ã
2002 Suria Darwisito Posted 9 November 2002
Makalah Pengantar Falsafah
Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
STRATEGI REPRODUKSI PADA IKAN KERAPU
(Epinephelus sp.)
Oleh
SURIA
DARWISITO
C 061020031/AIR
E-mail: darwisito@yahoo.com
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara maritim mempunyai potensi hasil perikanan laut yang besar. Perhatian pemerintah dalam sektor perikanan laut semakin besar dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal ini dilakukan dalam rangka pemanfaatan dan pemeliharaan potensi perikanan laut semaksimal mungkin sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat Indonesia dan dapat mempertinggi pemasukan devisa negara. Salah satu strategi pemanfaatan dan pelestarian potensi sumberdaya laut adalah pembenihan dan budidaya ikan kerapu.
Ikan kerapu merupakan salah satu ikan laut ekonomis penting yang sekarang ini banyak dibudidayakan dan merupakan komoditas ekspor. Sebagai contoh kerapu tikus atau kerapu bebek pada saat berukuran 5-10 cm merupakan ikan hias yang mahal dengan harga Rp 6.000-10.000/ekor . Sedangkan ikan yang berukurtan konsumsi dalam keadaan masih hidup di jual dengan harga Rp 300.000-350.000/kg. Permintaan ikan kerapu dipasaran untuk ukuran 5-10 cm sebanyak 30.000-60.000 ekor/bulan dan untuk ikan kerapu ukuran konsumsi sebanyak 20-30 ton/bulan (Sugama K., 1999).
Permintaan pasar akan komoditas ini stabil bahkan cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Dengan demikian pengembangan usaha budidaya ikan kerapu mempunyai prospek yang sangat baik. Namun demikian hal yang menjadi kendala utama adalah ketersediaan benih ikan kerapu yang masih belum terpenuhi, baik dalam jumlah maupun kualitas benih serta ketersediaan secara kontinu. Selain itu kendala utama dalam pembenihan ikan kerapu adalah tingginya tingkat kematian pada stadia awal yaitu stadia larva sampai stadia juvenile, pada hari ke 4 sampai hari ke 9 setelah penetasan telur.
Degan memperhatikan hal tersebut diatas, maka usaha pembenihan yang dilakukan baik usaha kecil, usaha menengah maupun usaha besar mutlak diperlukan dan harus segera dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan benih ikan kerapu, baik saat ini maupun masa yang akan datang. Untuk memaksimalkan usaha ini, maka harus didukung sumber daya manusia dengan menguasai teknologi khususnya strategi reproduksi secara sempurna.
Dengan demikian dapat memberi peluang yang amat besar khususnya dalam bidang pembenihan dan budidaya ikan kerapu Adapun prinsip dasar strategi reproduksi ikan kerapu sudah dan sementara diterapkan melalui mekanisme manipulasi reproduksi untuk merangsang pematangan gonad dan merangsang terjadinya pemijahan dengan pendekatan hormonal dan manipulasi lingkungan. Dengan metode ini manipulasi lingkungan dan rangsangan hormon telah menunjukan hasil yang menggembirakan dimana induk ikan kerapu dapat memijah setiap bulan yang sebelumya hanya 2 atau 3 kali setahun (Setiadi dan Tridjoko, 2001).
2.1 Taksonomi
Ikan kerapu memiliki 15
genera yang terdiri atas 159 spesis. Satu diantaranya adalah Cromileoptes altivelis yang selain
sebagai ikan konsumsi juga juvenilnya juga sebagai ikan hias. Ikan kerapu
termasuk famili Serranidae, Subfamili Epinephelinea, yang umumnya di kenal
dengan nama groupers, rockcods, hinds, dan seabasses. Ikan kerapu ditemukan
diperairan pantai Indo-Pasifik sebanyak 110 spesies dan diperairan Filipina dan Indonesia sebanyak 46 spesies
yang tercakup ke dalam 7 genera Aethaloperca,
Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola (Marsambuana dan Utojo, 2001).
Ikan Kerapu diklasifikasikan sebagai berikut:
Sub kla : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo :
Percoidea
Devisi : Perciformis
Famili :
Serranidea
Sub famili : Epinephelinea
Genus ; Epinephelus
Spesies : Epinephelus
sp.
