ă 2002 Moch. Rum Alim Posted 9 November 2002
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November 2002
Dosen :
Prof Dr.
Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr
Zahrial Coto
Dr Bambang
Purwantara
UTANG MENGGURITA; MASIHKAH ADA HARAPAN
INDONESIA LEPAS DARI LILITAN UTANG
Oleh:
Moch. Rum Alim
Tahun
1984 Marzuki Usman dalam kapasitasnya sebagai Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi (ISE)
DKI Jakarta memberikan ceramah di hadapan civitas academica Universitas
Nasional. Dalam ceramah tersebut beliau antara lain menyatakan bahwa “orang tua kita
dahulu tidak akan nyenyak tidur kalau mereka mempunyai utang. Tetapi orang
sekarang tidak akan nyenyak tidur bila tidak mempunyai utang. Kenapa? Karena orang yang tidak punya utang tandanya dia tidak
dipercaya”. Pernyataan ini mungkin hanyalah gurauan. Namun
secara telanjang kebenaran pernyataan ini
tergambar dari perilaku pemerintah Indonesia ketika mereka memperoleh utang,
baik berupa pinjaman bilataral maupun multilateral via international financial institutions (IFIs).
Dengan bangga para pejabat tinggi negara mengumumkan, baik langsung maupun
tidak langsung, atas keberhasilan mereka memperoleh utang luar negeri ini tanpa
nada khawatir sedikitpun. Bahkan dalam pernyaaan mereka itu sering terselip
kata: “keberhasilan ini merupakan bukti bahwa kita
masih dipercaya”. Perilaku yang serupa pun tergambar pada sikap
masyarakat, terutama yang berada di kota-kota. Mereka akan bangga dan merasa
telah menjadi masyarakat dunia apabila membayar belanjaan mereka dengan
menggunakan credit
card. Credit card telah dijadikan sebagai lambang masyarakat
berkelas, masyarakat modern.
Pernyataan Marzuki Usman
sebagaimana diungkapkan di atas disampaikan dengan nada ringan tanpa ada
kekhawatir sedikitpun. Mungkin ketika itu tidak terbayang dalam benaknya:
adanya bahaya utang, apalagi malapetaka yang menimpa perekonomian negara ini
gara-gara kebanyakan utang.
Saat ini Indonesia telah
terbelit utang luar negeri pada tingkat yang sangat menghawatirkan, namun tidak
ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan berhenti meminjam. Utang luar negeri kita
bukannya semakin berkurang malah secara kumulatif terus meningkat dari tahun ke
tahun. Di tambah lagi dengan utang
domestik yang di create pemerintah untuk program bantuan likuiditas serta
program penjaminan dalam penyehatan perbankan. Pembayaran
kembali utang-utang dan bunganya kini menjadi beban belanja negara, sehingga
keuangan negara terancam bankrut.
Makalah
ini hendak menyoroti kondisi perbankan dan utang luar negeri menjelang dan pada
saat awal krisis ekonomi Indonesia tahun 1998.
Utang
atau kredit (credit) adalah suatu istilah yang menyatakan bahwa seseorang atau
badan akan membayar kembali dikemudian hari atas uang atau barang yang
diterimanya dari pihak lain. Pihak yang menerima uang/barang, berjanji (dan
terikat dengan janji itu) akan mengembalikan atau membayar kembali di kemudian
hari disebut pihak yang berutang. Sebaliknya pihak yang menyerahkan uang atau
barang dan bersedia menerima pembayaran atau pengembalian uang di kemudian hari
disebut pihak yang memberi utang. Seringkali pihak yang berutang disebut
debitur dan pihak yang memberi utang disebut kreditur (creditor). Pihak
debitur haruslah pihak yang dapat dipercaya dan untuk itu dia dituntut memiliki
“4C’s of credit”,
yaitu: character,
capacity,
capital,
collateral.
C yang pertama menyatakan bahwa pihak yang
akan menerima utang memiliki moral yang tinggi. Artinya ia senantiasa menepati janji dan karenanya
dapat dipercaya. C yang kedua menyatakan bahwa
pihak yang akan menerima utang mempunyai kemampuan membayar. Kemampuan ini
dimiliki karena ia mempunyai usaha yang cukup menguntungkan dan mempunyai
peluang berkembang di masa depan. C yang
ketiga menyatakan bahwa pihak yang akan menerima utang memiliki modal sendiri
di dalam menjalankan usahanya. Ini berarti bahwa utang yang akan diterima
merupakan tambahan atas modal sebagai penunjang, sedangkan modal sendiri
merupakan sumber pembiayaan utama dalam operasi perusahaan. C yang keempat menyatakan bahwa pihak yang akan
menerima utang menyerahkan atau menitipkan sesuatu kepada pemberi utang sebagai
jaminan. Apabila di kemudian hari pihak penerima utang tidak sanggup membayar
utangnya, maka barang jaminan ini dapat diuangkan oleh pihak pemberi utang agar
utangnya dapat diperoleh kembali.
