© 2002
Mustafa Abubakar Posted:
21 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December
2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
Falsifikasi
Statistik Perikanan ;
Implikasinya terhadap perencanaan
Pembangunan
Oleh
Mustafa Abubakar
C. 561020234
E-mail: irjendkp@yahoo.com
Program
Studi Teknologi Kelautan
Program
Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
2002
PENDAHULUAN
Falsafah
sain merupakan landasan keilmuan penting dalam mempelajari berbagai bidang
ilmu. Pemahaman falsafah sain menurut ontology, epistemology, ataupun aksiologi
dapat mengantar kita pada wawasan berpikir yang lebih luas, dan kritis serta
membentuk pribadi yang dapat menghargai pendapat orang lain (Suriasumantri,
1998).
Makalah
ini memilih statistik perikanan sebagai topik bahasan, karena beberapa alasan: pertama,
karena sampai saat ini statistik perikanan digunakan sebagai indikator penting
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kedua, statistik perikanan
digunakan sebagai acuan perencanaan pembangunan perikanan oleh birokrasi di
pemerintahan. Dan ketiga, Statistik perikanan merupakan acuan
resmi yang digunakan oleh pakar perikanan dalam mempelajari fenomena pada
sektor perikanan.
Namun,
harus dicatat perkembangan pencatatan statistik perikanan itu dipelopori oleh
pakar biologi perikanan untuk kepentingan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini dapat ditelusuri melalui tulisan Gordon (1954) tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan, artikel Schaefer (1957)
tentang model pengelolaan perikanan tuna. Pada perkembangan berikutnya seperti
dalam tulisan Anderson (1977) dan
Hannesson (1978) tentang model pengelolaan sumberdaya perikanan maka kebutuhan
data statistik perikanan semakin beragam sesuai dengan disiplin ilmu yang
digunakan. Seiring dengan semakin
rumitnya masalah pengelolaan sumberdaya perikanan karena perkembangan
teknologi, maupun peningkatan populasi manusia, maka paradigma pengelolaan
sumberdaya perikanan mulai bergeser pada tahun 1990-an dengan diperkenalkannya
konsep INTEGRATED COASTAL ZONE AND OCEAN MANAGEMENT (ICZM). Konsep ini pertama
kali dipersiapkan oleh negara maju yang tergabung dalam OECD pada tahun 1987,
dan kemudian ditindaklanjuti pada Konperensi United Nation Conference on
Environment and Development (UNCED) di Brazil pada bulan Juli 1992 (lihat
Cicin-Sain and Knecht, 1998). Kompleksitas yang dihadapi pada pengelolaan
potensi ikan dilautan memunculkan terminologi baru yang dikenal sebagai
Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Terminologi ini secara formal muncul dalam pertemuan the
Commission for the Conservation of
Antartic Marine Living Resources (CCAMLR) pada tahun 1997. Sejak tahun
1999 terminologi IUU Fishing telah diadopsi oleh banyak negara dan lembaga perikanan
internasional.
Salah
satu aspek penting dari ICZM dan IUU Fishing adalah bagaimana mengelola potensi
ikan yang ada didalam perairan. Pengelolaan ini memerlukan baseline data yang
baik. Dengan kata lain pengelolaan potensi ikan itu memerlukan data statistik
yang akurat, sehingga potensi itu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Oleh
sebab itu, tanpa pemahaman yang baik tentang statisktik perikanan, maka sasaran
pemanfaatan potensi ikan yang sustainable semakin sulit tercapai. Tulisan ini akan membahas permasalahan yang
terdapat dalam statistik perikanan
Indonesia itu, mengikuti logika falsafah sain.
FALSIFIKASI STATISTIK PERIKANAN
Statistik
perikanan merupakan publikasi resmi pemerintah yang dapat menggambarkan potensi
sumberdaya perikanan yang terdapat pada negara tersebut. Statistik itu juga
menyediakan informasi tentang berbagai kegiatan yang terdapat pada sektor
tersebut. Bahkan pada beberapa negara,
statistik perikanan dijadikan
acuan perencanaan dalam mengalokasikan faktor produksi (seperti tenaga kerja,
alat tangkap, bahkan modal) dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan. Di
Indonesia format pencatatan statistik perikanan relatif belum berubah sejak
tahun 1968. Namun, dalam Statistik Perikanan terbitan tahun 2001, informasi
mengenai nilai produksi hasil perikanan tidak dipublikasikan lagi. Padahal
sampai saat ini, data statistik perikanan yang mencakup data produksi dan nilai
hasil produksi didalam dokumen Statistik Perikanan masih dipercaya sebagai
salah satu sumber data, dan sangat intensif digunakan oleh berbagai pihak untuk
mencari solusi masalah pembangunan perikanan.