2.2. Ciri-Ciri Morfologi Ikan Kerapu
Ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut (Wardana, 1994):
- Bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil dari pada
panjang dan tinggi
tubuh.
-
Rahang
atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat.
- Mulut lebar, serong ke atas dengan bibir bawah yang sedikit
menonjol melebihi
bibir atas.
-
Sirip
ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana
-
Posisi
sirip perut berada dibawah sirip dada.
-
Badan
ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid.
Pada ikan kerapu genus Aethaloperca merupakan monotipik, tediri atas satu spesies, warna coklat gelap, tubuh melebar, sirip dada tidak simetris, sirip punggung terdiri atas 9 jari-jari keras, sirip ekor tegak. ikan kerapu genus Anyperodon merupakan monotipik, warna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, bintik coklat pada kepala, tidak ada gigi pada langit-langit, kepala dan tubuh panjang, tebal badan 11-15 % dari panjang standard, dan 3-4 kali dari panjang kepala serta sirip bundar.
Ikan kerapu genus Cephalopholis terdiri atas: warna gelap, yaitu cokelat kemerahan sampai cokelat tua dan warna terang, yaitu merah kecokelatan sampai merah atau kuning atau jingga, panjang standard 2,2 – 3,1 kali dari panjng kepala, rahang pada ikan dewasa dilengkapi dengan bonggol, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu genus Epinephelus tubuh ditutupi oleh bintik-bintik berwarna cokelat atau kuning, merah atau putih, tinggi badan pada sirip punggung pertama biasanya lebih tinggi dari pada sirip dubur, sirip ekor berbentuk bundar.
Ikan kerapu genus Plectropomus warna gelap bergaris (menyerupai pita) dan yang tidak bergaris, warna tubuh agak putihan, sirip berwarna kuning, tulang sirip dubur lemah, panjang standard 2,8 – 3,1 kali dari panjang kepala, sirip ekor umumnya tegak. dan yang terakhir ikan kerapu dari genus Variola warna tubuh ditutupi oleh bintik merah, sirip ekor berwarna putih tipis pada bagian pinggir, panjang standard 2,5 – 2,8 kali dari panjang kepala, sirip ekor berbentuk sabit.
2.3. Siklus
Hidup, Reproduksi dan Kematangan Gonad
Effendi (2002) menyatakan
bahwa ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana
proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betima ke fase jantan atau ikan
kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi
ikan jantan. Fenomena perubahan jenis
kelamin pada ikan kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan,
umur, indeks kelamin dan ukuran (Anonim, 1999 dalam Turangan 2000). Pada ikan kerapu jenis Epinephelus
diacantus kecendrungan perubahan kelamin terjadi selama tidak bereproduksi yaitu antara umur 2-6
tahun, tetapi perubahan terbaik terjadi antara 2-3 tahun (Anonim, 1999 dalam Turangan 2000). Pada ikan kerapu
merah Epinephelus akaara untuk jenis
ikan betina ukuran berat 500 gram, panjang 26 cm dan jenis kerapu jantan ukuran
berat 1000 gram dan ukuran panjang 34 cm. Sedangkan untuk ikan kerapu Lumpur Epinephelus tauvina jenis kelamin betina berat 3-4 kg panjang 45
cm dan jenis kerapu jantan ukuran panjang 65 cm.
Mayunar
et al., (1995), Menyatakan bahwa pada
ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina)
panjang minimum betina yang matang adalah 45-50 cm (sebagian besar 50-70 cm)
dan transisi gonadnya terjadi pada panjang total (TL) 66-72 cm dan testis mulai
matang pada TL 74 cm atau bobot berat tubuh 10-11 kg.
