© 2002 U. Maman Kh                                                                                        Posted  24 November 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

Nopember 2002

 

Dosen:

Prof.Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Prof.Dr. Zahrial Coto

Dr. Bambang Purwantara

 

 

MENGGABUNGKAN METODE PENELITIAN KUANTITATIF DENGAN KUALITATIF

Oleh

U. Maman Kh.

P  061020091

E-mail: mamankh2002@yahoo.com

 

Abstract

           The quantitative method of research inspired by August Comte in his Philosophy of Positivism, is contradictory with the qualitative method of research which is one of the methods elaborated and derived from  rationalism. I suggest that quantitative research  model– descriptive model, correlation, experiment and quasi-experiment – should be placed in the grand theory as well as the the social context, or to follow the logic of qualitative, so that  research invention is inseparable from the grand situation. In light of this view, I  suggest that the  two contradictory methods of research be combined.

 

Pendahuluan

           Metode penelitian kuantitatif yamg bersumber dari filsafat positivisme yang diperkenalkan August Comte abad ke-18 diakui mendominasi metode penelitian, baik untuk ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial. Berkembangnya teknologi komputasi telah menambah akurasi uji-uji statistik, mendekatai kepastian empiris dengan tingkat kesalahan yang rendah. Hal ini harus diakui menambah gengsi metode kuantitatif. Apalagi ditambah kenyataan bahwa ilmuwan yang mendalami metode kualitatif seringkali karena ketidakmampuan menguasai teknik-teknik statistik.

           Bagi ilmu-ilmu sosial, metode kuantitatif  sekalipun diakui keunggulan dan tingkat akurasinya, tetapi sering dianggap reduksionis, hanya terfokus pada variabel-variabel yang bersifat manipulatif. Pola pikir positivisme yang menghendaki obyek yang teramati dan terukur mendorong metode kuantitatif hanya terbatas pada korelasi dan eksperimen yang mencari hubungan/pengaruh satu atau beberapa variabel terhadap variabel lain. Hal ini terkesan simplikasi persoalan, karena sesungguhnya tidak ada variabel X yang benar-benar mengakibatkan Y. Hubungan kausalitas dalam ilmu-ilmu sosial harus dipahami dalam kerangka nilai dan sistem sosial,  bahkan seringkali terkait atau dipengaruhi oleh keyakinan. Dengan kata lain, tata relasi antara X dengan Y harus dipahami dalam konteks yang bersifat alamiah.

           Dari sini banyak ahli ilmu sosial yang mempersoalkan penerapan metode kuantitatif bagi ilmu-ilmu sosial. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa uji-uji statistik hanya menghasilkan angka, tetapi kehilangan makna karena lepasnya variabel yang menjadi fokus penelitian dari konteks sosio-historis. Namun, menurut hemat penulis, antara kuantitatif-kualitatif tidak perlu dipertentangkan. Bahkan sebaliknya perlu digabungkan untuk memperkuat satu sama lain. Tapi bagaimanakah menggabungkan kedua metode penelitian yang memiliki paradigma yang berbeda? Hal inilah yang menjadi fokus makalah ini. Dengan menelusuri akar falsafah yang melahirkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, penulis mencoba menggabungkan kedua bentuk penelitian tersebut.

Menelusuri Akar Falsafah: Positivisme Vs Rasionalisme

           Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang” perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui – atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.

           Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.

           Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).

           Guru Besar Universitas Mesir, MM Ismail (1958) mengakui adanya realitas empiris sensual yang bebas nilai, dan berguna bagi penelitian laboratorium, khusunya untuk hal-hal yang bersifat materi. Inilah yang ia sebut sebagai pola pikir sains. Tetapi ia pun mengakui adanya pola pikir rasional yang bersifat pemaknaan dan sikap terhadap realitas empiris. Rumusan ilmu-ilmu sosial, menurut Ismail, lebih banyak menggunakan pola pikir rasional. Ilmuwan sosial ketika merumuskan suatu teori pada intinya ia sedang memaknai dan menyatakan sikap terhadap realitas berdasarkan pengetahuan teoritis yang ia miliki. Karena itu, proses berfikir, menurut Ismail, memiliki empat komponen utama, yakni: indra manusia (al-khawas), benak (ad-dimag), fakta empiris (al-waqi’,) dan pengetahuan teoritik yang dimiliki (maklumat sabiqoh). Kemajuan dan penemuan ilmu-ilmu sosial, menurut Muhadjir (2000), karena kemampuan dan ketajaman seseorang untuk memaknai realitas.