Jika
kita telusuri lebih jauh tentang statistik perikanan ini, terdapat dua hal yang
mendorong meluasnya penggunaan statistik perikanan di dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan. Pertama,
statistik perikanan merupakan “record
data langsung” yang dapat menggambarkan
potensi perikanan serta aktivitas yang ada didalamnya. Kedua, “record”
data di dalam statistik perikanan tersebut umumnya digunakan sebagai landasan
di dalam menyusun berbagai kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Statistik
perikanan Indonesia misalnya, yang antara lain mencatat jenis ikan hasil
tangkapan nelayan, jumlah maupun jenis alat tangkap dan sebagainya. Penggunaan statistik perikanan akan
menimbulkan permasalahan jika statistik perikanan tersebut digunakan untuk
menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan perencanaan pembangunan
di sektor tersebut (seperti masalah perizinan kapal penangkap ikan), hal ini
terkait dengan sistem penyajian data di dalam statistik tersebut. Jika kita pelajari data statistik hasil
tangkapan perikanan laut misalnya (pada Tabel 1), penjumlahan vertical
merupakan penjumlahan hasil tangkapan nelayan per jenis ikan menurut wilayah
penangkapan ikan (tercatat 11 wilayah penangkapan). Sedangkan penjumlahan horizontal merupakan penjumlahan berbagai
jenis ikan pada setiap wilayah (saat ini teridentifikasi 53 jenis ikan). Dari sisi logika induksi, penjumlahan
vertical ini dapat diterima secara ilmiah, karena yang dijumlahkan adalah
volume dari jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang sama dan terdapat pada
berbagai wilayah penangkapan. Namun, dari sisi logika induksi
muncul pertanyaan, apakah penjumlahan berbagai jenis ikan secara horizontal
pada Tabel 1 dapat diterima secara ilmiah ?.
Pertanyaan kritis ini jawabannya menjadi benar jika kita membenarkan
analogi penjumlahan dua ekor sapi dewasa dengan empat ekor domba menjadi enam
ekor ternak. Jika demikian halnya maka
kita membenarkan penjumlahan volume antara ikan Tuna dengan ikan Tigawaja,
padahal ikan Tuna merupakan komoditas perikanan yang mempunyai harga yang
tinggi, sebaliknya ikan Tigawaja merupakan ikan yang harganya sangat murah. Atau membenarkan penjumlahan
volume ikan dengan binatang air lainnya. Penjumlahan berbagai jenis ikan – (dengan nilai ekonomis
yang berbeda) - ini terdapat dalam
Statistik Perikanan Indonesia. Penjumlahan yang demikian oleh Bell (1975)
disebut sebagai “dilemma apple and orange”, tulisan ini menyebutnya
sebagai falsifikasi statistik perikanan. Dengan demikian falsifikasi
tersebut menunjukkan sesuatu itu adalah betul padahal tidak benar. Terdapat dua falsifikasi dalam
penjumlahan secara horizontal ini,
pertama falsifikasi menurut katagori kelompok hasil tangkapan, yang terjadi
karena menjumlahkan volume jenis ikan,
krustasea, moluska, dan binatang air lainnya (Tabel 1). Dan falsifikasi
kedua karena penjumlahan menurut jenis ikan (Tabel 2).