“4C’s of credit” ini merupakan suatu kesatuan yang haruslah
dimiliki oleh calon penerima utang secara utuh. Untuk itu pihak pemberi utang
(kredit) dituntut untuk melakukan penilaian dan investigasi (investigation) secara cermat agar ia
dapat memperoleh kepercayaan yang teguh sebelum kredit diberikan. Apabila
penilaian dan investigasi telah dilakukan dengan cermat dan ternyata calon
penerima kredit memiliki semua syarat dari “4C’s of credit”, maka utang
(kredit) dapat diberikan. Dalam hal pemberian kredit (utang) yang didasarkan
atas hasil penilaian dan investigasi secara cermat, dapatlah disebut bahwa
penerima kredit merupakan pihak yang telah mendapatkan kepercayaan dari pihak
pemberi kredit; dan jadilah ia sebagai orang yang dipercaya. Dalam batas-batas
(bingkai) inilah pernyataan Marzuki Usman benar bahwa “orang yang banyak utang adalah orang
yang terpercaya”. Namun, apakah benar kalau semua orang yang berutang itu adalah orang-orang
yang terpercaya?.
Investigasi dan penilaian atas “4C’s of credit” dari seorang calon penerima kredit bukanlah
pekerjaan mudah apabila hendak dilakukan secara cermat dan hati-hati, terutama
yang berkaitan dengan character dan capacity. Character seseorang tidak
kasat mata. Sementara itu pihak yang akan memberi kredit (calon kreditur) tidak
mempunyai cukup waktu untuk mengamati dari dekat character dari calon
penerima kredit. Jalan pintas yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini
adalah referansi (reference) pihak
ketiga yang telah terlebih dahulu berpengalaman memberikan kredit kepada yang
bersangkutan; atau referensi pihak ketiga yang dipercaya oleh calon kreditur.
Capacity berkaitan dengan kemampuan membayar kembali kredit yang akan
diterima. Cara mudah untuk melakukan penilaian atas capacity adalah dengan
menganalisis Neraca (balance
sheet) dan Laporan Rugi/Laba perusahaan selama lima
atau tiga tahun terahir serta cash flow.
Sementara itu capacity yang sesungguhnya di masa depan tetap
merupakan teka-teki dan berada dalam ketidak pastian.
Penilaian capital relatif lebih mudah dibandingkan
dengan tiga C lainnya. Collateral berupa barang tidak bergerak atau
lainnya memerlukan taksiran nilai atas collateral tersebut di masa
depan. Hal ini tidak dapat dilakukan semua orang, melainkan orang yang memiliki
pengetahuan dan keahlian khusus. Setelah nilai collateral diketahui barulah
kredit diberikan dalam jumlah yang lebih kecil dari nilai collateral.
Dalam
melaksanakan fungsi mediator ini bank-bank haruslah menjaga keseimbangan di
antara tiga kepentingan secara dinamis,
yakni kepentingan masyarakat sebagai pemilik
dana, kepentingan pengusaha sebagai pengguna
dana, dan kepentingan perbankan sendiri
sebagai mediator. Dari sudut pandang ekonomi masyarakat pemilik dana menyimpan
uangnya di bank dengan maksud memperoleh bunga. Namun tujuan memperoleh bunga
bukanlah satu-satunya tujuan. Di balik itu ada tujuan lain yang mungkin lebih
esensial, yaitu uangnya tersimpan aman dan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu
apabila diperlukan.
Bank
dalam perkembangannya merupakan suatu lembaga ekonomi yang profit oriented.
Uang yang disimpan masyarakat (nasabah) oleh bank dipinjamkan kepada pihak
ketiga (perusahaan dan masyarakat) dengan mengenakan bunga yang lebih tinggi
dari yang dibayarkannya kepada para penyimpan (nasabah). Marjin bunga yang
diperoleh bank merupakan penerimaan (revenue), yang setelah dipotong seluruh
biaya operasi, akan diperoleh profit. Operasi perbankan ini dimungkinkan karena
beberapa alasan, anatara lain: (1) uang yang disimpan para nasban di suatu bank
tertentu tidak diambil sekaligus dan serempak pada suatu waktu, sehingga bank
memegang (menguasai sementara) uang cukup banyak; (2) Bank berkewajiban
membayar bunga kepada para nasabah; (3) Pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan,
memerlukan dana tambahan untuk ekspansi usaha.
