ฉ 2002 Umi Haryati Posted
29 November, 2002
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof. Dr.
Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Zahrial Coto
Dr. Bambang Purwantara
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN SISTEM
ALLEY CROPPING
SERTA PELUANG DA N KENDALA ADOPSINYA
DI LAHAN KERING DAS BAGIAN HULU
Oleh:
Umi
Haryati
A 226014021
Email : umiharyati@yahoo.com
ABSTRAK
Lahan
kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk
dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan lahan kering (terutama yang berlereng
terjal) harus disertai dengan kaidah-kaidah teknik konservasi yang cocok dan
sesuai dengan kondisi petani. Oleh karena itu teknik konservasi yang
diintroduksikan haruslah teknik konservasi yang efektif mengendalikan erosi,
murah dan mudah diterapkan serta dapat diterima oleh petani. Salah satu
teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong (Alley cropping). Tulisan
ini mengemukakan tentang keunggulan dan kelemahan Alley cropping serta peluang dan kendala adopsinya berdasarkan
hasil-hasil penelitian tentang : (1) efektivitas pengendalian erosi, (2)
peningkatan produktivitas tanah dan tanaman, (3) analisis ekonomi, (4)
kelemahan, (5) minimasi pengaruh
negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta (6) peluang dan kendala
adopsinya. Dengan memperhatikan keunggulan dan kelemahan serta peluang dan
kendala adopsinya maka Alley cropping
mempunyai peluang yang strategis untuk dikembangkan di lahan kering daerah
aliran sungai (DAS) bagian hulu.
Kata kunci : Alley cropping, erosi,
produktivitas tanah, kompetisi, ekonomi, adopsi.
PENDAHULUAN
Lahan
kering merupakan sumber daya alam yang mempunyai peluang besar untuk
dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia cukup luas yaitu
mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di P. Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera
(14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan
Nusa Tenggara (6,2 juta ha) dan Irian Jaya (11,8 juta ha) (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, 1998). Untuk memanfaatkan sumberdaya ini haruslah
berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebar di daerah aliran
sungai (DAS) bagian hulu yang bentuk wilayahnya berombak sampai berbukit dengan
curah hujan yang tinggi. Hal ini akan memicu terjadinya erosi, sehingga
mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka pemanfaatan lahan kering di DAS bagian hulu tidak akan optimal tanpa
penerapan teknik konservasi yang memadai. Selain fisik lingkungan, keadaan
sosial ekonomi petani juga merupakan faktor penyebab terhambatnya pengembangan
/pembangunan pertanian di daerah ini. Pada umumnya petani lahan kering di DAS
bagian hulu adalah petani miskin dengan penguasaan/pemilikan lahan yang sempit
dan bermodal rendah. Oleh karena itu teknologi yang diintroduksikan ke lahan
kering DAS bagian hulu haruslah teknologi yang mampu mengendalikan erosi, mudah
dilaksanakan, murah dan dapat diterima oleh petani. Salah satu teknologi yang
tersedia adalah sistem pertanaman lorong atau Alley cropping.
Alley
cropping merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman
semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar
tanaman pohonan atau semak (Kang et al., 1984). Tanaman pagar dipangkas
secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi
kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala yang
pertama diuji dalam sistem Alley cropping ini dan menyusul kemudian Glinsidia
sepium.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini
sangat efektif mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri
atas 48% disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan
oleh perubahan profil tanah dan 4% oleh penanaman secara kontour (OSullivan, dalam
Hawkins et al., 1990). Di Indonesia sistem ini sudah diyakini efektif
mengendalikan erosi (Sukmana and Suwardjo, 1991) dapat meningkatkan
produktivitas tanah dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di lahan
kering (Kang et al., 1984 ; Santoso and Dixin, 1997).
Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan tentang
keunggulan dan kelemahan Alley cropping
serta peluang dan kendala adopsinya berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang
: (1) efektivitas pengendalian erosi, (2) peningkatan produktivitas tanah dan
tanaman, (3) analisis ekonomi, (4) kelemahan, (5) minimasi pengaruh negatif dan maksimasi pengaruh positif, serta
(6) peluang dan kendala adopsinya.
KEUNGGULAN SISTEM ALLEY CROPPING
Efektivitas Pengendalian Erosi
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat efektif dalam mengendalikan erosi (Tabel 1).