           Persoalan penciptaan dan asal usul manusia  dapat dipahami dalam perspektif rasionalisme. Teori Darwin tentang asal usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan atau teori tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. Kunczik (1984) mengingatkan bahwa ilmu-ilmu sosial seringkali lahir dari kerangka sosio-kultural, sehingga tidak jarang mengandung etnosentrisme tertentu.

           Bertolak dari pola pikir rasionalisme, variabel penelitian tidak bisa dipahami secara fragmentatif, melainkan harus dipahami secara holistik dalam suatu kerangka nilai dan sistem sosio-kultural, politik dan ekonomi. Karena itu, di antara kritik rasionalisme terhadap positivisme ialah: (a) positivisme cenderung mengabaikan pencarian makna di balik empiri sensual, sehingga hasil-hasil penelitian menjadi kehilangan makna; (b) positivisme terlalu mengunggulkan fakta fragmentatif, sehingga kehilangan konteks sosio-kultural hasil-hasil penelitian; dan (c) positivisme bersifat reduksionis karena hanya mengakui fakta empiris yang sensual, padahal di samping yang sensual masih terdapat empiri logik, teoritik, dan etik.

Paradigma Penelitian Kualitatif

         Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual.[1] Secara epistemologis, metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut agar obyek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya; atau setidaknya obyek diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi tidak mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik.

           Sebaliknya penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik. Perbedaan paradigma penelitian kualitatif dan kuantitatif secara lebih rinci disajikan dalam Tabel 1.

           Paradigma alamiah disebut penelitian kualitatif, karena penelitian ini menggunakan teknik kualitatif, yakni pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku dan pasti. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa  perlakuan manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sebaliknya paradigma ilmiah lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas yang bersifat kuantitatif.

Tabel 1: PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF

Gambaran Tentang

Paradigma

Ilmiah

Alamiah

Teknik Yang Digunakan

Kualitatif

Kuantitatif

Kriteria Kualitas

“Rigor”

Relevansi

Sumber Teori

A priori

Grounded

Persoalan Kausalitas

Apakah X menyebab-kan Y?

Apakah X menyebabkan Y dalam latar alamiah

Tipe pengetahuan yang digunakan

Proposisional

Proposisional yang diketahui bersama

Pendirian

Reduksionis

Ekspansionis

Maksud Penelitian

Verifikasi

Ekspansionis

Sumber: diolah dari Moleong, 1998: 16

          

           Penelitian kualitatif, karena menekankan pada keaslian, tidak bertolak dari teori secara deduktif (a priori) melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya. Rangkaian fakta yang dikumpulkan, dikelompokkan, ditafsirkan, dan disajikan dapat menghasilkan teori. Karena itu, penelitian kualitatif tidak bertolak dari teori, tetapi menghasilkan teori, yang disebut grounded theory (teori dari dasar). Sebaliknya penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga bersifat reduksionis dan verifikatif, yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak teori).