Dalam
ekonomi modern, bank (dan lembaga keuangan lainnya) mempunyai peranan yang amat
penting dalam proses transfer dana yang diperlukan oleh unit-unit produksi
dalam sector-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan pesat untuk ekspansi. Secara umum, fungsi bank adalah:
1.
Fungsi
mobilisasi, yaitu: menghimpun dana
kecil-kecil dan tersebar dan menya-lurkannya ke dalam investasi yang lebih
besar
2.
Fungsi
likuditas, yaitu: mempunyai
kemampuan untuk memelihara likuiditas alat-alat finansial dan menjamin agar
alat-alat tersebut dapat dicairkan menjadi uang tunai. Pencairan dana dapat
dicairkan dengan segera tanpa menunggu alat-alat tersebut jatuh tempo.
3.
Fungsi
penyatuan maturity, yaitu: mampu menyediakan
dana setiap saat, tanpa terikat pada jatuh temponya portofolio alat-alat
finansial.
Dalam
melaksanakan fungsi menyalurkan dana kepada unit-unit produksi, selayaknya bank
bersikap hati-hati, dengan memegang pinsip “4C’s of
credit”. Namun di dalam melaksanakan prinsip “4C’s of credit” terdapat trade-off
dengan kelancaran penyaluran dana. Bila bank beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip perbankan dan melaksanakan secara konsisten prinsip “4C’s of credit” maka akan tidak terjadi
kredit macet dan posisi bank pun akan menjadi aman. Namun, apabila bank
memegang prinsip “4C’s of credit” secara
teguh dan menerapkannya secara ketat, maka penyaluran kredit akan mengalami hambatan,
tidak lancar, yang pada gilirannya dunia usaha tidak akan terdorong untuk
mengembangkan usahanya. Namun, apabila “4C’s of credit” dilonggarkan atau
diabaikan maka ancaman kredit macet akan menganga dan siap menerkam
sewaktu-waktu. Bila terjadi kredit macet pada suatu bank, maka peluang operasi
bank tersebut akan menyempit, dan jika tidak segera diatasi akan terancam
likuidasi.
Dalam
kaitan ini diperlukan suatu kearifan, kecerdasan, dan kecermatan para
pengelola perbankan. Jika tidak, maka tidak akan tersedia alternatif yang
terbaik bagi kelancaran penyaluran kredit dan trade-off yang
disebutkan di atas akan benar-benar terjadi.
Sampai dengan semester
pertama 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan
tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat dan ekspansi kredit tetap
kuat, terutama sector property. Ekspansi berlebih juga telah menyebabkan
kewajiban perbankan, khususnya bank swasta nasional (BSN), dalam valuta asing
meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa netto dan
semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing selama tiga
tahun, 1995 s/d 1997 (Tabel 1). Di sisi lain kredit non lancar pada beberapa bank nasional cenderung
meningkat, sedangkan efisiensi usaha memburuk.
Tabel 1
Beberapa Indikator Perbankan
(dalam miliar rupiah)
Indikator |
1995/1996 |
1996/1997 |
1997 |
1997/1998 |
Dana Pihak Ketiga Kredit -
Properti -
Konsumsi Kredit Non Lancar Rasio AV/PV2) Rekening Administratif -
Tagihan -
Kewajiban BOPO |
214.764 234.611 42.793 25.310 24.400 57,7 76.213 178.423 0,92 |
281.718 292.921 58.797 35.579 27.957 42,9 121.853 208.903 0,92 |
357.613 378.134 68.318 9.769 30.802 50,5 478.813 1.060.349 0,95 |
452.937 476.841 70.112 39.061 109.7801) 22,2 174.574 439.343 1,01 |
1)
Berdasarkan ketentuan lama
sebesar Rp. 62.558 milliar;
2) AV/PV =
Aktiva valas/Pasiva valas
Sumber: Opposunggu, 1998
Perkembangan di atas menyebabkan perbankan nasional
sangat rentan (fragility) terhadap
goncangan-goncangan yang terjadi dalam perekonomian. Paling
sedikit ada lima faktor yang menyebabkan perbankan nasional menjadi rentan:
1.
Adanya jaminan terselubung (implicit
guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank
untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan. Hal ini menimbulkan
moral hazard di kalangan pengelola dan
pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi bank-bank
umum kepada bank Indonesia, serta mendorong bank umum mengambil utang
berlebihan dan memberi kredit ke sector-sektor berisiko tinggi. Kecenderungan
ini mengakibatkan distorsi dalam alokasi kredit dan meningkan risiko terjadinya
krisis perbankan;
2.
