© 2002 Rudi Posted
29 November, 2002
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof. Dr.
Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Zahrial Coto
Dr. Bambang Purwantara
Oleh :
E. 061020051
E-mail: rdungani@yahoo.com
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat, iklim lingkungan tropis
dan kenyataan 80% sampai 85% jenis kayu Indonesia kurang awet sampai tidak
awet, serta meningkatnya pendapatan per kapita penduduk akan menyebabkan
meningkatkannya penggunaan teknologi pengawetan kayu di Indonesia. Dengan kata
lain, prospek penerapan pengawetan kayu di Indonesia cukup besar. Namun
demikian, tanpa mengantisipasi tantangan maka pengawetan kayu di Indonesia
hanya akan menjadi mata rantai ekonomi biaya tinggi dan hilangnya kepercayaan
dari masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Dalam setiap usaha
pembangunan, masalah kependudukan adalah satu faktor penting. Terutama di
Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi, masalah ini menjadi lebih
strategis. Dengan pengembangan kependudukan, diharapkan jumlah penduduk yang
tinggi dapat menjadi modal dasar untuk pembangunan. Sampai akhir tahun 2000,
penduduk Indonesia mencapai 210 juta jiwa, atau meningkat sekitar 14.7 juta
jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduki dalam tahun 1995.
Indonesia diketahui
mempunyai sekitar 120.35 juta hektar hutan tropis, paling besar nomor dua di dunia yang meliputi sekitar sepuluh
persen hutan tropis dunia. Indonesia juga dikenal sebagai negara mega
biodeversity. Negeri ini mempunyai tidak kurang dari 4000 jenis kayu yang tersebar
disepanjang hutan. Namun dari jumlah tersebut tidak lebih dari 200 jenis kayu
telah dikenal dan secara komersial diperdagangkan selama ini ( Martawidjaya dan Kartasujana, 1986).
Hutan Indonesia dikenal
juga sebagai hutan dengan mengalami deforestrasi yang tinggi di dunia.
Diperkirakan deforestrasi hutan Indonesia sebesar 1.6 sampai 1.8 juta hectars
per tahun, sedangkan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengungkapkan
data terjadinya deforestrasi di Indonesia rata-rata 2.0 juta per tahun.
Tingginya deforestrasi di Indonesia
disebabkan oleh tiga penyebab utama, illegal logging, perambahan hutan dan
kebakaran hutan. Sampai Januari 2001 telah tercatat 360 HPH (Hak Pengusahaan
Hutan), yang mencakup area 38.9 juta hektar hutan konversi dan produksi. Jumlah HPH tersebut berarti mengalami penurunan
sekitar 35 persen dibandingkan pada tahun 1990.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia melaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 1.597 industri pengolahan kayu. Industri-industri tersebut terdiri dari 1.472 industri penggergajian, 7 industri plywood, 5 industri pengolahan kayu dan 6 industri chip. Kebutuhan bahan baku industri sekitar 73,8 juta m3 per tahun. Data APKINDO ( Asosiasi Pengusahaan Kayu Indonesia) menunjukan, ada 109 unit industri plywood unit dengan kebutuhan bahan baku sekitar 14.7 juta m3 per tahun. Kenyataan lainnya, Indonesia mempunyai 16 unit industri pulp yang membutuhkan 93 persen bahan baku log dari hutan alam atau hutan tanaman.
Saat ini sudah dirasakan
oleh masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa harga kayu semakin mahal. Kenaikan
harga kayu atau produk olahan kayu mungkin dirasakan sebagai suatu yang wajar
karena banyak faktor yang terlibat yang mendukung meningkatnya harga produk
tersebut. Walaupun hal tersebut dapat diterima, tetapi dapat dimengerti pula
bahwa pasokan kayu memang semakin menurun karena jenis kayu komersial produksi
hutan alam semakin habis dan belum dapat diganti sepenuhnya dengan produksi
hutan tanaman. Akibatnya pasokan kayu akan berubah dari jenis komersial ke
jenis non komersial atau jenis kayu tak dikenal (Lesser know species) produksi hutan alam atau hutan sekunder serta
jenis kayu yang ditanam oleh rakyat sebagai produk hutan rakyat.
