ã 2002 Sayu Putu Yuni Paryati Posted 31 December 2002
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Desember 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
PATOGENESIS
MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH
YANG
DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus
Oleh
Sayu
Putu Yuni Paryati
B161020061
E-mail : yunisayu@yahoo.com
PENDAHULUAN
Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada
peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis
banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai
70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya
residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja,
pengafkiran, meningkatnya
biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada
sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan
intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval 1997).
Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, di
antaranya adalah bakteri. Salah satu
bakteri penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Dengan terapi
antibiotika, S. aureus dapat
dimusnahkan dari permukaan kulit ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan
ikat yang lebih dalam dan ini menyebabkan S.
aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan
Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996).
Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh
plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga
disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau
bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa
minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Penelitian mengenai patogenesis mastitis
subklinis yang disebabkan oleh S.
agalactiae telah dilakukan menggunakan mencit sebagai hewan model
(Estuningsih 2001). Demikian juga patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara
dan Nakamura 1998) serta mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah diteliti secara in vitro menggunakan biakan jaringan
(Purnami 1999), namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis penyakit yang
disebabkan oleh S. aureus pada kasus
mastitis subklinis secara in vivo.
Berbagai kendala mungkin dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis
subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, sehingga perlu dilakukan
penelitian pada hewan lain yang mungkin dapat dijadikan model untuk sapi. Dalam
penelitian ini akan digunakan mencit sebagai hewan model.
Hipotesis
1.
Ada perubahan
struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis
akibat infeksi bakteri S. aureus.
2.
Terjadi variasi
kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu
infeksi.
3.
Mencit dapat
digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis
yang disebabkan oleh S. aureus pada
sapi.
TINJAUAN
ONTOLOGI MASTITIS PADA SAPI PERAH
Pengertian Mastitis
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal
kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di
seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau
lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala
peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan
eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat,
kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu
peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui
pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah
sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Berdasarkan respon
radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi : mastitis perakut, akut,
sub akut, subklinis dan kronis (Hurley dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson
1991). Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu
kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley
dan Morin 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan
mastitis subklinis (Wibawan et al.
1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya
mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993).
Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan
jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik
pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and
Macmillan 1979).
Penyebab
Mastitis Subklinis Staphylococcus aureus
S.
aureus tersebar luas di
dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa
hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob,
katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan
agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik
pada suhu 37° C dan mati apabila dipanaskan pada
suhu 80° C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus
yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein
yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin
hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991).
Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan
inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan,
misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul
dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear
; (4). Substansi biokimia, seperti :
carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam
fagosit ; (5). Protein A, coagulase
dan clumping factor untuk
menghindarkan diri dari respon imun inang. S.
aureus dengan coagulase negatif
terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984)
; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar
1998).
S.
aureus mempunyai arti
penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena bakteri ini dapat menyebar
ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting
ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini
untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar
1997). S. aureus dapat dimusnahkan
dari permukaan kulit ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap
tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet
dan Eastridge 1992 ; Arpin et al.
1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh
plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga
disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau
bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa
minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal pula sebagai bakteri
komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host
specific”, artinya ada kaitan antara biotipe dengan spesies inang (Hajek
dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan
flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian
atas, kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S.
aureus banyak ditemukan pada cairan bronchoalveolar
(Hensel et al. 1994).
Kemampuan S. aureus menginvasi
dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovascular
yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel.
Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).
Histopatologi
Mastitis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya
peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu.
Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat
(Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak
ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada
mastitis subklinis yang disebabkan oleh S.
agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan
menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel
epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa
berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon
peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi
proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah
diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri
terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).
TINJAUAN EPISTEMOLOGI MASTITIS SUBKLINIS
Tinjauan epistemologi mastitis subklinis pada sapi perah akan
menjelaskan mengenai mekanisme kejadian penyakit serta patogenesis bakteri S. aureus sebagai penyebab mastitis
subklinis yang umum dijumpai pada sapi perah. Patogenesis
penyakit dijelaskan berdasarkan gambaran histopatologi dari kelenjar ambing
mencit sebagai hewan model dalam penelitian ini.
Histologi Kelenjar Ambing
Struktur
kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma (connective
tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu
ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid.
Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel myoepitel yang bersifat
kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan
ikat membrana basalis. Pembuluh darah
dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa
alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung
dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke
glandula sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol
bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas fungsionalnya. Pada keadaan
kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila
aktif menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu
dicurahkan ke dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan
ukuran yang jauh lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991).
Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak
serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo dan Russo 1996).
Pada mencit, masa laktasi
berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung strain mencit dan sekresi susu
maksimal terjadi antara 12-13 hari post
partus. Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol
mulai menurun aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi
kumpulan struktur massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai
diisi dengan jaringan lemak (fat pad).
