@2002 Sabilal Fahri Posted: 21 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
MENJUAL HUTAN TANPA MENEBANG POHON
Oleh:
Sabilal
Fahri
Email : amangfahri@yahoo.com
Pembiayaan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia berasal dari ekploitasi sumberdaya alam, industri dengan teknologi usang yang kurang bersahat dengan lingkungan. Sementara komoditas produk dari negara berkembang dihargai sangat rendah. Sehingga lingkungan mengalami percepatan degeredasi secara signifikan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam mengakibatkan terjadinya deforestasi, konversi lahan pertanian dan pencemaran lingkungan. Keadaan ini diperparah oleh lemahnya pemahaman etika lingkungan, cenderung antroposentris dan eksploratif. Jika defortasi dan konversi lahan semakin tidak terkendali dikwatirkan berdampak pada peningkatan gas rumah kaca diatmorfer yang menyebabkan terjadinya hujan asam, peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim global.
Hutan dalam sistem ekologi merupakan ekosistem masyarakat
tumbuhan yang berinteraksi dengan lingkungan, berfungsi sebagai penghasil
oksigen dan biomass dari hasil pemanfaatan karbon dioksida, energi matahari dan
air. Sehingga keberadaan hutan dan fungsinya
harus dipertahankan, tetapi pembiayaan untuk pembangunan tetap tersedia agar
kegiatan pembangunan dapat berjalan. Salah satu alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah perdagangan karbon
melalui mekanisme pembangunan bersih.
Gas Rumah Kaca
Gas rumah
kaca adalah gas-gas diatmosfer yang menyerap gelombang panjang seperti infra
merah yang bermanfaat bagi kehidupan dibumi dalam kadar yang proporsional untuk
meningkatkan temperatur, tetapi dalam jumlah berlebih berakibat buruk dan
menjadi bencana kehidupan. Menurut Houghton et al (1996) akibat efek
rumah kaca yang ditimbulkan menyebabkan fungsi ekologi akan berubah yang
disebabkan oleh peningkatan panas global.
Konsentrasi
gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada saat ini telah hampir dua kali konsentrasinya
di masa pra-industri. Konvensi Perubahan Iklim serta rangkaian COP-nya telah
membahas berbagai upaya untuk menekan dampak negatif yang akan timbul. Upaya
mitigasi termasuk pemanfaatan sektor kehutanan merupakan langkah awal dalam
upaya ini.
Karbon
dioksida (CO2) merupakan gas terpenting dalam meningkatan efek rumah kaca.
Tahun 1994, 83% peningkatan radiasi gas
rumah kaca disebabkan oleh gas ini, 15 % oleh Methane dan sisanya N2O, Nox dan
CO (State Ministry of Environment, 1999).
Tabel 1. Emisi Gas Rumah Kaca Equipalen - CO2 Berdasarkan Waktu Horizon 100 tahun Penggunaan Potensi Pemanasan Global 1994)
Gas |
Emisi (Gg) |
Peotensi Pemanasan Global |
Equivalen CO2 (Gg) |
Prosentase Total Equivalen Emisi CO2 |
CO2 CH4 N2O CF4 C2F6 CO NO2 |
748,607.31 6,409.08 61.11 0.31 0.03 3,544.73 110.03 |
1 21 310 500 9200 - - |
748,607 134,591 18,944 2,015 276 - - |
82.77 14.88 2.09 0.22 0.03 |
Total |
|
|
904,433 |
100 |
Sumber : Sugandhy et al, 1999
Sementara sumber
emisi terbesar di Indonesia berasal dari kegiatan kehutanan, terutama deforestasi dan perubahan fungsi lahan Tabel
2. Dari Tabel 2 tersebut, diketahui jumlah emisi CO2 terbesar
disebabkan oleh deforestasi dan konversi lahan (74%), diikuti konsumsi energi
(23%) dan proses industri (3%). Namun secara ekologis hutan dan perkebunan juga
mempunyai potensi dan fungsi ekologis menurunkan kadar CO2 atau rosot, sink pada saat melakukan aktivitas fotosintesis. Pohon dan tetumbuhan
menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen.