Sistem pengawasan Bank Indonesia kurang efektif karena
belum sepenuhnya dapat mengimbangi pesatnya perkembangan dan kompleksnya
operasional perbankan. Keadaan ini mendorong perbankan nasional mengabaikan
prinsip kehati-hatian di dsalam operasi mereka. Dengan kata lain, lemahnya law
enforcement dan kurangnya kemadirian (independensi) menyebabkan
langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif;
3.
Besarnya pemberian kredit dan jaminan langsung ataupun
tidak langsung kepada individu dan atau kelompok usaha yang terkait dengan bank
(connected lending) mendorong terjadinya kredit macet;
4.
Lemahnya kemampuan manajerial bank mengakibatkan
penurunan kualitas asset productive dan meningkatkan risiko perbankan;
5.
Kurangnya transpaansi mengenai kondisi perbankan,
mengakibatkan lemahnya akurasi analisis keuangan suatu bank dan terciptanya
disiplin pasar.
Dengan kondisi perbankan
nasional yang rentan, gejolak nilai tukar (kurs mata uang) rupiah telah
mengakibat kebanyakan BSN mengalami kesulitan likuiditas (mismatch) yang sangat besar. Melemahnya nilai
tukar rupiah mengakibatkan tanggungan atas utang
valuta asing naik tajam, sehingga mempersulit kondisi likuditas
perbankan. Hal ini diperburuk dengan kondisi debitur yang juga mengalami
kesulitan dalam memenuhi kewajiban valuta asing
kepada perbankan, sehingga kredit bermasalah menjadi semakin menumpuk. Besarnya
kesulitan likuiditas pada ahirnya telah menimbulkan krisis pada perbankan
nasional.
Satu November 1997 gendang
kematian 16 bank swasta nasioan (BSN) ditabuh mengakibatkan masyarakat menjadi
panik. Kepanikan ini memberikan tekanan yang berat terhadap posisi likuiditas
perbankan, sehingga hampir seluruh BSN menghadapi kesulitan likuiditas dalam
jumlah yang besar. Sebagian besar melanggar giro wajib
minimum dan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank
Indonesia. Untuk mencegah meluasnya penarikan masyarakat (rush) kepada seluruh
system perbankan, Bank Indnesia sebagai lender
of the last resort memberikan bantuan likuiditas perbankan. Namun,
jumlah bantuan likuiditas ini sedemikian besar sehingga menimbulkan masalah
baru berupa meningkatnya jumlah uang beredar yang mendorong kenaikan
harga-harga dan kegiatan spekulasi pembelian valas.
Keadaan perbankan nasional
yang sudah sedemikian tertekan diperburuk pula oleh menurnnya peringkat
(rating) yang diberikan oleh lembaga pemeringkat
internasional, sehingga kredibilitas perbankan nasional di luar negeri
menurun. Hal ini tercermin dari penolakan bank-bank di berbagai negara terhadap
transaksi valas dan letter of credit (L/C)
yang diterbitkan oleh bank-bank nasional.
Hampir tidak ada perusahaan
yang berkembang cepat tanpa utang. Demikian halnya
dengan negara-negara pada umumnya. Hampir semua negara membiayai pembangunnya
dengan utang. Namun demikian, yentunya ada perbedaan dalam memperoleh pinjaman
dan dalam pengelolaan utangnya antar satu negara dengan negara lainnya. Ada negara yang memanfaatkan
pinjaman domestik dan mengelolanya dengan hati-hati. Ada negara yang
memanfaatkan pinjaman luar negeri dengan proses peminjaman yang hati-hati dan
mengelolanya secara hati-hati pula. Dan ada negara yang
melalukan pinjaman luar negeri dengan ceroboh dan mengelolanya secara ceroboh
pula.
Pinjaman domestik ataupun pinjaman luar negeri,
kedua-duanya adalah utang yang harus dibayar kembali dan kedua-duanya memiliki
risiko, bahkan mengandung bahaya yang tersembunyi. Peringatan
George Washington seperti dikutip The Economist, volume 22, Januari 2000, patut mendapat
perhatian serius. Katanya: “Tidak ada tindakan yang lebih berbahaya daripada meminjam
uang”. Nasehat tokoh besar ini tidak salah, namun bila dilaksanakan
secara lugas maka system kapitalis akan bangkrut. Utang
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari system kapitalisme yang saat ini
dinilai paling unggul. Eropa Barat dibangun dengan utang melalui apa yang
dikenal dengan Marshal Plan. Demikian juga dengan beberapa negara yang pada
waktu lalu dikategorikan sebagai “macan” ekonomi Asia. Negara maju seperti
Jepang dan Amerika Serikat juga tak luput dari utang. Bedanya dengan Indonesia
dan negara-negara berkembang lainnya, utang ke dua negara maju ini berasal dari
utang domestik.