Slamet et al., (2001) menyatakan
bahwa pengamatan aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu telah
dilakukan terhadap ikan kerapu bebek (Cromileptes
altivelis), Kerapu Macan ( Epinephelus
fuscoguttatus), Kerapu Lumpur (Epinephelus
coioides), Kerapu Batik (Epinephelus
microdon), dan Kerapu Karet (Epinephelus
ongus).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ikan kerapu
bebek induk betina mulai matang gonad pada ukuran panjang total 36 cm atau
bobot 1,0 kg, sedangkan jatan mulai matang ukuran panjang total 48 cm atau
bobot 2,5 kg. Pada ikan kerapu macan betina mulai matang pada ukuran panjang
total 51 cm atau bobot 3,0 kg sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang
total 60 cm atau bobot 7,0 kg. Pada kerapu lumpur betina mulai matang pada
panjang total 55 cm atau bobot 4,0 kg, sedangkan jantan mulai matang pada
ukuran panjang 72 cm atau bobot 10,0 kg. Pada kerapu batik betina mulai matang pada ukuran panjang total 38 cm
atau bobot 1.1 kg dan jantan mulai matang panjang total 42 cm atau bobot 2,0
kg. Pada kerapu karet betina matang pada ukuran panjang total 26 cm atau bobot
0,3 kg dan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 35 cm atau bobot 0,8
kg.
2.4. Fekunditas dan Musim Pemijahan
Fekunditas
ikan kerapu spesies Epinephelus akaara
yang berukuran panjang standard 23-24 cm dapat mengandung telur sebanyak
75.000- 530 000 butir. Epinephelus morio
ukuran panjang 45-65 cm mengandung telur sebanyak 1.500.000 butir, Epinephelus guttatus ukuran panjang 35
cm mengandung telur sebanyak 233.237
butir, dan Epinephelus diacanthus
berukuran panjang 12.6-18.8 cm mengandung telur sebanyak 64.00-233.000
butir.
Pada induk kerapu macan yang diimplantasi pelet hormon LHRHa dosis 150ug (1 ekor)dan dosis 240ug (2 ekor) serta 1 ekor dari kontrol. Jumlah telur yang dihasilkan dari induk kontrol adalah 7.500.000 butir dengan frekwensi pemijahan 3 kali. Sedangkan derajat pembuahan (FR) 93.7 – 96.5 %. Dan derajat penetasan (HR) 70.5 – 78.5 %. Selanjutnya dari induk yang diimplantasi dihasilkan telur sebanyak 14.650.000 butir atau 4.883.000 butir/ekor dengan frekwensi pemijahan 4 kali derajat pembuahan 95.6-98.5 % derajat penetasan 21,7-89.5 % (Mayunar et al., 1995).
Diperairan tropis musim pemijahan dapat terjadi pada setiap tahun atau sepanjang tahun, akan tetapi ada puncak musim pemijahan. Dimana musim benih kerapu di alam ditentukan oleh angin musim ( musim barat dan musim timur), kedua musim ini mempengaruhi kondisi arus, salinitas, suhu, dan nutrien yang terkandung. Musim pemijahan umumnya pada ikan kerapu terjadi atau berlangsung dari bulan april sampai juni dan antara bulan januari sampai september.
Pendugaan puncak musim pemijahan dapat dilakukan dengan cara membuka dan meneliti perkembangan gonad sampel induk betina secara periodik selama 1 tahun. Dugaan pemijahan dapat diperoleh sebagai dasar untuk menentukan pendugaan musim benih alam. Untuk benih ikan kerapu lumpur yang diperoleh dari alam dengan ukuran 2-5 cm dengan umur 2-3 bulan, menyukai perairan pantai ditandai dengan banyaknya jumlah populasi jenis crustacea diperairan.
Beberapa
data mengenai musim pemijahan ikan kerapu di negara-negara Asia sebagai berikut
:
- Epinephelus tauvina musim pemijahan bulan agustus di Singapura
§
Epinephelus diacanthus
musim pemijahan april sampai mei di Taiwan
§ Epinephelus akaara musim pemijahan juni sampai september di Japan
§ Epinephelus malabaricus musim pemijahan september-november di Thailand
§ Epinephelus microdon musim pemijahan mei sampai september di Japan
§ Epinephelus salmoides musim pemijahan april sampai juni di Japan.
3. STRATEGI REPRODUKSI
3.1. Pemijahan
Pemijahan ikan kerapu dapat di bagi atas 3 yaitu pemijahan alami (natural spawning), pemijahan buatan (stripping atau artificial fertilization) dan penyuntikan atau pijah rangsang (induced spawning). Pada induk ikan kerapu yang telah dewasa kelamin dapat dipijahkan secara alami tanpa ransangan hormon. Induk ikan yang matang telur dimasukan ke dalam tangki pemijahan yang berukuran 3-5 m3 dengan perbandingan jantan dan betina 1 : 1. Tangki ini dilengkapi dengan sistem aerasi yang cukup dan pada siang hari di beri aliran air laut bersih. Pemijahan biasanya terjadi beberapa hari sesudah dan sebelum bulan purnama atau di sekitar bulan gelap dan pemijahan terjadi pada malam hari.
