© 2002  Mamat Haris Suwanda                                             Posted: 2 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

ANALISIS EFISIENSI PENELITIAN

DAN DAMPAKNYA TERHADAP EKONOMI NASIONAL 

STUDI KASUS PADA TANAMAN PERKEBUNAN

 

 

 

 

 

Oleh:

 

MAMAT HARIS SUWANDA

NIM.   P 026010241

E-mail: mhs_endang@telkom.net

 

 

 

 

 

RINGKASAN

 

Analisis efisiensi penelitian ini bertujuan memperoleh informasi tentang efisiensi penelitian (kasus tanaman perkebunan) dan dampaknya terhadap ekonomi nasional.  Analisis efisiensi didasarkan pada indeks efisiensi teknis dan indeks efisiensi ekonomi George W Norton (1993). 

Secara umum tanaman perkebunan, mempunyai peranan yang besar, terutama berkontribusi dalam  penyediaan lapangan kerja, ekspor dan sumber pertumbuhan ekonomi.   Subsektor perkebunan menyerap 17,1 juta tenaga kerja pekebun atau 1,03 % dari angkatan kerja.   Nilai produksi nasional beberapa komoditas utama yaitu kelapa, jambu mete, tembakau, lada, cengkeh pada tahun 1999 mencapai Rp. 18.3 trilyun.    Rata-rata ekspor pertahun sekitar 3,9 milyar US $ atau 47,44 % dari ekpor sektor pertanian.   Pengalaman selama krisis ekonomi tanaman industri bersama dengan tanaman perkebunan lainnya membuktikan ketangguhannya, hal tersebut ditunjukkan oleh indikator pertumbuhan ekonomi yang bernilai positip (yaitu 3,1 %), dibandingkan dengan sektor lain yang mengalami pertumbuhan negatif.

Berdasarkan judgement peneliti, menunjukkan bahwa indeks efisiensi teknis penelitian tanaman perkebunan berkisar antara 103 sampai 132 %, artinya kegiatan penelitian akan mampu meningkatkan efisiensi teknis sebesar 3 sampai 32 %.   Dari sembilan komoditas yang dianalisis menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi ekonomi tertinggi adalah penelitian tembakau, kapuk dan penelitian abaca.     

 

 

I. PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar  Belakang

Tanaman perkebunan terdiri atas sejumlah komoditas dengan keragaman yang besar.   Ragam dan jenisnya sangat banyak, mulai dari tanaman semusim,  tanaman setahun (annual  crops) hingga tanaman berumur tahunan atau tanaman keras (perenial crops)     Sebagian besar produk tanaman perkebunan berorientasi ekspor dan diperdagangkan dipasar internasional, sebagai sumber devisa.  Disamping sebagai sumber devisa, beberapa komoditas tanaman perkebunan merupakan bahan baku sejumlah industri dalam negeri yang juga berorientasi ekspor dan banyak menyerap tenaga kerja.  Dengan peranan seperti diatas, maka masalah kualitas dan kontinuitas penyediaan bahan baku menjadi sangat penting.  Disamping memberikan benefit ekonomi, tidak bisa diabaikan tuntutan agar usaha perkebunan dapat memelihara bahkan meningkatkan kelestarian lingkungan.

Analisis efisiensi, dibatasi pada komoditas yang menjadi mandat Puslitbang  Perkebunan, yang sebagian besar merupakan komoditas perkebunan rakyat.     Dalam rencana strategis (Puslitbangbun, 1999) terdapat 15 komoditas yang menjadi prioritas nasional dan daerah.    Aspek yang dianalisis mencakup peranan dan prospek komoditas, permasalahan dalam pengusahaan dan pengembangan, teknologi yang tersedia, teknologi yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi, serta riset yang diperlukan untuk menghasilkan teknologi yang diperlukan.    Dengan sumberdaya yang terbatas, terutama sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan, maka dalam  rencana penelitian perlu disusun berdasarkan prioritas menurut komoditas dan dan bidang masalah.

 

1.2.   Tujuan

 

Penelitian ini bertujuan menyusun indeks efisiensi penelitian, sebagai dasar dalam menilai efisiensi dan dampak penelitian terhadap ekonomi nasional. 