Tabel 1. Produksi
Hasil Perikanan Tangkap Indonesia Menurut Katagori Jenis Biota Laut, 1999
No. |
Wilayah Penangkapan |
Total Produksi (Ton) |
Katagori Biota Laut (Ton) |
|||
Ikan |
Krustasea |
Moluska |
Binatang air lainnya |
|||
1. |
Barat Sumatera |
284 230 |
273 798 |
7 287 |
2 570 |
431 |
2. |
Selatan Jawa |
153 475 |
116 118 |
4 355 |
3 255 |
29 377 |
3 |
Selat Malaka |
53 794 |
411 652 |
88 638 |
37 265 |
28 015 |
4 |
Timur Sumatera |
291 076 |
256 289 |
30 672 |
4 115 |
- |
5 |
Utara Jawa |
674 834 |
621 630 |
24 273 |
28 445 |
322 |
6 |
Bali NusaTenggara |
208 709 |
198 493 |
2 112 |
4 842 |
1 074 |
7 |
Selatan Barat
Kalimantan |
113 452 |
88 717 |
22 967 |
1 768 |
- |
8 |
Timur kalimantan |
173 800 |
117 977 |
50 031 |
2 868 |
2 924 |
9 |
Selatan Sulawesi |
435 411 |
399 115 |
9 799 |
7 486 |
1 590 |
10 |
Utara Sulawesi |
269 443 |
266 775 |
530 |
1 779 |
154 |
11 |
Maluku Irian Jaya |
540 221 |
505 053 |
21 687 |
9 067 |
1 922 |
12 |
INDONESIA |
3 682 444 |
3 255 687 |
262 351 |
103 460 |
37 794 |
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001.
Bagi birokrasi
pemerintah, statistik perikanan itu merupakan panduan dan menjadi acuan didalam
merekomendasikan berbagai aktivitas mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Para
analis dalam birokrasi pemerintah diharapkan jangan sampai “terperangkap dengan
informasi dari penjumlahan horizontal”, sehingga terdorong untuk
merekomendasikan pada wilayah penangkapan ikan tertentu, effort penangkapan ikan harus dibatasi.
Keputusan itu ternyata sangat keliru karena masih terdapat beberapa jenis ikan
yang tingkat pemanfaatannya masih dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY).
Dan ini artinya effort penangkapan masih layak ditingkatkan. Dengan kata
lain, di wilayah penangkapan yang telah overfishing misalnya, kebijaksanaan
pembatasan effort harus selektif berdasarkan jenis ikan yang terdapat pada
setiap wilayah penangkapan itu. Kesalahan didalam mengambil keputusan seperti
itu dikenal sebagai KESALAHAN TYPE II (TYPE II ERROR), yaitu kesalahan yang
terjadi karena kita menerima H0, padahal H0 tersebut
adalah salah. H0 dalam
kasus diatas adalah membatasi kegiatan penangkapan ikan. Jadi rekomendasi yang diusulkan diatas
adalah tidak tepat.
Tabel 2. Produksi Ikan Hasil Perikanan Tangkap Indonesia, 1999
No. |
Wilayah Penangkapan |
Total Ikan Hasil Tangkapan (Ton) |
Jenis Ikan (Ton)1) |
||
Kerapu |
Tigawaja |
Tuna |
|||
1 |
Barat Sumatera |
273 798 |
7 454 |
2 069 |
11 598 |
2 |
Selatan Jawa |
116 118 |
126 |
866 |
1 771 |
3 |
Selat Malaka |
411 652 |
8 411 |
16 449 |
1 764 |
4 |
Timur Sumatera |
256 289 |
1 969 |
6 968 |
118 |
5 |
Utara Jawa |
621 630 |
1 720 |
11 617 |
13 217 |
6 |
Bali Nusa Tenggara |
198 493 |
3 592 |
536 |
16 712 |
7 |
Selatan Barat
Kalimantan |
88 717 |
189 |
3 171 |
- |
8 |
Timur Kalimantan |
117 977 |
1 008 |
7 049 |
22 |
9 |
Selatan Sulawesi |
399 115 |
8 326 |
1 406 |
12 283 |
10 |
Utara Sulawesi |
266 775 |
4 881 |
15 |
37 287 |
11 |
Maluku Irian Jaya |
505 053 |
5 796 |
6 845 |
41 702 |
12 |
INDONESIA |
3 255 687 |
43 472 |
56 991 |
136 474 |
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001.
Keterangan: 1) yang ditampilkan sebagai contoh hanya tiga jenis
ikan dari 53 jenis ikan yang teridentifikasi.