Tabel 1. Efektivitas pengendalian erosi dalam Alley cropping di Indonesia, Philipina dan Peru
Lokasi |
Jenis
|
Kemiringan |
Waktu |
Perlakuan/ |
Erosi |
Sumber |
Tanah |
(%) |
Jenis
Legume |
(ton/ha) |
|||
Indonesia |
|
|
|
|
|
|
~ Srimulyo |
Aguic |
30-38 |
1987-1989 |
- Flemingia Congesta |
5-10 |
Sukmana |
(Malang) |
Tropudulf |
|
|
|
|
and |
~ Citayam |
Haplorthox |
13-15 |
1989-1990 |
- Flemingia Congesta |
4,7 |
Suwardjo |
(Bogor) |
|
|
|
- Kontrol |
482,0 |
(1991) |
~ Ungaran |
Typic |
10-15 |
1989-1990 |
- Kontrol |
54,0 |
|
(Semarang |
Eutropept |
|
|
- Flemingia Congesta |
0,1 |
|
|
|
|
|
- Calliandra Calothyrsus |
7,0 |
|
|
|
|
|
- Tephrosia
Volgelli |
11,9 |
|
Philipina |
- |
- |
1989-1991 |
- Tanpa Alley
Cropping |
141,0 |
Comia |
|
|
|
|
- Alley Cropping |
|
et al. |
|
|
|
|
(Desmantus
Vulgaris) |
|
(1994) |
|
|
|
|
~ Diolah,
tanpa mulsa |
24,0 |
|
|
|
|
|
~ Diolah,
diberi mulsa |
3,0 |
|
|
|
|
|
~ Tidak diolah, diberi |
2,0 |
|
|
|
|
|
Mulsa |
|
|
Philipina |
|
|
|
|
|
|
~ Los Banos |
- |
45 |
- |
- Tanpa Alley
Cropping |
1,7 |
Lasco |
|
|
|
|
- Dengan Alley
Cropping |
0,4 |
et al. |
~ Jajala |
- |
47 |
- |
- Tanpa Alley
Cropping |
26,1 |
(1996) |
|
|
|
|
- Dengan Alley
Cropping |
8,2 |
|
~ Buhi |
- |
45-66 |
- |
- Tanpa Alley
Cropping |
3,5 |
|
|
|
|
|
- Dengan Alley
Cropping |
2,4 |
|
Peru |
Type |
15-20 |
1987-1993 |
- Sole cropping |
79,0 |
Alegre and |
|
Peleudulf |
|
|
- Alley Cropping
|
5,8 |
Rao (1996) |
|
|
|
|
(Inga
edulis) |
|
|
|
|
|
|
- Hutan sekunder |
0,4 |
|
|
|
|
|
- Tanah Bera |
141,4 |
|
Efektivitas pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan. Efektivitas pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak menggunakan Alley cropping (Tabel 1).
Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga karena terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Lebih lanjut Alegre dan Rao (1995) juga mengemukakan bahwa rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan dan pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.
Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga ternyata dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Hasil penelitian Alegre dan Rao (1996) menunjukkan bahwa sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh pertanaman tunggal (semusim) dan Alley cropping terhadap BD (bulk density) dan konduktivitas hidraulik
setelah 14 kali pertanaman semusim
Perlakuan
|
BD |
Konduktivitas
hidraulik |
|
(kg/m3) |
(cm/hari) |
Pertanaman tunggal
(semusim) |
1,43 |
18,5 |
Alley cropping |
1,29 |
50,0 |
Hutan sekunder |
1,20 |
99,8 |
LSD (0,05) |
0,06 |
6,8 |
Sumber : Alegre and Rao (1996)
Perbaikan sifat fisik ini disebabkan karena adanya perambahan residu organik dari hasil pangkasan secara periodik ke tanah. Penelitian lain menunjukkan bahwa sistem Alley cropping dapat mengingkatkan diameter agregat dan stabilitas agregat. Diameter agregat dan pengayakan kering meningkat dari 1,33 (kontrol) menjadi 2,68 dan 3,11 mm setelah 3 tahun, masing-masing pada plot pigeon pea dan Gliricidia (Tabel 3) menjadi 95-90% setelah 3 tahun Alley cropping dengan Gliricidia lebih baik dari kacang babi (pigeon pea) dalam meningkatkan stabilitas agregat (Mapa and Gunasena,1995).
Tabel 3. Rata-rata diameter geometrik agregat kering dan kandungan C-organik pada sistem Alley cropping
pada tanah Rhodustalfs, Dambulla, Srilanka.
Perlakuan |
Rata rata diameter geometrik (mm) |
C-Organik
(%) |
||
1 |
2 |
1 |
2 |
|
Kontrol |
1,23
a |
1,31 a |
1,31 a |
1,26 a |
Alley Cropping |
|
|
|
|
~ Pigeon pea |
2,12 a |
2,68 a |
1,73 a |
2,10 b |
~
Gliricidia |
2,25 a |
3,11
b |
1,89
a |
2,53
b |
LSD (p 20,05) |
1,22 |
1,25 |
0,67 |
0,71 |
Keterangan : 1 = Setelah 2 tahun penanaman 2 = Setelah 3 tahun penanaman
Sumber (Mapa and Gunasena, 1995)
Hasil penelitian Agas et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping pada tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam lorong. Lebih dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air. Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08 m3 masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas air menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air antara tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong.
Selain perbaikan sifat fisik tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah (Tabel 4)
Tabel 4. Pengaruh Alley cropping terhadap unsur hara dalam tanah
Perlakuan |
Unsur
Hara |
Sumber |
||||
C |
P |
K |
Ca |
Mg |
||
|
(%) |
mg/l |
me/100g |
|
||
1. - Tanpa Alley
cropping |
0,65 |
27,0 |
0,19 |
2,9 |
0,35 |
Karg
et al. (1984) |
-
Dengan Alley cropping (Leucaena sp) |
1,07 |
26,0 |
0,28 |
3,45 |
0,5 |
|
2. - Tanpa Alley
cropping |
1,18 |
6,0 |
0,07 |
0,08 |
0,18 |
Alegre
and Rao |
-
Dengan Alley cropping (Inga edulis) |
1,32 |
9,1 |
1,13 |
0,96 |
0,22 |
(1996) |
Selain peningkatan unsur C,P,K, Ca dan Mg, Alley cropping dengan Inga edulis juga dapat menurunkan kejenuhan Al dari 78% menjadi 73 % (Alegre and Rao, 1996).
Penelitian (Salazar et al., 1993) menyebutkan bahwa pada semua spesies yang dicoba (Erythrina, Leucaena dan Inga) terdapat keseimbangan yang positif untuk N, K, Ca, serta negatif untuk P. Keseimbangan yang positif terjadi pada perlakuan Erythrina dan Leucaena dan sedikit negatif pada Inga. Keseimbangan N lebih kecil untuk Erythrina dibandingkan spesies yang lain karena ratio daun : ranting yang rendah dan konsentrasi N yang rendah dari ranting/batang.