HTI (Hutan Tanaman
Industri) merupakan salah satu program pengembangan kehutanan yang dilakukan
oleh pemerintah dalam penyediaan bahan baku kayu yang selalu meningkat
permintaannya. Sebagai contoh, dalam PELITA VI dialokasikan program HTI sekitar
1 juta hektar (Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1994), dan mengalami
peningkatan menjadi 6,2 juta hektar pada tahun 2000. Pengembangan program HTI
ini dilaksanakan di luar pulau Jawa,
dimana hutan tanaman yang didominasi jenis jati dan pinus di Jawa sudah tidak
mampu lagi meningkatkan produksinya akibat
terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan hutan akibat
perumahan dan pertanian.
Di pihak lain kenyataan
menunjukan bahwa 80-85% kayu Indonesia mempunyai keawetan yang rendah (kelas
III - IV). Dengan kata lain sebagian besar jenis kayu tersebut mudah terserang
berbagai jenis organisme perusak kayu. Kenyataan ini ditunjang pula oleh letak
geografis iIndonesia di khatulistiwa dengan iklim tropisnya yang memungkinkan
hadirnya berbagai jenis organisme perusak kayu seperti rayap, bubuk kayu
kering, jamur pelapuk. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa ancaman
kerusakan kayu di Indonesia sangat besar.
Upaya pencegahan kerusakan
kayu sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan masa pakai (service life) bangunan. Salah satu
langka strategis yang dapat diterapkan adalah memperpanjang umur pakai atau
mempertahankan umur komponen kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu
sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
II. SUPPLY DAN DEMAND KAYU
Kayu merupakan komponen
terpenting dalam pembangunan perumahan dan bangunan gedung lainnya di
Indonesia. Menurut data statistik, dalam satu tahun tercatat tidak kurang dari
2 juta m3 kayu gergajian yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan perumahan dan pemukiman. Pada kenyataannya, jumlah kayu gergajian
yang diperlukan jauh dari di atas angka tersebut karena banyak sekali kayu-kayu
yang dipergunakan sebagai bahan konstruksi bangunan yang dihasilkan dari
industri kecil rakyat yang tidak tercatat.
Sebagaimana diketahui bahwa
ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Pada tahun 1980-an kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti
kapur, kempas, jati, merbau dan ulin yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat
dan kelas awet cukup tinggi. Pada saat sekarang ini dengan meningkatnya
permintaan akan kayu untuk perumahan dan gedung, penyediaan kayu yang kualitas
tinggi mengalami penurunan. Kualitas kayu terutama kelas awet makin langka
didapatkan, maka pada era sekarang dalam penggunaan kayu untuk pembangunan
perumahan dan gedung mulai didominasi jenis-jenis kayu yang kurang awet.
Peningkatan jumlah penduduk
Indonesia yang mencapai 2,5% per tahun mengakibatkan meningkatnya permintaan
akan bahan kayu konstruksi dan untuk mebel. Dalam tahun 2000 saja seperti
dilaporkan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, bahwa Indonesia
telah membangunan lebih dari 700.000 unti rumah per tahun, dengan kebutuhan
kayu 2,2 juta m3. Kebutuhan kayu tersebut dihitung hanya untuk bahan
konstruksi rumah baru tanpa memperhitungkan kebutuhan kayu untuk renovasi
rumah-rumah yang rusak.
Beberapa jenis kayu dengan
mutu rendah umumnya beredar dipasaran. Hasil penelitian Khaerudin ( 1995)
menunjukkan penomena tersebut. Seperti dapat dilihat pada Tabel 1, ketersediaan
kayu gergajian bekualitas rendah lebih banyak dari pada kayu-kayu berkualitas
tinggi, harga kayu tidak hanya
tergantung pada kualitas tetapi juga dipengaruhi oleh struktur pasar kayu itu
sendiri.