Negara-negara
berkembang umumnya memperbesar kapasitas ekonominya melalui capital inflows,
baik dalam bentuk bantuan program dan pinjaman pemerintah maupun investasi
langsung. Namun, dalam perkembangan keuangan internasional nampaknya pasar
keuangan internasional semakin terintegrasi. Integrasi ini memudahkan akses ke
pasar keuangan internasional, capital inflows menjadi semakin beragam, dan
tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga swasta.
Pola utang luar negeri (ULN) dapat ditinjau dari dua
sisi, yakni dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dari sisi permintaan
terdapat dua pola utang luar negeri yang dilakukan pemerintah di negara-negara
berkembang. Pola pertama adalah permintaan ULN yang
betul-betul dilandasi oleh perhitungan yang cermat dan proyek-proyek yang akan
dibiayai dengan utang luar negeri pun jelas. Proyek-proyek tersebut
secara jelas terkait dengan proses peningkatan kapasitas ekonomi nasional,
sehingga pola ini akan menimbulkan kemampuan membayar kembali utang luar
negeri. Pola kedua adalah permintaan ULN yang
ditentukan oleh fakor-faktor random. Faktor-faktor yang random ini
terkait erat dengan perilaku elit kekuasan yang korup. Proyek-proyek yang
dibiayai dengan utang luar negeri pola ini tidak mempunyai kaitan dengan
peningkatan produksi nasional, sehingga tidak menimbulkan kapasitas
membayar kembali (repayment capacity). Kalaupun ada yang mempunyai
kaitan dengan peningkatan kapasitas
produksi, skala utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek
yang dimaksud melebihi keperluan yang realistis, sehingga rate of return
dana pinjaman berada jauh di bawah cost of borrowing. Selain itu, ada
lagi factor random lainnya, yaitu factor kebutuhan untuk mempertahankan nilai
tukar mata uang sendiri pada tingkat yang relatif tinggi (overvalued
currency). Nilai tukar yang overvalued ini diperlukan untuk mempertahankan
cadangan devisa yang tinggi dan menjamin kemampuan impor barang-barang yang
diperlukan.
Berangkat
dari Loan Pull Theory (Hallberg, 1986) sebagaimana dikemukan di atas,
nampaknya utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia lebih
cenderung pada pola kedua, sehingga Indonesia tidak memiliki repayment
capacity utang luar negerinya. Dua
tahun berturut-turut menjelang krisis nilai tukar rupiah, pemerintah Orba
menghadapi net transfer sebagai akibat adanya negative inflows, yakni jumlah
pinjaman luar negeri yang baru lebih kecil dari jumlah cicilan pokok dan bunga
ULN.
Utang
luar negeri ditinjau dari sisi penawaran adalah utang luar negeri terjadi
karena adanya dorongan dari para kreditor. Pendekatan ini didasarkan pada Loan Push Theory
(Darity – Horn, 1988; Ernest Mandel (1986). Dari
sudut pandang teori ini, terdapat dua pola utang yang ditimbulkan oleh para
kreditor. Pola pertama adalah process recycling
of petro-dollars, yaitu lembaga-lembaga keuangan ininternasional (IFIs)
yang menguasai surplus petro-dollars berupaya dengan berbagai cara
melempar surplus petro dollars ini ke negara-negara berkembang karena
permintaan di negara-negara maju semakin berkurang. Dalam process
recycling petro-dollars telah terjadi kaloborasi antara loan pusher dengan pejabat-pejabat pemerintah
di negara-negara berkembang, sehingga melalui mekanisme yang direkayasa oleh
pihak loan pusher banyak proyek-proyek yang
dibiayai oleh pinjaman luar negeri tidak memiliki kelayakan ekonomis.
Akibatnya, kaitan antara pinjaman LN dan peningkatan kapasitas produksi
nasional menjadi sangat lemah dan tidak jelas. Pola yang kedua adalah ULN di
negara-negara berkembang terjadi karena adanya dorongan overheating of creadit yang terjadi di
negara-negara maju. Proses overheating of creadit
dilakukan oleh negara-negara maju untuk mencegah terjadinya krisis dalam system
kaitalisme di negara-negara ini setelah melihat adanya gejala-gejala resesi
yang berkepanjangan.
Ditinjau
dari sisi penawaran kredit LN, nampak
bahwa akses pasar untuk memperoleh pinjaman
LN cukup mudah, sehingga tidak mengherankan apabila akumulasi ULN pihak swasta
meningkat dengan cepat dan melampaui ULN pemerintah pada masa Orba.
