sedikit, dari tingkat kepadatan rendah
hingga tinggi.
2.
Perkembangan
awal ; diameter ovum meningkat dan beberapa oosit sudah diselimuti dengan
lapisan jeli (selaput yang berlubang) disekelilingnya. Lapisan jeli tersebut
bisa jadi indicator kematangan ovum. Tahap ini didominasi oleh ovum muda dan
berdiameter kecil.
3.
Perkembangan
lanjut; pada tahap ini ditandai dengan semakin banyaknya ovum yang diselimuti
dengan lapisan jeli pada bagaian luarnya.
4.
Matang
gonad; ovum matang mendominasi ovarium, pada tahap ini kadang dijumpai ovum
yang berdiameter kecil.
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa pangamatan secara mikroscopis
belum ditemukan adanya gonad pada lola dengan diameter antara 40 59 mm, hanya
terlihat adanya lapisan gonad yang tipis dengan sedikit trabekula yang
menunjukkan belum terbentuknya gonad.
Proses
reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi dalam air. Selanjutnya
telur yang telah dibuahi akan melekat pada red coralline algae pada
dasar substrat perairan. Larva yang terbentuk berupa larva trokofor yang
bersifat planktonik yang berenang bebeas menggunakan velum yang bersilium.
Setelah itu akan berkembang menjadi veliger lecithotrophic, lalu
setelah beberapa hari akan mengendap mencari substrat yang sesuai (Heslingan
dan Hilaman, 1981; Nash, 1985).
5.
Ekologi Kerang Lola
Menurut Mc.Gowan (1958), penyebaran lola terbatas
pada ekosistem terumbu karang. Hampir seluruh laut di Indo-Pasifik bahkan
hingga ke perairan Indo-Australia memiliki ekosistem yang cocok sebagai habitat
lola. Namun berdasarkan penelitian tersebutternyata bahwa di sekitar Kepulauan Yap, Palau dan Atoll Helen
merupakan lokasi yang paling cocok untuk pertumbuhan lola. Pada awal tahun 1927
diadakan pemindahan besar-besaran kerang lola dari tempat tersebut ke Turk,
Saipan, Guam, Ponope, Marshal dan Ngulu oleh orang-orang Jepang. Upaya tersebut
memberikan hasil yang menggembirakan mereka, bahkan hingga saat ini masih
bertahan hidup, walaupun pertumbuhannya lambat disbanding tempat asalnya.
Di perairan
Indonesia, khususnya di Maluku, penyebaran lola terkonsentrasi dari Maluku
Tenggara, Utara dan Tengah. Yang paling tiggi kepadatannya ditemukan di Pulau
Kei Besar (Arafin, 1993). Di Sulawesi Selatan dan Tenggara, lola ditemukan
dikepulauan sembilan, Perairan pantai Bira, Spermonde dan Kepulauan Pangkep,
Perairan Barru dan Pulau Liukan Loe. (Ali et al., 1992; Soekendarsi dan
Paonganan, 1996; Paonganan, 1997; Paonganan 2000).
Menurut Risamasu et
al.(1995) lola juga ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur seperti di
Sumba Timur, Alor dan perairan Kupang. Di pesisir Kupang ditemukan di Tablolong, Tanjung Kulit Kima, Slupri, Air
Cina, Pulau Semau, Pulau Rote dan Pulau Landu.
Kerang lola yang
masih muda akan ditemukan pada daerah pasang surut, hidup menempel pada
lembaran daun lamun atau pada tallus makroalga serta pecahan karang mati.
Sedangkan lola dewasa dapat ditemukan didaerah terumbu karang pada kedalaman
0,5 meter hingga pada kedalaman sekitar 10 meter. Bahkan pada suatu kasus
tertentu dapat ditemukan pada kedalaman 24 meter (McGowan, 1958; Arafin. 1993;
Gail, 1957, Paonganan 1997,; Paonganan 2000). Hasil penelitian itu juga
mencatat bahwa distribusi lola berdasarkan kedalaman diikuti oleh bertambahnya
ukuran diameter cangkang lola, semakin dalam perairan maka lola yang hidup
memiliki diameter yang relatif lebih besar dibandingkan dengan perairan
dangkal. Paonganan (1997) menemukan lola dengan diameter rata-rata 40,2 mm pada
kedalaman 0,1 3 meter, diameter rata-rata 81,3 mm pada kedalaman >3 5
meter, rata-rata diameter 100,4 mm pada kedalaman >5 - 8 meter serta
diameter rata-rata 117,8 mm diperoleh pada kedalaman >8 11 meter.
