© 2002 Sussi Astuti Posted: 3 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
Industri pangan
di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berperan penting dalam pembangunan
industri nasional, sekaligus dalam perekonomian keseluruhan. Perkembangan
industri pangan nasional menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Hal ini
ditandai oleh berkembangnya berbagai jenis industri yang mengolah bahan baku
yang berasal dari sektor pertanian. Menurut Departemen Perindustrian dan
Perdagangan (1995) dalam Hadiwihardjo (1998), jumlah industri pangan berskala
menengah besar dengan jumlah investasi di atas 600 juta berjumlah 1.343 unit
usaha, yang meliputi 27 jenis industri.
Total kapasitas industri mencapai 33.85 juta ton
pertahun dengan total investasi 20.17 trilyun.
Perhatian sepenuhnya baik dari segi teknis maupun
ekonomis harus selalu diberikan mengingat posisi industri pangan/pengolahan
hasil pertanian yang strategis. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat serta perkembangan teknologi, diperlukan inovasi produk olahan yang terus–menerus
dalam hal jenis, bentuk, kemasan maupun teknik–teknik pemasaran
secara terpadu. Industri juga dituntut untuk dapat menyediakan produk–produk
pangan olahan yang menarik dangan mutu yang baik, bergizi, aman serta memiliki
harga jual yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Di samping itu, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya jumlah
konsumen pangan khusus seperti penderita penyakit tertentu, manusia lanjut
usia, dll, serta kesadaran konsumen terhadap makanan sehat akan menjadi
pendorong berkembangnya industri pangan.
Salah satu progam penunjang dalam bidang pangan adalah pengawasan makanan dan minuman. Progam pengawasan pangan ditujukan untuk melindungi masyarakat sehingga tidak mengkonsumsi pangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, mutu, gizi, dan bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Dalam progam ini tercakup pembinaan dan pengawasan penggunaan bahan tambahan pangan, pemberian label, pelaksanaan sistem pengawasan makanan, serta penyusunan peraturan dan perundang-undangan (Wirakartakusumah, 1997). Pangan harus berdasarkan suatu standar sehingga tidak merugikan dan membahayakan kesehatan konsumen. Undang–undang Pangan telah disetujui pada tahun 1996 yang lalu. Tiga pertimbangan yang digunakan dalam pembuatan Undang–Undang Pangan tersebut adalah : (1) pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, (2) pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan beragam sebagai prasyarat utama untuk kesehatan, dan (3) pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab (Soehardjo, 1997).
Untuk menjamin terselenggaranya perdagangan bebas yang jujur dan bertanggung jawab telah dibentuk organisasi perdagangan dunia (WTO). Khusus untuk mutu dan keamanan pangan, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan, yaitu SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) untuk keamanan pangan, serta TBT (Technical Barier To Trade) untuk mutu pangan. Berbagai progam manajemen, pedoman, dan standar untuk mewujudkan kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui ISO–9000, ISO–14000, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pangan dari Codex Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM) dalam pembinaan mutu dan keamanan pangan.
Titik tolak
kegiatan suatu usaha industri pangan harus berdasarkan pada permintaan konsumen
akan suatu produk pangan. Komsumen akan selalu menuntut suatu produk yang aman,
berkualitas/bermutu, praktis/mudah untuk disiapkan dan disajikan, serta enak
rasanya dengan harga yang terjangkau. Pertumbuhan industri pangan yang pesat
akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap produk–produk pangan dengan
mutu terjamin dan harga yang bersaing. Di
samping itu, pengembangan sektor industri pangan akan dapat memperluas
kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah serta menambah devisa negara.
Wirakartakusumah dan Syah (1990) menyatakan bahwa industri pangan di Indonesia secara
umum dibagi menjadi industri kecil dan
industri besar. Indstri pangan kecil biasanya masih menggunakan cara–cara
tradisional dan bersifat padat karya, sedangkan industri pangan besar lebih
modern dan padat modal. Pada garis besarnya, aspek–aspek yang harus
diperhatikan dalam industri pangan adalah aspek teknologi, penyebaran lokasi,
penyerapan tenaga kerja, produksi, ekspor dan peningkatan mutu. Peran serta teknologi harus selalu didampingi kajian
ekonomis yang terkait dengan faktor mutu. Walaupun faktor mutu akan menambah
biaya produksi, peningkatan biaya mutu diimbangi dengan peningkatan penerimaan
oleh konsumen. Di samping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen,
pengendalian mutu yang efektif akan mengurangi tingkat resiko rusak atau susut.
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam hal pengawasan mutu industri pangan dapat berakibat fatal terhadap kesehatan konsumen dan kelangsungan industri pangan yang bersangkutan. Contohnya, seperti kasus biskuit beracun pada tahun 1989. Akibat ketedoran tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus ditutup. Penolakan beberapa jenis makanan olahan yang diekspor ke luar negeri juga menunjukkan bahwa pengawasan mutu masih belum dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, perkembangan teknologi yang pesat diikuti dengan pertumbuhan industri yang cepat harus didukung oleh sistem pengawasan mutu yang baik.