 

 

 

II. PENDEKATAN ANALISIS

 

2.1.   Indeks Efisiensi

Dalam menyusun indeks efisiensi  mengacu pada George W Norton (1993). Indeks efisiensi dimaksud terdiri atas indeks efisiensi teknis dan indeks efisiensi ekonomis.     Indeks efisiensi teknis  ditentukan oleh variable kemampuan teknologi dalam meningkatkan produktivitas (increasing productivity), peluang keberhasilan penelitian (probability of success), peluang teknologi diadopsi pengguna (adoption rate), yang  diformulasi kedalam fungsi sebagai berikut :

IET  =  f (IP, PS, AR)

dimana :    IET  = indeks efisiensi teknis 

                  IP     = kemampuan teknologi meningkatkan produktivitas (%)

                  PS    = peluang keberhasilan penelitian (%)

                  AR   = peluang teknologi diadopsi pengguna (%)

 

Selanjutnya indeks efisiensi ekonomi George W Norton (1993), diformulasi kedalam model sebagai berikut :

 

IEE = VP x IP x PS x AR x ET

dimana :  IEE = indeks efisiensi ekonomi 

                 VP = nilai produksi nasional (Rp)

                  IP = kemampuan teknologi dalam meningkatkan produktivitas (%)

                  PS = peluang keberhasilan penelitian (%)

                 AR = peluang teknologi diadopsi oleh pengguna (%)

                  ET = indeks atau target perluasan areal (%)

Data VP dan ET diperoleh dari data sekunder (VP terdapat dalam data base) yang harus selalu diperbaharui.    Sedangkan IP, PS dan AR bersumber dari data primer hasil validasi lapangan.    Kemampuan teknologi dalam meningkatkan produktivitas (IP) dan peluang diadopsi oleh pengguna (AR) memerlukan validasi yang intensif, sehingga validasi perlu pengulangan dan kontribusi berbagai aspek atau setiap bidang penelitian perlu dievaluasi.

 

2.2. Sumber Data

Data peranan dan prospek komoditas tanaman perkebunan sesuai perkembangan harus selalu diperbaharui.   Untuk memperbaharui data tersebut, didasarkan pada data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bank Indonesia, International Trade Commodity, dan instansi lainnya.   Data tentang permasalahan dalam pengembangan komoditas, alternatif pemecahan masalah serta teknologi yang tersedia dan teknologi yang diperlukan diperoleh dari Ditjenbun, UPT lingkup Puslitbang Perkebunan dan institusi lain yang terkait.

Untuk mengestimasi efisiensi penelitian didasarkan pada data yang dikumpulkan dalam dua tahap, yaitu : (1) Data yang didasarkan pada judgement peneliti yang bersangkutan, terutama untuk nilai indeks efisiensi teknis, (2)  Data hasil validasi dengan institusi atau petani terkait.    Alternatif lokasi untuk memvalidasi efisiensi penelitian dan pengembangan tanaman perkebunan, direncanakan dipilih dari 52 kegiatan penelitian Balai/Loka Penelitian lingkup Puslitbang Perkebunan, yang merupakan on farm research  selama periode 1990 – 2000. 

 

 

III.                  HASIL  DAN  PEMBAHASAN

 

 

3.1.   Perspektif  Penelitian 2020

 

Mulai tahun 2003 Indonesia sudah memasuki era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA) dan pada tahun 2010 memasuki era perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik (APEC).   Dengan era perdagangan bebas tersebut, posisi daya saing menjadi sangat penting.    Dalam meningkatkan posisi daya saing, kita harus mengembangkan produk-produk yang mempunyai keunggulan komparatif.   Salah satu pendekatannya  adalah memprioritaskan pengembangan produk komplementer dibanding dengan produk substitusi di pasar internasional.

Berbeda dengan masa yang lalu, preferensi konsumen di masa yang akan datang sangat berbeda dan mengalami perubahan secara fundamental.    Aksi kepedulian terhadap lingkungan hidup dan hak asasi manusia, meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat internasional, telah mengubah pemahaman tentang hakekat kesejahteraan manusia yang sebenarnya.    Aspek kelestarian lingkungan menjadi bagian dari nilai kesejahteraan universal, hal tersebut bukan hanya urusan dalam negeri suatu negara tetapi menjadi urusan setiap negara.   Aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia ikut mempengaruhi perilaku pasar.  