Pemijahan rangsang biasanya dilakukan dengan menyuntikan hormon atau campuran beberapa hormon ke dalam tubuh induk ikan yang akan dipijahkan. Hormon yang umumnya digunakan adalah Human Chorionic Gonadotropin (HCG), Gonatropin, Puberogen (mengandung FSH dan gonadotropin) dan pregnyl. Ekstrak kelenjar hipofisa ikan salmon juga dapat digunakan untuk merangsang pematangan gonad.
Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Bojonegara telah
berhasil memijahkan ikan kerapu macan menggunakan rangsangan kombinasi HCG
dengan Puberogen. Induk ikan kerapu macan yang digunakan berasal dari
pemeliharaan selama 7 tahun di kurungan apung yang diletakkan diperairan Teluk
Banten. Ikan yang digunakan berukuran 4 dan 5 kg induk betina dan 7 kg induk
jantan. Ketiga ikan ini
mula-mula di bius dengan mono-etilene –glikol 100 ppm selama beberapa menit. Pentoksi-etanol
atau minyak cengkeh juga dapat digunakan sebagai obat bius. Setelah ikan
terbius induk betina diperiksa diameter
telurnya dengan cara kanulasi. Penyuntikan dilakukan 3 kali dosis campuran hormon adalah 50 MU Puberogen
dan 250 IU HCG pada penyuntikan pertama. Bila ikan belum memijah dilakukan
penyuntikan ke dua pada hari berikutnya, penyuntikan harus diulangi dengan
dosis 50 MU Puberogen 500 IU HCG. Bila ikan belum memijah
Maka dilakukan penyuntikan ke tiga dengan dosis
50 MU Puberogen dan 750 IU HCG. Ikan ini akan memijah pada hari yang ke tiga di
dalam tangki beton berkapasitas 5 m3.
Selama
ikan bertelur induk tidak boleh di beri pakan, dan apabiula induk telah memijah
harus segera dipindahkan ke tangki yang lain. Telur yang telah dibuahi
berjumlah lebih kurang 1.200.000 butir. Dari jumlah ini diperkirakan hanya 30 %
saja yang dibuahi. Telur yang telah dibuahi tidak berwarna (transparan)
sedangkan yang tidak dibuahi dan yang mati berwarna putih susu. Telur yang
terbuahi melayang atau terapung pada salinitas 33 permil, sebaliknya telur yang
tidak dibuahi akan tenggelam didasar tangki. Telur yang telah terbuahi kemudian
dipindahkan ke dalam tangki feberglass berkapasitas 3m3. Tangki penetasan
ini sebelumnya telah diisi dengan air laut bersih dengan mikro alga dan
zooplankton dilengkapi dengan aerasi. Dimana ukuran telur yang telah dibuahi
adalah 810-880 millimikron. Telur-telur
ini menetas 16-18 jam setelah pembuahan pada suhu 27-28 0C.
3.2. Subtansi Hormon
dalam Reproduksi
Hormon
adalah subtansi yang dihasilkan oleh sel atau kelompok sel yang bergerak dalam
aliran darah yang mengantarnya ke organ target atau jaringan dalam tubuh yang
memberikan suatu reaksi yang dapat menolong mengkoordinasi fungsi-fungsi dalam
tubuh (Sorensen, 1979). Definisi hormon
yang lain adalah suatu zat organik yang diproduksikan oleh sel-sel khusus dalam
tubuh dirembeskan ke dalam aliran darah dengan jumlah yang sangat kecil dapat
merangsang sel-sel tertentu untuk berfungsi.
Salah
satu subtansi hormon reproduksi adalah ekstra hipofisa , dimana ekstrak
hipofisa sangat praktis atau mudah
penggunaannya dalam reproduksi ikan, sederhana dan cukup efektif. Kendalanya adalah sulit untuk melakukan
standarisasi karena hormonnya sendiri dalam tiap butir hipofisa tidak dapat
diketahui dengan pasti (Satyani, 1998). Ekstrak hipofisa dapat juga mengontrol
ekspresi seksualitas termasuk perkembangan
maturasi dan pelepasan gamet dengan pengaruh iklim atau musim dan dapat
merangsang ikan memijah tanpa tergantung musim pemijahan (Lee, 1992).