Menurut Rao (1937)
bahwa kadang-kadang dalam suatu titik tertentu didaerah tubir pada saat surut
terendah, lola ditemukan berkumpul dengan ukuran diameter yang beragam dibawah
pecahan karang mati. Hal ini terjadi karena kebiasaan lola yang hidup
berkelompok untuk mencari makan sehingga dalam suatu titik tertentu ditemukan
sebanyak 15 individu. Selain itu lola bukan hewan yang hidup menetap tetapi
selalu bergerak atau berpindah tempat.
Kepadatan populasi
tertinggi dapat ditemukan di tepian terumbu karang yang terekspose langsung terhadap
ombak yang didominasi lola muda, sedangkan yang dewasa banyak dijumpai di
daerah tubir (McGowan, 1958), sementara menurut Heslingan (1981) dan Hahn
(1989), kepadatan tinggi lola dapat ditemukan pada daerah yang bersubstrat
pecahan karang mati berukuran besar yang ditumbuhi oleh filamnentous algae,
diatomae dan foraminifera.
Yi dan Lee (1997)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu factor yang
menunjang kehidupan lola, terutama dalam mengkonsumsi oksigen. Pada suhu 31oC
merupakan suhu optimal untuk proses tersebut. Menurut Heslinga (1981) bahwa
perbedaan suhu juga berpengaruh tehadap pertumbuhan lola terutama dalam
kaitannya dengan kelimpahan dan kualitas makanan alaminya. Toleransi suhu
terhadap kehidupan lola berkisar antara 28 34oC. Lola sebagai hewan yang
hidup di air laut memiliki toleransi terhadapa perubahan salinitas dengan
kisaran 31 37 %o.
6.
Penutup
Kerang lola sebagai salah satu sumberdaya pada
ekosistem terumbu karang memiliki potensi yang cukup besar. Namun dengan adanya
eksploitasi yang cenderung berlebihan sehingga saat ini populasinya sudah
menurun drastic. Hal membuat pemerintah mengeluarkan keputusan yang menyatakan
bahwa lola m,enrupakan hewan yang dilindungi. Hal ini tentunya mendorong
peneliti untuk melakukan berbagai peneleitian dalam rangka upaya budi daya.
Upaya-upaya ke
arah budi daya kerang lola telah dilakukan diberbagai tempat, seperti di
Kepulauan Marshal, Pulau Barrang Lompo serta di Australia Utara. Namun pada
implementasi di lapangan banyak kendala yang dihadapi terutama investasi dan
waktu yang relatif sangat lama untuk memperoleh hasil. Hal initerkait dengan
hasil penelitian Rao (1936) bahwa pertumbuhan lola untuk mencapai umkuran 25
30 mm dibutuhkan waktu sekitar dua tahun, 50 60 mm waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran tersebut sekitar tiga
tahun.
Selain upaya
budidaya tentunya hal ini juga terkait dengan upaya konservasi, khususnya
ekosistem terumbu karang sebagai habitat lola. Lola sebagai hewan herbivora
sangat besar peranannya pada ekosistem tersebut terutama dalam mengontro
populasi makroalga yang merupakan salah satu ancaman bagi keberadaan kewan
karang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan meningkatnya kegiatan manusia
disekitar pesisir yang tentunya akan berdampak pengayaan nutrien ke ekosistem
trumbu karang dan akan memacu peningkatan populasi makroalaga. Akankah hal ini
akan dibiarkan terjadi?.
Ali,
S.S.,M.N.Nessa, dan A.Rahman, 1992. Rangkuman beberapa hasil penelitian Lola Trochus
niloticus spp. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan
Sulawesi Selatan dan Tenggara. 102 108
Amirthalingan, C.
1932. Correlation of sex and shell structure in Mollucs Trochus niloticus Linn.
Current Science (1): 72 73
Asano, N. 1939. On
the spawning saeason of top shell. Journal of Fisheries vol 34(1): 36-38
_______, 1944. On
the food of top shell from Palau Island. Journal of fisheries 35(4): 8p
Arafin, Z. 1993,
Geographical distribution, habitat and fishery of top shel (Trochus
niloticus) in Maluku. Perairan Maluku dan Sekitarnya, Ambon : 93
101
Dharma, B. 1988,
Siput dan kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha, Jakarta
:135 hal
Dobson, G., and
C.J.Lee, 1996., Improved method of determining the sex of the marine top shell
(Trochus niloticus) (Mollucs: Gastropoda) for spawning. Aquaculture
(139):329 331.
