© 2002  Mustafa Abubakar                                                         Posted: 21 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December  2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

Falsifikasi Statistik Perikanan ;

Implikasinya terhadap perencanaan Pembangunan

 

 

 

 

 

 

Oleh

Mustafa Abubakar

C. 561020234

 

E-mail: irjendkp@yahoo.com

 

Program Studi Teknologi Kelautan

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

2002

 

 

 

PENDAHULUAN

 

            Falsafah sain merupakan landasan keilmuan penting dalam mempelajari berbagai bidang ilmu. Pemahaman falsafah sain menurut ontology, epistemology, ataupun aksiologi dapat mengantar kita pada wawasan berpikir yang lebih luas, dan kritis serta membentuk pribadi yang dapat menghargai pendapat orang lain (Suriasumantri, 1998).

            Makalah ini memilih statistik perikanan sebagai topik bahasan, karena beberapa alasan: pertama, karena sampai saat ini statistik perikanan digunakan sebagai indikator penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kedua, statistik perikanan digunakan sebagai acuan perencanaan pembangunan perikanan oleh birokrasi di pemerintahan. Dan ketiga, Statistik perikanan merupakan acuan resmi yang digunakan oleh pakar perikanan dalam mempelajari fenomena pada sektor perikanan.

            Namun, harus dicatat perkembangan pencatatan statistik perikanan itu dipelopori oleh pakar biologi perikanan untuk kepentingan  pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini dapat ditelusuri melalui  tulisan Gordon (1954)  tentang pengelolaan sumberdaya perikanan,  artikel Schaefer (1957) tentang model pengelolaan perikanan tuna. Pada perkembangan berikutnya seperti dalam  tulisan Anderson (1977) dan Hannesson (1978) tentang model pengelolaan sumberdaya perikanan maka kebutuhan data statistik perikanan semakin beragam sesuai dengan disiplin ilmu yang digunakan.  Seiring dengan semakin rumitnya masalah pengelolaan sumberdaya perikanan karena perkembangan teknologi, maupun peningkatan populasi manusia, maka paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan mulai bergeser pada tahun 1990-an dengan diperkenalkannya konsep INTEGRATED COASTAL ZONE AND OCEAN MANAGEMENT (ICZM). Konsep ini pertama kali dipersiapkan oleh negara maju yang tergabung dalam OECD pada tahun 1987, dan kemudian ditindaklanjuti pada Konperensi United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) di Brazil pada bulan Juli 1992 (lihat Cicin-Sain and Knecht, 1998). Kompleksitas yang dihadapi pada pengelolaan potensi ikan dilautan memunculkan terminologi baru yang dikenal sebagai Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.  Terminologi ini secara formal muncul dalam pertemuan the Commission for the Conservation of  Antartic Marine Living Resources (CCAMLR) pada tahun 1997. Sejak tahun 1999 terminologi IUU Fishing telah diadopsi oleh banyak negara dan lembaga perikanan internasional.

            Salah satu aspek penting dari ICZM dan IUU Fishing adalah bagaimana mengelola potensi ikan yang ada didalam perairan. Pengelolaan ini memerlukan baseline data yang baik. Dengan kata lain pengelolaan potensi ikan itu memerlukan data statistik yang akurat, sehingga potensi itu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, tanpa pemahaman yang baik tentang statisktik perikanan, maka sasaran pemanfaatan potensi ikan yang sustainable semakin sulit tercapai.  Tulisan ini akan membahas permasalahan yang terdapat dalam  statistik perikanan Indonesia itu, mengikuti logika falsafah sain.