Table 1. Pemasaran Kayu Gergajian Dari Luar Jawa Ke Jakarta
Kualitas Kayu |
Marketing Margin (%)*) |
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi |
43.42 42.44 36.92 |
Catatan : *) harga konsumen di Jakarta
Sumber : Khaerudin (1995)
Sementara itu, kebutuhan
rata-rata per tahun sekitar 1.881 buah industri pemanfaatan kayu di Indonesia (Departemen
Kehutanan, 2000), yang terdiri dari sawtimber, plywood, pulp, blockboard,
chipmill, chopstick, pencilslat dan korek api mencapai 63,48 juta m3.
Sampai tahun 2000, produksi
kayu Indonesia dari hutan alam dan hutan tanaman hanya mencapai 17.3 juta m3.
Ini berarti terjadi penurunan produksi kayu selama lima tahun terakhir.
Besarnya produksi kayu didominasi dari hutan yang dikonversi (pemegang HPH)
yang dapat menyediakan sekitar 13.9 juta m3 log kayu tiap tahun (Departemen
Kehutanan Republik Indonesia, 2000). Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 2.
Table 2. Produksi Kayu Log dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman Indonesia 1996-200 (dalam meter kubik)
Tahun |
Hutan Alam |
Hutan Konversi (HPH) |
Hutan Rakyat |
PT. Perhutani di Jawa |
Hutan Tanaman Industri (HTI) |
1996 1997 1998 1999 2000 |
15,595,766 16,225,228 11,867,274 8,599,105 7,661,219 |
7,232,482 9,524,572 7,249,878 6,239,278 4,643,993 |
603,151 1,213,928 719,074 957,056 232,134 |
1,911,757 1,604,034 1,718,561 1,890,900 897,615 |
474,268 425,893 480,210 4,844,493 3,779,828 |
Sumber : Departemen Kehutanan Republik Indonesia, (2000)
Pasokan kayu memang semakin
menurun karena jenis kayu komersial produksi hutan alam semakin habis dan belum
dapat diganti sepenuhnya dengan produksi hutan tanaman. Akibatnya pasokan kayu
akan berubah dari jenis komersial ke jenis yang non komersial yaitu jenis kayu
yang ditanam oleh rakyat sebagai produk hutan rakyat. Bentuk pasokan kayu yang
terakhir sudah dapat dibuktikan di pulau Jawa berupa meningkatnya perdagangan
kayu rakyat.
III. KAYU DAN FAKTOR PERUSAK KAYU
Fakta menunjukkan lingkungan
Indonesia merupakan daerah tropis. Negeri ini mempunyai kehangatan, kelembaban
dan bahan organik dalam tanah yang tinggi, di bawah kondisi tersebut
perkembangan organisme khususnya organisme perusak kayu sangat baik. Hal
tersebut tercermin dari apa yang disebut sebagai negara mega biodeversity,
dimana Indonesia mempunyai 1.000.000 jenis serangga, 250.000 jenis jamur dan 200
jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan bahwa 80 - 85% kayu-kayu Indonesia
mempunyai keawetan yang rendah, atau dengan perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah
diserang oleh organisme perusak kayu. Bahkan, di DKI Jakarta hampir 90% kayu
yang beredar adalah kayu yang tidak awet.
Kesimpulanya, Indonesia
mempunyai banyak jenis kayu, tetapi umumnya adalah kayu yang tidak awet. Pada
sisi lain, Indonesia juga mempunyai banyak organisme perusak kayu, seperti
rayap, kumbang kayu (beetles), jamur pelapuk, jamur pewarna dan marine borer.
Sebagai gambaran, Indonesia mempunyai tidak kurang dari 200 jenis rayap, yang
diantaranya 5 jenis tergolong rayap yang potensial dalam merusak kayu, seperti Coptotermes curvignathus, Coptotermes traviani, Macrotermes gilvus, Microtermes insperatus dan Cryptotermes
cynocephalus.