Daya saing saat ini lebih ditentukan oleh harga dan kualitas, di masa yang akan datang konsumen akan menuntut persyaratan yang lebih lengkap dan rinci, meliputi : standar kualitas, komposisi nutrisi, keselamatan konsumen, lingkungan hidup dan kemanusiaan.    Perubahan preferensi konsumen tersebut berimplikasi terhadap pengembangan produk perkebunan yang dominan untuk ekspor dan memenuhi bahan baku industri.

Di masa yang akan datang, keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri tetap menjadi model pembangunan, mengingat lima (5) peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi (Daryanto, 2001) yang masih relevan.    Kelima peran tersebut meliputi : sektor pertanian menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa ; sektor  pertanian dapat menghasilkan devisa yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor ; sektor pertanian merupakan pasar potensial bagi produk-produk sektor industri ; transfer surplus tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi ; surplus yang dihasilkan sektor pertanian menjadi modal investasi sektor lain khususnya industri.    Dengan keterkaitan tersebut maka elastisitas keterkaitan pertumbuhan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian cenderung bernilai positip.

 

 

3.2.   Kecenderungan Perkembangan Iptek

Dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang, diperlukan pengembangan teknologi dalam aspek : bioteknologi, teknologi ekofarming, teknologi proses, teknologi produk dan teknologi informasi.      Pengembangan bioteknologi perkebunan terutama bertujuan menghasilkan bibit/benih unggul melalui pengembangan dan aplikasi rekayasa genetik (genetic enginering).    Teknologi ekofarming diarahkan pada penggunaan teknologi ramah lingkungan dan budidaya organik, antara lain teknologi usahatani tanpa perlakuan (zero/minimum tillage), teknologi konservasi tanah dan air, teknologi biologi tanah, pemberantasan hama dan penyakit secara biologis.   Komoditas primer yang dihasilkan diharapkan memenuhi tuntutan eco-labeling dan tuntutan keamanan pangan (food safety).

Teknologi proses dan teknologi produk diarahkan untuk meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas produk, diversifikasi produk, meningkatkan nilai tambah melalui pemanfaatan limbah, dan teknologi pengemasan.

Dalam mempercepat adopsi  teknologi diperlukan pengembangan sistem teknologi informasi yang berperan untuk mengkomunikasikan informasi hasil penelitian dan pengembangan termasuk informasi pasar yang dapat diakses langsung oleh pengguna dan stakeholdres.   Dalam membangun sistem informasi tersebut antara lain melalui teknologi internet dan media masa lainnya.    

Pengembangan jaringan kerja (networking) yang mewadahi institusi yang bergerak di bidang penelitian perkebunan dan pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap subsektor perkebunan, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam mengembangkan komoditas perkebunan sebagai subsektor pemacu pembangunan ekonomi nasional.

 

 

3.3.  Peranan Komoditas Perkebunan

Pertanian dan sektor terkait (yang dikenal dengan sektor agribisnis) merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang.  Sektor pertanian di sebagian besar negara berkembang merupakan penyedia utama pendapatan dan lapangan kerja untuk mayoritas penduduknya.   Kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan lapangan kerja di negara berkembang bisa mencapai 95 % (Daryanto, 2001).    GDP negara berkembang di Asia dan Afrika bersumber dari sektor pertanian masing-masing mencapai 41 dan 57 % (World Bank, 1997).

Kontribusi subsektor perkebunan terhadap penyediaan tenaga kerja secara nasional di tingkat on-farm saja mencapai 17,1 juta tenaga kerja atau 18,03 % dari angkatan kerja.   Nilai ekspor komoditas perkebunan rata-rata setiap tahun berkisar US $ 3,9 milyar atau 47,44 % dari ekspor sektor pertanian.   Pada level mikro, rata-rata pendapatan petani US $ 600/kk/tahun.   

Dalam masa krisis ekonomi sejak pertengahan Juli 1997, PDB subsektor perkebunan mengalami pertumbuhan sekitar 3,1 % pertahun, sementara sektor-sektor lain mengalami pertumbuhan negatif.   Dengan kondisi diatas, mendorong adanya pemikiran ulang tentang peranan sektor pertanian dan potensinya sebagai basis pemacu pemulihan ekonomi.        