Patogenesis
Mastitis
Duval
(1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa
tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme
mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme
akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka (Gambar 1). Tahap
berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama
ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi
mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini
gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat
memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Gambar 1. Jalan masuk bakteri melalui puting ambing menuju
kelenjar susu (Hurley dan Morin 2000).
Penelitian
pada mencit yang diinfeksi dengan S.
aureus, memperlihatkan bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi
ketika terjadi interaksi antara neutrofil dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar ambing. Fagositosis
bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi. Setelah 12
jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang bersifat
degeneratif, mengakibatkan S. aureus
dapat mencapai lumen alveol dan terjadi peningkatan jumlah bakteri
ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing
diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami
vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas
pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,
seperti prostaglandin, leukotrine,
protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas
kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada
ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis,
sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan
yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Paryati
(2002) menyatakan bahwa infeksi bakteri S.
aureus dengan dosis infeksi pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan
jaringan ambing secara klinis. Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi
dengan S. aureus tidak menampakkan
adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting
tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng.
Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit
berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak
memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan
tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol. Aktivitas makan
dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus tidak menimbulkan perubahan secara klinis.
Ketika
kulit bagian ventral mencit dibuka,
tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada
mencit yang diinfeksi S. aureus. Hal ini
terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi.
Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok
mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan
ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada
kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca
infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan
dari kelenjar ambing.
Pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam
pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan edema jaringan interstitium dan
pembendungan pembuluh darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai
mengalami hiperplasia. Struktur kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda
nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelenjar ambing mencit kontrol.
Susunan kelenjar masih dalam batas normal.
Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan
interstitium dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh
darah disertai dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap
infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN)
pada jaringan interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam
batas normal (P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus sebagai akibat dari
adanya hambatan pengaliran susu.
Hasil uji statistik memperlihatkan struktur kelenjar ambing kelompok
mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan struktur kelenjar yang
berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam
p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok 72
dan 96 jam p.i. Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit
60 sampai 96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan
adanya pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat
terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen
alveol dan keutuhan epitel menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam
mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan susu di dalam lumen alveol dapat
pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika disertai dengan terjadinya
degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan pengaliran susu dapat terjadi
jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat banyaknya reruntuhan sel pada
sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i.
(Paryati 2002).
Selanjutnya dijelaskan bahwa penurunan sekresi susu juga tampak nyata
(P<0,05) pada kelompok mencit 60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan
kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan sekresi susu terjadi karena berkurangnya
jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi kelenjar alveol.
Hurley dan Morin (2000) lebih lanjut menjelaskan,
bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan kelenjar ambing
untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah : jaringan yang menjadi kurang
efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada kelenjar dan adanya PMN yang
tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah melindungi bakteri dari proses
penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan karena adanya komponen lipid
pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor Fc pada leukosit, menyebabkan
degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat
menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti
bakteri. Kemampuan PMN dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat
menurun pada keadaan defisiensi vitamin E atau selenium.
Pemusnahan
bakteri melalui sistem oxygen respiratory
burst membutuhkan oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu
jauh lebih rendah daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga
glukosa sebagai sumber energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal
untuk fagositosis diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu
mengandung komponen opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang
relatif sedikit dan dalam susu hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan
Morin 2000).
Pengujian hipotesis
Suriasumantri
(1999) menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah langkah-langkah dalam proses
pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris
dengan penghubung berupa hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik
secara rasional dalam sebuah kerangka berpikir yang bersifat koheren dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya dan hipotesis tersebut berfungsi sebagai jawaban
sementara terhadap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah.
Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah kenyataan
empiris sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat.
Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis
yang telah dibuat dapat diterima, artinya bahwa pernyataan yang terkandung
dalam hipotesis tersebut dianggap benar, yaitu :
1
Ada perubahan
struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis
akibat infeksi bakteri S. aureus.
2
Terjadi variasi
kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu
infeksi.
3
Mencit dapat
digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis
yang disebabkan oleh S. aureus pada
sapi.
TINJAUAN AKSIOLOGI PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA
SAPI PERAH
Selama ini,
penanggulangan terhadap kasus mastitis hanya ditujukan untuk membasmi agen
penyebabnya, misalnya dengan pemberian antibiotika dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini telah diketahui banyak menimbulkan efek samping, di antaranya
akumulasi residu antibitika dalam produk hewan yang dapat merugikan masyarakat
konsumen, disamping juga faktor biaya yang relatif mahal. Pengobatan biasanya
hanya dilakukan pada hewan-hewan yang secara klinis menunjukkan gejala sakit.
Namun kenyataan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa
hewan yang secara klinis terlihat sehat bukan berarti bahwa dalam tubuhnya
tidak terjadi perubahan yang secara ekonomi dapat merugikan. Sebagai contoh
dalam penelitian ini, bahwa mastitis subklinis tidak memperlihatkan gejala pada
inangnya, namun terjadi penurunan sekresi susu yang diakibatkan oleh adanya
infeksi oleh S. aureus. Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting
ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan
tanduk puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi (Jonsson dan
Wadström 1993).