Hormon steroid dapat berupa testosteron untuk jantan dan estrogen untuk betina. Hormon jenis ini lebih banyaj digunakan dalam perlakuan perubahan kelamin. Hal ini disebabkan karena steroid mempunyai efek “Feetback negative action” yang besar, dimana dapat menghambat pelepasan FSH dan melalui suatu pusat yang di hipotalamus menghambat pelepasan LH dan sintesis androgen atau estrogen dan jika dosis tidak tepat atau terlalu besar dosis dapat menyebabkan ikan menjadi steril (Satyani, 1998).
Cook (1990) menyatakan bahwa hormon-hormon yang terlibat dalam reproduksi berasal dari tiga bagian utama, yaitu (1) hipotalamus, (2) pituari dan (3) gonadotropin. Ketiga bagian utama penghasil hormon-hormon tersebut dapat dilihat pada tabel 1,2,3..dan 4.
Tabel 1. Hormon hipotalamus dan aksinya dalam reproduksi
Sumber |
Hormon |
Organ target |
Aksi |
Hipotalamus |
Gonadotropin
releasing hormon (GnRH) |
Pars
distalis dari adenohipofisa |
Merangsang pelepasan dari FSH dan LH (ICSH) |
Folikel Stimulating Hormon Releasing Hormon
(FSHRH) |
Pars
ditalis dari adenohipofisa |
Merangsang pelepasan dari FSH |
|
Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) atau
Interstial Cell Stimulating Hormon Releasing Hormon (ICSHRH) |
Pars
distalis dari adenohipofisa |
Merangsang pelepasan LH atau ICSH |
|
Prolaktin Inhibitory Hormon (PIH) Oksitosin |
Pars
distalis dari adenohipofisa Kelenjar susu mioepitelium Uterin miometrium |
Penghambat pelepasan PRL Transpor
sperma dan kontraksi otot uterin |
Sumber : Sorensen (1979)
Tabel 2. Hormon pituitari dan
aksinya dalam reproduksi
Sumber |
Hormon |
Organ target |
Aksi |
Adenohipofisa |
Gonadotropin Folikel Stimulating Hormon (FSH)
Luteinizing Hormon (LH) atau Interstial Cell Stimulating Hormone (ICSH)
Prolaktin |
Ovari Testis Ovari Testis |
Pertumbuhan folikel Spermatogenesis Ovulasi dan pembentukan CL Produksi testosteron dan sperma |
Neurohipofisa |
Hormon-hormon tidak diproduksi disini. Oksitosin
sebagai penyimpan dan perangsang |
Miometrium Kelenjar
susu |
Transpor sperma, Proses
kelahira Milk
letdown |
Sumber : Sorensen (1979)
Tabel 3. Hormon gonad dan aksinya dalam reproduksi
Sumber |
Hormon |
Organ target |
Aksi |
Testis |
Androgen
|
Organ seks primer dan sekunder Tubula seminiferous OtotOtak Kelenjar susu |
Pertumbuhan dan perkembangan spermatogenesis Perkembangan
libido Interaksi |
Ovari |
Estrogen |
Organ sek s primer dan sekunder Kelenjar susu Endometrium Jaringan Tubuh Otak Kelenjar
endokrin |
Pertumbuhan dan perkembangan Perkembangan
telur Aktivitas Pertumbuhan Libido Interaksi |
|
Progresteron |
Organ seks primer dan sekunder Kelenjar
susu
Endometrium Kelenjar endokrn |
Pertumbuhan dan perkembangan Perkembangan PembuluhPertumbuhan
garndula Interaksi |
Sumber : Sorensen (1979)
Tabel 4. Hormon-hormon lain dan aksinya dalam reproduksi
Sumber |
Hormon |
Organ target |
Aksi |
Plasenta
(chorion) |
Hormon Chorionic gonadotropin (HCG) |
Gonad |
Kebanyakan
LH atau ICSH dengan beberapa FSH |
A |
Pregnant
mare serum
(PMS) Estrogen Progestogen |
Gonad Organ seks dan kelenjar susu Organ
seks dan kelenjar susu |
Kebanyakan LH atau ICSH dengan beberapa FSH Pertumbuhan
dan perkembangan Pertumbuhan
dan perkembangan |
Sumber : Sorensen (1979)
3.3.