 

FALSIFIKASI STATISTIK PERIKANAN

            Statistik perikanan merupakan publikasi resmi pemerintah yang dapat menggambarkan potensi sumberdaya perikanan yang terdapat pada negara tersebut. Statistik itu juga menyediakan informasi tentang berbagai kegiatan yang terdapat pada sektor tersebut. Bahkan pada beberapa negara,  statistik perikanan  dijadikan acuan perencanaan dalam mengalokasikan faktor produksi (seperti tenaga kerja, alat tangkap, bahkan modal) dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan. Di Indonesia format pencatatan statistik perikanan relatif belum berubah sejak tahun 1968. Namun, dalam Statistik Perikanan terbitan tahun 2001, informasi mengenai nilai produksi hasil perikanan tidak dipublikasikan lagi. Padahal sampai saat ini, data statistik perikanan yang mencakup data produksi dan nilai hasil produksi didalam dokumen Statistik Perikanan masih dipercaya sebagai salah satu sumber data, dan sangat intensif digunakan oleh berbagai pihak untuk mencari solusi masalah pembangunan perikanan.

            Jika kita telusuri lebih jauh tentang statistik perikanan ini, terdapat dua hal yang mendorong meluasnya penggunaan statistik perikanan di dalam pengelolaan sumberdaya   perikanan. Pertama, statistik perikanan merupakan   “record data langsung”  yang dapat menggambarkan potensi perikanan serta aktivitas yang ada didalamnya. Kedua, “record” data di dalam statistik perikanan tersebut umumnya digunakan sebagai landasan di dalam menyusun berbagai kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan.

            Statistik perikanan Indonesia misalnya, yang antara lain mencatat jenis ikan hasil tangkapan nelayan, jumlah maupun jenis alat tangkap dan sebagainya.  Penggunaan statistik perikanan akan menimbulkan permasalahan jika statistik perikanan tersebut digunakan untuk menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan perencanaan pembangunan di sektor tersebut (seperti masalah perizinan kapal penangkap ikan), hal ini terkait dengan sistem penyajian data di dalam statistik tersebut.  Jika kita pelajari data statistik hasil tangkapan perikanan laut misalnya (pada Tabel 1), penjumlahan vertical merupakan penjumlahan hasil tangkapan nelayan per jenis ikan menurut wilayah penangkapan ikan (tercatat 11 wilayah penangkapan).  Sedangkan penjumlahan horizontal merupakan penjumlahan berbagai jenis ikan pada setiap wilayah (saat ini teridentifikasi 53 jenis ikan).  Dari sisi logika induksi, penjumlahan vertical ini dapat diterima secara ilmiah, karena yang dijumlahkan adalah volume dari jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang sama dan terdapat pada berbagai wilayah penangkapan.  Namun, dari sisi logika induksi muncul pertanyaan, apakah penjumlahan berbagai jenis ikan secara horizontal pada Tabel 1 dapat diterima secara ilmiah ?.  Pertanyaan kritis ini jawabannya menjadi benar jika kita membenarkan analogi penjumlahan dua ekor sapi dewasa dengan empat ekor domba menjadi enam ekor ternak.  Jika demikian halnya maka kita membenarkan penjumlahan volume antara ikan Tuna dengan ikan Tigawaja, padahal ikan Tuna merupakan komoditas perikanan yang mempunyai harga yang tinggi, sebaliknya ikan Tigawaja merupakan ikan yang harganya sangat murah. Atau membenarkan penjumlahan  volume ikan dengan binatang air lainnya. Penjumlahan  berbagai jenis ikan – (dengan nilai ekonomis yang berbeda) -  ini terdapat dalam Statistik Perikanan Indonesia. Penjumlahan yang demikian oleh Bell (1975) disebut sebagai “dilemma apple and orange”, tulisan ini menyebutnya sebagai falsifikasi statistik perikanan. Dengan demikian falsifikasi tersebut menunjukkan sesuatu itu adalah betul padahal tidak benar.  Terdapat dua falsifikasi dalam penjumlahan  secara horizontal ini, pertama falsifikasi menurut katagori kelompok hasil tangkapan, yang terjadi karena menjumlahkan volume jenis ikan,  krustasea, moluska, dan binatang air lainnya (Tabel 1). Dan falsifikasi kedua karena penjumlahan menurut jenis ikan (Tabel 2).

 

Tabel 1. Produksi Hasil Perikanan Tangkap Indonesia Menurut Katagori Jenis Biota Laut, 1999

 

 

No.

