Institut Pertanian Bogor
January
2003
Dosen:
Prof.Dr.Ir.
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof.Dr.
John Haluan
PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN INDONESIA
(Pendekatan Normatif)
Oleh:
C 561020024
E-mail : soeyasa_stp@hotmail.com
2. SUMBERDAYA
IKAN SEBAGAI SUMBERDAYA ALAM
Sumberdaya alam (natural
resources) pada dasarnya mempunyai pengertian segala sesuatu yang berada
dibawah atau diatas bumi, termasuk tanah itu sendiri (Suparmoko, 1997). Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah
sesuatu yang masih terdapat didalam maupun diluar bumi yang sifatnya masih
potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi. Pengertian ini berbeda dengan barang sumberdaya (resources commodity), karena merupakan
sumberdaya alam yang sudah diambil dari dalam atau atas bumi dan siap
dipergunakan atau dikombinasikan dengan factor produksi lainnya untuk
menghasilkan produk baru yang dapat dimanfaatkan baik oleh konsumen maupun
produsen.
Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara
sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan
mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan semakin
berkurang. Hal ini karena pertumbuhan
ekonomi yang tinggi akan selalu menuntut adanya barang sumberdaya dalam jumlah
yang tinggi pula, dan barang sumberdaya ini diambil dari persediaan sumberdaya
alam yang ada. Dengan demikian, terdapat
hubungan yang “positif” antara jumlah barang sumberdaya dengan pertumbuhan
ekonomi, disamping juga hubungan yang “negative” antara persediaan sumberdaya
alam dengan pertumbuhan ekonomi.
Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita
bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara
berhati-hati akan dapat mengguras persediaan sumberdaya alam yang ada. Kondisi ini pada gilirannya nanti akan
dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka
pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan
sisi positif dan negatifnya.
Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang
bersifat renewable atau mempunyai
sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri.
Disamping sifat renewable, menurut
Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh
siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum.
Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara
lain :
1) Tanpa
adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over
exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja
berlebihan (over employment).
2) Perlu adanya
hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property
rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh
swasta/perorangan (private property rights).
Dengan
sifat-sifat sumberdaya seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut
dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara.
Pada
hakekatnya masalah sumberdaya milik bersama, berkaitan erat dengan
persoalan-persoalan eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya
pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah
sumberdaya milik setiap orang. Oleh
karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih baik dan mengapa kita
harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya.
Kondisi
diatas mengakibatkan sumberdaya milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan
adalah memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk
untuk mengambil manfaat. Selanjutnya,
dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk,
maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif
berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau
perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya
milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun
akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (disekonomis)
dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecendrungan pengelolaan secara deplesi.
Pengertian
deplesi disini adalah suatu cara pengambilan sumberdaya alam secara
besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan
mentah. Dalam kaitannya dengan
sumberdaya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi
walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat
dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memulihkannya.
Lebih
lanjut, Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang
dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :
1) Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan
pengawasan terhadap akses ke sumberdaya.
Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal
oleh karena sifat phisik sumberdaya
ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah
memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya,
sementara disisi lain otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta
memaksa mereka untuk keluar.
2) Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang
mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang
dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan
ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan,
akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia
akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam
memanfaatkan sumberdaya yang sama.
Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan
yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan
kolektif.
3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya
menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk
dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan
ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.
3. PENGELOLAAN
SUMBERDAYA IKAN
Pengelolaan
sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi
sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas
serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997). Sementara
Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama
pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk :
1).
Menjaga kelestarian
produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan
(enhancement).
2).
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dan social para nelayan serta
3).
Memenuhi keperluan
industri yang memanfaatkan produksi tersebut.
3.1. MODEL PENGELOLAAN
Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan
pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum
Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan
biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada
tahun 1957. Inti dari konsep ini
adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat
dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari
dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) factor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan.
Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih
berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk
melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat
dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan
kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara
keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social
oriented).