Kesuburan tanah dalam Alley
cropping ternyata bervariasi menurut fungsi posisi pada lorong (diantara
tanaman pagar), pada sistem pertanaman. Pada Alley cropping dengan Casia spectabilis (Garrity et al.,
1995 dalam Garrity, 1996), C-organik tanah bervarisi dari 1,7% dekat
barisan tanaman pagar bagian atas lorong sampai 2,8% pada bagian bawah.
P-tersedia dua kali lebih tinggi pada bagian bawah dibandingkan bagian atas, pH
tanah tidak berubah tetapi Al-dd menurun sementara K dan Mg tidak berubah.
C-organik meningkat dari 2 menjadi 3%, nitrogen dari 0,2 manjadi 0,27% pada Oxic
Palehumult (Samzussamans, 1994 dalam Garrity, 1996 danTurkelboom et
al., 1993 dalam Garrity, 1996).
Respon
spatial dalam Alley cropping juga
terjadi pada aktivitas organisme di dalam tanah yang ditunjukkan oleh gradient
spatial dan temporal dari aktivitas casting cacing tanah (Hauzer et
al., 1998). Aktivitas casting menurun menurut jarak terhadap tanaman
pagar yang ditunjukkan oleh persamaan regresi pada Tabel 5. Aktivitas casting
tersebut menurun hingga 0 (nol) pada jarak 200 cm dari tanaman pagar.
Tabel 5. Hubungan jumlah bahan kering casting (ton/ha) dengan jarak (cm) dari tanaman pagar
beberapa jenis legume dalam
sistem Alley cropping.
Spesies |
Waktu Aplikasi |
Persamaan Regresi |
R2 |
|
Leucaena
|
1 |
Cast = -2,36 ln
(jarak) + 62 |
0,21
ns |
|
leucocephala
|
4 |
Cast = -21,2 ln (jarak)
+ 154 |
0,76
ns |
|
|
6 |
Cast = -27,42 ln
(jarak) + 151 |
0,96
** |
|
|
7 |
Cast = -24,24 ln
(jarak + 129 |
0,99
** |
|
Senna siamea
|
7 |
Cast = -17,26 ln
(jarak) + 100 |
0,98
** |
|
Dactyladenia
barteri |
6 |
Cast = -4,49 ln
(jarak) + 55 |
0,67
ns |
ns = tidak nyata pada taraf 0,05 LSD ** = nyata pada taraf 0,05 LSD
Sumber : Hauzar et al. (1999)
Aktivitas casting pada Alley cropping dengan Leucaena leucocephala pada lorong menurun sebanyak 12,55, 80 dan 86% masing-masing pada tahun pertama, keempat, keenam dan ketujuh bila dibandingkan dengan aktivitas casting di bawah tanaman pagar. Penurunan casting sampai ke bagian tengah lorong tidak linier tetapi mengikuti fungsi logaritmic. Selain menurun menurut jarak, aktivitas casting juga menurun menurut lamanya waktu. Penurunan tersebut berbeda pada bagian lorong dan di bawah tanaman pagar, yang dicerminkan oleh persamaan regresi sebagai berikut :
- di bawah tanaman pagar : Cast = -12,7 (tahun aplikasi) + 184 (R2 = 0,95*)
- di dalam lorong : Cast = -14,5 (tahun aplikasi) + 110 (R2 = 0,80 ns)
Penelitian di Costa Rica memperlihatkan bahwa Alley cropping dengan tanaman utama kacang-kacangan dapat meningkatkan kehidupan mikrobiota tanah (nodulasi dengan Rhizobium) pada tahun-tahun kering. Akar tanaman yang dikolonisasi oleh fungi arbuscular mycorrihiza (AM) sebanyak 95 98%. Sistem ini dapat menurunkan bahaya penyakit anthrac nose yang disebabkan oleh Colletotrichum lindemuthianum dan menurunkan bahaya fusarium akar. Peningkatan aktivitas mikrobiota ini diperlihatkan dengan adanya peningkatan respirasi CO2 (Rosemeyer et al., 2000).
Perbaikan produktivitas tanah yang meliputi perbaikan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang pertumbuhan taaman yang pada akhirnya meningkatkan produksi tanaman pangan/semusim yang ditanam pada lorongnya. Hal tersebut juga dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hasil tanaman pangan/semusim yang ditanam dalam Alley cropping hasilnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Alley cropping. Kembali Kang et al. (1984) menunjukkan peningkatan hasil dari tanaman jagung, kacang tunggak dan ubikayu pada Alley cropping dengan Glirisidia, Leucaena dan Acioa (Tabel 6).
Tabel
6. Hasil tanaman jagung, kacang tunggak dan ubikayu pada Alley cropping
Perlakuan |
Hasil
tanaman (ton/ha) |
||
Jagung |
Kacang
tunggak |
Ubikayu |
|
Kontrol |
2,8 |
0,7 |
23,0 |
Alley cropping : |
|
|
|
~ Leucaena leucocephala |
- |
- |
- |
~ Glirisidia sepium |
4,4 |
0,8 |
25,0 |
~ Acioa barterii |
3,2 |
- |
- |
Keterangan : tanda (-) berarti tidak ada perlakuannya
Disarikan dari Kang et al. (1984)
Peneliti lain (Chamshama et al., 1998) juga menunjukkan bahwa Alley cropping dapat meningkatkan hasil jagung dari 1,6 menjadi 2,0 ton/ha dengan tanaman Faidherbia dan dari 1,7 menjadi 1,9 ton/ha dengan Leucaena sp di Morogoro, Tanzania.
Tanggap tanaman sepanjang lorong
dalam Alley cropping pada tahun-tahun
pertama adalah menyerupai parabola convex, jika tanaman pagarnya dipangkas.