 

Wilayah Penangkapan

 

Total Produksi (Ton)

Katagori Biota Laut (Ton)

Ikan

Krustasea

Moluska

Binatang air lainnya

1.

Barat Sumatera

284 230

273 798

7 287

2 570

431

2.

Selatan Jawa

153 475

116 118

4 355

3 255

29 377

3

Selat Malaka

53 794

411 652

88 638

37 265

28 015

4

Timur Sumatera

291 076

256 289

30 672

4 115

-

5

Utara Jawa

674 834

621 630

24 273

28 445

322

6

Bali NusaTenggara

208 709

198 493

2 112

4  842

1 074

7

Selatan Barat Kalimantan

113 452

88 717

22 967

1 768

-

8

Timur kalimantan

173 800

117 977

50 031

2 868

2 924

9

Selatan Sulawesi

435 411

399 115

9 799

7 486

1 590

10

Utara Sulawesi

269 443

266 775

530

1 779

154

11

Maluku Irian Jaya

540 221

505 053

21 687

9 067

1 922

12

INDONESIA

3 682 444

3 255 687

262 351

103 460

37 794

Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001.

 

            Bagi birokrasi pemerintah, statistik perikanan itu merupakan panduan dan menjadi acuan didalam merekomendasikan berbagai aktivitas mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Para analis dalam birokrasi pemerintah diharapkan jangan sampai “terperangkap dengan informasi dari penjumlahan horizontal”, sehingga terdorong untuk merekomendasikan pada wilayah penangkapan ikan tertentu,  effort penangkapan ikan harus dibatasi. Keputusan itu ternyata sangat keliru karena masih terdapat beberapa jenis ikan yang tingkat pemanfaatannya masih dibawah Maximum Sustainable Yield  (MSY).  Dan ini artinya effort penangkapan masih layak ditingkatkan. Dengan kata lain, di wilayah penangkapan yang telah overfishing misalnya, kebijaksanaan pembatasan effort harus selektif berdasarkan jenis ikan yang terdapat pada setiap wilayah penangkapan itu. Kesalahan didalam mengambil keputusan seperti itu dikenal sebagai KESALAHAN TYPE II (TYPE II ERROR), yaitu kesalahan yang terjadi karena kita menerima H0, padahal H0 tersebut adalah salah. H0 dalam kasus diatas adalah membatasi kegiatan penangkapan ikan.   Jadi rekomendasi yang diusulkan diatas adalah tidak tepat.

 

Tabel 2. Produksi Ikan Hasil Perikanan Tangkap Indonesia, 1999

 

No.

 

Wilayah Penangkapan

Total Ikan

Hasil Tangkapan (Ton)

Jenis Ikan (Ton)1)

Kerapu

Tigawaja

Tuna

1

Barat Sumatera

273 798

7 454

2 069

11 598

2

Selatan Jawa

116 118

126

866

1 771

3

Selat Malaka

411 652

8 411

16 449

1 764

4

Timur Sumatera

256 289

1 969

6 968

118

5

Utara Jawa

621 630

1 720

11 617

13 217

6

Bali Nusa Tenggara

198 493

3 592

536

16 712

7

Selatan Barat Kalimantan

88 717

189

3 171

-

8

Timur Kalimantan

117 977

1 008

7 049

22

9

Selatan Sulawesi

399 115

8 326

1 406

12 283

10

Utara Sulawesi

266 775

4 881

15

37 287

11

Maluku Irian Jaya

505 053

5 796

6 845

41 702

12

INDONESIA

3 255 687

43 472

56 991

136 474

Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001.

Keterangan: 1) yang ditampilkan sebagai contoh hanya tiga jenis ikan dari 53 jenis ikan yang teridentifikasi.