 

Secara umum tanaman perkebunan, mempunyai peranan yang besar, terutama berkontribusi dalam  penyediaan lapangan kerja, ekspor dan sumber pertumbuhan ekonomi.   Subsektor perkebunan menyerap 17,1 juta tenaga kerja pekebun atau 18,03 % dari angkatan kerja.   Nilai produksi nasional beberapa komoditas utama yaitu kelapa, jambu mete, tembakau, lada, cengkeh pada tahun 1999 mencapai Rp. 18.3 trilyun.    Rata-rata ekspor pertahun sekitar 3,9 milyar US $ atau 47,44 % dari ekpor sektor pertanian.   Pengalaman selama krisis ekonomi tanaman industri bersama dengan tanaman perkebunan lainnya membuktikaan ketangguhannya, hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan positip (3,1 %), dibandingkan dengan sektor lain yang mengalami pertumbuhan negatif.    Kontribusi  beberapa komoditas perkebunan terhadap produk nasional (penyediaan bahan baku industri dalam negeri, ekspor), penyerapan tenaga kerja (perkebunan rakyat, perkebunan besar, industri prosesing), masing-masing tertera dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Penelitian dan pengembangan tanaman perkebunan telah menghasilkan berbagai output primer, berupa varietas unggul atau klon harapan, prototipe alat prosesing dan pasca panen, rekomendasi komponen/paket teknologi dan berbagai informasi yang bermanfaat untuk pembangunan sub sektor perkebunan.

Kelapa.      Dengan menurunnya harga minyak nabati di pasar internasional, yaitu US $ 700 – 800/ton (pada tahun 1998/1999), menjadi US $ 270/ton (pada tahun 2001) mengakibatkan harga kopra dalam negeri menurun, yaitu dari Rp. 1.450/kg menjadi Rp 700 – 1.000/kg.    Nilai ekspor kelapa sebesar US $ 226,3 juta.    Untuk mengatasi masalah tersebut strategi yang ditempuh adalah : pengembangan industri minyak klentik, intensifikasi pemanfaatan lahan, penganekaragaman produk dan pengembangan produk derivasi.    Dalam menunjang strategi diatas, teknologi yang tersedia, meliputi : varietas kelapa hibrida (Khina 1 – khina 3), kelapa dalam unggul, rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis daun dan analisis tanah, pengendalian hayati (dengan menggunakan Metarrhizium anisoplae, Baculovirus oryctes, Leefmansia bicolor). 

Lada.    Lada merupakan salah satu komoditas yang berorientasi ekspor, dengan pangsa pasar 25 – 30 % yang nilai ekspornya nya mencapai US $ 160 – 210 juta.    Dari ekspor tersebut, diantaranya dalam bentuk lada putih  dengan nilai ekspor sekitar  US $ 127 juta, dan pangsa pasarnya mencapai 75 %.     Permasalahan utama dalam mengembangkan lada adalah serangan penyakit bunsuk pangkal batang akibat serangan nematoda dan kualitas produk akibat kontaminasi.     Untuk mengatasi  permasalahan tersebut, teknologi yang tersedia adalah : varietas yang toleran terhadap serangan nematoda (yaitu Natar 1, Natar 2, Petaling 1, Petaling 2, Chunuk, Bengkayang dan Lampung Daun Lebar), serta alat pengolah lada putih. 

Tembakau.   Komoditas tembakau sangat tergantung dan terkait langsung dengan industri rokok.   Kontribusi industri rokok dalam bentuk cukai mencapai nilai Rp 15 – 16 trilyun pertahun dan menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 4,6 juta tenaga.   Dilain sisi lain, khusus tembakau virginia kita masih mengimpor setiap tahun senilai US $ 27 – 30 juta.   Dengan PP nomor 81/1999 yang bertujuan untuk melindung konsumen, kandungan kadar nikotin rokok dipersyaratkan maksimal 1,5 % dan kadar Tar maksimal 20 mg.     Untuk mengatasi permasalahan tersebut, teknologi yang tersedia adalah : varietas unggul T/45 yang produksi dan mutunya lebih tinggi, galur nikotin rendah (1,74 – 2,84 %), pengendalian penyakit terpadu tembakau temanggung (melalui penggunaan galur harapan, mikrobia antagonis, pengendalian erosi).

Nilai ekspor te,mbakau tahun 2000 senilai US $ 108,5 juta.