Macrotermes, Microtermes dan Odontotermes adalah rayap
tanah yang paling dominan terdapat di Jawa Barat. Serangannya disamping pada
produk kayu dan kayu konstruksi, mereka juga menyerang tanaman hidup, umumnya
sistem perakarannya, dan batangi atau cabang kayu. Pada saat ini dilaporkankan
bahwa, jenis rayap Coptotermes spp juga terdapat di Jawa Barat yang
menyerang tanaman hidup Pinus merkusii dan
Casuarina equisetifolia, disamping menyerang
kayu struktural da lam pemakaian. Di Selatan Sulawesi dan Kalimantan Tengah, Coptotermes boetonensis dan Coptotermes borneensis menyerang bangunan rumah dan produk kayu
lain.
Kerugian ekonomis akibat
kerusakan kayu oleh faktor perusak kayu pda bangunan di Indonesia besarnya
telah mencapai milyaran rupiah tiap tahunnya. Salah satu kasus adalah banyaknya
bangunan perumahan di DKI Jakarta yang telah diserang rayap dan harus diperbaiki. Survei di beberapa kota
besar, Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota-kota besar lainnya menunjukkan bahwa
umumnya bangunan perumahan sangat mudah diserang oleh organisme perusak kayu
terutama rayap dan dapat menyebabkan kerugian ekonomis. Sebagai contoh besarnya
kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan rumah di Indonesia
besarnya mencapai Rp. 2,67 trilyun pada tahun 2000 dan pada bangunan milik
pemerintah besarnya mencapai Rp. 300 milyar per tahun.
Dengan meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia dan meningkatnya pendapatan per kapita dari tahun ke tahun
dan pada sekarang kayu-kayu yang digunakan untuk pembangunan perumahan di
Indonesia ummnya tidak awet atau dengan perkataan lain mudah diserang faktor
perusak kayu, maka penggunaan teknologi pengawetan kayu merupakan upaya yang
sangat tepat.
IV. PENGAWETAN KAYU DENGAN BAHAN PENGAWET
Seperti telah dijelaskan dimuka,
sebagian besar jenis kayu mempunyai keawetan rendah, sehingga mudah rusak,
keropos atau lapuk akibat serangan organisme perusak kayu. Disamping itu,
ketergantungan kepada jenis-jenis kayu awet menyebabkan penggunaan kayu kurang
optimal. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dimasyarakatkan upaya-upaya untuk
mengingkatkan keawetan jenis-jenis kayu yang kurang awet.
Upaya seperti itu disebut
pengawetan kayu. Jelasnya, pengawetan kayu adalah perlakuan kimia dan atau
perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai (service life) kayu. Dalam kenyataan
sehari-hari, yang dimaksud dengan pengawetan kayu adalah proses pemasukan bahan
kimia ke dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya. Bahan kimia yang digunakan
dalam perlakuan tersebut tersebut di atas adalah bahan pengawet kayu.
Beberapa cara mengawetkan
kayu sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1950-an, diantaranya pelaburan,
pencelepun, perendaman (rendaman dingin dan rendaman panas-dingin) yang biasa
disebut seabagai metode sederhana dan metode yang lebih modern seperti vakum
tekan dan metode injeksi.
Teknologi pengendalian
rayap terutama di Indonesia masih bertumpuh pada penggunaan pestisida anti
rayap (termitisida) melalui perlakuan
tanah (soil treatment) maupun dengan
cara impregnasi termitisida ke dalam kayu melalui pengawetan kayu. Alternatif
pengendalian rayap yang sekarang dikembangkan adalah sistem pengumpanan (baiting system) dan perintang fisik (physical barrier) serta pengendalian
hayati. Menurut sifat aplikasinya, ada dua teknik perlakuan tanah, yaitu (1)
perlakuan pra konstruksi (pre
construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan menjelang/sewaktu
bangunan didirikan, dan (2) perlakuan pasca konstruksi (post construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan pada
bangunan yang sudah berdiri.
V. BAHAN PENGAWET KAYU DI INDONESIA
Sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk dan laju pembangunan nasional, pembangunan perumahan terus
meningkat dari tahun ke tahun yaitu 1.709.831 unit pada tahun 1989, 2.215.956
unit pada tahun 1992, 2.544.196 unit pada tahun 1994 dan 113.880 unit pada thun
2000 (Biro Pusat Statistik, 2000). Pada tahun 2002 pemerintah telah menargetkan
pembangunan perumahan massal sederhana sebanyak 600.000 unit (Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).