           Penelitian kuntitatif khususnya eksperimen, dapat menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY? Jika penelit hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, penelitian eksperimen akan mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga akan berpengaruh terhadap Y. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistik.[2]

           Penelitian kualitatif, menurut Moleong (1989), juga dapat dan  seringkali tertarik untuk melihat hubungan sebab akibat. Hanya saja, penelitian kuantitatif berusaha mengetahui sebab-akibat dalam latar yang bersifat laboratorium-ilmiah, sehingga pengaruh X terhadap Y diusahakan terjadi. Sebaliknya, penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Peneliti mengamati keaslian suatu gejala sosial. Kemudian dengan cermat ia menelusuri apakah fenomena tersebut mengakibatkan fenomena lain atau tidak; dan sejauh mana suatu fenomena sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain. Misalnya: peneliti mengamati keragaman perilaku yang menggambarkan ketaatan beragama. Ia mengamati dengan cermat adanya perbedaan perilaku antara mereka yang taat dengan mereka yang kurang taat beragama. Dalam pengamatan tersebut peneliti menemukan hubungan kausalitas ketaatan beragama dengan produktivitas.

           Kriteria ketaatan beragama tidak dirumuskan berdasarkan indikator-indikator teoritis yang sudah disiapkan peneliti. Ketaatan beragama yang bersifat konseptual dirumuskan sesuai realitas obyek penelitian. Karena itu, definisi konsep dan variabel dapat berubah sesuai realitas sebagaimana yang dilakukan Alfian di Aceh.[3]

           Sudah disebutkan bahwa penelitian kuantitatif bertujuan mengetahui hubungan sebab-akibat. Hal ini mengakibatkan jenis penelitian ini harus berangkat dari teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat diuji kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang dilakukan pengujian berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya.

           Sebaliknya penelitian kualitatif, ia mengembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.

Karakteristik Penelitian Kualitatif

           Paradigma alamiah yang menjdi pegangan penelitian kualitatif melahirkan karakteristik metode yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Di antara unsur-unsur metode penting yang membedakan kedua jenis penelitian itu ialah: satuan kajian, desain, instrumen, waktu pengumpulan dan analisis data. Gambaran mengenai beberapa unsur metode tersebut disajikan dalam Tabel 2.

           Satuan kajian dalam penelitian kuntitatif ialah variabel. Variabel ditempatkan menjadi variabel bebas dan variabel terikat berdasarkan teori, proposisi dan hipotesis. Karakteristik sosio-demografis, misalnya, dapat menjadi variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap laju adopsi inovasi. “Laju adopsi” dalam konteks ini menjadi variabel terikat. Tetapi dalam konteks lain, seperti yang dipertanyakan Bordenave (1976) tentang pengaruh adopsi inovasi terhadap pemerataan asset yang dimiliki, “adopsi inovasi” menjadi variabel bebas, sedangkan “pemerataan asset” menjadi variabel terikat. Sekali lagi, penempatan variabel menjadi variael bebas dan variabel terikat bersifat manipulatif, tergantung kepada teori dan hipotesis yang hendak dibuktikan dan dilakukan pengujian.

           Penelitian kualitatif yang berlatar alamiah tidak menggunakan variabel sebagai satuan kajian melainkan pola-pola yang terdapat dalam masyarakat.

 

Tabel 2: KARAKTERISTIK METODOLOGIS PENELITIAN KUALITATIF

 

Unsur-Unsur Metodologis

Paradigma

Ilmiah

Alamiah

Satuan kajian

Variabel

Pola-pola

Desain

Pasti/baku

Berubah-ubah

Instrumen Penelitian

Kertas, pinsil atau alat fisik lain

Peneliti

Penetapan waktu peng-umpulan dan analisis data

Sebelum penelitian

Selama dan sesudah penelitian

Sumber : Diolah dari Moleong, 1998: 16

           Dengan adanya variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian kuantitatif, desain penelitian menjadi baku. Mana yang menjdi variabel bebas, variabel terikat atau variabel kontrol? Ini tercermin dalam desain penelitian, khususnya penelitian eksperimen. Dalam eksperimen, misalnya, terdapat desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang tidak bisa berubah. Sebaliknya, dalam penelitian yang berlatar alamiah desain memang sudah disiapkan sebagai fokus penelitian, tetapi desain dapat berubah setiap saat tergantung pada realitas alamiah.4

           Karakteristik lain yang membedakan kedua jenis penelitian ialah instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian kuantitatif instrumen pengumpulan data berupa tes tertulis, kuesioner, dan kolom-kolom pengamatan yang dibantu dengan alat tulis. Peneliti dapat menugaskan sejumlah enumerator (petugas pengumpul data), karena data yang akan dikumpulkan serta instrumen yang digunakan sudah baku. Sementara instrumen dalam penelitian kualiatif adalah peneliti itu sendiri, karena desain, data yang dikumpulkan, dan fokus penelitian bisa berubah sesuai kondisi alamiah.

           Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data sudah dapat dipastikan. Peneliti dapat menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data; jumlah tenaga yang diperlukan; berapa lama pengumpulan data akan dilakukan; dan jenis data yang akan dikumpulkan sesuai hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sudah baku dan sudah dipersiapkan. Demikian halnya model analisis data, uji-uji statistik, dan penyajian data -- termasuk tabel-tabel yang akan dipergunakan -- sudah dapat ditentukan.

           Sebaliknya dalam penelitian kualitatif. Jenis data yang akan dikumpulkan, model analisis, penyajian data, dan waktu yang diperlukan untuk pengumpulan data belum bisa ditentukan secara pasti. Hal ini tidak berarti bahwa penelitian kualitatif tidak memiliki fokus dan tidak punya aturan. Fokus sangat penting untuk membatasi lingkup penelitian dan data yang akan dikumpulkan.

           Hal lain yang menjadi karakteristik penelitian kualitatif ialah proses kesimpulan yang dilakukan secara induktif. Dengan pengungkapan kenyataan secara alamiah, peneliti dapat melakukan kesimpulan dan akhirnya merumuskan teori secara induktif. Karena itu, penelitian kualitatif akan menghasilkan teori bukan membuktikan teori. Karena itu pula, penelitian kualitatif sering disebut grounded research (penelitian dari dasar).

Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

           Secara umum sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan, dan lain sebagainya. Data statistik yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka -- seperti pertambahan jumlah penduduk, pertambahan jumlah umat beragama, pertambahan jumlah murid dalam sebuah pesantren -- merupakan sumber yang dapat dipergunakan. Selain itu, foto dan video yang dapat menggambarkan suasana  alamiah dapat menjadi sumber rujukan.5

           Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ialah: wawancara mendalam, riset partisipatif, pengamatan dan studi pustaka. Prinsipnya, teknik-teknik pengumpulan data tersebut digunakan untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan secara alamiah.  Karena latar sangat penting dalam penelitian kualitatif, maka latar penelitian harus tergambarkan dengan gamblang.

           Sumber apa yang akan dipergunakan? Teknik apa yang akan digunakan untuk mengumpulkan data? Hal ini sangat tergantung kepada permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Penelitian yang berjudul “Perilaku Ekonomi Masyarakat di Sekitar Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat” – misalnya -- memerlukan pengamatan langsung, wawancara mendalam, ditambah studi pustaka untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang masyarakat di sekitar Pondok Pesantren.

Pendekatan dalam Penelitian Kualitatif

           Aspek lain yang penting dalam penelitian kualitatif ialah pendekatan dalam penelitian. Fenomena sosial, ekonomi dan keagamaan dapat didekati dari berbagai pendekatan, seperti pendekatan politik, sosiologis, antropologis, ekonomis, historis, atau pendekatan multidisiplin. Pendekatan akan menjadikan menjadikan aksesntuasi bagi penelian kualitatif sebagai fokuas penelitian.

           Perdebatan dalam sidang Konstituante di Bandung tahun 1955-1957 mengenai dasar negara (apakah Islam atau Pancasila sebagai dasar negara?) dapat didekati secara politik, khusunya tentang kekuatan-kekuatan politik di Indonesia tahun 1950-an. Berdasarkan pandangan ini, maka dapat dirumuskan judul penelitian: “Perdebatan Dasar Negara dalam Sidang Konstituante: Runtuhnya Islam-Politik di Indonesia.”