 

 

 

            Falsifikasi statistik perikanan ini ditunjukkan juga oleh data FAO pada Tabel 2. Data tersebut merupakan data agregasi penjumlahan berbagai jenis ikan pada masing-masing negara. Jika kita mengambil dua titik ekstrim dari data pada tahun 1971 misalnya, hasil tangkapan di Australia adalah 102,6 juta ton ikan sedangkan di Peru sejumlah 12.612,9 juta ton. Angka-angka ini  cenderung  mendorong kita untuk menyimpulkan Peru adalah negara perikanan penting di dunia. Kesimpulan tersebut ternyata sangat keliru, karena 90 persen hasil tangkapan ikan di Peru adalah ikan ancovy yang harganya relatif murah. Dari contoh tersebut hasil tangkapan ikan Australia 124 kali lebih rendah dari Peru.  Karena hasil tangkapan Australia tersebut 70 persen adalah Lobster yang harganya sangat tinggi. Dari informasi tersebut dapat kita katakan Australia  merupakan salah satu negara perikanan penting di dunia.

 

Tabel 3.  Hasil Tangkapan Ikan Pada Beberapa Negara Di Dunia

(dalam Juta Ton)

 

No.

Negara

1967

1970

1

Jepang

7 906,6

(248)

9 366,4

(290)

2

China

5 645,2

(266)

6 868,0

(292)

3

USA

2 405,5

(183)

2 776,5

(221)

4

Australia

92,1

(540)

102,6

(632)

5

Peru

10 198,6

(12)

12 612,9

(15)

Sumber : FAO yearbook of Fishery Statistics.

Keterangan: Angka dalam kurung adalah harga produksi per ton (US $).

 

            Kesalahan interpretasi karena falsifikasi statistik perikanan, seperti yang ditunjukkan pada data agregasi pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3, sangat  fatal akibatnya terutama dalam proses pengambilan keputusan. Falsifikasi penyajian data statistik perikanan ini belum disadari penuh oleh birokrasi yang terkait dengan penyediaan data tersebut. Kesalahan tersebut dapat mendorong terjadinya kerugian pada masyarakat nelayan dan deplesi beberapa potensi ikan.

            Pada kasus statistik perikanan Indonesia, yang menyajikan agregasi hasil tangkapan nelayan, ternyata agregasi ini menimbulkan fenomena menarik dalam eksploitasi sumberdaya perikanan.  Fenomena ini dapat mendorong terjadinya “Social Calamity” pada masyarakat. Fenomena tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam mengelola potensi ikan pada berbagai perairan, sehingga memunculkan “rent seeker”. “Rent seeker” ini dalam pandangan IUU fishing sangat merugikan, karena tidak melaporkan hasil tangkapan ikannya. Padahal laporan hasil tangkapan itu sangat diperlukan untuk menyusun statistik perikanan.  Dorongan menjadi “rent seeker” ini semakin kuat karena sifat dari sumberdaya yang open access – semua orang mempunyai hak menangkap ikan di perairan -  sehingga jika tidak dikendalikan malapetaka dilautan tidak dapat dielakkan seperti yang dikhawatirkan Hardin (1968) dalam tulisan “Tragedy of the Commons”.

             

 

FENOMENA EKSPLOITASI POTENSI IKAN DAN STATISTIK PERIKANAN

 

            Terdapat dua fenomena penting dalam eksploitasi sumberdaya perikanan yang terkait dengan pencatatan  statistik perikanan. Fenomena pertama terkait dengan interaksi antar populasi ikan. Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan antar spesies (hubungan ini dikenal sebagai interaksi langsung didalam dinamika perikanan multi species). Interaksi antar species ini terkait  dengan rantai makanan yang ada dalam perairan. Hal ini berarti populasi dari satu jenis ikan merupakan makanan bagi populasi jenis ikan lainnya.  Fenomena kedua, berkaitan dengan dinamika didalam  setiap populasi ikan. Fenomena kedua ini merupakan interaksi tak langsung – yaitu interaksi merebut makanan (plankton), ruang dan oksigen yang tersedia dalam perairan. Untuk menjelaskan fenomena kedua tersebut, kita asumsikan nelayan belum melakukan aktivitas penangkapan ikan, maka secara sederhana dinamika dalam  setiap populasi ikan di lautan ditentukan oleh tiga unsur, yaitu: recruits (lahir), growth (pertumbuhan), dan natural death (kematian alami). Apabila hal ini dibiarkan secara alami, maka setiap populasi ikan di laut akan mencapai keseimbangan. Namun, yang perlu dicatat karena kebutuhan plankton, oksigen dan ruang bagi setiap populasi ikan didalam satu perairan tidak seragam, maka laju kelahiran, pertumbuhan dan kematian akan berbeda  antara satu populasi dengan populasi lainnya.