Salah satu komponen penting
dalam pembangunan perumahan adalah kayu. Oleh karena itu peningkatan
pembangunan perumahan juga mendorong pemakaian kayu yang makin besar. Pada
PELITA VI saja kebutuhan kayu untuk pembangunan perumahan massal sederhana
diperkirakan mencapai 807.752 m3. Pemilihan kayu ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan bahwa kayu memiliki beberapa keunggulan dengan bahan
lainnya. Selain memiliki keunggulan, kayupun memiliki kelemahan, antara lain
tidak tahan terhadap serangan organisme perusak kayu seperti yang telah
diuraikan di atas.
Beberapa macam bahan
pengawet kayu telah beredar di pasaran, akan tetapi permintaan satu jenis bahan
pengawet kayu dengan jenis yang lainnya belum diketahui, demikian juga
bagaimana perkiraan permintaannya di masa datang. Banyak bahan pengawet kayu di
Indonesia hingga sekarang masih dari negara-negara produsen. Bahan-bahan
pengawet kayu tersebut terdiri dari campuran dari bahan non organic, tiosianat,
arganofosfat, pyretroid dan campuran lain. Disamping bahan pengawet tersebut, formulasi baru sekarang ini diadopsi
dari beberapa negara-negara. Sebagai contoh, di Indonesia melalui KOMPES (
Pestisida Komisi pengawas) sebagai berikut:
Di Indonesia, arsenat
tembaga chromated (CCA) yang dahulu merupakan satu-satunya bahan pengawet kayu
untuk digunakan di menara pendingin dan bahan pengawet yang paling umum
digunakan untuk berbagai tujuan penggunaan kayu, tetapi sejak tahun 1994, bahan
ini (CCA) telah dilarang beredar di Indonesia.
Salah satu konsumen kayu
awetan adalah sektor perumahan dan dari pembangunan perumahan yang telah
dilakukan baik oleh pihak pemerintah ataupun swasta belum diketahui pasti
berapa jumlah bahan pengawet kayu yang telah dan akan digunakan dalam
pembangunan perumahan tersebut. Fluktuasi konsumsi bahan pengawet kayu antara
lain karena adanya kesulitan pengadaan bahan baku kayu yang sesuai dengan
rencana. Karena jenis bahan baku kayunya berbeda maka bahan pengawet kayu yang
diserap pun akan berbeda. Sementara itu sifat pasar dari bahan pengawet kayu
yang masih bersifat monopolistik, sistem peredaran yang berbeda dari jenis
komoditi atau barang dagangan lainnya serta adanya campur tangan pemerintah
melalui kebijakan yang dikeluarkan mengenai peredaran bahan pengawet kayu di
Indonesia, jelas akan menimbulkan juga konsumsi ba han pengawet kayu mengalami
fluktuasi.
Sementara itu, kebutuhan
bahan pengawet kayu dalam pembangunan perumahan massal dalam peramalan
mengalami peningkatan dari 548.74 ton dalam tahun 1996 menjadi 600.62 ton dalam
tahun 2000. Ini berarti peningkatan itu 18% dibandingkan dengan permintaan tahun
yang sebelumnya (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan hasil yang dihasilkan oleh
Mutaqien (1991) menunjukkan bahwa konsumsi bahan pengawet kayu dalam
pembangunan perumahan massal sederhana di Indonesia hanya 29,55% permintaan
bahan pengawet kayu riil di Indonesia
dan hanya 1,44% saja dari permintaan potensinya.