           Berdasarkan judul ini peneliti dapat menggambarkan akar kekuatan politik Islam di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Pemilu tahun 1955 (yang memilih anggota DPR) dan pemilihan anggota konstituante tahun 1956 (memilih wakil-wakil untuk merumuskan dasar negara) yang melahirkan partai-partai Islam sebagai salah satu pemenang Pemilu merupakan puncak perjalanan perjuangan politik Islam di Indonesia. Namun demikian, kekalahan partai-partai Islam dalam menetapkan dasar negara Islam dapat dipandang sebagai berakhirnya kekuatan politik Islam, di mana setelah itu perjuangan politik  Islam menjadi surut. Sebaliknya, para tokoh Islam memasuki perjuangan dalam bentuk lain, yakni: perjuangan kultural.

           Kasus yang sama (perdebatan dalam sidang Konstituante) dapat dijelaskan   dengan pendekatan sosio-antropologis. Peneliti dapat menunjukkan bahwa perdebatan dalam sidang Konstituante merupakan cermin disparitas kultural umat Islam. Ada umat Islam yang memiliki kultur santri, priyayi dan abangan. Mengapa umat Islam tidak seluruhnya tertarik masuk partai Islam Masyumi? Di kalangan “muslim santri” terdapat santri kota yang lebih “modern” dan berorientasi Masyumi, tetapi juga terdapat “santri desa” yang berorientasi NU dalam Pemilu tahun 1955.  Karena itu, peneliti dapat menulis judul penelitian “Perdebatan Sidang Konstituante Tahun 1956: Sebuah Telaah Disparitas Kultural Ummat Islam Indonesia.” 6

           Berdasarkan judul penelitian ini peneliti dapat menggambarkan terjadinya pengelompokkan budaya ummat Islam di Indonesia yang dibentuk sejak jaman penjajahan. Dalam hal ini peneliti dapat meminjam teori Geerzt yang membagi kehidupan umat Islam Indonesia berdasarkan aspresiasi kultural keagamaan menjadi: santri, priyayi, dan abangan. Selain itu, peneliti dapat membagi disparitas umat Islam berdasarkan pendidikan menjadi Islam modern (yang berpendidikan Belanda) dan Islam tradisional (yang berpendidikan pesantren). Kegagalan menetapkan Islam sebagai dasar negara mencerminkan kekuatan Islam modern (yang berpendidikan Belanda) dan Islam tradisional (yang berpendidikan pesantren) belum mapu menghadapi “budaya dominan” saat itu, yakni kaum abangan.7                    

               Dalam konteks lain, fenomena sosial-keagamaan dapat dijelaskan dengan pendekatan ekonomi. Misalnya: terdapat penelitian yang berjudul “Potensi Ekonomi Pondok Pesantren: Studi tentang Pengaruh Ketaatan Beragama terhadap Kemandirian Ekonomi di Tiga Pesantren di Jawa Timur.” Dalam judul ini peneliti dapat mengungkap secara alamiah ketaatan beragama, dan mendeskripsikan kemandirian ekonomi santri, serta pengaruh ketaatan beragama terhadap kemandirian tersebut.

Tahapan Pelaksanaan

           Penelitian kualitatif sekalipun dilakukan secara induktif, tidak berarti peneliti tanpa memiliki perspektif. Ia dapat memilih permasalahan penelitian, pendekatan sebagai perspektif dalam memahami gejala sosial keagamaan karena memahami berbagai teori; atau setidaknya ia membaca hasil-hasil penelitian yang memiliki kedekatan dengan penelitian yang dilakukan.

           Penelitian harus dilakukan melalui beberapa tahapan. Salah satu tahapan penting, menurut Moleong (1989) ialah menyusun rancanan penelitian. Isi rancangan penelitian sebenarnya tidak ada yang baku. Akan tetapi secara umum rancangan tersebut berisi:(1) latar belakang masalah, (2) tinjauan pustaka, (3) pemilihan lapangan penelitian (jika akan penelitian lapangan, (4) penentuan jadual penelitian, (5) rancangan pengumpulan data, dan (6) rancangan prosedur analisis data. Studi kepustakaan diharapkan akan menghasilkan : (a) rumusan masalah dan fokus penelitian, (b) pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (c) signifikasi penelitian.