Penurunan produktivitas pasa tanaman yang dekat dengan pagar menunjukkan adany kombinasi
kompetisi di bagian atas dan bawah tanah (Garrity, 1996). Bentuk tanggap yang berbeda (bentuk dome)
terjadi pada padi gogo (Salazar et al., 1993), sementara jagung relatif
lebih netral. Pola tanggap ini juga berbeda sejalan dengan umur tanaman pagarnya.
Interaksi yang mungkin
terjadi antara tanaman pagar dan tanaman utama (pangan/semusim) yang bersifat
menguntungkan atau positif adalah (Hairiah et al., 2000)
1. Serasah dan hasil pangkasan (daun dan ranting) merupakan lapisan pelindung sumber bahn organik untuk tanah.
2. Lapisan serasah menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah dan memperbaiki regim kelembaban tanah.
3. Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya Imperata cylindrica), dan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.
4. System perakaran yang dalam memperbaiki siklus unsur hara dengan cara :
a. Nutrient safety net, pengambilan unsur hara yang tercuci ke lapisan sub soil yang tidak terjangkau oleh akar tanaman pangan/semusim yang dangkal.
b. Nutrient Pump, pengambilan unsur hara yang dilepas dari pelapukan mineral pada lapisan yang lebih dalam.
5. Tanaman pagar (Leguminosa) dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan sebagai suplai nitrogen sehingga kebutuhan pupuk N diturunkan.
6. Memberikan iklim mikro yang stabil, dengan penurunan kecepatan angin, peningkatan kelembaban, memberikan naungan (misalnya Erythrina pada pertanaman coklat atau kopi).
7. Memberikan keuntungan jangka panjang, misanya menurunkan resiko melalui perbaikan struktur dan parositas oleh penambahan bahan organik.
KELEMAHAN
SISTEM ALLEY CROPPING
Suatu teknologi disamping mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahan sistem Alley cropping diantaranya adalah :
1. Mengurangi luas areal tanam sebanyak ฑ 20 22 % (Alegre and Rao, 1996 ; Laseo et al., 1996)
2.
Adanya penambahan biaya dan tenaga untuk penanaman,
pemangkasan, pemulsaan dan pemeliharaan tanaman pagar. (Celestino, 1985 dalam Lasco et al.,
1996 ; Mercado et al,. 2000 Sanchez, 1995).
3.
Efek allelophati
(mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman) Cuezas and Samson, 1982
dalam Lasco et al,. 1996; Cagampang et al., 1985 dalam
Lasco et al., 1996)
4. Interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman pangan/semusim)
a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada level tanaman pangan/semusim (Mc Intyre et al., 1996 ; Hairiah et al., 2000 ; Garrity, 1996)
b. Kompetisi hara dan air : Sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air, menurunkan penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim (Hairiah et al., 2000)
c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman pangan/semusim dan sebaliknya (Hairiah et al., 2000)
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa Alley cropping pada tanah masam tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan apabila tidak disertai dengan penambahan pupuk buatan (Sanchez, 1995) dan jika pupuk buatan diberikan secara lengkap maka pengaruh positif dari tanaman lorong tidak terlihat (Lal, 1991 dalam Sanchez, 1995).
Persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman pangan untuk mendapatkan cahaya, air dan zat hara seringkali sangat mengurangi pengaruh positif tanaman pagar (Van Noordwijk et al., 1998). Persaingan yang ditimbulkan oleh legum yang cepat pertumbuhannya (fast growing leguminnus tree) seperti lamtoro, kaliandra, Flemingia sp dan Glirisidi lebih tinggi dibandingkan dengan persaingan yang ditimbulkan tanaman legum lokal (peltophorum dasyrrhachis) walaupun sebenarnya kontribusi fast growing leguminous tree terhadap kesuburantanah juga cukup besar.
Penelitian Van Noordwijk et al., 1998 menunjukkan bahwa hanya Peltophorum Dasyrrchachis dan kaliandra yang memberikan pengaruh interaksi positif terhadap tanaman pangan (Tabel 7). Peltophorum dasyrrhachis mempunyai kanopi yang rapat, sehingga pengaruh naungannya sedikit sedangkan legum lainnya pada percobaan on mempunyao hanopi yang menyebar.
Tabel 7. Interaksi tanaman pagar dengan tanaman jangung pada tahun ketujuh
pada penelitian Alley cropping di Lampung
Tanaman Pagar |
F |
C |
I |
|
Leucaena
leucocephala
|
152 |
-159 |
-7 |
|
Calliandra calothyrsus |
120 |
-115 |
+5 |
|
Peltophorum dasyrrchachis |
58 |
-26 |
+32 |
|
Flemingia congesta |
37 |
-89 |
-52 |
|
Cliticidia sepium |
19 |
-60 |
-41 |
Sumber : Van Noordwijk et al. (1998) F : pengaruh kesuburan (fertility);
C : Pengaruh kompetisi (Competition) I : Pengaruh Interaksi = F + C
ANALISIS EKONOMI DALAM ALLEY CROPPING
Dengan menggunakan model program linier, Verinumbe et al. (1984 dalam Kang et al., 1996) menunjukkan bahwa jagung dalam Alley cropping dengan Luecaena sangat menarik secara ekonomi, meskipun lebih banyak tenaga kerja untuk pemangkasan, sedikit pupuk dan herbisida diperlukan. Selanjutnya Sumberg et al. (1987 dalam Kang et al., 1990) mengemukakan bahwa tanaman jagung dalam pertanaman lorong lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tanpa pertanman lorong, tetapi keuntungan tersebut menurun ketika harga benih jagung meningkat secara relatif terhadap tenaga kerja.