Tabel
2. Sumber Emisi CO2 di Indonesia Tahun
1994
Sumber |
Emisi |
A.
Seluruh Energi |
170,016.31 |
|
50,702.24 50,014.38 47,047.16 22,252.17 2,038.17 |
B.
Kehutanan & Perubahan Peruntukan Lahan |
559,471.00 |
|
198,994.00 303,237.00 57,240.00 |
Total |
748,607.31 |
Sumber : SME, 1999
Sementara
sumber emisi terbesar disektor kehutanan Indonesia terjadi akibat kebakaran
hutan (57%). Kebakaran hutan yang terjadi secara alami maupun disengaja untuk
perladangan, pembukaan lahan baru untuk perluasan areal perkebunan skala besar
dan hutan tanaman industri (HTI). Lebih jelas pada Gambar 1 berikut.
Gambar
1. Sumber Emisi Sektor Kehutanan
Indonesia
Terjadi kekhawatiran akan makin menipisnya persedian pangan dunia
akibat pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol. Menurut Malthus dalam Abimayu & Satriawan (1995)
kelahiran yang tidak terkontrol menyebabkan penduduk bertambah menurut deret
ukur sementara persediaan makanan tidak mampu tumbuh melebihi deret
hitung. Sementara kemampuan alam memperoduksi bahan pangan
sangat terbatas lebih lagi perubahan iklim yang berakibat pada perubahan musim,
serangan hama, kekeringan, el nino, banjir karena curah hujan yang
berlebihan, la nina silih berganti menghantam sektor pertanian sehingga gagal panen hampir selalu terjadi.
Kebakaran hutan semakin sering terjadi, demikian pula hujan
asam yang merusak dan memperpendek umur
berbagai fasilitas umum kematian hewan atau ternak serta tanaman petani. Demikian pula terhadap kesehatan, berbagai
penyakit menyerang sehingga lebih banyak menimbulkan korban manusia selain
biaya untuk kesehatan semakin tinggi.
Hutan
merupakan penyerap gas karbondioksida (CO2) yang merupakan gas utama dalam GRK.
Menurunnya luas hutan secara global mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK
di atmosfer, selain meningkatnya emisi dari pemanfaatan energi berbasis fosil. Fungsi
hutan sebagai penyerap GRK memberikan ide bagi dimasukkannya sektor kehutanan
dalam mekanisme pembangunan bersih (CDM). Ini berarti negara berkembang dapat
melakukan pengelolaan hutannya secara berkelanjutan dengan memanfaatkan dana
internasional di bawah Protokol Kyoto.
Luas areal hutan alam Indonesia berjumlah 141.8 Juta Ha,
terbagi menjadi beberapa fungsi antara lain : hutan lindung (29.6 juta Ha),
hutan konservasi (19.2 juta Ha), hutan produksi terbatas (29.6 juta Ha), hutan
produksi (33.4 juta Ha) dan hutan masyarakat (30.0 juta Ha) (BPS, 1997; Dephut,
1996) atau 23 persen diantaranya
terdiri dari hutan konservasi dan hutan lindung (Pelangi, 2002)
Sedangkan luas hutan yang efektif hanya berjumlah 108.57 juta Ha, dimana 60
juta Ha luas hutan yang potensial untuk dimanfaatkan kayunya 30.4 juta Ha diantaranya tidak produktif. Distribusi
hutan alam diberbagai pulau di Indonesia disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Estimasi Luas Hutan Alam Efektif Indonesia.
