© 2002 Tjahja Muhandri Posted: 2 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
Dr Bambang
Purwantara
STRATEGI PENCIPTAAN WIRAUSAHA
(PENGUSAHA) KECIL MENENGAH YANG TANGGUH
Oleh :
F 261020071 / IPN
Email : tjahjamuhandri@yahoo.com
PENDAHULUAN
Wirausaha merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata entrepreneur. Dalam Bahasa Indonesia , pada awalnya dikenal istilah wiraswasta yang mempunyai arti berdiri di atas kekuatan sendiri. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi wirausaha, dan entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan. (Kamus Manajemen – LPPM). Wirausaha mempunyai arti seorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha.
Definisi lain tentang wirausaha disampaikan oleh Say, yang menyatakan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang mampu melakukan koordinasi, organisasi dan pengawasan. Seorang wirausaha adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang lingkungan dan membuat keputusan-keputusan tentang lingkungan usaha, mengelola sejumlah modal dan menghadapi ketidakpastian untuk meraih keuntungan.
Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi. Kondisi-kondisi yangmendorong tersebut adalah : (1) orang tersebut lahir dan atau dibesarkan dalam keluarga yang memiliki tradisi yang kuat di bidang usaha (Confidence Modalities), (2) orang tersebut berada dalam kondisi yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain menjadi wirausaha (Tension Modalities), dan (3) seseorang yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausahawan (Emotion Modalities).
Penelitian yang dilakukan oleh Mc Slelland (1961) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50% pengusaha yang menjadi sample penelitiannya (diambil secara acak) berasal dari keluarga pengusaha. Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan bahwa sekitar 55% pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha).
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mu’minah (2001) atas 8 orang pengusaha paling sukses di Pangandaran menunjukkan bahwa semua pengusaha tersebut memulai usahanya karena keterpaksaan.
Pada kategori yang ketiga (Emotion Modalities), menurut Muhandri (2002), merupakan pengusaha yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Orang yang masuk dalam kategori ini memang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang wirausaha, dengan banyak mempelajari keilmuwan (akademik) yang berkaitan dengan dunia usaha. Dalam kategori ini terdapat pengusaha yang langsung memulai usahanya (merasa cukup dengan dasar-dasar keilmuwan yang dimiliki) dan ada yang bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha secara riil.
Era krisi ekonomi yangmelanda Indonesia (tahun 1997) menyebabkan banyak industri besar tumbang. Hal ini membuka mata pemerintah Indonesia berkaitan dengan timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri besar. Pada era reformasi (pasca krisis) terjadi kondisi sebaliknya, yaitu terjadi euphoria berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah. Banyak sekali usaha pemerintah (terutama dana) yang dicurahkan untuk pengembangan sektor ini (dana Jaring Pengaman Sosial, kredit lunak dari Bank Pemerintah, program pendampingan usaha dan sebagainya).
PERMASALAHAN
Usaha kecil dan menengah (UKM) idealnya memang membutuhkan peran (campur tangan) pemerintah dalam peningkatan kemampuan bersaing. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar, lebih pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut.
Menurut Staley dan Morse (1965), terdapat karakteristik khusus dari suatu produk yang cocok untuk industri kecil dan ada kelompok produk yang cocok untuk industri besar. Industri kecil tidak akan mampu bertahan pada kelompok produk yang cocok untuk industri besar. Dan sebaliknya, industri besar tidak akan tertarik untuk masuk dan bersaing dalam kelompok produk yang cocok untuk industri kecil, karena pertimbangan efisiensi skala usaha.
Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000). Atau dengan kata lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.
Menurut Haeruman (2000), tantangan bagi dunia usaha, terutama pengembangan UKM, mencakup aspek yang luas, antara lain :
1.
Peningkatan
kualitas SDM dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi,
2. Kompetensi kewirausahaan,
3.
Akses yang
lebih luas terhadap permodalan,
4. Informasi pasar yang transparan,
5. Faktor input produksi lainnya, dan
6. Iklim usaha yang sehat yang mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis serta persaingan yang sehat.
Namun permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam upaya pengembangan wirausaha (pengusaha UKM) yang tangguh adalah pemilihan dan penetapan strategi (program) untuk dua kondisi yang berbeda. Kondisi yang dimaksud adalah : (1) mengembangkan pengusaha yang sudah ada supaya menjadi tangguh, atau (2) mengembangkan wirausaha baru yang tangguh.