Eddy Soekendarsi,M Iqbal Djawal and Y.Paonganan.2001. Growth rate of Trochus
niloticus L.fed on four species of benthic marine macroalgae. Phuket marine
biological center special publication 25(1):135-137
Gail, R. 1957,
Trochus fishery. Pasific Commisioner Quarternary. Bulletin VII (1): 48 49
Hahn, K.O., 1989.
Culture of the tropical top shell, Trochus niloticus, In: CRC Handbook
of culture of aboalone and other marine gastropod. CRC Press, Boca Raton: 301- 315
Heslinga, G.A.
1981. Growth and maturity of Trochus niloticus in the laboratory.
Proceeding of the fourth International Coral Reef Symposium (1):39 45
Heslinga, G.A.,
and A. Hilaman, 1981. Hatchery culture of the commercial top snail Trochus
niloticus in Palau, Caroline Island. Aquaculture (22) 35 43
McGowan, J.A.,
1958. The Trochus fishery of the Trust Territory of the Pacific Island. Report
to the Commisioner, U.S. Trust Territory of the Pasific Island. Saipan: 46 p
Moorehouse, F.W.
1932. Notes on Trochus niloticus. Great Barrier Reef Expedition
Scientific Report 1928 1929. Nature 3 (5):154 155
Nash, N. 1985.
Aspect of the biology of Trochus niloticus (Gastropoda:Trochidae) and
its fishery in the Great Barrier Reef region. Report to the Queensland
Departement of Primary Industries, and to the Great Barrier Reef Marine Park
Autority: 20 p.
Paonganan, Y.
1997. Hubungan antara lebar, panjang, berat total, berat cangkang dan berta
daging dengan berat isi perut dari Trochus niloticus Linn dikaitkan
dengan kedalaman dan habitatnya di periranan Pulau Liukang Loe Sulawesi
Selatan. Skripsi, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang: 80 hal
Paonganan, Y.
2000. Korelasi fase perkembangan gonad lola (Trochus niloticus Linn.)
dengan aspek biofisik lingkungan perairan Pulau Baki, Sulawesi Selatan, Thesis
PPs-IPB Bogor: 86 hal.
Paonganan, Y,
Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001. Size distribution of male and female
top shell Trochus niloticus Linne in relation to the depth and
substrate.Phuket marine biological center special publication 25(1):89-90
Paonganan, Y., Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001. Biometrics of male
and female top shell Trochus niloticus Linne. Phuket marine biological
center special publication 25(1):87-88
Pradina dan Z.Arafin. 1993, Struktur jaringan beberapa organ dalam Trochus
niloticus L.Balitbang Sumberdaya Laut Puslitbang LIPI Ambon: 81 90
Pradina, dan S.A.P. Dwiono, 1994, Karakteristik tahapan perkembangan gonad Trochus
niloticus (moluska :gastropoda). Perairan Maluku dan Sekitarnya,
Ambon (8): 15 22
Risamasu, F. Yahya dan N.Dohoklory, 1995. Studi tentang daerah penyebaran Trochus
niloticus di perairan pesisir Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa
Cendana: 86hal.
Soekendarsi, E. dan Y,Paonganan, 1996. Studi pendahuluan tentang siput Lola
(Trochus niloticus L. 1767) di Pulau Kapoposang (Kab.Pangkep) dan Pualau
Kambing (Kab. Bulukumba). Laporan LPPM Unhas
Ujung Pandang: 37 hal
Soekendarsi, E. A. Palinggi dan Slamet S.1998. Stomach content in relation
to shell length, width, and weigth of the gastropod Trochus niloticus L.
Phuket marine biological center special publication 18(1):73 76
Springsteen, F.J., and F.M. Leobrera., 1986. Shell ofPhilippines. Carlos B.
Leobrera, Manila: 32 p
Yi, S.K. and C.J.Lee, 1997. Effect of temperature and salinity on the
oxygen consumption and survival of Hathcery-reared juvenile top shell Trochus
niloticus (Mollucs:Gastropoda). ACIAR Proceedings (79): 69 75.