Dengan mengetahui patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis
subklinis, dapat dijelaskan bagaimana
mekanisme bakteri dalam menimbulkan kerusakan pada jaringan inangnya. Dengan
demikian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pencegahan
mastitis tanpa penggunaan antibiotika, misalnya pemanfaatan S. aureus sebagai kandidat vaksin yang
dapat mencegah adhesi bakteri pada sel inang atau menggertak kekebalan spesifik
dan non spesifik inang dalam upaya penanganan mastitis subklinis. Selanjutnya,
penggunaan obat-obatan seperti antibiotika yang diketahui mempunyai berbagai
macam efek samping pada ternak maupun pada masyarakat konsumen dapat dikurangi
atau bahkan ditiadakan.
Penggunaan mencit sebagai model untuk
penelitian penyakit pada sapi , khususnya penyakit yang menyerang ambing dapat
dipertimbangkan mengingat bahwa mencit mempunyai struktur kelenjar yang sama
dengan sapi. Hal ini berarti dapat menekan biaya penelitian karena harga mencit
relatif murah dan mudah didapat.
PENUTUP
Gambaran histopatologi kelenjar ambing
mencit yang secara klinis tidak menunjukkan adanya peradangan (mastitis) pada
kenyataannya menunjukkan adanya perubahan struktur dari kelenjar berupa
degenerasi, nekrosis dan atrofi. Perubahan ini berpengaruh terhadap sekresi susu,
baik secara kuantitas maupun kualitas, ditunjukkan oleh adanya lumen kelenjar
yang kosong dan berkurangnya kelenjar yang aktif.
Mencit memiliki struktur kelenjar yang
sama dengan kelenjar ambing mencit, sehingga dapat disimpulkan bahwa mencit
dapat digunakan sebagai hewan model untuk penelitian pada sapi perah. Namun
demikian, perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi sebagai
studi banding. Dan penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu dikembangkan, misalnya
dengan menggunakan teknik imunositokimia, mikroskop elektron ataupun dengan
pewarnaan khusus lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson JC, Chandler RL. 1975.
Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological,
Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.
Arpin C, Lagrange I,
Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996.
Epidemiologycal study of an outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and streptogramin A
in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bramley AJ. 1991.
Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J.
(62) : Suppl. 1, 3-11.
Duirs GF, Macmillan
KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production, age and
mastitis organisms in individual cows. Proceedings
of the New Zealand Society of Animal Production. 39:175-179.
Duval J. 1997.
Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm.
[15-12-2000].
Estuningsih S. 2001.
Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis
mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus
agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.
Godkin
A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis
: A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. agodkin@omafra.gov.on.ca.
[22-10-1998].
Hajek V, Marsalek E. 1971. The
Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic
Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182
Haraldsson I, Jonsson
P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.
Hensel A, Ganter M,
Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic
Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.
Hoblet KH, Eastridge
ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy
Guide Leaflet. Ohio.
Hurley WL, Morin DE.
2000. Mastitis Lesson A.. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes
aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].
Hurley WL. 2000.
Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes
aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [17-11-2001].
Jonsson P, Wadström
T. 1993. Staphylococcus in :
Pathogenesis of bacterial infections in animals. Second edition. Edited by
Carlton LG. and Charles O.T. Iowa State University Press. Ames : 21 – 35.
Kirk JH, De Graves F, Tyler J.
1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158.
Menzies BE, Kourteva
I. 1998. Internalization of Staphylococcus
aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.
Paryati SPY. 2002. Patogenesis
Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus
aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model
untuk Sapi Perah. Tesis. Program Magister. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Purnami NL. 1999. Perbandingan kemampuan adhesi Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus
aureus yang memiliki antigen permukaan hemaglutinin pada permukaan biakan
sel epitel ambing sapi. Skripsi. FKH-IPB Bogor.
Nelson W, Nickerson S. 1991.
Mastitis counter attack. Babson Bros.
Ressang AA. 1984. Patologi
Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163.
Russo IH, Russo J. 1996. Mammary
Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.
Shibahara T, Nakamura
K. 1998. Pathology of acute necrotizing mastitis caused by Staphylococcus aureus in a dairy cow. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/33-2/Shibahara/shibahara.htm.
Singh I. 1991. Teks dan atlas
histologi manusia. Alih bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta.
300-301.
Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program
Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan).
Todar K. 1997. Bacteriology 330
Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli
Todar K. 1998. Bacteriology 330
Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph.
[2-4-2001].
Wahyuni AETH. 1998. Peran
hemaglutinin Streptococcus agalactiae
dalam proses adhesi pada sel epitel sapi perah. Thesis Magister Sains. Program
Pascasarjana – IPB.
Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto
H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus
agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan
Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.
Woodford N, Watson
AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of
the mupA high-level mupirocin
sesistance gene in Staphylococcus aureus.
J.Med.Microbiol. 47:829-835.