Peneliti lain melaporkan bahwa penambahan tenaga kerja dalam Alley cropping terjadi pada waktu penanaman tanaman pagar sebanyak 51 HOK/ha, pemangkasan pada waktu musim hujan 20 HOK/ha dan musim kemarau 10 HOK/ha (Nelson et al., 1997). Net present Value (NPV) menurun setelah tiga tahun bahkan negatif setelah 9 tahun pada usaha tani tanpa pertanaman lorong sedangkan pada Alley cropping tetap bernilai positif sampai 25 tahun.
Analisi ekonomi yang dilakukan oleh Tonye dan Titi Nwel (1995) menunjukkan bahwa dalam Alley cropping terjadi peningkatan kebutuhan tenaga kerja pada tahun pertama yaitu sebesar 14 HOK/ha untuk penanaman tanaman pagar dan 22 26 HOK/ha untuk pemangkasan tanaman pagar serta pemulsaan pada tahun kedua dan ketiga. Analisis dominansi memperlihatkan bahwa pertanaman jagung + kacang tanah dalam Alley cropping dengan Leucaena leucocephala memberikan nilai pengembalian marjinal (marginal rate of return) yang lebih tinggi. Hasil analisi dominansi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada ke-4 sistem yang dicoba mempunyai nilai B/C ratio > 1, maka dengan analisis dominansi terseleksi bahwa Alley cropping tanpa pupuk memberikan nilai pengembalian marjinal tertinggi yaitu 447 %.
Tabel 8. Hasil analisis dominansi dari beberapa sistem Alley cropping
System |
Biaya
Variabel |
Pendapatan
Kotor |
Keuntungan
Bersih
|
Pengembalian
Marjinal |
(----------
US $/ha ----------) |
(%) |
|||
1 |
1154 |
3540 |
2386 |
|
2 |
1548 |
5696 |
4148 |
447 |
3 |
2048 |
5627 |
3579 |
|
4 |
2344 |
5632 |
3288 |
|
Sumber : Tonye and Titi-Nwel (1995)
1 = Tanpa
tanaman pagar, tanpa pupuk
2 = Dengan tanaman pagar, tanpa pupuk
3 = Dengan tanaman pagar + 200 kg NPK/ha
4 = Dengan tanaman pagar + 400 kg NPK/ha
Sementara
itu Akyeampong dan Hitimana (1996) di Mashitsi, Burundi, menunjukkan bahwa
penggunaan eksternal input (pupuk) dengan ataupun tanpa pertanaman lorong tidak
terbukti menguntungkan selama 5 tahun. Ini mungkin karena tanaman utama tidak
memberikan respon terhadap N yang disebabkan oleh defisiensi unsur hara yang
lain yaitu P dan input pupuk P yang rendah. Keuntungan bersih menjadi negatif
jika harga tanaman utama (jagung) meningkat 50% biaya pembibitan menurun 50%
atau resiko diturunkan 10%. Nilai
pengembalian yang negatif terutama terjadi pada 3 tahun pertama. Ini sejalan
dengan evaluasi terhadap 50 petani di bagian barat Kenya dimana Alley cropping tidak menguntungkan pada
80% responden.
Tenaga kerja ekstra yang
diperlukan dalam Alley cropping di
Lombok berkisar 250 310 HOK/ha (tergantung apakah satu atau dua kali tanam)
dibandingkan 160 HOK/ha untuk padi sawah dan 180-240 HOK/ha untuk lahan kering
tradisional (Wiersum, 1994).
MINIMASI PENGARUH NEGATIF DAN
MAKSIMASI PENGARUH POSITIF
DALAM
SISTEM ALLEY CROPPING
Kunci untuk suksesnya penerapan Alley cropping sangat tergantung pada bagaimana meminimalkan pengaruh tidak menguntungkan dan memaksimalkan pengaruh menguntungkan pada taraf input tenaga kerja yang memungkinkan (Hairiah et al.,2000).
Pengaruh tidak menguntungkan atau pengaruh negatif tersebut dapat dilakukan dengan cara :
ุ
Pemangkasan
secara periodik selama fase pertumbuhan tanaman utama untuk mengurangi pengaruh
naungan.
ุ
Memilih
tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk mengurangi
kompetisi cahaya.
ุ
Melebarkan
jarak tanaman pagar, untuk mengurangi kompetisi di bagian atas tanah juga
lapisan bawah tanah.
ุ Memilih tanaman utama (pangan/semusim) yang toleran terhadap naungan seperti cocoyam, jahe dan lain-lain.
ุ Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk menghilangkan kompetisi dengan tanaman utama tetapi cukup dekat untuk mengendalikan gulma dan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari suplai bahan organik.
Pengaruh menguntungkan dapat dimaksimalkan dengan cara memilih tanaman pohon yang sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim berdasarkan :
ุ Bentuk dan distribusi kanopi.
Pohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tapi padat tidak akan memberikan terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim tanam. Sebaliknya, pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan memungkinkan cahaya menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam mengendalikan gulma setelah atau diantara periode pertanaman.
ุ Kualitas dan kuantitaas penyediaan bahan organik.
Untuk memaksimalkan pengaruh positif,
pohon dengan selah yang lambat didekomposisi dikombinasikan dengan pohon yang
mempunyai resiau bahan organik yang cepat terdekomposisi serasah dengan
kualitas yang rendah dan lambat didekomposisi sesuai untuk mulsa, melindungi
permukaan tanah dari erosi. Sebaliknya, serasah dengan kualitas yang tinggi dan
cepat didekomposisi mudah tercuci. Kualitas serasah yang tinggi berpotensi sebagai penyedia unsur hara bagi
tanaman. Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi akan
meningkatkan sinkronisasi dari pelepasan hara dari resiau organik dengan
kebutuhan tanaman.
