ã 2002
Taslim Arifin Posted 24 November, 2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November 2002
Dosen :
Prof Dr.
Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr
Zahrial Coto
Dr Bambang
Purwantara
(Studi Kasus Bleaching Terumbu
Karang)
E-mail
: a_taslimar@yahoo.com
Sebaran geografis, peningkatan frekuensi dan
kerusakan pemutihan secara masal adalah akibat meningkatnya suhu rata-rata
permukaan air laut serta terdapat cukup bukti bahwa perubahan iklim adalah
penyebab utamanya. Naiknya suhu permukaan laut menyebabkan terjadinya pemutihan
dan kematian terumbu karang, hal ini merupakan ancaman yang serius bagi
masyarakat yang bergantung padanya, khususnya mereka yang berada di
negara-negara kepulauan yang sedang berkembang.
Szmant dan
Gasman (1990) mengungkapkan, bahwa pemutihan (bleaching) adalah
hilangnya warna kecoklatan alami yang merupakan karakteristik dari sehatnya
binatang karang. Lebih lanjut Suharsono (1998) mengungkapkan, bahwa adanya
perubahan warna binatang karang dari normal menjadi putih disebut sebagai bleaching.
Peristiwa
pemutihan terumbu karang yang tersebar luas di Samudera Hindia barat tahun 1998
amat parah yang mengakibatkan tingginya kematian karang. Menyadari pentingnya
peristiwa ini serta meningkatnya perhatian dunia akan fenomena pemutihan ini,
negara-negara yang turut berpartisipasi dalam konvensi keanekaragaman biologi
(CBD) mendorong tercetusnya konsultasi para ahli mengenai pemutihan karang (CBD
1999), yaitu : pemutihan dan kematian karang secara masal tahun 1998 tampaknya
menjadi peristiwa paling serius dan ekstensif yang pernah terdokumentasi.
Dimulai dari
tahun 1980, frekuensi dan distribusi penyebaran karang bleaching di
belahan dunia diketahui telah mengalami peningkatan. Penyebaran bleaching dalam wilayah ekosistem terumbu karang dan
adanya kematian karang secara global yang cenderung mengalami peningkatan dalam
beberapa dekade, berkaitan erat dengan adanya perubahan iklim dan meningkatnya
radiasi ultraviolet akibat menipisnya lapisan ozon.
Tulisan ini
mencoba mengkaji mengenai fenomena tersebut di atas, yaitu perubahan iklim
terhadap pemutihan karang, dan sebagai
arahan dalam pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan.
Sebagian besar karang adalah binatang-binatang kecil (polip)
yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya
melalui dua cara, yaitu (1) dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap
plankton dan (2) melalui alga kecil (zooxanthellae) yang hidup di
jaringan karang. Beberapa jenis zooxanthellae
dapat hidup di satu jenis karang. Biasanya mereka ditemukan dalam jumlah besar
dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan : warna pada polip
energi dari fotosintesis dan 90% kebutuhan karbon polip. Zooxanthellae
menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari
hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang (Glynn 1996).
Dalam karang pembentuk terumbu, kombinasi fotosintesis
dari alga dan proses fisiologi lainnya dalam karang membentuk kerangka batu
kapur (kalsium karbonat). pembentukan kerangka yang lambat ini, diawali dengan
pembentukan koloni dan kemudian membentuk kerangka kerja tiga dimensi yang
rumit menjadikan terumbu karang sebagai tempat berlabuh bagi banyak jenis
biota, yang banyak di antaranya penting untuk kehidupan masyarakat dan
komunitas pesisir.
“Pemutihan “ karang (yaitu menjadi pudar atau
berwarna putih salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan baik secara alami
maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae
pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae
berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap
lingkungannya. Pemutihan dapat
menjadi sesuatu hal yang biasa di beberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan,
karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellaenya dan zooxanthellae
yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen fotosintesisnya.