Juta Ha
Pulau |
Jenis
Hutan |
Total Lahan |
% Luas Lahan |
||||
Hutan
Produksi |
Hutan
Lainnya (Potensial di Kelola) |
Hutan
Rawa (Potensial di Kelola) |
Hutan
dalam Wilayah Hutan Konservasi |
Hutan
Lainnya |
|||
Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian
Jaya Nusa
Tenggara Jawa Bali Pulau
Lainnya |
8.37 16.74 3.62 2.06 9.68 0.18 - 0.17 |
3.60 5.97 1.33 1.96 6.09 - - 0.35 |
0.39 0.89 0.14 0.20 0.53 - - 0.01 |
3.47 3.04 1.20 0.41 6.17 0.12 0.12 0.13 |
4.55 8.09 4.04 1.40 11.18 0.76 0.01 1.70 |
20.38 34.73 10.33 6.03 33.65 0.96 0.13 2.36 |
43 63 52 70 82 7 23 29 |
Total |
40.82 |
19.30 |
2.16 |
14.66 |
31.73 |
108.57 |
56 |
Penurunan luas areal hutan, deforestasi di Indonesia
diakibatkan HPH, perambahan hutan, penebangan pohon illegal, pertambangan,
pertambangan rakyat atau tanpa izin dan lain-lain. Dalam 10 tahun terakhir terjadi
kerusakan hutan seluas 1,6 juta ha setiap tahunnya. Sementara data terakhir
menunjukkan bahwa kawasan hutan yang telah rusak lebih dari 43 juta ha. Hal ini
terutama disebabkan oleh penebangan liar, pembakaran hutan, perkebunan skala
besar serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan HPH dan HTI (Pelangi, 2002).
Menurut Adisasmito et al (1997); prediksi FAO laju
deforestasi di Indonesia mencapai 937,000 Ha (Tabel 4). Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia
menyebabkan kondisi hutan di Indonesia sudah sampai pada tahap kritis, sudah
pada titik yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Tabel 4.
Laju Deforestasi di Indonesia
No. |
Aktivitas |
Laju
Deforestasi (Ha/tahun) |
1. 2. 3. 4. 5. |
Pembangunan Lahan Perkebunan Transmigrasi Budidaya Kebakaran
Hutan Berbagai
Kepentingan (transmigrasi spontan, illegal
lodging, pertambangan, pengembangan kota dan lain-lain. |
160,000 300,000 300,000 100,000 77,000 |
Total |
937,000 |
Sementara
itu hutan merupakan rumah besar bagi berbagai populasi hewan dan tumbuhan yang
berinteraksi secara holistic dalam system ekologi.. Hutan Indonesia tercatat
memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10 persen dari seluruh
tumbuhan dunia), 1.539 spesies burung (17 persen dari seluruh burung di dunia),
515 spesies satwa mamalia (12 persen dari seluruh spesies reptilia di dunia),
dan 270 spesies amfibia (16 persen dari seluruh amfibia di dunia). Hampir seluruh spesies tersebut tidak terdapat di
negara lain. Hal ini menunjukkan pentingnya hutan lindung dipertahankan, bukan
hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa lain. Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Bukannya dilestarikan, justru laju kerusakan hutan yang terjadi di
Indonesia menyebabkan kondisi hutan di Indonesia sudah samapi pada tahap
kritis, sudah pada titik yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Satu-satunya jenis hutan yang masih
mempunyai harapan berada dalam kondisi baik adalah hutan lindung dan kawasan
konservasi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang berciri khas tertentu
untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Sedangkan hutan lindung adalah hutan yang berfungsi sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah instrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Dengan
keluarnya kebijakan pemerintah yang memberikan lampu hijau bagi kegiatan
pertambangan di hutan lindung dan di kawasan konservasi, maka hal ini akan
semakin memperburuk kondisi kehutanan di Indonesia. Lebih dari 100 kawasan
hutan lindung terancam oleh rencana masuknya 150 perusahaan, dengan 22
perusahaan yang mendapat prioritas, yang akan membuka areal pertambangan di
kawasan tersebut.