ุ
Kemampuan
pertumbuhan
Pohon yang cocok untuk tumpangsari harus tumbuh lebih lambat pada tahap
awal dari fase pertanaman, tetapi bertahan pada waktu musim kemarau.
ุ Kedalaman perakaran dan distribusinya
Perbandingan perakaran yang dalam dan mempunyai sistem distribusi perakaran akan menurunkan pencucian hara.
ุ Tahan terhadap pemangkasan dan periodik
Pemangkasan sangat penting untuk menghilangkan naungan yang berlebihan. Mungkin ada pohon yang tidak tahan terhadap pemangkasan yang berulang.
ุ Tahan terhadap hama dan penyakit
ุ Mempunyai kemampuan biologi untuk memfiksasi N2 - Udara
PELUANG
DAN KENDALA ADOPSI ALLEY CROPPING
DI LAHAN KERING
Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang langka, maka Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras bangku. Selain itu sistem ini merupakan pilihan yang cocok baik dimana teknik konservasi yang lain, misalnya teras bangku, tidak cocok diterapkan pada daerah tersebut karena, solum tanah yang dangkal (<50 cm), labil (karena mengandung liat 2:1) dan mempunyai kemiringan >45%.
Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman penguat teras, memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon untuk lebih mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini juga merupakan peluang pengembangan leguminosa yang biasa ditanam dalam Alley cropping. Selanjutnya jenis tanaman yang dikembangkan maupun tempat dan cara bertanam disesuaikan dengan keinginan petani setempat.
Masalah yang kerap kali dihadapi petani di lahan kering yaitu kelangkaan hijauan pohon setiap musim kemarau dapat menjadi pendorong kuat motivasi petani untuk menerapkan Alley cropping. Oleh karena itu untuk lebih mendayagunakan sistem ini hubungannya dengan kebutuhan petani, maka Alley cropping perlu dimodifikasi yaitu dengan mengkombinasikan rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar barisan.
Selain sumber makanan ternak dan atau sumber bahan organik , introduksi tanaman leguminosa pohon pada Alley cropping memberi kesempatan kepada petani dalam pemenuhan kebutuhan kayu bakar. Untuk itu pemilihan jenis leguminosa yang akan diintroduksikan selain dipilih tanaman yang sesuai dengan agroekosistem setempat, mempunyai pengaruh negatif yang rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama (prioritas masalah) yang akan dipecahkan, misalnya :
ุ Jika erosi menjadi masalah utama (dibandingkan pakan ternak), maka Flemingia congesta menjadi pilihan utama dalam Alley cropping;
ุ Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau Calliandra calothyrsus menjadi pilihan atau dikombinasikan dengan Flemingia congesta.
ุ Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah <50 cm di atas batu kapur, maka Gliricidia sepium yang dipilih; dan
ุ
Jika
ketinggian tempat >500 m dpl, maka Calliandra calothyrsus menjadi
pilihan utama sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia
congesta.
Dengan demikian sebaiknya
diintroduksikan beberapa jenis legum dalam Alley
cropping, karena petani ingin memiliki lebih dari satu jenis legum setelah
tahu bahwa masing-masing jenis legum mempunyai kekurangan dan kelebihan yang
berbeda.
Dengan memperhatikan kendala adopsi,
maka Alley cropping potensial untuk
dikembangkan pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih sangat
dominan untuk mendorong petani melakukan usaha pertanian menetap serta di lahan
kering DAS bagian hulu.
Shancez (1995)
mengemukakan bahwa Alley cropping
baik diterapkan pada kondisi dimana : (1) tanah cukup subur tanpa keterbatasan
unsur hara makro; (2) curah hujan cukup selama masa pertanaman; (3) lahan
sangat miring dan erosi tinggi; (4) tenaga kerja banyak tersedia dan lahannya
luas; dan (5) status pemilikan tanah yang aman.
Penelitian di Indonesia
bagian timur (Lombok dan Sumbawa) yang dikemukakan oleh Wiersum (1994)
menunjukkan bahwa proses adopsi Alley
cropping cukup heterogen dan sangat tergantung pada status sosial petani
(kaya, miskin), pemilikan sawah, luas penguasaan lahan dan status pemilikan
lahan. Petani yang lebih sejahtera akan cenderung mengadopsi karena untuk
penerapan sistem dibutuhkan tenaga kerja tambahan yang cukup banyak. Pemilikan
sawah menjadi alasan diadopsinya sistem ini karena pemilik sawah akan lebih memilih
menanam tanaman tahunan/buah-buahan di lahan kering yang sifatnya cepat
menghasilkan (pererial cash crop) dari pada tanaman semusim/pangan. Hal
ini dapat dimengerti karena petani tersebut telah memiliki rasa keamanan pangan
(food security) sehingga lebih baik menginvestasikan modalnya untuk
menanam tanaman tahunan dari pada tanaman pangan di lahan keringnya. Tanaman
pagar tidak untuk sebagai sumber pupuk hijau melainkan lebih berfungsi sebagai
pembibitan dan tanaman pelindung (naungan) untuk tanaman tahunannya seperti
untuk kopi.
Status pemilikan lahan yang tidak jelas di Indonesia bagian timur justru mendorong petani untuk mengadopsi Alley cropping. Peraturan di Indonesia menyebutkan bahwa jika petani terbukti dapat mengelola lahan tersebut selama tiga tahun maka petani mendapatkan izin/hak secara legal dari pemerintah. Di samping itu menjadi ketua kelompok tani merupakan peningkatan status sosial di masyarakat. Adanya insentif seperti subsidi ternak juga mendorong petani menerapkan sistem ini.