Mekanisme Kerja Hormon
Sebagian besar hormon atau bahkan mungkin semuanya, berikatan dengan reseptor khusus yang terdapat pada sel sasaran. Pengikatan berbagai reseptor menyebabkan suatu pengendalian surut (down regulation) secara otomatis, yakni terjadi pinositosis pada reseptor atau kompleks hormon reseptor yang memperkecil tanggapan yang timbul (Mc Gilvery & Goldstein, 1996).
Sesuai dengan tempat dan proses kerja hormon dalam sel, maka hormon dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu:
(1) Kelompok hormon yang mengawali kerja pada membran plasma, yaitu;
Ketokolamin, prostaglandin dan semua hormon peptida seperti insulin,
Glikogen dan kelenjar hipofisa
(2) Kelompok hormon yang mengawali kerja di dalam inti sel, kelompok
Hormon ini hanya terdapat pada sitoplasma. Kelompok hormon ini men-
Capai inti sel dan mempengaruhi proses dan kecepatan ekspresi gen.
Yang termasuk kelompok ini yaitu: triiodotironin dan semua hormon
Steroid.
Pematangan gonad dan ovulasi ikan merupakan suatu proses di bawah kendali kerja hormon-hormon. Secara umum mekanisme kerja hormon untuk perkembangan dan pematangan gonad merupakan suatu rangkaian. (Gambar 1).
Stimulasi oleh adanya pelepasan Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) dari hipotalamus menyebabkan kelenjar hipofisa mengsekresikan Gonadotropin (GtH) untuk dialirkan ke dalam darah.
Rangsangan untuk mensintesis hormon GnRH diatas diterima oleh hipotalamus dari otak (susunan saraf pusat) melalui reseptor-reseptor yang menerima rangsangan dari luar atau lingkungan. Reseptor penginderaan adalah penerima rangsangan tersebut, seperti visual untuk fotoperiod dan lawan jenis, kemoreseptor untuk suhu, metabolit dan sebagainya. Selain GnRH yang bersifat memacu, maka dalam hipotalamus ini juga dikeluarkan subtansi penghambat pelepasan GtH yaitu dopamin.
Hormon Gonadotropin ini sebagai produk yang dialirkan lewat darah dalam kadar tertentu akan merangsang kematangan gonad akhir melalui simulasi untuk mensintesis hormon-hormon steroid pematangan oleh folikel dalam ovarium atau testis. Pada beberapa spesies ikan hormon Gonadotropin ini ada dua macam yaitu: GtH-1 dan GtH-2 yang berbeda dalam senyawa glikoproteinnya. GtH-1 berperan dalam perkembangan gonad sedangkan GtH-2 berperan dalam pematangan dan pemijahan.
Pada ikan induk jantan, steroid adalah testoteron yang mengontrol pematangan sperma diproduksi oleh sel Leydig pada testis. Banyak sebagian pakar menyatakan bahwa hormon ini mempengaruhi perkembangan kelamin sekunder dan perilaku pemijahan, namun prosesnya belum diketahui dengan jelas. Steroid pada ikan betina berpengaruh langsung kepada pematangan sel telur (oosit) dikenal sebagai estrogen dan disekresi oleh sel interstial folikel di ovarium.
Progesteron yang dikenal sebagai steroid yang dihasilkan oleh sel perifer dari ovarium pengaruhnya hanya pada pematangan akhir oosit saja. Mengenai proses bagaimana steroid-steroid tersebut dapat merangsang pemasakan oosit maupun sperma mekanismenya belum diketahui tetapi diduga melalui tranfer kode terjemahan RNA.
Gambar 1. Skema garis besar pendekatan mekanisme kerja hormon dalam
merangsang pematangan gonad dan pemijahan (ovulasi/spermiasi)
pada ikan (Satyani,
1998).
