ă 2002 Sri Wahyuni                                                                                                     Posted  24 November, 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2002

 

Dosen :

Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

EVALUASI MUTU PRODUK IKAN TERI (Stolephorus sp.) ASAP

 YANG DIOLAH SECARA TRADISIONAL PADA TIKUS Wistar 

 

Oleh :

 

 Sri Wahyuni

(F261 02 0041/IPN)

E-mail: swahyuni@telkom.net

         

PENDAHULUAN

          Indonesia  sebagai negara kepulauan mempunyai potensi yang cukup besar sebagai sumberdaya perikanan laut. Potensi sumberdaya ikan di laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.7 juta ton per tahun (BBPMHP, 1996).  Khusus potensi sumberdaya ikan teri di Indonesia, terdapat kenaikan produksi 11.73% selama tahun 1990-1993 (Direktorat Jenderal Perikanan, 1995). Sedangkan produksi ikan teri di Propinsi Sulawesi Tenggara selama tahun 1995-1996 terdapat kenaikan dari 5.780 ton menjadi 6.133 ton (Badan Statistik Sulawesi Tenggara, 1996).

          Dengan semakin meningkatnya produksi, maka diperlukan suatu penanganan pasca panen yaitu pengawetan yang memadai agar nilai kenaikan produksi yang telah diperoleh tidak sia-sia. Pengawetan ini diperlukan untuk memperpanjang masa simpan  ikan terutama di saat-saat musim ikan melimpah.   Pada saat  tersebut  harga  ikan sangat murah tetapi permintaan konsumen tidak meningkat, sehingga ikan tidak habis dipasarkan dalam keadaan segar.  Berbagai faktor penghambat pemasaran ikan tersebut antara lain transportasi  yang terbatas dan belum lancar,  serta letak daerah konsumen yang jauh. Fenomena  inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat Buton di Propinsi Sulawesi Tenggara untuk mengupayakan suatu bentuk pengawetan hasil tangkapan ikan teri yang jumlahnya meningkat pada musim ikan.

          Untuk mencegah terjadinya pembusukan pada ikan hasil tangkapan nelayan selain dilakukan pengasinan, juga sering dilakukan pengasapan yang dikenal dengan berbagai nama (Hartono,1980).  Di Maluku ikan asap Cakalang disebut ikan fufu, di Sumatera disebut ikan salai dan di daerah Buton ikan teri asap  disebut ikan kaholeo.

          Pada dasarnya, ada dua tujuan utama dalam pengasapan ikan. Tujuan pertama untuk mendapatkan daya awet, tujuan kedua untuk memberikan aroma yang khas (Wibowo,1995). Dilihat dari prosesnya, pengasapan merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi  perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami.

          Pada empat dasawarsa terakhir, perbincangan  terhadap asap sebagai agen penyebab kanker (karsinogen) dan perubahan gen (mutagen) makin marak, karena adanya kandungan senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) dalam asap yang salah satunya timbul pada proses pengasapan ikan. Senyawa HAP tersebut ternyata tidak hanya bersumber pada produk ikan asap,  tetapi juga bersumber dari makanan olahan lain seperti roti, biskuit, dan  kopi, namun dibandingkan dengan makanan olahan lain tersebut, kandungan HAP pada ikan asap masih tergolong rendah (Maga, 1988; Sikorski, 1989; Muchtadi, 1989; Wibowo, 1995;  Astawan, 1996).  Oleh sebab itu peluang ikan asap untuk menjadi jenis makanan yang digemari semakin terbuka. Demikian pula dengan prospek ikan teri asap yang disebut sebagai ikan kaholeo yang sangat populer dikonsumsi oleh masyarakat Buton di propinsi Sulawesi Tenggara.

          Publikasi mengenai ikan teri asap masih sangat sedikit, sehingga informasi dalam paper ini diharapkan dapat mengungkapkan lebih banyak informasi mengenai kualitas dan nilai gizi ikan teri asap yang diolah  secara tradisional, terutama setelah diuji secara biologis menggunakan hewan percobaan. 

 

 

 

METODOLOGI

 

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah : Ikan teri asap yang dibuat dari bahan baku ikan teri (Stolephorus indicus) segar dan bahan kimia untuk analisis mutu dan nilai gizi, serta tikus putih strain Wistar.   Peralatan yang digunakan  untuk pengasapan adalah  para-para bambu, serta peralatan lain untuk analisis nilai gizi dan  analisis lain yang menggunakan hewan percobaan.