Falsifikasi statistik perikanan
ini ditunjukkan juga oleh data FAO pada Tabel 2. Data tersebut
merupakan data agregasi penjumlahan berbagai jenis ikan pada masing-masing
negara. Jika kita mengambil dua titik ekstrim dari data pada tahun 1971
misalnya, hasil tangkapan di Australia adalah 102,6 juta ton ikan sedangkan di
Peru sejumlah 12.612,9 juta ton. Angka-angka ini cenderung mendorong kita
untuk menyimpulkan Peru adalah negara perikanan penting di dunia. Kesimpulan
tersebut ternyata sangat keliru, karena 90 persen hasil tangkapan ikan di Peru
adalah ikan ancovy yang harganya relatif murah. Dari contoh tersebut hasil
tangkapan ikan Australia 124 kali lebih rendah dari Peru. Karena hasil tangkapan Australia tersebut 70
persen adalah Lobster yang harganya sangat tinggi. Dari informasi tersebut dapat kita
katakan Australia merupakan salah satu
negara perikanan penting di dunia.
Tabel 3. Hasil Tangkapan Ikan Pada Beberapa Negara Di Dunia
(dalam Juta Ton)
No. |
Negara |
1967 |
1970 |
1 |
Jepang |
7 906,6 (248) |
9 366,4 (290) |
2 |
China |
5 645,2 (266) |
6 868,0 (292) |
3 |
USA |
2 405,5 (183) |
2 776,5 (221) |
4 |
Australia |
92,1 (540) |
102,6 (632) |
5 |
Peru |
10 198,6 (12) |
12 612,9 (15) |
Sumber : FAO yearbook of Fishery Statistics.
Keterangan: Angka dalam kurung adalah harga produksi per ton (US
$).
Kesalahan
interpretasi karena falsifikasi statistik perikanan, seperti yang ditunjukkan
pada data agregasi pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3, sangat fatal akibatnya terutama dalam proses
pengambilan keputusan. Falsifikasi penyajian data statistik perikanan ini belum
disadari penuh oleh birokrasi yang terkait dengan penyediaan data tersebut.
Kesalahan tersebut dapat mendorong terjadinya kerugian pada masyarakat nelayan
dan deplesi beberapa potensi ikan.
Pada
kasus statistik perikanan Indonesia, yang menyajikan agregasi hasil tangkapan
nelayan, ternyata agregasi ini menimbulkan fenomena menarik dalam eksploitasi
sumberdaya perikanan. Fenomena ini dapat mendorong
terjadinya “Social Calamity” pada masyarakat. Fenomena tersebut tidak terlepas
dari kebijakan pemerintah dalam mengelola potensi ikan pada berbagai perairan,
sehingga memunculkan “rent seeker”. “Rent seeker” ini
dalam pandangan IUU fishing sangat merugikan, karena tidak melaporkan hasil
tangkapan ikannya. Padahal laporan hasil tangkapan itu sangat diperlukan untuk
menyusun statistik perikanan. Dorongan
menjadi “rent seeker” ini semakin kuat karena sifat dari sumberdaya yang open
access – semua orang mempunyai hak menangkap ikan di perairan - sehingga jika tidak dikendalikan malapetaka
dilautan tidak dapat dielakkan seperti yang dikhawatirkan Hardin (1968) dalam
tulisan “Tragedy of the Commons”.
FENOMENA
EKSPLOITASI POTENSI IKAN DAN STATISTIK PERIKANAN
Terdapat
dua fenomena penting dalam eksploitasi sumberdaya perikanan yang terkait dengan
pencatatan statistik perikanan. Fenomena pertama terkait dengan
interaksi antar populasi ikan. Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan antar
spesies (hubungan ini dikenal sebagai interaksi langsung didalam dinamika
perikanan multi species). Interaksi antar species ini terkait dengan rantai makanan yang ada dalam
perairan. Hal ini berarti populasi dari satu jenis ikan merupakan makanan bagi
populasi jenis ikan lainnya. Fenomena
kedua, berkaitan dengan dinamika didalam
setiap populasi ikan. Fenomena kedua ini merupakan interaksi tak
langsung – yaitu interaksi merebut makanan (plankton), ruang dan oksigen yang
tersedia dalam perairan. Untuk menjelaskan fenomena kedua tersebut, kita
asumsikan nelayan belum melakukan aktivitas penangkapan ikan, maka secara
sederhana dinamika dalam setiap
populasi ikan di lautan ditentukan oleh tiga unsur, yaitu: recruits (lahir),
growth (pertumbuhan), dan natural death (kematian alami). Apabila hal ini
dibiarkan secara alami, maka setiap populasi ikan di laut akan mencapai
keseimbangan. Namun, yang perlu dicatat karena kebutuhan plankton, oksigen dan
ruang bagi setiap populasi ikan didalam satu perairan tidak seragam, maka laju
kelahiran, pertumbuhan dan kematian akan berbeda antara satu populasi dengan populasi lainnya.