 

Menjembatani Kualitatif-Kuantitatif

           Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu, seperti disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tapi sebenarnya antara kedua penelitian itu tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh. Justru sebaliknya kini antara keduanya saling mendekat dan melengkapi satu sama lain. Tata pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial,8 menurut Muhadjir (2000), dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.

           Apa yang dimaksud dengan  grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir (2000) mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah: Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain.9        

           Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental  dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.

 A. Penelitian Deskriptif

           Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial, ekonomi dan  keagamaan. Misalnya: seorang peneliti menulis judul penelitian: “Ketaatan beragama Buruh-Buruh Pabrik Tekstil di Beberapa Pabrik di Jabotabek.” Penelitian ini bisa dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengukur ketaatan beragama dengan menggunakan skala interval berdasarkan indikator-indikator ketaatan beragama. Penelitian kemudian mengambil sampel agar mewakili populasi yakni buruh-buruh pabrik tekstil di beberapa perusahaan. Karena sampel bersifat representatif, peneliti menyimpulkan populasi berdasarkan sampel tersebut.

           Penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif. Namun bersamaan dengan itu, peneliti dapat mengungkap latar yang bersifat alamiah. Ia dapat mempertanyakan mengapa terjadi perbedaan tingkat ketaatan beragama? Bagaimana wujud ketatan beragama diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana mereka mengatur waktu antara kepadatan bekerja dengan melaksanakan tugas-tugas keagamaan? Bagaimana proses munculnyha ketaatan beragama di pabnrik tersebut? Beberapa pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara kuantitatif melainkan memerlukan jawaban yang bersifat kualitatif dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat titik temu antara kuantitatif dengan kualitatif. Antara kedua jenis penelitian itu ternyata saling melengkapi dan saling membutuhkan.

B. Penelitian Korelasional

           Bentuk penelitian lain yang sering disebut penelitian kuantitatif ialah penelitian korelasional (ex post facto). Seorang peneliti, misalnya, bertujuan mengetahui hubungan ketaatan beragama dengan produktivitas kerja para eksekutif menengah di beberapa perusahaan yang berlokasi di jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Ia merumuskan judul penelitian: “Hubungan Ketaatan Beragama dengan Produktivitas Kerja Para Eksekutif Menengah di Perusahaan-Perusahaan PMDN yang Berkantor di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.”

           Untuk melihat hubungan antara kedua variabel tersebut (ketaatan beragama dengan produktivitas kerja), peneliti mendefinisikan dan mengukur variabel secara kuantitatif. Peneliti merumuskan skor ketaatan beragama untuk masing-masing responden dengan menggunakan skala interval. Demikian halnya ia merumuskan skor produktivitas kerja untuk masing-masing responden. Berdasarkan skor yang diperoleh, peneliti dapat melakukan uji-uji statistik untuk mengetahui hubungan dan keeratan hubungan ketaatan beragama dengan produktivitas kerja.

           Jika berdasarkan uji-uji statistik terdapat hubungan antara ketaatan beragama dengan produktivitas kerja, mengapa antara kedua variabel tersebut  berhubungan? Sebaliknya, jika tidak terdapat hubungan, mengapa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut? Bagaimana mereka mengekspresikan ketaatan beragama dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana mereka mengatur waktu antara kesibukan kerja dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban beragama? Faktor apa yang mendorong mereka memiliki ketaatan beragama? Mengapa sebagian mereka tidak taat beragama? Bagaimana sosok keseharian mereka yang taat dan tidak taat beragama?

           Beberapa pertanyaan tersebut tidak bisa diungkap melalui uji-uji statistik melainkan harus dijelaskan secara alamiah. Dengan demikian, walaupun penelitian didesain sebagai penelitian korelasional kuantitatif, tapi harus dilengkapi dengan pengungkapan realitas kehidupan mereka yang sesungguhnya. Karena itu, batas antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif menjadi sangat cair (tidak ada batas).