Pada daerah dimana praktek perladangan berpindah masih dominan, kendala adopsi Alley cropping menurut Garrity (1996) dan Mercado et al. (1997) meliputi tenaga kerja yang intensif, untuk implementasi, pemangkasan secara periodik dan pemeliharaan tanaman pagar, nilai tambah yang terbatas terhadap pendapatan usaha tni dan masalah keberlanjutan kesuburan tanah yang tidak diantisipasi.
Dengan direkomendasikannya Alley cropping secara luas, maka pemahaman tentang sistem ini harus ditingkatkan terutama mengenai dimana, kapan dan bagaimana sistem ini menjelma menjadi teknologi yang superior untuk pertanian lahan kering dan yang tidak kalah pentingnya juga pemahaman tentang tiga cara dasar mengatasi efek negatif (scuoring effect) yaitu : menghilangkan, mengurangi atau merubah suatu sisetm pertanaman/pertanian agar sesuai dengan sistem tersebut (Garrity, 1996).
Secara sosial ekonomi, Alley cropping mempunyai beberapa tantangan untuk dikembangkan di lahan kering diantaranya : memperbaiki pandangan petani yang teras bangku minded, persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman lamtoro, teknologi ini menghendaki biaya sosial tinggi untuk daerah marjinal kritis, prioritas petani masih berorientasi pada keamanan pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari masyarakat itu sendiri, dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan petani yang tidak ringan.
Selain
hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong
mengurangi areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan
usaha tani sangat sempit. Penyediaan
benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar juga menjadi kendala apabila
sistem ini akan diterapkan pada skala luas. Kunci suksesnya implementasi
teknologi konservasi tanah adalah kemampuan yang bervariasi dari
institusi/lembaga terkait, khususnya penyuluh, dalam mensinkronkan pilihan
teknologi dengan kondisi biofisik setempat dengan mempergunakan perangkat lunak
sistem pengambilan keputusan , dan dengan kondisi sosial ekonomi, latar belakang
budaya petani serta preferensi petani dengan menggunakan pendekatan
partisipatif (participatory rulal appraisal). Melibatkan petani sejak
awal perencanaan, pengambilan keputusan sampai penerapan/implementasi suatu
treknologi menyebabkan petani sebagai pelaku lebih merasa memiliki dan merasa
dihargai dari pada bertindak hanya sebagai pelaksana saja. Oleh karena itu
pendekatan bottom-up akan lebih menunjang suksesnya suatu adopsi
teknologi dari pada top-down. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
memberikan konsekuensi bahwa penentu kebijakan, peneliti penyuluh dan petani
harus duduk bersama dalam merencanakan implementasi suatu teknologi baru.
Peranan penyuluh dalam proses adopsi tidak kalah pentingnya dalam memotivasi
petani.
Peranan penyuluhan dalam
penyebaran informasi pada proses adopsi sangat penting. Salah satu alat bantu
dalam penyebaran informasi ini adalah multimedia baik cetak meupun elektronik.
Media elektronik seperti radio dan atau televisi akan lebih efektif dalam
merubah perilaku petani, hal ini analog dengan peranan iklan (terutama di TV)
dalam merubah selera konsumen. Jadi apabila suatu teknologi yang akan
diintroduksikan akan lebih efektif dalam hal adopsinya apabila sebelumnya
diiklankan dulu melalui media TV.
Peranan penyuluh tidak kalah
pentingnya dalam memberikan bimbingan dan memotivisai petani dalam mengadopsi
teknologi. Selain itu peranan pemerintah dalam memberikan subsidi, misalnya
dalam penyediaan benih atau bibit tanaman pagar, ternak sebagai insentif yang
dapat diberikan sebagai dana bergulir (revolving fund) dan juga
legalissi pemilikan lahan.
KESIMPULAN
1.
Alley cropping sangat efektif mengendalikan erosi,
memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat
meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan.
2.
Selain
mempunyai pengaruh positif (keuntungan), Alley
cropping juga mempunyai pengaruh negatif melalui kombinasi kompetisi di
bagian atas (naungan) dan bawah tanah (air dan hara) yang dapat diatasi dengan
cara menghilangkan, mengurangi atau menyesuaikan sistem pertanaman (cropping
system) dengan Alley cropping.
3.
Alley
cropping dapat
diterapkan dengan mengoptimalkan interaksi antara tanaman pagar dan tanaman
pangan/semusim dengan cara meminimalkan pengaruh negatif dan memaksimalkan
pengaruh positif.
4.
Alley cropping mempunyai peluang yang cukup strategis untuk
dikembangkan pada sistem usaha tani di lahan kering melalui penyuluhan yang
cukup intensif untuk pemahaman dan sosialisasi sistem ini.
5.
Agar
lebih berdaya guna bagi petani, Alley
cropping dapat dilakukan dengan mengkombinasikan leguminosa pohon dan
rumput pakan ternak.
6.
Kendala
adopsi Alley cropping adalah
kebutuhan tenaga kerja yang tinggi pada saat penanaman dan pemeliharaan tanaman
pagar, keterbatasan nilai tambah terhadap pendapatan usaha tani, masalah
kesuburan tanah akibat kompetisi dengan tanaman pagar yang tidak diantisipasi,
lebar lorong yang tidak teratur, pagar yang terlalu rapat/padat pada lereng
yang sedang sampai curam, adaptasi yang jelek dari berbagai spesies, kurangnya
bahan tanaman dan kepemilikan tanah yang tidak aman.
7.
Penelitian
tentang kendala adopsi pada berbagai agroekologi di Indonesia masih perlu
dilakukan.
8.
Melibatkan
petani sejak awal perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi
melalui participatory appraisal merupakan salah satu kunci suksesnya
implementasi sistem Alley cropping di lahan kering DAS bagian hulu.