Strategi (program)
pengembangan untuk kedua kondisi tersebut haruslah berbeda (spesifik). Bahkan strategi pengembangan untuk pengusaha
yang sudah ada pun tidak dapat dilakukan dengan “penyeragaman”. Apa yang disebutkan oleh Haeruman di atas
adalah kondisi yang di-generalisasi.
Tiap jenis usaha, bahkan tiap pengusaha pada jenis yang sama akan
mempunyai permasalahan yang berbeda.
Diperlukan suatu studi yang matang dan mendalam (diagnosis) untuk
mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh UKM yang akan dibina. Tanpa studi dan perencanaan yang matang,
maka usaha program pengembangan (meski dengan niat yang baik) akan menemui banyak kendala, misalnya : (1) salah
sasaran, (2) sia-sia (mubazir), dan (3) banyak manipulasi dalam
implementasinya. Kasus munculnya
koperasi (dan UKM di dalamnya) “dadakan” ketika diluncurkan kebijakan kredit
tanpa bunga (kredit dengan bunga yang rendah), dapat dijadikan salah satu
contoh kegagalan usaha pengembangan UKM yang dilakukan pemerintah.
STRATEGI PENGEMBANGAN UKM YANG SUDAH ADA
Menurut Hubeis (1997), pengembangan bisnis oleh
perusahaan (termasuk industri kecil) pada awalnya ditentukan oleh kemampuan
untuk mengidentifikasi (diagnosis) pengelolaan produksi (metode dan kerjasama
tim) atas faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan factor eksternal
(peluang dan ancaman) melalui analisis SWOT (Strength, Weaknesses,
Opportunities dan Threats). Dengan
analisis ini didapatkan tahapan seperti menilai keadaan, menentukan tujuan dan
memutuskan (pemilihan dan evaluasi kegiatan).
Teknik diagnosis industri
kecil salah satunya adalah menggunakan metode PRECOM (Pre-Commercialization)
atau refleksi pemasaran yang didukung oleh perangkat analisis sistematik
seperti analisis fungsional, analisis proses dan analisis strategi (Hubeis,
1991). Teknik diagnosis dengan metode
PRECOM ini kemudian dikembangkan oleh Hubeis, dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari teknik diagnosis yang
saling mendukung dan melengkapi tersebut diperoleh beberapa peubah penting dari hal yang dikaji (kondisi umum dan
rencana aksi), yaitu definisi komersial produk, positioning produk / perusahaan
di pasar produk, identifikasi dari ragam produksi suatu produk, diagnosis fakta
produksi dan komersialisasi, serta tindak lanjut pengembangan produk.
Diagnosis ini mutlak
diperlukan untuk mengidentifikasi karakteristik dari produk yang dihasilkan
(keunggulan yang telah ada atau memungkinkan untuk dikembangkan), pasar yang
telah dimasuki (peluang pengembangan dan kemampuan tambahan yang diperlukan),
teknologi yang digunakan (optimalisasi penggunaan teknologi disesuaikan dengan
karakteristik industri kecil tersebut), akses bahan baku dan asupan lainnya
(kendala yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya), modal yang terserap
(optimalisasi kebutuhan modal disesuaikan dengan peluang pasar), serta aspek
manajerial pengelolaan (pembukuan, organisasi dsb.)
Diagnosis yang baik akan
menghasilkan tipologi industri kecil berdasarkan peluang pengembangannya. Dari tipologi ini dapat disusun suatu
strategi pengembangan yang spesifik sesuai dengan tipologi yang dimiliki oleh
industri kecil tersebut. Jika strategi
pengembangannya (ingin menjadi seperti apa dan kapan pencapaiannya) sudah
jelas, maka program pembinaan yang diberikan oleh pemerintah juga tidak akan
salah sasaran.
Sebagai ilustrasi, industri
kecil yang sudah pasarnya sudah maksimum, akan diberikan pembinaan dengan
tujuan untuk bertahan, atau membuat differensiasi produk. Industri kecil yang ingin memasuki segmen
pasar menengah ke atas, diberikan pembinaan yang berkaitan dengan tujuan peningkatan
mutu produk dan pelayanan. Pengusaha
kecil yang memiliki tingkat pendidikan terbatas akan diberikan pembinaan
berkenaan dengan aspek manajerial, dan seterusnya.
STRATEGI PENCIPTAAN WIRAUSAHA BARU YANG TANGGUH
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Amerika Serikat dan di Indonesia (seperti yang telah disebutkan di atas),
mayoritas pengusaha yang sukses berasal dari keluarga dengan tradisi yang kuat
di bidang usaha (bisnis). Sehingga
dapat digarisbawahi bahwa kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku
atau bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha
baru yang tangguh.