C. Penelitian Eksperimen

           Kritikan terhadap penelitian kuantitatif yang paling utama sebenarnya diarahkan kepada penelitian eksperimen, karena eksperimen dianggap sebagai penelitian kuantitatif yang sebenarnya. Yang dimaksud dengan paradigma ilmiah yang sebenarnya ialah penelitian eksperimen, karena penelitian inilah yang berlatar belakang laboratorium dan bersifat manipulatif dengan memberi perlakuan untuk kemudian mengamati efek perlakuan.

           Namun sebenarnya perkembangan eksperimen, khususnya eksperimen manusia, beralih dari eksperimen murni yang berlatar belakang laboratorium menjadi kuasi-eksperimen yang berlatar alamiah. Eksperimen memang dimaksudkan untuk uji coba media, uji coba metode, atau penemuan-penemuan lain, bagaimana pengaruhnya penemuan-penemuan tersebut kepada manusia. Peneliti seringkali membentuk unit-unit eksperimen yang bersifat buatan. Pengaruh yang terjadi bukan sebagaimana adanya melainkan diusahakan agar terjadi dalam uji-uji laboratorium (unit-unit eksperimen).

           Namun demikian, para peneliti eksperimen menyadari bahwa hal itu sangat sulit dilakukan karena manusia yang ditempatkan pada unit-unit eksperimen menyadari bahwa mereka sedang diuji coba. Karena itu, perilaku mereka seringkali bersifat artifisial, bukan perilaku yang sebenarnya. Atas hal demikian, para peneliti eksperimen memanfaatkan kelompok-kelompok yang ada dan sudah terbentuk dalam masyarakat untuk melakukan uji coba media, metode dan penemuan lainnya, sehingga mereka tidak merasa sedang diberi perlakuan. Perilaku mereka tidak bersifat artifisial. Inilah yang disebut kuasi-eksperimen. Selain itu, perlakuan pun seringkali mengandalkan sesuatu yang sudah terjadi di masyarakat, sehingga tidak terjadi manipulasi variabel bebas.

           Di sisi lain, dengan adanya kuasi eksperimen, peneliti dapat menyajikan latar yang bersifat alamiah. Misalnya: jika seorang peneliti melakukan uji coba tiga media pada tiga kelompok tani di suatu desa, maka peneliti dapat mengungkap keberadaan kelompok tani di desa tersebut sebagai sebuah konteks tersebut secara alamiah. Mengapa media yang satu lebih tepat bagi kelompok tani tersebut, bukan media yang lain? Hal ini dapat dijawab bukan hanya berdasarkan uji-uji statistik, seperti analisis ragam dan perbandingan nilai tengah, melainkan berdasarkan kenyataan yang bersifat alamiah dalam kelompok tersebut.

           Perbedaan antara kualitatif dengan kuantitatif menjadi tidak nampak. Demikian halnya perbedaan antara paradigma ilmiah dengan paradigma alamiah menjadi hilang, setidaknya semakin menipis. Karena itu, kedua penelitian kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi satu sama lain yang sama-sama diperlukan.

 

 

Penutup

           Penelitian kualitatif yang berkembang dari filsafat positivisme dan memiliki pola pikir yang bersifat mikro dapat digabung dengan pola pikir kualitatif yang mengehendaki pengungkapan fenomena secara holistik. Apa yang diungkap dengan sendirinya memiliki makna dalam konteks pola-pola hubungan sosial.

           Karena itu, dapat memulai penelian dengan berpihak dari logika makro kualitatif, kemudian di tengah-tengah logika itu, seseorang dapat melakukan penelitian yang bersifat spesifik –mikro, seperti melihat melihat hubungan antara satu variabel dengan variabel lain, atau – bahkan – melakukan kuasi eksperimen secvara mikro dalam konteks logika makro. Atau sebaliknya, peneliti bisa memulai penelitian dengan logika mikro kuantitatif, baik survai deskriptif maupun korelasional, atau bahkan kuasi eksperimen. Kemudian peneliti berusaha mengungkap latar secara mendalam dan holistik, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh tergambarkan secara holistik dalam kerangka makro sosiologis.