 

B. Pembuatan ikan teri asap

          Ikan teri asap (kaholeo) dibuat dengan teknologi  pengolahan yang sangat sederhana dengan tahapan pencucian ikan teri segar, penghamparan di atas para-para bambu, pengasapan pada kondisi tertutup selama 3 jam dengan bahan bakar yang berbeda, dan pengemasan.

 

C. Uji Biologis  dengan Tikus Percobaan

          Uji biologis dilakukan  menggunakan hewan percobaan tikus putih strain wistar, dengan kondisi sebagai berikut : Tikus percobaan yang digunakan terdiri dari lima perlakuan berdasarkan sumber protein ransum.  Ransum disiapkan menurut aturan AOAC, 1990.

          Sebelum memulai uji biologis, tikus terlebih dahulu diadaptasikan selama 3-4 hari dalam kandang metabolik yang diberi ransum kasein. Pemberian ransum dilakukan secara ad libitum sebanyak 10 - 15 gram berat basah.  Demikian pula air minum diberikan secara ad libitum.

          Setelah  masa adaptasi, ransum diberikan kepada tikus setiap hari (pukul 13..30) sesuai dengan perlakuan,  berat badan tikus dicatat setiap dua hari.  Feses dan urin dikumpulkan setiap hari. Feses dikeringkan pada suhu 115o C selama tiga jam, lalu dihaluskan, ditimbang sehingga diperoleh berat kering total feses.   Urin disaring dan disimpan pada suhu 4oC.   Ke dalam botol yang berisi urin ditambahkan 1 ml H2SO4  10%.  Penentuan kandungan nitrogen urin dan feses dilakukan secara  mikro Kjedahl. Selanjutnya dilakukan analisis nilai gizi protein dengan parameter protein efficiency rasio (PER)  dan daya cerna semu (DC) dengan menggunakan jenis protein kasein sebagai kontrol protein standar. Analisis kandungan kolesterol  plasma terdiri atas : Analisis  kadar Total Kolesterol, kolesterol HDL, LDL dan kadar trigliserida berdasarkan katalog Boehringer Mannheim Gmbh Diagnostica (1996). Analisis histopatologis dilakukan dengan parameter berat organ hati tikus dan pengamatan sel-sel hati dari preparat organ hati tikus.

 

D. Rancangan Percobaan

          Pada uji biologis dengan tikus percobaan digunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan lima perlakuan berdasarkan sumber proteinnya. Sebagai kontrol digunakan kasein. Setiap perlakuan tersebut dilakukan pada 6 tikus percobaan sebagai ulangan.   Kelima Perlakuan yang diujikan adalah : Perlakuan A = Sumber protein kasein (Kontrol); B =  Sumber protein dari ikan teri kering; C = Sumber protein dari ikan teri yang diasapi dengan bahan bakar kayu; D = Sumber protein dari ikan teri yang diasapi dengan bahan bakar sabut dan tempurung kelapa ; E = Sumber protein dari ikan teri yang diasapi dengan kombinasi bahan bakar kayu dan sabut serta tempurung kelapa.

 

E. Analisis Statistik          

          Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan Analisis sidik ragam dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) yang selanjutnya dilakukan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat perbedaan perlakuan dan interaksinya pada taraf  = 0.01 atau 0.05 (Steel dan Torrie, 1980).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Evaluasi Nilai Gizi Protein Ikan Teri Asap dengan Tikus Percobaan

          Uji in vivo menggunakan tikus putih dilakukan terhadap ikan teri kering, ikan teri asap yang mendapat perlakuan jenis bahan bakar yang berbeda dengan kondisi pengasapan tertutup dan lama pengasapan 3 jam.  Kondisi ini dipilih karena merupakan kondisi pengasapan yang sering digunakan dalam pengolahan tradisional. Sebagai kontrol digunakan kasein.  Hasil uji in vivo terhadap ikan teri kering, ikan teri asap pada tikus disajikan dalam bentuk nilai PER (Protein efficiency ratio) dan Daya cerna semu (DC).

 

1. Pertambahan Berat Badan Tikus Selama Percobaan

Untuk menetapkan komposisi ransum hewan percobaan, dilakukan analisis proksimat pada bahan yang akan diujikan sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Dengan hasil analisis tersebut, komposisi ransum per 100 g dapat ditentukan.