Tabel 3. Konsumsi Bahan
Pengawet Kayu Di Indonesia 1996-2000
Tahun |
Bahan Pengawet Kayu (kg) |
Jumlah Komulatif (kg) |
1996 1997 1998 1999 2000 |
547,736.88 577,768.03 594,910.11 637,024.72 600.621,84 |
9,878,480.48 10,456,248.51 11,051,158.62 11,688,183.34 12,288,805.18 |
Sumber: Jamali, D. Nandika dan D. Darusman ( 1997)
Berdasarkan program
pembangunan perumahan yang ditargetkan oleh pemerintah terlihat bahwa rata-rata
yang akan dibangun 120.000 unit/tahun yang dilimpahkan pelaksanaannya kepada
Perum Perumnas, Pengembang swasta dan koperasi. Jika diasumsikan rumah yang
dibangun mengikuti pola yang sama seperti pola pada Perum Perumnas dalam
penentuan kebutuhan kayu dan bahan pengawet kayunya per tipe rumah maka
kebuthan bahan pengawet kayu 2.912,80 ton. Jadi tiap tahunnya dibutuhkan bahan
pengawet kayu sebanyak 582,56 ton.
VI.
PELUANG DAN TANTANGAN PENERAPAN PENGAWETAN KAYU DI INDONESIA
Peluang dan tantangan penerapan teknologi pengawetan kayu di
Indonesia, sangat perlu diberikan agar lembaga atau perusahaan yang
melaksanakannya dapat berjalan dengan baik.
1. Peluang Penerapan
Pengawetan Kayu
Peluang penerapan pengawetan kayu dapat ditelaah dari
empat faktor utama yaitu: (1) permintaan potensi kayu; (2) dukungan kebijakan
pemerintah; (3) persepsi masyarakat terhadap pengawetan kayu; dan ( 4)
ketersediaan perangkat lunak.
1.1. Permintaan potensial
kayu
Sampai saat ini besarnya permintaan potensial akan
kayu bangunan di Indonesia belum pernah dilaporkan. Namun demikian mengingat
besarnya produksi kayu Indonesia (25-30 juta m3 per tahun) yang sebagianbesar
merupakan jenis kayu kurang awet serta pesatnya pembangunan sektor perumahan,
maka dapat diduga permintaan potensial akan kayu bangunan juga cukup besar.
1.2. Dukungan Kebijakan
Pemerintah
Harus diakui bahwa berbagai instansi pemerintah
sebenarnya telah sejak lama menunjukan dukungannya terhadap pemasyarakatan
teknologi pengawetan kayu. Dukungan tersebut antara lain tercermin dari
terbitnya beberapa standar tentang pengawetan kayu, antara lain :
· Standar Kehutanan Indonesia No. SKI.C-m-001:1987,
tentang “Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung”.
· Standar Konstruksi Bangunan Indonesia No.SKBI-4.3.53. 1987, tentang “Spesifikasi Kayu Awet Untuk Perumahan
dan Gedung”.
Penerbitan standar tersebut jelas mencerminkan political will dan dukungan pemerintah
bagi pemasyarakatan teknologi pengawetan kayu.
1.3. Presepsi Masyarakat
Terlepas dari kemungkinan adanya law enforcement, pada dasarnya konsumen dapat secara sukarela
memilih atau tidak memilih kayu bangunan yang diawetkan. Namun demikian
berdasarkan pengalaman-pengalaman konsumen sebelumnya, penggunaan kayu bangunan
yang diawetkan dianggap penting agar bangunan mereka terjamin tentang kualitas
bangunan yang dimilikinya.
Apabila persepsi ini terwujud di masyarakat, maka
prospek penerapan teknologi pengawetan kayu di Indonesia sangat besar. Apalagi
didukung oleh daya beli masyarakat yang makin meningkat sejalan dengan
keberhasilan pembangunan ekonomi sekarang ini.
1.4. Ketersediaan
Perangkat lunak
Teknologi pengawetan kayu telah dikenal di Indonesia
sejak tahun 50-an. Sejalan dengan itu kegiatan pendidikan dan pelatihan tentang
pengawetan kayu termasuk pengendalian kualitasnya cukup sering dilaksanakan.
Dengan demikian dapat dimengerti jika teknologi pengawetan kayu dapat dikatakan
sudah tersedia dan dikuasai secara optimal.
2. Tantangan Yang Dihadapi
Walaupun peluang penerapan teknologi pengawetan kayu
di Indonesia cukup besar, berbagai tantangan tampaknya masih perlu di
antisipasi. Tantangan tersebut adalah : (1) terpenuhinya asas
independensi,
transparansi dan kredibilitas; (2) koordinasi kelembagaan, dan (3) ketersediaan
sarana pendukung di daerah.