Jambu mente.    Saat ini areal jambu mete mencapai  535 ribu hektar,  pangsa pasar sekitar 10,3 %.   Permasalahan utama adalah produktivitas (rata-rata 350 kg/ha).   Untuk mengatasi permasalahan tersebut, teknologi yang tersedia meliputi : klon unggul yaitu Gunung Gangsir 1 (potensi produksi 1,0 – 1,2 ton/ha), alat kacip untuk memisahkan kacang dan kulit mete (model MM-99).  Hasil uji coba terhadap alat kacip yang dirakit Balittro, menunjukkan tingkat keutuhan 80 % dan mampu mengolah 32 kg kacang mente perhari.      Nilai ekspor tahun 2000 senilai US $ 21,3 juta.

Sagu.   Sagu sangat potensial untuk dijadikan sumber substitusi karbonhidrat.    Permasalahan dalam mengangkat peranan sagu tersebut adalah rendemen tepung, kerusakan hutan sagu akibat ekploitasi berlebihan sehinga memerlukan budidaya untuk rehabilitasi.   Teknologi yang tersedia untuk menanggulangi permaslahan tersebut adalah alat pengolah sagu  terpadu tipe Balitka dan teknik pemindahan tunas.    Kelebihan alat pengolah sagu dimaksud adalah rendemen hasil olahan lebih tinggi dan lebih hemat dalam pemakain air.

Panili.    Pangsa pasar panili Indonesia saat ini berkisar 20 – 30 %.  Produktivitas petani relatif rendah (700 kg/ha), akibat serangan busuk pangkal batang.   Teknologi yang tersedia adalah : varietas yang produksinya 1,4 – 2,1 to/ha (Vania 1 – Vania 4) dan penggunaan Mikrobia Fo.NP.   

Kapas.   Kemantapan industri tekstil yang sudah dicapai Indonesia, sangat tergantung impor bahan baku kapas.    Produksi kapas dalam negeri masih sangat jauh untuk mampu memenuhi kebutuhan, sebagai akibat dari produktivitas yang rendah serta tidak diminati petani karena kalah bersaing dengan komoditas lain.    Rendahnya produktivitas terutama disebabkan oleh mutu benih dan serangan hama.     Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, teknologi  yang tersedia adalah : varietas unggul (Kanesia 1 – Kanesia 7), galur baru (Kanesia 8, Kanesia 9), teknologi PHT (varietas, pengendalian hayati, benih bermutu, tanaman perangkap), usahatani dengan palawija.   

Minyak Atsiri.    Pangsa minyak atsiri Indonesia dipasar internasional mencapai 80 %.  Permasalahan utama adalah mutu minyak sebagai akibat dari prosesing yang tidak sepenuhnya memenuhi standar, antara lain penggunaan alat penyuling tradisional.    Untuk mengatasi permasalahan tersebut, teknologi yang tersedia adalah alat penyuling tipe Balittro dengan design baru dari stainless steel, pendingin dan pemisah minyak, hemat bahan bakar.     Khusus nilam, daerah pengembangan potensial meliputi : Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu.   Nilai ekspor  pertahun mencapai US $ 74,26 juta.

Kayumanis, nilai ekspor tahun 1998 sebesar US $ 31,721 juta dengan negara tujuan Amerika, Eropa dan Jepang.   Indonesia memenuhi 60 % kebutuhan dunia dan 93 % disupply dari Sumatera Barat (Balittro, 2001).    Teknologi yang tersedia adalah 4 klon unggul serta alat press kulit kayumanis sebelum dikeringkan.

Gambir.   Merupakan jenis tanaman potensial di Kabupaten Lima Puluh Kota, Pesisir Selatan dan Kerinci Sumatera Barat dan Jambi.    Ekspor gambir pada tahun 2000 menghasilkan devisa sebesar US $ 15,6453 juta yang sebagian besar berasal dari Sumatera Barat.

 

  

Tabel 1.  Kontribusi terhadap Produk Nasional

 

 

Komoditas

Kebutuhan Dalam Negeri (ton)

Ekspor

Konsum

si RT

Bahan Baku Industri

Jumlah

Produk Primer (ton)

Produk Olahan (ton)

Jumlah (ton)

Nilai (000 US $)

Karet

Kelapa

Kelapa sawit

Kopi

Lada

Cengkeh

Jambu mete

Pala

Kayumanis

Tebu

Tembakau

Kapas

Jahe

Kakao

Kapolaga

Panili

Gambir

Nilam

Seraiwangi

Jarak

Pinang

 

3.662.472

3.712.071

2.967.079

1.140.159

131.193

429.758

535.745

59.925

123.979

340.800

158.133

19.382

10.220

582.155

5.643

17.241

0

10.501

2.859

18.817

87.514

 

1.647.808

25.593

 

355.781

37.419

20.157

28.603

7.550

35.784

 

7.057

48

32.807

387

264

729

6.022

 

 

1.751

 

76.430

6.054

 

645

579

 

1.683

2.020

 

7.398

1.058

95

508

52.083

0,3

 

 

1.355

1.724.238

31.647

 

356.426

37.998

20.157

30.286

9.570

35.784

7.398

8.115

143

33.315

52.470

264,3

729

6.022

1.355

 

          1.751

1.268.911.