Setelah
Pakto ’88, telah terjadi capital inflows jangka pendek dalam jumlah yang
sangat fantastis. Pintu masuk utama capital inflows melalui saluran
pinjaman komersial perbankan yang antara lain dirangsang oleh pemerintah
Indonesia rezin Soeharto melalui subsidi premi swap
valuta asing (valas) dan tingkat suku bunga
domestik yang tinggi. Bunga pinjaman LN mengambang (floating);
demikian juga dengan kurs mata uang. Ini berarti bahwa risiko perubahan tingkat
suku bunga dan kurs ditanggung sepenuhnya oleh peminjam. Pinjaman LN tersebut
digunakan untuk menutup defisit transaksi berjalan, memupuk cadangan devisa,
membelanjai pelarian modal (capital flight) dan investasi nasional di
luar negeri. Dalam kelompok penggunaan yang pertama, termasuk impor barang
modal milik segelintir konglomerat nasional dan BUMN tertentu. Hal ini berarti
berbagai mega proyek yang sifat investasinya jangka panjang dibiayai oleh
pinjaman komersial jangka pendek. Pola pembiayaan seperti ini akan mengganggu
stabilitas ekonomi nasional dan telah lama diperingatkan oleh para pengamat
sebelum terjadi krisis pada medio 1997.
Boediono
(1997) mengemukakan bahwa opsi pertahanan yang terbaik bagi suatu negara adalah
mempertahankan secara terus menerus mempertahankan kebijakan makroekonomi yang
benar. Opsi ini berarti bahwa suku bunga, kurs,
laju inflasi, defisit transaksi berjalan, dan utang jangka pnedek harus
terus-menerus dijaga jangan sampai keluar dari norma-norma yang diterima dunia.
Dalam kaitan ini nampak bahwa antara tahun 1993/1994 sampai tahun 1997/1998
utang LN Indonesia berkembang dengan cepat sehingga pembayaran cicilan utang
pokok dan bunga meningkat tajam. Peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga
pinjaman tidak dapat diimbangi oleh kenaikan ekspor barang dan jasa sehingga
terjadi defisit transaksi berjalan. Rasio pembayaran
hutang pokok dan bunga pinjaman terhadap total ekspor (debt service ratio)
meningkat dari 31,8 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 50,8 persen pada tahun
1997/1998. Angka debt service ratio ini berada jauh di atas batas aman
(biasanya sebesar 20 persen).
Pengalaman
diberbagai negara menunjukkan bahwa serangan
spekulan terhadap nilai tukar sering terjadi pada negara-negara yang mempunyai
utang LN, dimana pangsa ULN pihak swasta lebih besar dari ULN pihak pemerintah
dan dengan porsi utang jangka pendek yang terus meningkat serta tidak di hedging.
Pemanfaatan utang LN secara tidak efisien sebagai akibat lemahnya corporate govermance, baik
dari pemerintah maupun perusahaan swasta, juga mendorong
timbulnya sentimen pasar yang memberikan tekanan-tekanan terhadap nilai tukar.
Selanjutnya, dengan melemahnya nilai tukar
menimbulkan kepanikan para peminjam (debitur) dalam memenuhi kewajiban utangnya
yang segera jatuh tempo. Kepanikan para debitur
akan menekan nilai tukar mata uang setempat ke tingkat yang lebih rendah, yang
kemudian berakibat pada repayment capacity para debitur menjadi semakin
lemah. Demikian
seterusnya, sehingga terjadilah SPIRAL krisis utang LN
dengan krisis nilai tukar. Keadaan inilah yang terjadi di Indonesia pada
tahun 1997, yang berujung pada krisis ekonomi dan krisis politik.
Sekarang
ini ULN Indonesia berada pada kondisi yang tidak lebih baik. Sementara itu
belum juga ada tanda-tanda pemerintah akan berhenti berhutang ke luar negeri,
padahal repayment capacity terus saja
melemah. Perkembangan
ULN pemerintah dari tahun 1997 s/d 2001 berturut-turut sebagai berikut (dalam jutaan $) : 53.865;
67.328; 75.863;
74.918; 74.416.
Defisit anggaran
pada tahun 2001 meningkat tajam dari tahun sebelumnya, yakni dari 15 triliun
rupiah pada tahun 2000 menjadi 54,3 triliun rupiah pada tahun 2001. Defisit
anggaran sebesar ini dibiayai dari dua sumber, yakni sumber pembiayaan dalam
negeri dan pembiayaan luar negeri. Sumber pembiayaan dalam negeri berasal dari privatisasi BUMN dan
penjualana asset BPPN sebesar
Tabel 2. Perkembangan Operasi Fiskal
Tahun Anggaran 1998/1999 – 2002 (dalam triliun rupiah)
Uraian |
1998/1999 |
1999/2000 |
2000 |
2001 |
2002 |
A. Pendapatan Nagara & Hibah I Pendapatan Dalam Negeri 1.
Penerimaan Pajak 2.