Kultur ini tidak dapat
ditanamkan dalam sekejap. Harus ada
program yang terpadu untuk menanamkan jiwa wirausaha sejak dini kepada
anak-anak. Meskipun penulis belum
melakukan penelitian terhadap persepsi siswa-siswa sekolah di Indonesia, tetapi
dari pengamatan dan wawancara dengan beberapa siswa (termasuk siswa sekolah
kejuruan) sedikit sekali prosentase dari mereka yang ingin menjadi
wirausaha. Atau pertanyaan yang penulis
ajukan kepada beberapa orang tua (mungkin termasuk penulis), penulis mendapat
jawaban bahwa sedkit sekali orang tua yang ingin anaknya menjadi wirausaha
(kecuali orang tuanya berprofesi sebagai pengusaha).
Kultur beberapa suku di
Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha
tangguh yang berasal dari suku tersebut.
Namun secara umum kultur masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi
yang relatif “tanpa resiko” (misalnya menjadi pegawai negeri, ABRI atau bekerja
di perusahaan besar). Penulis mengakui
bahwa pernyataan ini baru sebatas hipotesa yang harus dibuktikan kebenaran dan
keabsahannya. Pada tataran ini
pemerintah menyusun suatu program yang ditujukan untuk menanamkan budaya
wirausaha dengan sasaran para siswa sekolah
khususnya dan pada masyarakat pada umumnya. Usaha ini tidak mudah, tetapi jika kita mau belajar pada keberhasilan
program keluarga berencana (KB), hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk
dilaksanakan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.
Pada tataran lain yang lebih
operasional, usaha penciptaan wirausaha baru yang tangguh ini akan lebih baik
jika dilakukan terhadap lulusan perguruan tinggi yang telah memiliki dasar
keilmuwan dan intelektualitas yang tinggi.
Hal ini didasari oleh kondisi persaingan usaha di era globalisasi yang
menuntut kemampuan seorang wirausaha yang benar-benar memiliki kemampuan yang
tinggi.
Salah satu pola pengembangan
wirausaha yang tangguh (dan unggul) adalah dengan memberikan bantuan pendidikan, pelatihan dan magang
yang didukung oleh fasilitas / akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta
informasi (baik yang umum maupun yang spesifik). Pola ini dikenal dengan pola Inkubasi Bisnis (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Pola pembentukan calon wirausaha
tangguh dengan pola Inkubasi Bisnis
KESIMPULAN
Strategi pengembangan dengan
tujuan penciptaan wirausaha yang tangguh (baik wirausaha baru maupun yang
berawal dari wirausaha yang sudah ada) tidak dapat dilakukan tanpa kajian dan
pertimbangan yang matang. Strategi dan
program yang dijalankan tanpa kajian yang matang tidak akan memberikan hasil
yang optimum (bahkan menjadi suatu kesia-siaan).
Penciptaan wirausaha baru yang
tangguh dapat dilakukan pada tataran penciptaan iklim yang mampu menanamkan
budaya wirausaha, dan pada tataran operasional dengan (salah satunya) pola
Inkubasi Bisnis. Penciptaan wirausaha
tangguh dari wirausaha yang sudah ada harus didahului dengan diagnosis untuk
mengetahui permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh wirausaha tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Haeruman, H. 2000. Peningkatan Daya Saing
Industri Kecil untuk Mendukung Program PEL.
Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing, Graha Sucofindo. Jakarta.
Hubeis, M. 1997. Manajemen Industri Kecil Profesional di Era
Globalisasi Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri. Orasi Ilmiah. Institut
Pertanian Bogor.
Lubis, S.B.Hari. 1986. Manajemen Usaha Kecil. Diktat Kuliah : Program Magister Teknik dan
Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Muhandri, T. 2002. Karakteristik Produk
Pangan yang Sesuai untuk Industri Kecil.
Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Muhandri, T. 2002. Kewirausahaan, Pengenalan Manajemen Usaha Kecil. Belum diterbitkan.
Mu’minah, I. 2001. Mempelajari Tarikan Pasar di Pangandaran.
Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.
Pardede, F.R. 2000. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri
Kecil di Indonesia. Tesis Magister
Program Studi Teknik dan Manajemen Industri.
Institut Teknologi Bandung.
Sulasmi. 1989. Karakteristik 22 Pengusaha Wanita di Bandung. Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri. Institut Teknologi Bandung.