24.628

 

582.390

187.732

14.114

34.996

36.767

31.392

3.747

18.007

96

9.895

110.988

1.299

8.764

8.234

53.117

 

270

 

 

 

 

 

Tabel 2.  Penyerapan Tenaga Kerja dan Luas Areal
Komoditas

On Farm (orang)

Off Farm (orang)

 

Perkebunan Rakyat

Perkebunan Besar

Jumlah

Industri Prosesing

Luas Areal (ribu ha)

Karet

Kelapa

Kelapa sawit

Kopi

Lada

Cengkeh

Jambu mete

Pala

Kayumanis

Tebu

Tembakau

Kapas

Jahe

Kakao

Kapolaga

Panili

Gambir

Nilam

Seraiwangi

Jarak

Pinang

1.565.885

1.434.108

486.373

949.351

65.352

294.595

210.528

23.684

49.572

364.814

556.174

 

 

356.545

 

6.842

265.351

50.720

992.167

190.000

6.236

3.770

286

192

316.790

316.790

13.104

34.888

18.398

109.179

67.772

18

 

10.601

 

 

 

1.831.236

1.484.828

1.478.540

949.541

71.598

298.365

210.814

23.876

366.362

681.604

569.278

34.888

18.398

485.724

67.772

6.860

 

10.601

 

97.865

6.337

15.715

23.401

 

196.943

 

 

 

 

559.931

3.662.472

3.712.071

2.957.079

1.140.159

131.109

429.758

535.745

59.925

123.979

340.802

158.133

19.382

10.220

582.155

5.643

17.241

 

10.601

2.850

18.817

87.514

 

 

3.4.   Indeks Efisiensi

Mengacu pada pendekatan George W Norton (1993), yang datanya didasarkan pada judgement peneliti, menunjukkan bahwa indeks efisiensi teknis penelitian tanaman industri berkisar antara 103 sampai 132 %, artinya kegiatan penelitian akan mampu meningkatkan efisiensi teknis sebesar 3 sampai 32 %.    

 

Tabel 3.  Indeks Efisiensi Teknis

 

 

Komoditas

Kemampuan teknologi meningkatkan produktivitas (%)

Peluang keberhasilan penelitian (%)

Peluang teknologi diadopsi pengguna (%)

Indeks efisiensi teknis (%)

1. Kapas

2. Tembakau :

-Temanggung

-Madura

-Virginia

-C. Besuki

3. Kenaf

1.         Rami

2.         Kapuk

3.         Abaca

4.         Agave

5.         Jarak

6.         Wijen

52

 

19

23

18

26

39

33

25

67

32

28

28

66

 

70

80

80

50

56

62

67

70

66

60

65

61

 

35

50

60

38

74

62

19

70

62

34

36

120,93

 

104,65

109,20

108,64

104,94

116,16

112,68

103,18

132,83

113,09

105,71

106,55

Rata-rata

32,5

66,4

50,1

111,54

 

 

George W Norton (1993) mengemukakan, bahwa indeks efisiensi ekonomi mencakup variable-variabel indeks efisiensi teknis dengan variable nilai produksi nasional dan indeks perluasan areal.  Nilai indeks efisiensi ekonomi untuk beberapa komoditas berdasarkan data sekunder yang belum diverifikasi pada tingkat pengguna teknologi (terutama berkaitan dengan aspek kemampuan dan adopsi teknologi), tertera dalam Tabel 4.