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 8402–1992 didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan.
Kramer dan Twigg
(1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok,
yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna,
ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan
konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2)
karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil
produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya
kerenyahan pada keripik. Namun, ciri
organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan.
Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan
dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi
(mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan
mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia
coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk ke dalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan–persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini karena upaya–upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada kegiatan–kegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses produksi. Bidang–bidang fungsional dan kegiatan yang terlibat dalam pendekatan terpadu terhadap sistem mutu disajikan pada Gambar 1.
Dewasa ini, kesadaran konsumen pada pangan adalah
memberikan perhatian terhadap nilai gizi dan keamanan pangan yang
dikonsumsi. Faktor keamanan pangan
berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran mikrobiologis, logam
berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan. Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi
kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja,
tetapi juga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem
manajemen lingkungan, atau penerapan sistem produksi pangan yang baik (GMP-
Good Manufacturing Practices) dan penerapan analisis bahaya dan titik
kendali kritis (HACCP- Hazard Analysis
and Critical Control Point).
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997).
Menurut Fardiaz (1997), dua hal yang berkaitan dengan
penerapan CPMB di industri pangan adalah CCP dan HACCP. Critical
Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titip, tahao
atau prosedur dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali
dapat menimbulkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada setiap tahap proses
mulai dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan penanganan
ingredien, pengolahan, pengemasan, distribusi
sampai dikonsumsi oleh konsumen.
Limit kritis (critical limit)
adalah toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu
CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia maupun
fisik. Limit kritis pada CCP menunjukkan batas
keamanan.
Fardiaz (1997)
menyatakan bahwa Hazard Analysis and
Critical Control Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses
untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan
pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan
aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
HACCP merupakan suatu sistem pengawasan yang bersifat mencegah
(preventif) terhadap kemungkinan terjadinya keracunan atau penyakit melalui
makanan. Menurut Hadiwihardjo (1998),
sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting dalam pengawasan dan
pengendalian mutu produk pangan, yaitu : (1) keamanan pangan (food safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness), merupakan karakteristik produk atau proses dalam
kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3)
kecurangan ekonomi (economic fraud),
yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan konsumen. Tindakan ini antara lain meliputi pemalsuan
bahan baku, penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai
dengan label, “overglazing” dan jumlah yang kurang dalam kemasan.
Konsep HACCP dapat dan
harus diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan, salah satunya
adalah dalam industri pangan. Hubeis
(1997) berpendapat bahwa penerapan GMP dan HACCP merupakan implementasi dari
jaminan mutu pangan sehingga dapat dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu
oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.
Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen. Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri, makin kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya. Demikian pula, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin kompleks kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan perdagangan produk pangan.
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan (Soekarto, 1990). Hubeis (1997) menyatakan bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan /industri yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha. Menurut Hubeis (1997), jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan dengan bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan empathy (keramahtamahan). Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu program menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang baik, sehingga jaminan mutu secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh produk akhir..
Soekarto (1990) menyatakan bahwa pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Di samping menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian secara inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
Pada Gambar 2, terlihat bahwa pengawasan mutu pangan di satu pihak melayani berbagai kegiatan ekonomi dan di lain pihak memerlukan dukungan pemerintah dan insentif ekonomi, serta dibutuhkan masyarakat. Campur tangan pemerintah diperlukan agar mutu dapat terbina dengan tertib karena jika terjadi penyimpangan atau penipuan mutu, masyarakat yang dirugikan. Campur tangan pemerintah dapat berwujud kebijaksanaan atau peraturan-peraturan, terciptanya sistem standarisasi nasional, dilaksanakannya pengawasan mutu secara nasional, dan dilakukan tindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan perundang-undangan pangan Codex Alimentarius Commision (CAC) disebut Food Control, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing industri dalam mengendalikan mutu dan keamanan produknya sendiri disebut Food Quality Control
Gambar 2. Keterkaitan
Pengawasan Mutu pada Berbagai Kegiatan Ekonomi dan Kehidupan Masyarakat
Pengawasan mutu juga bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi. Macam-macam kegiatan ekonomi seperti pengawasan mutu pangan berperan atau terkait ialah dalam keseluruhan industri pertanian yang menggarap produk pangan dari industri usaha produksi bahan pangan, sarana produksi pertanian, industri pengolahan pangan dan pemasaran komoditas pangan.
Pengawasan mutu pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat dalam melayani kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen. Pengawasan mutu pangan juga melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga keamanan konsumen terhadap kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, beracun dan mengandung penyakit.
Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan yang maju, pengendalian mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Penelitian dan pengembangan (R&D) diperlukan untuk mengembangkan sistem standardisasi mutu perusahaan maupun dalam kaitannya dengan analisis mutu dan pengendalian proses secara rutin. Dalam kaitan dengan produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar mutu produksi nasional berkembang sehingga dapat menghasilkan produk yang aman serta mampu memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan masyarakat konsumen. Bagian pemasaran juga harus melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut bidangnya. Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat antarsatuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik.
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan, produksi dan produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan total quality management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO seri 9000 (sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004.
Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah dokumen yang menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Jaelani, 1993 dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang diperlukan adalah yang diakui sebagai alat penjamin terhadap dapat diterimanya suatu produk/jasa tersebut (Hubeis, 1997). Upaya ini sangat diperlukan karena Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat dengan negara-negara lain yang menghasilkan barang yang sama atau sejenis. Hal ini juga perlu disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan ASEAN tahun 2003 dan di kawasan Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta perubahan menuju perdagangan global dan terjadinya regionalisasi seperti di Eropa dan Amerika Utara.
Indonesia mengadopsi ISO-9000 dengan nama SNI-seri 19-9000-Manajemen Mutu. ISO seri 9000 memberikan pedoman tentang bagaimana suatu organisasi dapat menghasilkan produk atau jasa yang bermutu, dengan mutu yang konsisten. Standar ISO seri 9000 mengarahkan keseluruhan sistem manajemen mutu untuk menyempurnakan dan menjaga mutu produk. Sistem ini mengakui bahwa proses mutu terpadu melibatkan semua bagian dan fungsi organisasi. ISO-9000 dapat digunakan pada situasi tanpa kontrak (ISO 9004) dan situasi kontrak (ISO-9001, ISO-9002, dan ISO-9003). Tiga model jaminan mutu untuk situasi kontrak yaitu ISO-9001 : sistem mutu dalam desain/pengembangan, produksi dan instalasi; ISO-9002 : sistem mutu dalam produksi dan instalasi; sedangkan ISO-9003 : sistem mutu dalam inspeksi dan uji akhir (Kadarisman, 1997). Beberapa industri pangan yang sudah memperolah sertifikat ISO-9002 antara lain PT Indofood, PT Unilever, PT Nutrifood dan PT Frishe Flag. Perusahaan-perusahaan yang memperoleh sertifikat tersebut diharapkan lebih membuka peluang ekspor serta mampu meningkatkan pangsa pasar dalam negeri karena adanya peningkatan jaminan mutu.
1. Pengetahuan mutu pada industri pangan harus ditingkatkan dan perlu disadari bahwa mutu adalah senjata andalan untuk bersaing dalam pasar lokal, serta mampu menghadapi persaingan global.
2. Pengawasan mutu yang terpadu mencakup seluruh mata rantai pangan sejak produksi sampai di konsumsi, dan berbagai sektor yang terkait diberi kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan.
3. Berbagai program manajemen, pedoman dan standar mutu yang sudah diterima secara internasional harus mampu diterapkan seperti ISO-9000, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pangan dari Codex Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM) yang disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi Indonesia.
Fardiaz, D. 1997. “Praktek Pengolahan Pangan yang Baik”. Pelatihan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama
Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen
Dikti. Bogor, 21 Juli
– 2 Agustus 1997.
Fardiaz, S. 1997. “Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis”. Pelatihan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama
Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen
Dikti. Bogor, 21 Juli
– 2 Agustus 1997.
Hadiwihardjo, B.H.
1998. “Mutu dan Keamanan Pangan dan Perdagangan
Internasional”. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Pangan ’98.
Penelitian dan Pengembangan di Bidang Industri Pangan untuk Meningkatkan
Mutu dan Daya Saing di Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kimia Terapan-LIPI. Bandung, 19-21 Oktober 1998.
Hubeis, M. 1994. “Pemasyarakatan ISO 9000 untuk Industri Pangan di Indonesia”.
Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. V (3). Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB Bogor.
Kadarisman, D. 1996. “ISO (9000 dan 14000) dan Sertifikasi”. Buletin
Teknologi
dan Industri
Pangan. Vol. VII (3). Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
Kadarisman, D dan M.A. Wirakartakusumah. 1995. “Standarisasi dan
Perkembangan Jaminan Mutu Pangan”. Buletin
Teknologi dan Industri
Pangan. Vol. VI (1). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
Bogor.
Kramer, A. dan B.A. Twigg.
1983. Fundamental of Quality Control for the Food
Industry. The AVI Pub. Inc., Conn., USA.
Soekarto, S.T. 1990.
Dasar-dasar Pengawasan dan
Standarisasi Mutu Pangan.
PAU Pangan dan Gizi. IPB Press, Bogor.
Suhardjo. 1997. “Peraturan Perundangan Tentang Mutu Gizi
Pangan”. Pelatihan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama
Pusat Studi
Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti. Bogor, 21
Juli – 2 Agustus 1997.
Tunggal. H.S. 1996. Undang-Undang Pangan. (Undang-undang Republik
Indonesia No. 7 Tahun 1996 tanggal 4 November
1996). Penerbit
Harvarindo, Jakarta.
Wirakartakusumah, M.A. 1997. “Peraturan Perundangan Tentang Keamanan
Pangan”. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Pangan Bagi Staf
Pengajar. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan
Dirjen Dikti. Bogor, 21 Juli – 2 Agustus 1997.
Wirakartakusumah, M.A. dan Dahrul
Syah. 1990.
“Perkembangan Industri Pangan
di Indonesia”. Pangan. Vol II (5).