Sekarang jika asumsi diatas kita
abaikan, hal ini berarti nelayan mulai menangkap ikan dilaut, sehingga stok
ikan di laut selain ditentukan oleh tiga hal yang disebutkan diatas, juga mulai
dipengaruhi oleh hasil tangkapan nelayan (catch). Hasil tangkapan inilah yang dicatat dalam statistik perikanan.
“Record” data hasil tangkapan ikan inilah merupakan salah satu jenis data yang
digunakan untuk merumuskan kebijakan
perencanaan pembangunan di sektor perikanan.
Disamping itu pada kasus statistik perikanan
Indonesia, yang perlu dicatat berikutnya adalah data yang dipublikasikan
merupakan data dua tahun kebelakang, artinya data terbitan tahun 2001 merupakan hasil pencatatan tahun
1999, sehingga penggunaan data statistik tersebut untuk tujuan saat ini perlu
koreksi tertentu sesuai dengan tujuan penggunaannya. Koreksi ini perlu
dipertimbangkan karena populasi ikan merupakan sumberdaya yang renewable yang
berubah setiap saat. Lag waktu yang masih realistis untuk statistik perikanan
adalah sekitar satu tahun.
Hasil
tangkapan nelayan yang tercatat sebagai statistik perikanan tersebut terdiri
dari berbagai jenis ikan dari populasi yang berbeda. Pada populasi yang pertama
dapat saja terjadi laju kelahiran lebih tinggi dari laju kematian, namun pada
populasi yang lain dapat terjadi sebaliknya. Biasanya populasi ikan dengan laju
kelahiran dan pertumbuhan yang cepat merupakan ikan yang nilai ekonomisnya
rendah, sedangkan ikan yang bernilai ekonomis tinggi laju kelahiran dan
pertumbuhannya relatif lambat. Karena setiap populasi ikan mempunyai
karakteristik yang berbeda, maka penjumlahan antar spesies ikan hasil tangkapan
nelayan tidak dapat hanya di dasarkan pada satuan berat belaka, tetapi
karakteristik setiap populasi ikan harus dipertimbangkan. Dengan demikian jika hasil tangkapan ikan
nelayan dari berbagai spesies itu digabungkan dan menjadi dasar perencanaan
pembangunan atau pengelolaan potensi
sumberdaya, seperti: penentuan jumlah kapal yang diizinkan menangkap ikan,
kuota jumlah ikan yang boleh ditangkap, maka akan terjadi kerancuan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi karena falsfikasi
dari statistik perikanan itu. Falsifikasi ini sekurang-kurangnya mempunyai dua
implikasi.
Implikasi pertama, terdapat beberapa
populasi ikan yang akan punah (deplesi), karena kepalsuan yang ditunjukkan oleh
agregasi data statistik tentang potensi ikan dalam perairan. Ini disebabkan,
karena kita mengabaikan fenomena pertama diatas. Sehingga
nelayan cenderung menambah alat tangkap untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Populasi ikan yang terdeplesi adalah populasi ikan yang yang mempunyai laju
pertumbuhan dan laju kelahiran yang lambat.
Implikasi
kedua, adalah jika alat tangkap ditambah berarti effort untuk menangkap ikan
bertambah, dan ini berarti jumlah hasil tangkapan ikan per unit effort
akan konstan atau menurun. Jika kita kaitkan dengan hukum ekonomi, maka
penambahan effort ini secara aggregate akan menambah suplai ikan di pasaran.
Peningkatan suplai ikan ini akan menyebabkan harga ikan pada tingkat nelayan
akan rendah, dan akhirnya pendapatan nelayan akan rendah pula. Fenomena ini
diperkirakan merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan.