Penerimaan Non Pajak II Hibah B. Belanja Negara I Pengeluaran Rutin II Pengeluaran Pembangunan III Dana Perimbangan C. Surplus/Defisit Anggaran NegaraD. Pembiayaan Anggaran I. Pembiayaan Dalam Negeri 1.
Pembiayaan Perbankan DN 2.
Pembiayaan Non-Perbankan a.
Privatisasi BUMN b.
Penjualan asset BPPN II. Pembiayaan Luar Negeri 1.
Pinjaman LN 2.
Amortisasi/Cicilan Pokok ULN |
156,5 156,4 102,4 95,5 0,1 172,7 117,5 55,1 - (16,2) 16,2 (4,8) (6,4) 1,6 1,6 - 21,0 51,0 (30,0) |
187,8 187,8 125,9 61,9 0,0 231,9 156,8 45,2 29,9 (44,1) 44,1 14,7 (1,9) 16,6 3,7 12,9 29,4 49,6 (20,2) |
205,0 205,0 115,8 89,2 0,0 221,0 161,4 25,7 33,9 (15,0) 15,0 5,4 (13,5) 18,9 3,9 15,0 9,6 17,2 (7,6) |
286,0 286,0 185,3 100,7 - 340,3 213,4 45,4 81,5 (54,3) 54,3 34,4 - 34,4 - - 19,9 40,1 (20,2) |
289,4 289,4 216,8 72,6 - 332,4 195,0 47,1 90,3 (43.0) 43.0 25,4 - 25,4 - - 17,6 59,1 (41,5) |
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN RI, Tahun 2002
34,4 triliun rupiah
dan sumber pembiayaan
luar negeri sebesar
19,9 triliun rupiah. Sumber pembiayaan
defisit anggaran dari luar negeri sebesar 19,9 triliun rupiah tersebut berasal
dari pinjaman LN setelah dikurangi cicilan pokok ULN.
Sumber pembiayaan defisit
anggaran dari dalam negeri, sebagaimana disebutkan, terutama berasal dari
privatisasi BUMN dan penjualan asset BPPN. Hal ini berarti kekayaan negara
semakin berkurang, dan akan terus berkurang bila pola pembiayaan defisit
semacam ini terus berlangsung. Tidak mustahil bila pada
suatu saat kekayaan negara habis terkuras. Bila tidak ada lagi asset BPPN yang
bisa dijual, tidak ada lagi BUMN yang bisa diprivatisasi, sementra penerimaan
pajak merangkak lambat, maka yang tinggal sebagai pembiayaan defisit anggaran
hanyalah sumber pimbiayaan luar negeri. Jika ini terjadi, maka keuangan negara
benar-benar dalam keadaan bangkrut.
Langkah penyelesaian utang yang paling
arif dan terhormat adalah membayar atau melunasi utang tersebut tepat waktu
sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Namun hal ini baru akan terjadi apabila
pihak yang berhutang (debitur) memiliki kemampuan membayar (repayment
capacity) dan berkemauan membayar sesuai kesepakatan. Langkah yang tidak terhormat dan tidak beradab adalah jika
memiliki repayment capacity namun tidak mau membayar. Pemerintah
Indonesia mau membayar kembali utang luar negerinya, namun tidak memiliki atau
setidak-tidaknya repayment capacity-nya lemah. Kondisi ini tercermin
dari debt service ratio (DSR), debt/export, dan debt/GDP, yang
semuanya berada di atas batas aman yang ditetapkan Bank Dunia.
Penyelesaian utang luar negeri pihak pemerintah diupayakan melalui
Paris Club sedangkan untuk pihak swasta dibentuk Tim Penyelesaian Utang Luar
Negeri Swasta (TPULNS) dan kemudian dibentuk Indonesian Debt Restructuring
Agency (INDRA). Namun hasil yang dicapai berjalan lambat. Penyelesaian
utang LN melalui Paris Club sebenarnya hanya memberikan keadaan rileks sejenak
tanpa mengurangi daya cengkramnya, yakni penjadwalan ulang pinjaman bilateral.
Sebenarnya, dari pengalaman negara-negara yang pernah mengalami krisis utang
LN, terdapat berbagai alternatif yang dapat ditempuh:
1. Thesis
Marzuki Usman bahwa orang yang nyenyak tidur adalah orang yang banyak utang,
terbukti tidak benar baik dari
pengalaman Indonesia, Mexico, maupun negara lainnya termasuk Jepang.