Mekanisme
Pembangunan Bersih (CDM)
Mekanisme
pembangunan bersih, clean development
mechanism (CDM) merupakan upaya penurunan emisi karbon di negara berkembang
dengan menggunakan teknologi bersih. Potensi CDM Indonesia dibandingkan
beberapa negara sebagaimana Gambar 2. Sedangkan potensi perdagangan CDM
dibandingkan formulasi lainnya berdasarkan Protokol Kyoto dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar
2. Potensi CDM Indonesia dan Dunia
Gambar 3. Potensi CDM dan
Formulasi Lainnya Berdasarkan Protokol Kyoto
Indonesia termasuk salah satu negara
berkembang pertama yang sudah merampungkan the first national
communication dan sudah diserahkan ke sekretariat UNFCCC (United
Nations Framework Convention on Climate Change) bersamaan dengan
diselenggarakannya Conference of Patries V (COP V) pada
bulan November tahun lalu. Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi UNFCCC,
Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan upaya-upaya yang dilakukan dalam
rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim
global. Upaya-upaya tersebut antara lain : Indonesia harus melakukan
inventarisasi gas-gas rumah kaca secara nasional. Inventarisasi yang dimaksud
meliputi emisi gas-gas rumah kaca yang berasal dari sumber-sumbernya (energi,
hutan, pertanian, dsb.) dan penyerapannya oleh rosotnya (sink) seperti
penyerapan gas CO2 oleh hutan. Disamping itu informasi lain yang
harus dikomunikasikan adalah langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan
dilakukan dalam rangka mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dan meningkatkan
kemampuan penyerapannya oleh rosotnya. Dokumen yang memuat hal-hal tersebut
dikenal dengan dokumen National Communication on Climate Change.
Peluang dan Manfaat CDM
Bagi Indonesia
CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri
untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan
adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung
:
Adapun manfaat
tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa Technology
transper, capacity building, peningkatan kualitas lingkungan, serta
peningkatan daya saing.
Jual-beli
emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan
akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang
diakreditasi oleh badan tersebut. Badan
ini belum terbentuk. Reduksi Emisi berSertifikat (RES) atau Certified Emission
Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional.
RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan
GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi
ton karbon. Sekarang perdagangan ini
sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint
implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$1 sampai
US$30 per ton karbon.
Jika seorang mempunyai RES sebesar 1000
ton karbon dan laku dijual US$5/ton karbon, ia akan mendapatkan US$5000. Karena merupakan
perdagangan bebas dengan sendirinya akan ada persaingan. Yang dapat menjual
karbon dengan harga murah, mempunyai peluang lebih besar RESnya akan laku.
Penyerapan
CO2 melalui proses fotosintesis oleh hutan pada hakekatnya adalah mereduksi CO2
dari udara. CO2 yang diserap ini pada
prinsipnya dapat juga mendapatkan RES. Secara eksplisit hal ini belum
disetujui, tetapi perdagangan implementasi patungan karbon hutan sudah terjadi.
Amerika Serikat sangat getol
memperjuangkan RES dari penyerapan karbon oleh hutan. Melalui mekanisme ini
karbon dalam hutan kita dapat dijual di pasar internasional. Jadi bukan
hutannya atau kayunya, melainkan RESnya. Misalkan, kita berhasil merehabilitasi
1000 hektar hutan. Setelah diverifikasi oleh badan internasional ternyata
karbon yang diserap hutan yang direhablitasi itu adalah 100 ton
karbon/ha/tahun. RES yang kita dapatkan ialah 100.000 ton/tahun. Jika harga
karbonnya US$5/ton, maka nilai RES itu US$500.000/tahun. Tetapi kalau hutan
rusak lagi, RES kita akan hilang. Nampaklah RES itu merupakan insentif untuk
memelihara hutan. Untuk mencapai tujuan ini sangat penting bahwa keuntungan
dari RES itu harus pula dinikmati oleh masyarakat di tempat rehabilitasi hutan
itu sehingga mereka merasa berkepentingan untuk memelihara hutan itu.