 

Tabel 1. Hasil analisis proksimat sampel yang digunakan dalam Uji In Vivo

 

Perlakuan

  Kd. air

   (%bb)

   Protein

   (% bb)

 Lemak

 (% bb)

   Abu

 (% bb)

  serat

  (% bb)

Kasein (A)

Ikan teri kering (B)

Ikan asap kayu (C)

Ikan asap sabut (D)

Ikan asap kombinasi(E)

6.99

7.57

7.99

8.61

8.70

   77.94

   71.04

   67.94

   68.34

   71.43

   0.37

   4.24

   5.24

   5.56

   4.99

    6.74   

    9.04

    9.99

  10.40

    9.66

     0.43

     8.08

     8.85

     7.09

     5.27

 

 

          Hasil uji in vivo terhadap ikan teri kering dan ikan teri asap pada tikus disajikan dalam bentuk PER (protein efficiency ratio) dan daya cerna semu (DC).   Hasil pengamatan kumulatif ransum yang dikonsumsi dan pertumbuhan  tikus selama 28 hari percobaan  disajikan pada Gambar 1.       Pada Gambar 1 tampak ada kecenderungan bahwa ikan teri yang diasap dengan bahan bakar sabut dan tempurung kelapa (D) serta kombinasi bahan bakar kayu dan sabut kelapa  (E) lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan ikan teri asap dengan bahan bakar kayu (C), ikan teri kering (B) serta kasein (A). Hasil ini mengindikasikan bahwa konsentrasi asap dan suhu pembentukan asap yang lebih tinggi pada perlakuan yang menggunakan bahan bakar sabut dan tempurung kelapa, kombinasi kayu dan sabut kelapa menyebabkan intensitas warna dan rasa keasapan lebih besar sehingga lebih disukai dan lebih banyak dikonsumsi. Untuk ikan teri kering dijumpai pertambahan berat badan tikus yang paling kecil. Hal ini berkaitan dengan aroma ikan teri asap yang lebih menarik daripada ikan teri kering, sehingga konsumsi ikan teri asap yang menggunakan bahan bakar kayu lebih banyak dibanding ikan teri kering, yang berimplikasi pada pertambahan berat badan yang lebih rendah pada tikus yang mengkonsumsi ikan teri kering.      Hal ini menunjukkan tingkat kesukaan tikus yang dipengaruhi oleh bau dan citarasa pada ikan teri asap lebih tinggi daripada ikan teri kering, sehingga berpengaruh pada pola pertambahan berat badan.

 

Gambar 1. Grafik Pertambahan Berat Badan Tikus Berdasarkan Jenis

Ransum Selama Percobaan

 

2. Protein Efficiency Ratio (PER)

 

Tabel 2. Nilai PER dan Daya Cerna Tikus Percobaan yang   mendapat ransum

ikan  teri asap yang dibandingkan dengan ikan teri kering dan kasein.

     

KelompokPerlakuan

Jumlah Ransum yang dikonsumsi

  (g)

Pertambahan Berat Badan (g) 

Nilai

PER

Nilai Daya Cerna Semu (DC) (%)

 

A

B

C

D

E

167.63

130.82

162.30

201.46

192.45

57.23

27.30

58.55

66.20

54.72

3.40a

2.05b

3.55a

3.27a

2.83ab

91.30a

92.07a

92.30a

91.82a

90.92a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama  menunjukkan tidak berbeda nyata  (P< 0.05 )

 

          Hasil uji proksimat terhadap kadar protein ikan teri kering sebenarnya relatif lebih tinggi (76.83 %bk) dari kadar protein ikan teri asap yang diuji (73.61 %bk, 74.74 %bk dan 77.85 %bk), tetapi dalam pengukuran nilai PER, sangat berperan tingkat kesukaan tikus dalam mengkonsumsi ransum yang akan berakibat pada pertumbuhan berat badan yang lebih besar.  Hasil pengukuran nilai PER ikan teri kering memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibanding ikan teri asap dan kasein. Fenomena ini merupakan salah satu kelemahan metode PER dalam mengevaluasi nilai gizi protein.

          Faktor lain yang ikut menentukan kualitas dari protein adalah nilai TVBN yang dimiliki, semakin rendah nilai TVBN mutu protein yang diuji semakin baik. Dari hasil pengukuran nilai TVBN, ternyata nilai TVBN ikan teri kering hampir sama dengan nilai TVBN ikan teri asap. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas protein dari ikan teri kering sebanding dengan kualitas protein ikan teri asap.

 

3. Daya Cerna Semu (DC)

          Tingginya daya cerna pada semua perlakuan yang diujikan pada tikus percobaan diduga karena kualitas protein ikan teri yang diolah dengan proses pengasapan dan tanpa pengasapan belum banyak mengalami kerusakan akibat pengolahan sehingga daya cerna dari tikus-tikus yang mengkonsumsinya tidak berbeda.

 

 

C. Pengaruh Konsumsi Ikan Teri  Asap dan Teri Kering Terhadap Kadar  

     Kolesterol Plasma Tikus

                     

Tabel 3.  Kadar Kolesterol Plasma Tikus Percobaan yang Diberi Ransum

Ikan Teri Asap yang Dibandingkan dengan Ikan Teri Kering

dan Kasein (mg/dl).