2. Peringatan
George Washington bahwa “Tidak ada tindakan yang lebih berbahaya daripada
meminjam uang” bila dilaksanakan secara lugas akan mengancam kelangsungan hidup
system kapitalisme.
3. Pada
masa pembangunan orde baru, Indonesia telah terjebak ke dalam hutang luar
negeri untuk membiayai pembangunan, memelihara cadangan devisa, membiayai
defisit transaksi berjalan, dan mempertahankan nilai tukar rupiah yang
overvalued. Utang luar negeri ini
terus meningkat dari tahun ke tahun.
4. Utang luar negeri Indonesia semakin diperbesar oleh
pinjaman swasta. Pinjaman luar negeri pihak swasta ini menjadi semakin marak
karena semakin terintegrasinya pasar uang global sehingga memudahkan akses
untuk memperoleh pinjaman, tingginya tingkat bunga domestik, dan kebebasan yang
diberikan pemerintah.
5. Pada saat utang luar negeri pihak swasta lebih besar
dari pemerintah dan didominasi oleh utang jangka pendek, maka pada saat itu
pihak spekulan (fund manager) akan menyerang nilai tukar (kurs) mata uang
setempat (domestik) untuk memperoleh keuntungan dari selisih kurs.
6. Jatuhnya nilai tukar rupiah membuat beban utang luar
negeri pihak swasta dan pemerintah dalam rupiah menjadi semakin berat, barang
impor menjadi lebih mahal, dan ini semua berdampak pada ekonomi nasional.
7. Bank swasta nasional juga terbelit utang luar negeri
dan meminjamkannya kepada perusahaan yang juga bermasalah, sehingga banyak bank
swasta nasional yang dilikuidasi. Fungsi bank pun menjadi mandek pada masa
krisis.
8. Restrukturisasi perbankan telah membuat pemerintah
terjebak dalam utang domestik yang cukup besar; dan penyelesaian utang ini
telah pula membebani APBN yang dimasukkan ke dalam belanja rutin pemerintah.
9. Penyelesaian utang domestik dan pembayaran cicilan
pokok ULN plus bunga tidak hanya mengurangi kemampuan pemerintah membiayai
pembangunan, tetapi juga ikut memperbesar defisit anggaran. Besarnya defisit
anggaran ini bila terus berlangsung dari tahun ke tahun maka keuangan negara
akan terancam bangkrut.
10. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, tersedia
berbagai alternatif penyelesaian utang luar negeri, tetapi dari berbagai
alternatif tersebut tidak tersedia alternatif terbaik bagi Indonesia untuk
keluar dari tekanan utang luar negeri apalagi terbebas sama sekali dari
cengkeraman utang luar negeri ini.
Agus Purnomo,
2002, Debt for Natural Swap di
Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap Sebagai
Salah Satu Alternatif untuk Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia,
diselenggarakan oleh DEPLU pada 30 Juli 2002, Hotel Mandarin Jakarta.
Arief, Sritua,
1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Cides, Jakarta.
Bade, Parkinand. 1998. Modern Macroeconomics,
Oxfor: Phillip Allan Press.
Binhadi, 1997, Financial Sector Deregolation,
Banking Development and Monetery Policy. The Indonesia Experience, Institut
Bankir Indonesia, Jakarta.
Boediono, 1997, Globalisasi dan Kebijaksanaan
Moneter Indonesia, CSIS.
-----------, 1998, Merenung Kembali Mekanisme
Transmisi Moneter di Indonesia, dalam Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, Bank Indonesia.
-----------,
1998, Ekonomi Meneter, Edisi 3, Yogyakarta: BPFE.
Dornbush, Rudiger and Stanley Fisher, 1990, Macroeconomics,
Fifth Edition, McGrow Hill Publishing Company.
Mankiw, N. Gregory, 2000, Macroeconomics,
Fourth Edition, Worth Publisers, New York.
Mashkin F.S, 1995, The Economics of Money, Banking
and Financial Market, Harper Collins, USA.
Mansour Fakih, 2002, Runtuhnya Teori
Pembangunan dan Globalisasi, Inssist Press, Yogyakarta.
McCallum, Bennett T, 1989, Monetary Economics
Theory and Policy, Macmillan Publishing Company, New York
Umar Basalim,
M. Rum Alim, Helma Oesman, 2000, Perekonomian Indonesia: Krisis dan Strategi
Alternatif, Unas – Cidesindo, Jakarta.
Zoemrotin KS,
2002, Kemiskinan, Pemiskinan dan “Debt for Poverty Swap”, Makalah
disampaikan dalam Seminar tentang Debt Swap Sebagai Salah Satu Alternatif untuk
Mengurangi Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia, diselenggarakan oleh DEPLU
pada 30 Juli 2002, Hotel Mandarin Jakarta.