           Dengan demikian, antara kualitatif-kuantitatif bukan saling bertentangan, tetapi bergabung menjkadi satu kesatuan utuh yang saling melengkapi satu sama lain. Hanya saja model penelitian seperti masih harus dikembangkan.****

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfian (ed.), Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode  Grounded Research (Jakarta: LP3ES, 1977).

Bordenave, Juan Diaz, “Komunikasi Inovasi Pertanian di Amerika Latin: Perlunya Model-Model Baru” dalam Rogers, Everett M. (ed.), Komunikasi dan Pembangunan: Perspektif Kritis, terj. Dasmar Nurdin (Jakarta: LP3ES, 1989).

Campbell, Donald T. dan Julian C. Stanley, Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963)

Champion, D.I., Basic Statistic for Social Research (New York: Macmillan Publishing Co.,1981).

Gaspersz, Vincent., Metode Perancangan Percobaan (Bandung: AMRICO, 1991).

Geerzt, Clifford, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1966).

Glasser, Berney G. dan Anselm L. Strauss, The Descovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research (New York: Aldine, 1967)

Isaac, Stephen dan William B. Michael, Handbook in Research and Evaluation (San Diego, California: Edits Publisher, 1982)

Ismail, Muhammad-Muhammad, Al-Fikrul Islami (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958);

Kerlinger, Fred N., The Foundation of Behavior Research, Third Edition (Oregon, US: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1986).

Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert Stiftung, 1984).

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)

Muhadjir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000)

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989)

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993).

 

      



                [1]Menurut catatan Prof.Dr. Noeng Muhadjir, penelitian kualitatif  yang bertolak dari pemikiran post-positivisme memiliki empat kerangka berfikir, yaitu: (a) post-positivisme-rasionalistik, (b) postpositivisme phenomenologik-interpretif, (c) postpositivisme dengan teori kritis dan weltanschauung, dan (d) pragmatisme meta-etik. Lihat: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000) 

                [2]Mengenai kontrol variabel pengganggu dalam eksperimen dapat dilakukan dengan memilih berbagai bentuk desain penelitian eksperimen yang paling tepat. Mengenai berbagai bentuk penelitian eksperimen, lihat antara lain, l, Donald T. Campbel dan Julian C. Stanley, Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963)

 

                [3]Lihat Alfian (ed.), Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode  Grounded Research  (Jakarta: LP3ES, 1977).

 

                        4Mengenai Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan Rancangan Acak Kelompok (RAK), lihat  , Vincent Gaspersz Metode Perancangan Percobaan (Bandung: AMRICO, 1991). Mengenai konsep desain eksperimen, lihat: Donald T. Campbell  dan Julian C. Stanley, op.cit.

 

5 Mengenai teknik-teknik penelitian kuantitatif, khusus survai, lihat Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989).

6Mengenai perdebatan dalam Sidang Konstituante, lihat: Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Perdebatan dalam Sidang Konstituante  (Jakarta: LP3ES, 1986). Mengenai kekuatan-kekuatan politik di Indonesia tahun 1950-an, lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986)

 

            7Mengenai trikonomi disparitas kultural  (santri, priyayi dan abangan), lihat Cliford Geerzt, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1966).

 

            8Salah satu ciri khas penellitian positivisme-kuantitatif ialah menggunakan uji-uji statistik inferensial yang membuktikan keeratan hubungan  atau pengaruh yang bersifat kausalitas variabel X dengan Y. Lebih jelasnya mengenai hubungan ini, lihat anatra lain, D.I. Champion, Basic Statistic for Social Research (New York: Macmillan Publishing Co.,1981).

 

9Mengenai logika-logika atau ragam tata pikir penelitian kualitatif, lihat Noeng Muhadjir (2000): 86-107.