4. PENUTUP
Ikan kerapu merupakan salah satu ikan laut ekonomis penting yang sekarang banyak dibudidayakan. Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu mempunyai prospek yang cerah, permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri semakin tinggi dengan harga yang sangat memuaskan. Namun kendala utama yang dihadapi adalah ketersediaan benih baik jumlah, kualitas maupun kesinambungannya.Untuk itu perlu dilakukan upaya memproduksi benih ikan kerapu yang terjamin baik jumlah, kualitan serta ketersediaan benih setiap saat. Salah satu cara adalah mempersiapkan sumberdaya manusia agar lebih terampil dan menguasai teknologi reproduksi meliputi strategi reproduksi benih yang tepat dan akurasi, baik secara alamiah maupun reproduksi secara buatan
Pemijahan ikan kerapu dibagi atas 3 yaitu: pemijahan
alami (Natural spawning), pemijahan buatan (Stripping atau artificial
fertilization) dan penyuntikan atau pijah rangsang (Induced spawning). Ikan kerapu merupakan jenis ikan
betipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari
fase betina ke fase jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin ini sangat erat
hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin, dan ukuran. Selain
itu juga aktivitas pemijahan ikan kerapu dipengaruhi oleh peredaran bulan atau
umur bulan (bulan gelap) hubungannya dengan faktor lingkungan, dimana puncak
aktivitas pemijahan terjadi pada malam hari tepat bulan baru (bulan mati).
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, 1996. Pemeliharaan ikan kerapu bebek dengan padat penebaran berbeda. Jurnal penelitian perikanan Indonesia Deptan Jakarta 2 (7-12).
Cook B., 1990.
Hormon-hormon reproduksi, fisiologi reproduksi pada mamalia Universitas
Indonesia Press Jakarta.
Effendie I.M., 2002. Biologi perikanan. Yayasan pustaka nusantara.163 hal.
Kumagai S, Matsuda H, Hutapea J, dan Aslianti, 1998. Morphological and behavioral development in larva Humpback C. altivalis. Kumpulan makalah semi-
nar teknologi perikanan pantai. Loka penelitian perikanan pantai Gondol Deptan. 38 hal.
Lee C.L., 1992. Lecture series in mariculture. Lavalin
International Inc. Manado.
Marsambuan A.P.dan Utojo, 2001. Identifikasi spesie ikan kerapu hasil tangkapan yang didaratkan diperairan laut sekitar Sulawesi Selatan. Teknologi budida
laut dan pengembangan sea farming di
Indonesia. DKP kerjasama JICA.
Mayunar, Purba R, Waspada, dan Slamet, 1995. Aplikasi pellet hormone LHRH dalam Pematangan gonad dan pemijahan ikan kerapu macan E. fuscoguttatus. PSPPBP. Perikanan budidaya pantai Serang.
Mcgilvery, Robert W, dan
Gerald W. Golstein 1996. Biokimia; suatu pendekatan fungsional, edisi ke-3 Airlangga
Universitas Press Jakarta.
Satyani, 1998. Aplikasi hormone sebagai perangsang dalam pemijahan ikan untuk peningkatkan produksi dalam pembenihan ikan budidaya. Warta peneli-
tian Perikanan Indonesia Jakarta 2-5 hal.
Setiadi
E. dan Tridjoko, 2001. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan sintasan dan
laju pemangsaan larva ikan kerapu bebek C.
altivelis. Teknologi budidaya laut dan pengembangan
sea farming di Indonesia. DKP bekerjasama dengan JICA
235-245 hal.
Slamet B, Tridjoko, Nyoman A, Giri, Agus P, dan Setiadharma T, 2001. Pengamatan Aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu. Teknologi budidaya Laut dan pengembangan sea farming di Indonesia DKP kerjasama dengan JICA 246-251.
Sorensen A., 1979. Animal reproduction. Principle and practices New York.
Sugama K., 1999. Iventarisasi dan identifikasi budidaya laut dan pantai yang telah di kuasai untuk diseminasi. Seminar nasional penelitian dan diseminasi tek-
nologi budidaya laut. 61-72 hal.
Turangan H.F., 2000. Manipulasi reproduksi pada ikan kerapu Epinephelus sp. dengan hormonal. FPIK Unsrat Manado. 27 hal.
Wardana I.P., 1994. Pembesaran
kerapu dengan keramba jarring apung. Penebar Swadaya Jakarta. 65 hal.