Belum
banyak yang dimengerti dari mekanisme pemutihan karang. Akan tetapi,
diperkirakan dalam kasus tekanan termal, kenaikan suhu mengganggu kemampuan zooxanthellae
untuk berfotosisntesis, dan dapat memicu produksi kimiawi berbahaya yang
merusak sel-sel mereka. Pemutihan dapat pula terjadi pada organisme-organisme
bukan pembentuk terumbu karang seperti karang lunak (soft coral), anemone dan beberapa jenis kima raksasa
tertentu (Tridacna spp.), yang juga
mempunyai alga simbiosis dalam jaringannya. Sama seperti karang,
organisme-organisme ini dapat juga mati apabila kondisi-kondisi yang mengarah
kepada pemutihan cukup parah.
Akibat
dari pemutihan sangat bervariasi. Pola pemutihan yang berbeda-beda dapat
ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis yang berlainan
di terumbu yang sama dan antara terumbu di suatu daerah. Penyebabnya masih
belum dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau gabungan
dari beberapa tekanan menjadi pemicunya bersama dengan variasi-variasi dari
jenis zooxanthellae dan kerapatan dalam koloni. Jenis zooxanthellae
yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthellae
telah menunjukkan dapat beradaptasi kepada beberapa jenis karang tertentu; hal
ini dapat menjelaskan variasi pemutihan pada satu jenis karang.
Koloni
karang yang telah memutih, apakah mereka mati seluruhnya atau hanya sebagian,
lebih rapuh terhadap perkembangan alga yang berlebihan, penyakit dan organisme karang yang menjangkiti kerangka
dan melemahkan struktur terumbu karang. Hasilnya adalah bilamana kematian
tinggi, terumbu yang memutih berubah secara cepat dari warna putih salju
menjadi abu-abu kecoklatan seiring dengan perkembangan alga menutupi mereka. Bila
dampak pemutihan yang terjadi sangat parah, alga yang berkembang secara
ekstensif dapat mencegah rekolonisasi karang-karang baru, yang secara dramatis
merubah pola-pola keanekaragaman jenis karang dan menyebabkan restrukturisasi
komunitas tersebut.
Penyebab
terjadinya pemutihan karang karang adalah naiknya suhu air laut, tingginya
tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan,
sedimentasi, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi. Umumnya
pemutihan karang yang terjadi pada kurun waktu dua dekade terakhir berhubungan dengan
peningkatan suhu permukaan laut (SPL) dan khususnya pada Hot Spots. Hot Spots
adalah daerah di mana SPL naik hingga melebihi maksimal perkiraan tahunan (suhu
tertinggi pertahun dari rata-rata selama 10 tahun) dilokasi tersebut.
Peristiwa
pemutihan dalam skala besar di tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an tidak dapat
dijelaskan keseluruhannya sebagai akibat dari faktor tekanan lokal, contohnya
sirkulasi air yang buruk dan segera dikaitkan dengan peristiwa El Nino. Pemutihan karang telah muncul pula di tahun
yang bukan merupakan tahun-tahun El Nino, dan telah diketahui sebagai faktor
lain selain naiknya SPL yang dapat terkait, seperti angin, awan yang menutup
dan hujan.
Dalam 200 tahun terakhir, terumbu karang telah beradaptasi
terhadap sejumlah perubahan; tetapi, selama waktu tesebut, tidak ada tekanan
dari manusia. Terumbu karang saat ini menghadapi serangkaian ancaman kombinasi
dari eksploitasi yang berlebihan, polusi dan khususnya perubahan iklim dunia.
Kesemua ancaman tersebut saat ini meningkat jumlahnya, dan kegiatan-kegiatan
manusia menyebabkan percepatan perubahan iklim dunia yang dapat membuat terumbu
karang sulit beradaptasi.
Dampak utama perubahan iklim bagi terumbu karang adalah :
(IPCC 1995)
1. Naiknya
permukaan laut
Terumbu karang yang tidak bermasalah,
kebanyakan mampu bertahan dengan naiknya permuakaan laut yang telah
diperkirakan kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100. Dataran terumbu karang yang
terbuka pada saat surut, yang membatasi pertumbuhannya keatas, dapat mengambil
keuntungan dari kenaikan itu. Akan tetapi, karang yang telah melemah karena
meningkatnya suhu atau faktor-faktor lain mungkin tidak dapat tumbuh dan
membangun kerangka tulang mereka secara normal. Apabila hal ini terjadi,
pulau-pulau yang rendah (low-lying) tidak mendapat perlindungan dari
terumbu karang disekitarnya seperti saat ini terhadap energi gelombang dan
badai.