 

Perlakuan

Total Kolesterol*

Kolesterol

 HDL *

Kolesterol

Trigliserida**

Kolesterol

LDL*

        A

        B

        C

        D

        E

 118.75 a

 119.08 a

 131.58 a

 122.62 a

 108.15 a

39.66 ab

30.55 b

53.83 a

38.61 ab

31.54 b

94.61 b

71.32 b

155.59 a

79.60 b

111.78 ab

60.19 a

74.27 a

97.34 a

63.44 a

54.25 a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata. * (P< 0.05),   ** (P< 0.01)

 

          Secara umum hasil analisis total kolesterol, kolesterol HDL,  kolesterol LDL, dan Trigliserida plasma masih rendah, yaitu rata-rata berada di bawah kadar 200 mg/dl. Hasil ini memberikan implikasi bahwa konsumsi ikan teri  yang diolah dengan pengasapan maupun tanpa pengasapan ternyata tidak mengakibatkan tingginya kadar kolesterol darah. Hal ini mungkin disebabkan kadar lemak ikan teri relatif rendah (sekitar 4 - 6 %bk) bila dibandingkan dengan kadar lemak pangan hewani lainnya.

          Beberapa hipotesis mengenai hipokolesterolemia, antara lain dari hasil penelitian Muchtadi et al. (1985) bahwa rendahnya kadar kolesterol dalam darah tikus yang menerima ransum kotiledon rebus dan tempe saga mungkin disebabkan karena tingginya perbandingan arginin dan lisin dalam proteinnya, yaitu 1.57% dan 1.21%. Bila dilihat dari perbandingan asam amino arginin dan lisin ikan teri  kering sebesar 1.36%, ikan teri asap kelompok C sebesar 0.78%, ikan teri asap kelompok D sebesar 0.75%, dan ikan teri asap kelompok E sebesar 59.1%. Ternyata kadar rata-rata perbandingan arginin dan lisin dalam ikan teri lebih rendah dari perbandingan arginin dan lisin dalam tempe saga sehingga kadar kolesterol darah tikus lebih tinggi.

          Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa peningkatan kadar kolesterol total tidak selalu diikuti dengan peningkatan kadar HDL, LDL dan trigliserida plasma darah. Ini berarti bahwa tingginya kadar total kolesterol dalam salah satu kelompok perlakuan tidak selalu berarti bahwa kadar LDL dan HDL serta trigliserida yang dimilikinya pasti tinggi pula.  Hasil penelitian ini semakin menegaskan bahwa diet ikan laut ternyata mempengaruhi kadar kolesterol total, HDL, LDL dan trigliserida darah tikus, seperti hasil penelitian Narfila (1994) bahwa tikus yang diberi ransum mengandung ikan tuna 10% mampu menurunkan kadar kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida plasma.

 

C. Uji Histopatologis Organ hati Tikus

          Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap berat hati dan berat relatif hati untuk mengetahui pengaruh konsumsi ikan teri asap yang  selama proses pengolahan mengalami reaksi pencoklatan terhadap organ hati tikus.  Organ hati  merupakan pusat detoksifikasi, sehingga bila ada zat asing yang berbahaya masuk ke dalam tubuh maka organ hati yang lebih dahulu dipengaruhi.  Pengaruh ini antara lain menyebabkan meningkatnya berat organ hati dari berat normalnya (O’Brien dan Walker, 1988 yang dikutip oleh Francoise et al., 1992).

 

Tabel 4.   Hasil  Analisis  Organ Hati Tikus Percobaan yang Diberi Ransum

Ikan Teri Asap Dibandingkan dengan Ikan Teri Kering dan Kasein

Perlakuan

 Berat Hati *

  (gr)

Berat Relatif Hati **

 (Berat hati/100 g BB)

A

B
C

D
E

4.29 a

3.43 a

5.15 a

4.51 a

4.33 a

4.13 b

4.17 b

4.77 a

3.67 b

3.92 b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata  *(P<0.05),    **(P<0.01)

 

          Jika dilakukan pengujian terhadap berat relatif hati (dibandingkan dengan masing-masing berat badan tikus),  ternyata tikus kelompok C memiliki berat relatif hati yang berbeda nyata dengan berat relatif hati tikus kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus di dalam kelompok C memiliki organ hati yang relatif lebih berat daripada tikus-tikus di kelompok  lainnya.