            Sekarang jika asumsi diatas kita abaikan, hal ini berarti nelayan mulai menangkap ikan dilaut, sehingga stok ikan di laut selain ditentukan oleh tiga hal yang disebutkan diatas, juga mulai dipengaruhi oleh hasil tangkapan nelayan (catch). Hasil tangkapan inilah yang dicatat dalam statistik perikanan. “Record” data hasil tangkapan ikan inilah merupakan salah satu jenis data yang digunakan  untuk merumuskan kebijakan perencanaan pembangunan di sektor perikanan.

Disamping itu pada kasus statistik perikanan Indonesia, yang perlu dicatat berikutnya adalah data yang dipublikasikan merupakan data dua tahun kebelakang, artinya data terbitan  tahun 2001 merupakan hasil pencatatan tahun 1999, sehingga penggunaan data statistik tersebut untuk tujuan saat ini perlu koreksi tertentu sesuai dengan tujuan penggunaannya. Koreksi ini perlu dipertimbangkan karena populasi ikan merupakan sumberdaya yang renewable yang berubah setiap saat. Lag waktu yang masih realistis untuk statistik perikanan adalah sekitar satu tahun.

            Hasil tangkapan nelayan yang tercatat sebagai statistik perikanan tersebut terdiri dari berbagai jenis ikan dari populasi yang berbeda. Pada populasi yang pertama dapat saja terjadi laju kelahiran lebih tinggi dari laju kematian, namun pada populasi yang lain dapat terjadi sebaliknya. Biasanya populasi ikan dengan laju kelahiran dan pertumbuhan yang cepat merupakan ikan yang nilai ekonomisnya rendah, sedangkan ikan yang bernilai ekonomis tinggi laju kelahiran dan pertumbuhannya relatif lambat. Karena setiap populasi ikan mempunyai karakteristik yang berbeda, maka penjumlahan antar spesies ikan hasil tangkapan nelayan tidak dapat hanya di dasarkan pada satuan berat belaka, tetapi karakteristik setiap populasi ikan harus dipertimbangkan.  Dengan demikian jika hasil tangkapan ikan nelayan dari berbagai spesies itu digabungkan dan menjadi dasar perencanaan pembangunan atau pengelolaan  potensi sumberdaya, seperti: penentuan jumlah kapal yang diizinkan menangkap ikan, kuota jumlah ikan yang boleh ditangkap, maka akan terjadi kerancuan  dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi karena falsfikasi dari statistik perikanan itu. Falsifikasi ini sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi.

            Implikasi pertama, terdapat beberapa populasi ikan yang akan punah (deplesi), karena kepalsuan yang ditunjukkan oleh agregasi data statistik tentang potensi ikan dalam perairan. Ini disebabkan, karena kita mengabaikan fenomena pertama diatas. Sehingga nelayan cenderung menambah alat tangkap untuk meningkatkan hasil tangkapan. Populasi ikan yang terdeplesi adalah populasi ikan yang yang mempunyai laju pertumbuhan dan laju kelahiran yang lambat.

            Implikasi kedua, adalah jika alat tangkap ditambah berarti effort untuk menangkap ikan bertambah, dan ini berarti jumlah hasil tangkapan ikan per unit  effort  akan konstan atau menurun. Jika kita kaitkan dengan hukum ekonomi, maka penambahan effort ini secara aggregate akan menambah suplai ikan di pasaran. Peningkatan suplai ikan ini akan menyebabkan harga ikan pada tingkat nelayan akan rendah, dan akhirnya pendapatan nelayan akan rendah pula. Fenomena ini diperkirakan merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan.