2. Kenaikan suhu
Kenaikan suhu 1-2oC
diperkirakan terjadi tahun 2100. Di banyak daerah tropis bahkan telah terjadi
kenaikan 0,5oC selama 2 dekade terakhir. Tampaknya mungkin hanya
perubahan kecil, tetapi ini dapat diartikan bahwa selama periode yang telah
hangat dari fluktuasi musim yang normal, suhu akan melebihi batas toleransi
dari hampir semua jenis karang. Ini
dapat menaikkan frekuensi pemutihan. Suatu kenaikan suhu dapat berarti daerah
yang saat ini berada diluar wilayah terumbu karang akan menjadi tepat untuk
pertumbuhan karang, menghasilkan perpindahan geografis dari distribusi populasi
pembangun terumbu karang. Memang membutuhkan waktu sebelum hal ini terbukti;
dan bilamana hal ini terjadi, faktor-faktor lingkungan lain dengan posisi
lintang yang lebih tinggi mungkin tidak kondusif untuk pertumbuhan terumbu
karang. Lebih lanjut lagi, naiknya SPL mempengaruhi kepekaan zooxanthellae,
contohnya sinar yang diperlukan untuk fotosintesis malah merusak sel-selnya. Karang
malah dapat menjadi rapuh terhadap kenaikan radiasi sinar UV karena menipisnya
lapisan ozon.
3. Berkurangnya tingkat pengapuran
Emisi global dari gas rumah kaca meningkatkan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfir dan di lautan ketingkat yang akhirnya mengurangi kemampuan
terumbu karang untuk tumbuh dengan proses pengapuran normal. Tingginya
konsentrasi karbon dioksida meningkatkan keasaman air, yang menurunkan tingkat
pengapuran karang. Telah diperkirakan bahwa tingkat pengapuran dapat menurunkan
kurang lebih 14-30% tahun 2050. Ini akan mengurangi kemampuan terumbu untuk
pulih dari peristiwa seperti pemutihan karang dan juga merusak kemampuan mereka
menyesuaikan diri dengan kenaikan permukaan laut dan perubahan geologi.
4. Perubahan pola sirkulasi lautan
Jika perubahan pola sirkulasi lautan dalam skala besar berkembang, hal
ini dapat mengubah distribusi dan transformasi larva karang. Hal ini berdampak
pada perkembangan dan distribusi terumbu karang diseluruh dunia.
5. Pertambahan frekuensi kejadian cuaca yang
merusak
Perubahan pola tahunan atmosfir dapat mengakibatkan berubahnya frekuensi
dan intensitas badai dan angin puyuh, juga perubahan pola presipitasi. Meningkatnya
badai dapat mengakibatkan peningkatan kerusakan tidak hanya pada terumbu
karang, tetapi juga ekosistem pesisir.
Terumbu
karang, khususnya terumbu karang tepi, seringkali ditemui dekat pesisir dan
terletak mungkin hanya beberapa meter dari garis pantai. Pertumbuhan populasi
yang cepat dan naiknya permintaan untuk industri, pariwisata, perumahan dan
pelabuhan menghasilkan perkembangan pesisir yang ekstensif. Kesehatan
ekosistem yang berdekatan, seperti rumput laut dan mangrove, juga berperan
penting bagi kesehatan terumbu karang. Berikutnya, mempertahankan nilai
estetika pesisir, termasuk pantai dan air yang bersih dan tata ruang yang tak
terganggu akan menjadi amat penting bila terumbu karang tidak menarik lagi bagi
wisatawan. Solusi bagi masalah-masalah tersebut membutuhkan perhatian khusus
bagi perencanaan dan peraturan pengelolaan pesisir dan pembuangan limbah, dan mungkin
lebih baik didekati melaui pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal
Management/ICM).
ICM mempertimbangkan zona pesisir dan pemisah daerah
aliran sungai (watershed) yang berhubungan, dalam suatu unit dan
usaha-usaha untuk mengintegrasikan pengelolaan semua sektor terkait. Beberapa negara termasuk Indonesia
telah melaksanakan atau mengimplementasikan program-program ICM di tingkat
lokal dan /atau nasional. Belize Barrier Reef, contohnya, telah
menemukan kerangka kerja khusus yang bermanfaat untuk menyelamatkan terumbu
karang. Di Indonesia, kebijakan ICM sedang dikembankan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan yang saat ini telah mengeluarkan pedoman umum perencanaan pesisir
terpadu melalui keputusan menteri kelautan dan perikanan nomor : KEP.