Demikin pula
kita dapat menjual karbon yang tersimpan dalam hutan sebuah taman nasional,
misalnya TN Ujung Kulon. Hingga sekarang bupati yang mempunyai sebuah taman
nasional, hanyalah mempunyai beban untuk memelihara taman nasional itu. Tetapi
dia tak boleh menjual kayunya dengan membalak hutan Itu.
Menurut
Soemarwoto (2001) Dengan Protokol Kyoto, Bupati Pandeglang, mempunyai sumber
PAD yang potensial cukup besar. Hutan tropik lembab di dataran rendah yang
bagus mengandung karbon rata-rata 200-250 ton/ha. Jika luas hutan taman
nasional 50.000 ha, karbon yang terserap adalah 50.000 x 200-250 ton/ha/tahun =
10-12,5 juta ton/tahun.. Dengan harga US$5/ton karbon, nilai potensial RES TN
Ujung Kulon adalah 10-12,5 juta x US$5 = US$50 juta-US$62.5 juta/tahun, tanpa
menebang hutannya. Bahkan kalau hutannya ditebang atau rusak, nilai RESnya
turun.
Dari laporan National Strategy Study
on CDM in Indonesia, yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup (2001),
dari sektor energi saja diperkirakan Indonesia bisa mendapatkan pendapatan
sebesar 229 juta USD selama periode komitmen pertama (2008-2012). Pendapatan
dari CDM ini tentunya akan semakin meningkat dengan memperhitungkan potensi
dari sektor kehutanan, transportasi dan industri.
Pelestarian hutan merupakan pilihan yang tidak bisa
ditawar lagi, melalui mekanisme
pembangunan bersih, clean development mechanism (CDM) berdasarkan Protokol
Kyoto pembangunan nasional tetap dapat berlanjut. Sumber pendanaan
pembangunan dari perdagangan karbon ini memberikan peluang menjual hutan
tanpa menebang pohon. Sehingga pembangunan berkelanjutan dan amanat
generasi mendatang untuk mewariskan sumberdaya lestari dapat terwujud.
Abimayu, A & E. Satriawan, 1995. Dampak Pemanasan Global
pada Produksi Pertanian Indonesia. Harian Umum Republika, Senin 27 November
1995.
Adisasmito, W., Handoko, Chrisandini, A. Sugandhy &
Gunardi (editors). 1998. Mittigation Assessment of Climate Change in Indonesia.
Indonesia Country Study on Climate Change. US-EPA : Country Study Program.
State Ministry of Environment Republic Indonesia, Jakarta.
Biro Pusat Statistik (BPS), 1997. Statistik Hak Penggunaan Hutan Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1996. Statistik Kehutanan Indonesia
1994/1995. Biro Perencanaan, Deprtemen Kehutanan. Jakarta.
Houghton, J.T., L.G. Meira Filho., B.A. Callender., N.
Haris., A. Kattenberg & K. Maskell, eds., 1996.Climate Change. The Science
of Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Tanya Jawab Tentan
Isu-isu Perubahan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
Ministry of
Environment (MoE), 2001. National
Startegy Study on Clean Dvelopment Mechanism in Indonesia. Executive Summary.
Ministry of Environment Republic of
Indonesia, Jakarta.
Pelangi, 2002. Hutan Lindung Dikorbankan
Untuk Tambang: Akankah Hutan di Indonesia Tinggal Kenangan?. http:///www.
Pelangi.or.id. dikunjungi tanggal 20 November 2002.
Soemarwoto, O., 2001.
Protokol Kyoto dan Arut-Diri-Sendiri. Harian Pikiran Rakyat Senin, 2 Juli 2001,
Bandung.
Sugandhy, A., A. Bey., Gunardi., R. Boer., H. Pawitan., S. Wigenasantana., A. Hidayat & P. Utomo (editors)., 1999. Indonesia : The First National Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change. State Ministry for Environment. Jakarta.