 

 

PENUTUP

Falsifikasi statistik perikanan dalam uraian diatas terjadi karena mengagregasi volume hasil tangkapan nelayan yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Agregasi ini dilakukan berdasarkan kesamaan unit ukuran berat, yaitu ton.  Agregasi ini mengabaikan komponen penting dari karakteristik dinamika setiap populasi ikan maupun biota laut, seperti: laju pertumbuhan, laju kematian alami  dan laju hasil tangkapan nelayan.

Falsifikasi pada statistik perikanan dapat mengarah pada kekeliruan dalam proses pengambilan keputusan pada pengelolaan sumberdaya perikanan, perencanaan pembangunan perikanan. Kekeliuran yang sangat fatal adalah jika data statistik tersebut digunakan untuk merekomendasikan penambahan effort penangkapan pada suatu wilayah perairan dimana tingkat eksploitasi penangkapan ikan pada wilayah perairan tersebut telah melampaui batas MSY.

Penggunaan data statistik perikanan didalam mengelola sumberdaya perikanan, memerlukan informasi, dan pengetahuan tambahan agar tidak terperangkap dalam kekeliruan menginterpretasikan data itu. Oleh sebab itu diperlukan kepiawaian dan pengalaman didalam memanfaatkan data tersebut. Apalagi data yang dipublikasikan merupakan data dua tahun kebelakang.

Penggunaan data agregasi yang cermat (memperhatikan karakteristik populasi ikan multi spesies – bukan satuan berat dari berbagai hasil tangkapan), dapat mengendalikan deplesi beberapa populasi ikan  serta mampu pula menjelaskan perilaku pendapatan nelayan.

Dalam rangka meminimisasi falsifikasi tersebut diperlukan kepiawaian dalam memanfaatkan data statistik perikanan. Berkaitan dengan rekomendasi kebijakan perizinan jumlah dan jenis alat tangkap misalnya, rekomendasi tersebut hendaknya lebih didasarkan pada penjumlahan vertical dari setiap jenis ikan pada 11 wilayah penangkapan ikan.  Analisa tersebut semakin akuarat jika basis data statistik tersebut adalah satu tahun ke belakang. Penyediaan  data statistik perikanan yang demikian memerlukan kelembagaan yang kuat. Kekuatan ini sangat ditentukan oleh kemampuan mengkoordinasikan potensi  sumberdaya manusia, membangun jaringan informasi dan teknologi (IT), serta dukungan anggaran.  Disamping itu harus dicatat,  pengumpulan data statistik menghadapi suatu kendala mendasar karena data yang dikumpulkan didasarkan pada tempat pendaratan ikan, dan ikan yang didaratkan itu berasal dari berbagai wilayah sumberdaya.

Kemampuan membangun jaringan IT  pada kapal penangkap ikan dan pusat-pusat pendaratan ikan merupakan salah satu langkah dalam mengurangi IUU Fishing. Langkah ini dapat membantu pengumpulan data dalam waktu singkat  dengan tingkat akurasi yang tinggi, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk berbagai kepentingan. Tetapi semua itu harus diikuti program peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terkait dalam jaringan kelembagaan penyedia dan pengelola data  statistik perikanan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L.G., 1977., The Economics of Fisheries Management. The John Hopkins Univ. Press.

Bell, F.W., 1978., Food From The Sea. West-View Press.

Cicin-Sain, B and R.W. Knecht., 1998., Integrated Coastal and Ocean Management Concept and Practices. Island Press.

 

Gordon, H.S.,  1954., The Economic Theory of a Common Property Resource: The fishery. J. Polit. Econ. 62(2).

 

Hannesson, R., 1978., Economics of Fisheries. Universitetsforlaget. Oslo.

 

Hardin, G., 1968., The Tragedy of the Common. Science 162 (3859): 1234 – 1248.

 

Nasoetion, A.H., 1988., Pengantar ke Falsafah Sains. Litera Antar Nusa.

 

Schaefer, M.B., 1957., Some Considerations of Population dynamics and Economics in Relation to Management of the Comercial Marine Fisheries. ITTC. California.

 

Suriasumantri, J.S. 1988., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan.

 

--------------------   .,  1992. Ilmu dalam Persfektif. Yayasan Obor Indonesia.