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan
pendekatan “Maximum Sustainable Yield” telah
mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang
berpendapat bahwa pencapaian “yield” yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai
arti secara ekonomi. Hal ini
berangkat dari adanya masalah “diminishing
return” yang menunjukkan bahwa kenaikan “yield”
akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan “effort” (Lawson, 1984).
Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya
ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum Economic Yield” atau lebih
popular dengan “MEY”. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort
yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost.
Selanjutnya,
hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep “Optimum Sustainable Yield” (OSY),
sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari
konsep “MSY”, sehingga menjadi
relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, social, lingkungan dan factor
lainnya. Dengan demikian, besaran dari
“OSY” adalah lebih kecil dari “MSY” dan besaran dari konsep inilah yang
kemudian dikenal dengan “Total Allowable
Catch” (TAC). Konsep pendekatan
ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah :
1). Berkurangnya
resiko terjadinya deplesi dari stok ikan
2). Jumlah
tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar
3). Fluktuasi
TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu
Hasil
pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia,
menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton
ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069
juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan
demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan
nasional. Namun demikian, yang perlu
diperhatikan adalah adanya beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya
ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over
fishing), yaitu di perairan Selat Malaka dan perairan Laut Jawa. Akan tetapi di kedua perairan tersebut,
terdapat beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di
Selat Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk
dikembangkan eksploitasinya.
Sementara
di 7 (tujuh) zone penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi
untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi “over fishing”. Sebagai
contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang
dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores. Oleh karena itu, pada beberapa perairan
yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui
potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar
sumberdaya ikan yang ada tidak “collapse”.
Informasi
yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan
Indonesia, telah dipublikasikan oleh “Komisi Nasional Pengkajian Stok
Sumberdaya Ikan Laut” pada tahun 1998.
Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 9 (sembilan) zone, yaitu :
1)
Selat Malaka
2)
Laut Cina Selatan
3) Laut Jawa
4) Selatan
Makasar dan Laut Flores
5) Laut
Banda
6) Laut
Seram dan Teluk Tomini
7)
Laut Sulawesi dan
Samudra Pasifik
8)
Laut Arafura
9)
Samudra Hindia
Sementara dalam menentukan stok sumberdaya ikan di
perairan Indonesia, dipergunakan beberapa metoda sesuai dengan jenis dan sifat
sumberdaya ikan. Metoda
tersebut dapat dilihat melalui table
berikut :
Tabel 1. Metoda Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
Jenis
SD. Ikan |
Metoda |
|||||
Sensus/ Transek |
Swept Area |
Akustik |
Surplus Produksi |
Tagging |
Ekstra/ Intra- polasi |
|
1.
Ikan Pelagis Besar |
|
|
|
X |
|
x |
2. Ikan Pelagis Kecil |
|
|
X |
|
|
x |
3. Ikan Demersal |
|
X |
|
|
|
x |
4. Ikan Karang |
X |
|
|
X |
|
|
5. Ikan Hias |
X |
|
|
|
|
|
6. Udang dan krustasea |
|
|
|
X |
|
x |
7.
Muluska & teripang |
X |
|
|
X |
|
|
8.
Mammalia & reptilian |
X |
|
|
|
X |
|
9. Rumput Laut |
X |
|
|
|
|
|
10. Benih Alam |
X |
X |
|
|
|
|
11.
Karang |
X |
|
|
|
|
|
Sumber : Komnas. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (1998).
Dalam
kaitan ini terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan didalam mengelola
sumberdaya perikanan, agar tujuan pengelolaan dapat tercapai. Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan
oleh Gulland dalam Widodo dan
Nurhudah (1985) adalah sebagai berikut :
1).
Pembatasan alat tangkap
2).
Penutupan daerah penangkapan ikan
3).
Penutupan musim penangkapan ikan
4).
Pemberlakuan kuota penangkapan ikan
5).
Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran
6).
Penetapan jumlah hasil tangkapan setiap kapal
3.2. PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN
Dalam pelaksanaanya di Indonesia, pemerintah
mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun
Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985, yang intinya memberikan mandat kepada
pemerintah didalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat. Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan
sumberdaya ikan ini, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga
fungsi), yaitu :
1).
Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui
regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
2).
Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah
agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul
oleh setiap orang, disamping adanya
keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
3).
Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan
pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang
dapat merusak dan menghancurkan tatanan social ekonomi masyarakat.
Didalam
menjalankan fungsi-fungsi diatas, maka kiranya pemerintah perlu
mempertimbangkan cara
pandang teleologik sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion
(1999), yaitu dengan selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu
tindakan. Dengan demikian, dalam etika
teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai
tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002).
Etika teleology sendiri
dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang banyak dipergunakan sebagai pegangan didalam
menilai sebuah kebijakan yang bersifat public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga
mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria yang dipergunakan dalam teori
utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :
1).
Manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat tertentu.
2).
Manfaat
terbesar, yaitu kebijakan
atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar bila
dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain. Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif
yang ada ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan
yang baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.
3).
Manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik apabila
manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang. Semakin banyak orang yang menikmati akibat
baik tadi, maka semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut.
Di
Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah
manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala
kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan. Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan
beberapa hal yang harus diperhatikan didalam pengelolaan perikanan, yaitu :
1).
Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak
2).
Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh
semua stakeholder
3).
Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang
di masyarakat
4).
Kebijakan harus mempertimbangkan aspek social,
politik dan ekonomi
Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan
seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat
perikanan Indonesia. Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia
pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government
Based Management). Dalam pengelolaan
seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai pada pengawasan. Sedangkan
kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk
kebijakan dari pemerintah. Menurut
Satria dkk, (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa
kelemahan diantaranya adalah :
1).
Aturan-aturan yang
dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga menjadi
sulit untuk ditegakan.
2).
Biaya transaksi yang
harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar,
sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
4.
KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
1).
Sumberdaya ikan pada dasarnya adalah sumberdaya
alam, yang sifatnya mempunyai hubungan negative terhadap pertumbuhan
ekonomi. Artinya, semakin tumbuh ekonomi
suatu Negara, maka cadangan sumberdaya alamnya akan semakin menipis.
2).
Ikan adalah sumberdaya alam yang bersifat renewable,
dan pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek biologi, ekonomi dan lain
sebagainya. Dalam kaitan ini, “Optimum Sustainable Yield” adalah
pendekatan yang paling memadai.
3).
Terdapat beberapa metoda yang dipergunakan didalam
menentukan stok ikan, dan ini sangat tergantung pada jenis dan sifat ikan.
4).
Pemerintah mempunyai peranan yang penting dalam
pengelolaan sumberdaya ikan, dengan tiga bentuk fungsinya yaitu fungsi alokasi;
fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.
5).
Didalam menjalankan fungsinya, pemerintah harus
mengembangkan kerangka pendekatan teologik
6).
Pengelolaan sumberdaya ikan yang dijalankan oleh
pemerintah di Indonesia, mempunyai beberapa kelemahan.
Daftar Pustaka
Food and
Agricultural Organization, 1997. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Responsible
Fisheries, No. 4 82p. Rome.
Cunningham. S, M.R.
Dunn and D. Whitmarsh, Fisheries
Economics. An Introduction. Mansell Publishing Limited. London.
Dahuri, R,
2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia.
Jakarta.
Keraf, A.S, 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Komisi Nasional
Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut
di Perairan Indonesia. LIPI. Jakarta.
Lawson. R.M,
1984. Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter (Publisher).
London.
Nasoetion, A.H,
1999. Pengantar Ke Filsafat
Sains. PT. Pusaka
Litera Antar Nusa. Bogor.
Nikijuluw, V.P.H, 2002. Rezim
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT.
Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Satria, A, A. Umbari, A.
Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad,
W. Oktariza dan Z. Imran, 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Suparmoko, M, 1997.
Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. (Suatu Pendekatan
Teoritis). Ed.2. BPFE.
Yogyakarta.
Widodo, J dan M.
Nurhudah, 1995. Pengelolaan Sumberdaya Ikan.
Sekolah Tinggi Perikanan.
Jakarta.
Widodo, J dan S.
Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource
Management. 28 Oktober s/d 2 November
2002. Hotel Golden Clarion. Jakarta.