 

Tabel 4. Indeks Efisiensi Ekonomi

Komoditas

Indeks Efisiensi Teknis (%)

Nilai Produksi Nasional (Rp. Juta)

Indeks Perluasan Areal (%)

Indeks Efisiensi Ekonomi (Rp. Juta)

1. Kapas

2. Tembakau :

-Temanggung

-Madura

-Virginia

-C. Besuki

3. Kenaf

7.         Rami

8.         Kapuk

9.         Abaca

10.   Agave

11.   Jarak

12. Wijen

120,93

 

104,65

109,20

108,64

104,94

116,16

112,68

103,18

132,83

113,09

105,71

106,55

11.420

2.993.830

 

 

 

 

4.980

27.530

334.000

37.000

2.100

15.100

63.700

110

104

 

 

 

 

119

115

110

170

110

134

120

15.191

3.326.863

 

 

 

 

6.883

35.673

379.083

83.550

2.612

21.389

81.446

 

Dari sembilan komoditas yang dianalisis menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi ekonomi tertinggi adalah penelitian tembakau, kapuk dan penelitian abaca.     

 

 

IV. KESIMPULAN

 

Secara umum tanaman perkebunan yang menjadi mandat Puslitbang Perkebunan, mempunyai peranan yang besar, terutama berkontribusi dalam  penyediaan lapangan kerja, ekspor dan sumber pertumbuhan ekonomi.   Subsektor perkebunan menyerap 17,1 juta tenaga kerja pekebun atau 1,03 % dari angkatan kerja.   Nilai produksi nasional beberapa komoditas utama yaitu kelapa, jambu mete, tembakau, lada, cengkeh pada tahun 1999 mencapai Rp. 18.3 trilyun.    Rata-rata ekspor pertahun sekitar 3,9 milyar US $ atau 47,44 % dari ekpor sektor pertanian.   Pengalaman selama krisis ekonomi tanaman industri bersama dengan tanaman perkebunan lainnya membuktikaan ketangguhannya, hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan positip (3,1 %), dibandingkan dengan sektor lain yang mengalami pertumbuhan negatif.

Berdasarkan judgement peneliti, menunjukkan bahwa indeks efisiensi teknis penelitian tanaman industri berkisar antara 103 sampai 132 %, artinya kegiatan penelitian akan mampu meningkatkan efisiensi teknis sebesar 3 sampai 32 %.      Dari sembilan komoditas yang dianalisis menunjukkan bahwa nilai indeks efisiensi ekonomi tertinggi adalah penelitian tembakau, kapuk dan penelitian abaca.     

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Bidang Tata Operasional Puslitbang Perkebunan, 2000.  Matrik Inventori Penelitian Tanaman Perkebunan.  

 

Daryanto  Arief, 2001.   Peranan Sektor Pertanian dalam Pemulihan Ekonomi, Agrimedia Volume 6 no. 3. P 42 – 47.

 

Puslitbang Perkebunan, 2000.  Gelar Teknologi, Rekayasa dan Proses Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan.

 

…………………………, 1999.  Rencana Strategis Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, 1999/2000 – 2004/2005 (draft final) 78 p.

 

George W Norton, 1993.   Scoring Method, Monitoring and Evaluating Agricultural   Research, International Service for National Agricultural Research, The Hague, Netherlands.  p 162 – 167.

 

Sudradjat S.W, 1985.  Statistika Non Parametrik, Suatu Tapsiran Non Parametric Statistics for Behavioral Sciences, Sidney Siegel. Penerbit Armico Bandung.  302 p.

 

World Bank, 1997.   World Development Indicators, International Bank for Reconstruction and Development, The World Bank Washington DC.

 

 

 

 

Tabel 5.  Kegiatan di Lahan Petani dalam Periode 1990 - 2000

 

Teknologi yang diuji

 

Komoditas

 

Lokasi

Pola tanam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penelitian pengembangan

 

 

 

 

 

 

 

Pengujian kompoenen/paket teknologi

Cengkeh

 

Kelapa

 

 

 

Jamu mete

 

Tanaman industri

 

 

PHT kelapa

 

Jambu mete

 

Kayumanis

 

Akar wangi

 

 

Kapas

 

Kenaf

 

Lada

 

Panili

Pacitan, Semarang, Ciamis

 

Lombok Barat, Sukabumi, Kutai, Indragiri Hilir, Bangka, Maluku Tengah, Baucau, Ciamis, Lampung Selatan.

 

Lombok Barat, Gunung Kidul

 

Sanggau, Kutai

 

 

 

Demak, Kudus, Pati

 

Muna – Buton

 

Tanah Datar (Agam)

 

Garut

 

 

Boyolali, Bone, Jeneponto, Lamongan

 

Lamongan

 

Lampung, Bangka, Sanggau

 

Cianjur, Lampung