10/MEN/2002. Ruang lingkup pedoman inimeliputi tinjauan pengelolaan pesisir
terpadu dan rencana strategis, rencana pemintakan (Zonasi), rencana
pengeloaan dan rencana aksi (DKP 2002).
Kebutuhan utama adalah menyelesaikan
pengembangan dan implementasi dari kebijaksanaan dan program-program ICM
berskala nasional dan lokal. Kesuksesan ICM membutuhkan kesadaran
prinsip-prinsip partisipasi para pihak yang terkait dan peningkatan kerjasama
antara para kelompok pengguna; prinsip pencegahan; dan monitoring dan evaluasi
dari intervensi pengelolaan untuk memastikan bahwa hal tersebut diadaptasi
sebagai reaksi atas perubahan kesehatan ekosistem terumbu karang.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang perlu
diambil adalah: (Souter et al. 2000).
1. Menerapkan
sistem DPL dalam kerangka kerja ICM, yang perlu diperhatikan adalah pengetahuan
tentang inter-koneksi (inter-connectedness), kepekaan dan kemampuan
pulih terumbu karang yang berbeda.
2. Mengimplementasikan
ukuran-ukuran untuk meningkatkan penangkapan ikan yang dikelola berkelanjutan
dan keterpaduan dari semua ini dalam garis besar perkembangan ekonomi daerah
pesisir.
3. Pengembangan
dan implementasi dari alat perencanaan, garis-garis acuan, peraturan dan
ukuran-ukuran intensif dan mekanisme-mekanisme lain untuk mempromosikan
konstruksi ramah lingkungan dan bentuk lain dari pemanfaatan lahan dan
pembangunan pesisir.
4.
Peraturan bagi polusi yang bersumber dari daratan. Polusi alam ini harus
ditangani secara internasional, regional, nasional dan lokal serta banyak
prakarsa sedang direncanakan. Pengelola terumbu karang dan pembuat keputusan
dapat membantu mempromosikan teknologi baru dan mendorong metode-metode temuan
baru untuk limbah buangan ramah lingkungan, seperti pemanfaatan lahan basah
untuk menyaring keluar limbah kaya nutrisi, dan “kering” atau kompos kotoran.
1. Pengelolaan transportasi laut dan pengangkutan
lain untuk mengurangi kerusakan pada terumbu karang dan ekosistem pesisir
lainnya akibat pembuangan jangkar, pendaratan (grounding), tumpahan
minyak dan limbah buangan. Kerangka kerja legal yang baik untuk peraturan
pengapalan komersial kini tersedia sebagai hasil dari Organisasi Maritim
Internasional.
2. Perlindungan garis pantai terhadap erosi. Erosi
pesisir dapat meningkat jika terumbu karang yang sebelumnya melindungi pantai
dari ombak dan badai, dirusak. Erosi beberapa meter dilaporkan terjadi di
pantai dibeberapa daerah Seychelles dimana terumbu karang telah terkena
pemutihan.
CBD (Convention on
Biological Diversity). 1999. Marine and Coastal Biological Diversity. Manila,
Philippines, 11 – 13 October 1999. www.biodiv.org/jm.html.
DKP (Departemen
Kelautan dan Perikanan). 2002. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan R.I, Nomor: KEP.
10/MEN/2002. Jakarta.
Glynn, P.W., 1996. Coral Reef
Bleaching: Facts, Hypotesis and Implication. Global Change Biology. pp 495-509.
IPCC (Intergovernmental Panel on
Climate Change). 1995. IPCC Second Assessment-Climate Change 1995:
Summary for Policy Makers. www.ipcc.ch/pub/sarsum
1.htm.
Souter, D., D. Obura, O. Linden. 2000. Coral Reef Degradation
in the Indian Ocean: Status Report 2000. CORDIO/SAREC Marine
Science, Sweden.
Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in
Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. 1(2): 17-28. PKSPL-IPB.