DAFTAR PUSTAKA
Alegre, J.C., M.R. Rao. 1996. Soil and water conservation by countour ledging in the humid tropics of Peru. Agriculture, Acosystem and Environment 57 : 17-25. Elsevier Science. BV.
Akyeampong, E. and L.Hitimana. 1996. Agronomic and economic appraisal of alley cropping with Leucaena diversifolia on an acid soil in the highlands of Burundi. Agroforestry System 33 : 1 11. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Agus. F., D.K. Cassel, and D.P. Garrity. 1997. Soil water and soil physical properties under
countour hedgerow system on stoping oxisols. Soil and Tillage Research 40 : 185 199. International Soil Tillage Research Organization (ISRO).
Comia, R.A., E.P. Paningbatan, and I. Hakansson. 1994. Erosion and crop yield response to
soil conditions under alley cropping system in the Philippines. Soil & Tillage Research 31 : 249 261. International Soil Tillage Research Organization (ISRO).
Chamshama, S.A.O., A.G. Mugasha, A.Klovstad, O. Haveraaen and S.M.S. Maliondo. 1998. Growth and Yield of Maize Alley Cropped with Leucaena Leucocephala and Faidherbia Albida in Morogoro, Tanzania. Agroforestry System 40 : 215-225. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Garrity, D.P. 1996 Tree-Soil-Crop Interactions on Slopes. In Ong and Huxley (Eds) Tree-Crop Interactions. A Physiological Approach. P: 299 318. (AB. International and ICRAF).
Hawkins, R., H. Sembiring, D. Lubis, and Suwardjo. 1990. The Potensial of Alley cropping in the Uplands of East and Central Java. A Review. Agency for Agricultural Research and Development. Department of Agriculture.
Hauzar, S., D.O. Asawalam and B. Vanlauwe. 1998. Spatial and temporal gradients of earth worm casting vetivity in alley cropping system. Agroforestry System 41 : 127 137. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Hairiah, K., S.R. Utami, D. Suprayogo, Widianto, SM. Sitompul, Sunaryo, B. Lusiana,. R. Mulia, M. Van Noordwijk and G. Cadisch. 2000. Agroforestry on Acid Soils in the Humid Tropics : Managing tree-soil-crop interactions. International Center for Research in Agroforestry (ICRAF).
Kang, B.T. , G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative to Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Ibadan, Nigeria.
Kang, B.T., L. Reynolds, and A.N. Atta-Krah. 1990. Alley Farming. Advances in Agronomy Vol 43 : 315 359.
Lasco, R.D., M. Okazaki and R.P. Furoc. 1996. Alley copping system in the Philippines. In
Anase et al., (eds). Rehabilitation and Development of Upland and Highland Ecosystem. Tokyo University of Agriculture Press, Japan.
Mc-Intyre, B.D., SJ. Riha, C.K. Ong. 1996. Light Interception and Evapotranspiration in Hedgerow Agroforestry System. Agricultural and Forest Meteorology 81 (1996) : 31 40. Elsevier Science. BV.
Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of alley cropping on soil agregate stability of a tropical alfisol. Agroforestry System 32 : 237 245. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Mercado, A., M. Stark, and Garrity 1997. Enchancing Sloping Land
Management Technologi Adoption and Dissemination. In Sajjapongse (Ed.).
Farmers Adoption of Soil-Conservation Technologies. Proceedings of the 9th
Annual Meeting of ASIALAND Management of Sloping Land Network. Bogor,
Indonesia. 15 21 September 1997. IBSRAM Proceedings 17 : 25 45.
Mercado Jr, A.R., M. Patindol, D.P. Garrity. 2000. The Lancare Experience in the Philippines : Technical and Stitutional Innovations. For Conservation Farming. Paper presented during the International Landcare Conference Held at Melbourne, Australia, 2 5 March 2000.
Nelson, R.A., P.G. Grist, K.M. Menz, R.A. Cramb, E.P. Paningbatan and M.A. Mamicpic. 1997. A Cost-benefit analysis of hedgerow intercropping in the Philippines uplands using the SCUAF model. Agroforestry System 35 : 203 220. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Rosemeyer, M., N. Viaene, H. Swartz, J. Kattler. 2000. The effect of slash/mulch and alley cropping bean production systems on soil microbiota in the tropics. Applied Soil Ecology 15 (2000) : 49 59. Elsevier Science. BV.
Sukmana, S., and H. Suwardjo. 1991. Prospect of Vegetative Soil Conservation Method for Sustainable Upland Agriculture. IARD Journal . 13 : 1 7.
Salazar, A., L.T. Szott and C.A. Palm. 1993. Crop tree interactions in alley cropping system on alluvial soils of the upper Amazon Basin. Agroforestry System 22 : 67 82. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry System 30 : 5 55. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Santoso, D. and Yin Dixin. 1997. The impotance of strong linkage coordination for widespread adoption of sloping lands management (SLM) technologies. IBSRAM Proceedings 17 : 107 120.
Tonye, J., P. Titi-Nwel. 1995. Agronomic and Economic Evaluation of Method of Establishing Alley Cropping under a Maize / Groundnut Intercrop System. Agriculture, Ecosystems and Environment 56 (1995) : 29 36. Elsevier Science B.V.
Van Noordwijk, M., K. Hairiah, B. Lusiana and G. Cadish. 1998. Tree-soil crop interactions in sequential and simultaneous agroforestry system. P. 173 190 ln L. Bergstrom and H. Kirchmann (eds). Carbon and Nutrient Dynamich in Natural and Agricultural Tropical Ecosystems. CAB International Wallingford, UK.
Wiersum, K.F. 1994. Farmer adoption of hedgerow intercropping, a case study from east Indonesia. Agroforestry System 27 : 163 182. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.