          Senyawa hidrokarbon polisiklik yang terbentuk pada ikan asap sebenarnya masih tergolong rendah, oleh karena itu tidak membahayakan konsumen yang mengkonsumsinya (Muchtadi, 1989; Astawan, 1996). Pernyataan tersebut mendukung hasil pengujian histopatologis terhadap organ hati tikus yang mengkonsumsi sumber protein dari ikan teri asap pada penelitian ini, tidak memiliki perbedaan profil struktur dan susunan sel dengan organ hati tikus yang mengkonsumsi sumber protein ikan teri kering dan kasein sebagai kontrol.

KESIMPULAN

         

          Perkembangan berat badan kelompok tikus yang diberi ransum yang mengandung ikan teri asap yang diolah dengan menggunakan bahan bakar sabut dan tempurung kelapa lebih baik dibanding dengan perlakuan lain.  Sedangkan kelompok tikus yang mengkonsumsi ransum yang mengandung ikan teri kering memiliki perkembangan berat badan yang terendah.  Kelompok tikus yang mendapat ransum C (ikan teri asap menggunakan bahan bakar kayu) memperlihatkan nilai PER yang tertinggi (3.40), yang juga memiliki daya cerna yang cukup tinggi (92.30%).  Sedangkan analisis terhadap kolesterol plasma darah menunjukkan bahwa kelompok tikus yang mendapat ransum ikan teri asap yang dibuat dengan menggunakan bahan bakar kayu (kelompok C) memiliki total kolesterol, kolesterol HDL, trigliserida dan kolesterol LDL  plasma yang tertinggi dengan nilai berturut-turut 131,58, 53.83, 155.59 dan 97,34 mg/dl.  Perlakuan ini juga memiliki berat organ hati yang tertinggi yaitu 5.15 gram.

 

 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

AOAC, 1990.  Official Methods of Analysis.  Association of Official Analytical Chemist. Inc. Arlington, Virginia

 

Astawan, M., 1996. Ikan Asap Bercita-rasa Menawan. Majalah Selera, 10(10) 68-70.

 

Badan Statistika Sulawesi Tenggara,  1996. Sulawesi Tenggara dalam Angka.

 

Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, 1996. Pemetaan Jenis Olahan Tradisional di Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

 

Boehringer Ingelheim Gmbh Diagnostica (1996). Katalog Kit Proses Pengujian Kolesterol. PT. Boehringer Ingelheim Gmbh, Bogor.

 

Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Statistik Perikanan Indonesia 1993. No. 23.

            Departemen Pertanian. Jakarta.

 

Francoise, I.J.,  G.F. Russell,  and B. O. Schneeman., 1992. Effect of maillard reaction product on bile acid binding, plasma and hepatic lipids, and weight of gastrointestinal organs. J. Agric. Food. Chem., 40, 1634-1640.

 

Hartono, R., 1980. Teknologi Hasil Perikanan. Sekolah Perikanan Menengah Negeri. Bogor.

 

Maga, J.  A., 1988.  Smoke in Food Processing. CRC Press. Florida.

 

Muchtadi, D., P. Besancon dan B. Possonpes, 1985. Studi mengenai biji Saga III. Pengaruh Pengolahan Tradisional terhadap Nilai Gizi dan Akibat Fisioilogis lainnya. Forum Pascasarjana, 3(8): 65 : 65 - 74.

 

Muchtadi, D., 1989.  Aspek Biokimia Pangan dan Gizi dalam Keamanan pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

 

Muchtadi, D., 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor

 

Muchtadi, D., N. S Palupi, M. Astawan, 1993. Metabolisme Zat Gizi.  Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

 

Narfila, A.,  1994. Pengaruh Diet Ikan Laut terhadap Kolesterol Plasma Tikus Putih Strain  Wistar. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

 

Opstvedt,  1989.  Influence of drying and smoking on protein quality. In J.R. Burt. (ed) Fish Smoking  and Drying.  Elsevier Applied Sci., London.

 

Pearson, A.M. and F.W. Tauber., 1973. Processed Meats, 2 nd ed . Avi  Publishing  Company. Inc. Westport. Connecticut.

 

Sikorski, Z.E., 1989.  Smoking of fish carcinogens. In  J.R. Burt. (ed).  Fish Smoking and Drying. Elsevier Applied Sci. London

 

Soekarto, S.T., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhrathara Karya Aksara, Jakarta

 

Steel. R.G. and J.H. Torrie., 1980. Principles and Prosedures of Statistics : A Biometrical  Approach. 2nd ed. Mc Graw-Hill, Kogakusha. Ltd., Tokyo, Japan.

 

Wibowo, S., 1995.  Industri Pengasapan Ikan.  Penebar Swadaya,  Jakarta.