2.1. Independensi,
Transparansi dan Kredibilitas
Agar sistem pengawetan kayu dapat berkembang secara
maksimal, maka sistem tersebut perlu dilandasi asas indenpendensi, transparansi
dan kredibilitas.
Lembaga pengawetan kayu harus berdiri di atas semua
kepentingan secara proporsional. Hal ini harus tercermin baik dari unsur-unsur
pelaksananya maupun dari acuan kerja yang dipakai.
Transparansi mengandung arti keterbukaan dalam
pengelolaan. Ini berarti lembaga pengawetan kayu dan mekanisme kerjanya harus
jelas dan lugas serta dapat diakses oleh semua pihak sejauh tidak melanggar
norma-norma yang berlaku.
Kredibilitas mengandung arti kemampuan, keandalan dan
kepercayaan. Lembaga pengawetan kayu harus mempunyai kemampuan dan keandalan
yang tinggi dalam mengemban misinya.
2.2. Koordinasi
Kelembagaan
Karena kompleknya interaksi antara pihak-pihak yang
terkait dengan lembaga ini maka koordinasi dengan lembagainstitusi lain mutlak
diperlukan. Sebagai contoh koordinasi dengan Komisi Pestisida (KOMPES) sebagai instansi
yang bertanggungjawab mengenai registrasi bahan pengawet kayu akan sangat
membantu kelancaran kerja lembaga tersebut.
2.3. Ketersediaan Saranan
Pendukung di Daerah
Berbagai sarana pendukung, khususnya perangkat keras,
dalam pelaksanaan pengawetan kayu pada umumnya masih terdapat di kotakota
besar, sedangkan di beberapa daerah tertentu masih langka.
Tanpa mengantisipasi ketiga hal di atas maka penerapan
teknologi kayu di Indonesia hanya akan menjadi mata rantai ekonomi biaya tinggi
dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Association of Wod Preservation Indonesia. 1988. Peningkatan Usaha Pengawetan Kayu Secara
Profesional. Proceedings Meeting of
Works National. Orchid Palace Hotel Jakarta
Komisi Pestisida Indonesia. 2000. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan. Koperasi Departemen
Pertanian. Jakarta.
Departement of Information The Republic of Indonesia.
1996. Indonesia is Going To Be In Globalitation Era. Ministry of Imformation
The Republic of Indonesia.
Jamali, D. Nandika and D. Darusman. 1997. Wood
Preservatives Demand for Low Cost Housing Development in Indonesia. Journal of
Forest Products Technology. Faculty of Forestry Bogor Agricultural University.
Bogor.
Khaerudin. 1995. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga
Kayu Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus di Pelabuhan Sunda Kelapa).
Minithesis of Management of Forest Department. Faculty of Forestry Bogor
Agricultural. Bogor. Unpublised.
Martawidjaya, A. and Kartasudjana. 1986. Ciri Umum
Sifat dan Kegunaan Jenis-Jenis Kayu Indonesia. Forest Products and
Social-Economic Researc and Development Centre. Bogor
Mubariq, A. 1960. The role of Timber Production in Indonesian Economy Reality or Illusion.
Konphalindo Jakarta.
Mutaqien, I. 1991. Potensi Pasar Bahan Pengawet Kayu di Indonesia. Minithesis of Forest
Products Technology Department. Faculty of Forestry Bogor Agricultural
University. Bogor. Unpublised.
Nandika, D. 1996. Certification System of Preserved
Wood for Housing Construction in Indonesia. Prospects and Constraints. Journal
of Forest Products Technology. Faculty of Forestry Bogor Agricultural
University. Bogor.
Permadi, P. 1997. Alternative Wood Preservatives for Use in Indonesia. Research was
Supported in Part by the USDA, Foreign Agricultureal Service. Research and
Scientific Exchange Division, International Cooperation and Development.
Tarumingkeng, R.C. 1974. Termite of Importance to Forestry and Wood Construction in Indonesia. Prepared for Seminar on Pest Control in Building Indonesia. Jakarta.