PENUTUP
Falsifikasi statistik perikanan dalam uraian
diatas terjadi karena mengagregasi volume hasil tangkapan nelayan yang terdiri
dari berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Agregasi ini dilakukan
berdasarkan kesamaan unit ukuran berat, yaitu ton. Agregasi ini mengabaikan komponen penting dari karakteristik
dinamika setiap populasi ikan maupun biota laut, seperti: laju pertumbuhan,
laju kematian alami dan laju hasil
tangkapan nelayan.
Falsifikasi pada statistik perikanan dapat
mengarah pada kekeliruan dalam proses pengambilan keputusan pada pengelolaan
sumberdaya perikanan, perencanaan pembangunan perikanan. Kekeliuran yang sangat
fatal adalah jika data statistik tersebut digunakan untuk merekomendasikan
penambahan effort penangkapan pada suatu wilayah perairan dimana tingkat
eksploitasi penangkapan ikan pada wilayah perairan tersebut telah melampaui
batas MSY.
Penggunaan data statistik perikanan didalam
mengelola sumberdaya perikanan, memerlukan informasi, dan pengetahuan tambahan
agar tidak terperangkap dalam kekeliruan menginterpretasikan data itu. Oleh
sebab itu diperlukan kepiawaian dan pengalaman didalam memanfaatkan data
tersebut. Apalagi data yang dipublikasikan merupakan data dua tahun kebelakang.
Penggunaan data agregasi yang cermat
(memperhatikan karakteristik populasi ikan multi spesies – bukan satuan berat
dari berbagai hasil tangkapan), dapat mengendalikan deplesi beberapa populasi
ikan serta mampu pula menjelaskan
perilaku pendapatan nelayan.
Dalam rangka meminimisasi falsifikasi
tersebut diperlukan kepiawaian dalam memanfaatkan data statistik perikanan.
Berkaitan dengan rekomendasi kebijakan perizinan jumlah dan jenis alat tangkap
misalnya, rekomendasi tersebut hendaknya lebih didasarkan pada penjumlahan
vertical dari setiap jenis ikan pada 11 wilayah penangkapan ikan. Analisa tersebut semakin akuarat jika basis
data statistik tersebut adalah satu tahun ke belakang. Penyediaan data statistik perikanan yang demikian
memerlukan kelembagaan yang kuat. Kekuatan ini sangat ditentukan oleh kemampuan
mengkoordinasikan potensi sumberdaya
manusia, membangun jaringan informasi dan teknologi (IT), serta dukungan
anggaran. Disamping itu harus
dicatat, pengumpulan data statistik
menghadapi suatu kendala mendasar karena data yang dikumpulkan didasarkan pada
tempat pendaratan ikan, dan ikan yang didaratkan itu berasal dari berbagai
wilayah sumberdaya.
Kemampuan membangun jaringan IT pada kapal penangkap ikan dan pusat-pusat
pendaratan ikan merupakan salah satu langkah dalam mengurangi IUU Fishing.
Langkah ini dapat membantu pengumpulan data dalam waktu singkat dengan tingkat akurasi yang tinggi, dan
dapat dipertanggungjawabkan untuk berbagai kepentingan. Tetapi semua itu harus
diikuti program peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terkait dalam
jaringan kelembagaan penyedia dan pengelola data statistik perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.G., 1977., The Economics of Fisheries
Management. The John Hopkins Univ. Press.
Bell, F.W., 1978., Food From The Sea. West-View Press.
Cicin-Sain, B and R.W. Knecht., 1998., Integrated Coastal
and Ocean Management Concept and Practices. Island Press.
Gordon, H.S., 1954.,
The Economic Theory of a Common Property Resource: The fishery. J. Polit. Econ.
62(2).
Hannesson, R., 1978., Economics of Fisheries.
Universitetsforlaget. Oslo.
Hardin, G., 1968., The Tragedy of the Common. Science 162
(3859): 1234 – 1248.
Nasoetion, A.H., 1988., Pengantar ke Falsafah Sains. Litera Antar Nusa.
Schaefer, M.B., 1957., Some Considerations of Population
dynamics and Economics in Relation to Management of the Comercial Marine
Fisheries. ITTC. California.
Suriasumantri, J.S.
1988., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan.
-------------------- .,
1992. Ilmu dalam Persfektif. Yayasan Obor
Indonesia.