Institut Pertanian Bogor
January 2003
Dosen:
Prof.Dr.Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof.Dr.Zahrial Coto
Dr. Bambang Purwantara
Oleh :
Muhamad
Fatah Wiyatna
D06102007.1
E-mail : fatah02sari@yahoo.com
PENDAHULUAN
Indonesia, yang terdiri dari ribuan
pulau yang berjajar dari Sumatra sampai Papua, mendukung kekayaan
keanekaragaman hayati yang terkaya di seluruh dunia. Diantara tumbuhan dan
binatang yang sangat beraneka ragam ini, terdapat lebih dari 200 jenis kelelawar,
atau sekitar 20% dari semua jenis kelelawar di dunia yang telah diketahui.
Hampir semua orang di Indonesia mengenal kelelawar; mungkin karena
mendengan suara kelelawar yang bertengger di rumahnya, atau karena melihatnya
ketika sedang mengejar serangga di senja hari, atau karena mendapat kesempatan
melihat iring-iringan ribuan kelelawar yang baru keluar dari gua tempat
bersarangnya, berupa tontonan yang sangat mengasyikan, atau mungkin karena
melihat koloni kelelawar yang bergantung di pepohonan di Kebun Raya Bogor.
Bukti bahwa kelelawar ini sudah dikenal oleh masyarakat luas, yaitu dengan
adanya berbagai nama dari setiap daerah. Di Indonesia Timur kelelawar disebut paniki,
niki atau lawa; orang sunda menyebutnya lalay, kalong, atau kampret;
orang Jawa menyebutnya lowo, lawa, codot, kampret; suku Dayak di
Kalimantan menyebutnya sebagai hawa, prok, cecadu, kusing dan tayo.
Keberadaan kelelawar ini sangat
penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia karena peranannya sebagai pemencar
biji buah-buahan (jambu air, jambu biji, kenari, keluwih, sawo, namnaman,
duwet, cendana, dll); sebagai penyerbuk tumbuhan bernilai ekonomis (petai,
durian, bakau, kapuk, randu, dll); sebagai pengendali hama serangga; sebagai
penghasil guano dan tambang fosfat di gua-gua; sebagai obyek ekowisata.
Kelelawar gua sebagai obyek wisata belum banyak dimanfaatkan masyarakat
di Indonesia. Misalnya kelelawar dari Gua Lawa, Nusa Kambangan dapat dijadikan
daya tarik wisata karena gua ini dihuni puluhan ribu kelelawar (jenis Chaerephon
plicata). Iring-iringan kelelawar pada senja hari keluar dari mulut gua
merupakan atraksi yang menarik, barisan seperti ular naga yang berjalan
melenggak-lenggok diangkasa raya yang berlangsung lebih dari setengah jam.
Pupuk guano yang dihasilkan kelelawar penghuni gua sudah banyak
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Guano merupakan bahan yang mengandung fosfat terbanyak.
Fosfat merupakan bahan penyusun pupuk pertanian. Indonesia kaya akan sumber
penghasil fosfat, seperti guano tetapi ironisnya hampir 100% triplesuperphosphat
(tsp) untuk pupuk pertanian adalah hasil impor. Menurut data statistik impor,
bulan Mei 2001 Indonesia mengimpor 7.570. ton triplesuperphosphat dengan nilai
US$ 892.847 atau sekitar Rp 8.035.623.000 atau sekitar 8 triliun per bulan
sehingga dalam satu tahun menghabiskan devisa sekitar 96 triliun rupiah (BPS,
2001).
Gua merupakan salah satu habitat tempat
tinggal sebagian besar jenis kelelawar. Indonesia sangat kaya akan gua, di Jawa
dan Bali saja terdapat sekitar 1000 buah, dan 200 buah diantaranya telah
dipetakan. Eksploitasi terhadap kekayaan di dalam gua yang tidak benar
menyebabkan terganggunya ekosistem gua. Misalnya penambangan batu kapur untuk
kebutuhan pembuatan jalan atau kebutuhan lainnya menyebabkan gua menjadi
hancur, kemudian adanya kunjungan wisatawan yang tidak memperhatikan
kelestarian ekologi di dalamnya. Adanya pengrusakan dan gangguan pada gua
mempengaruhi ekosistem yang ada didalamnya termasuk kelelawar, sehingga mereka
terpaksa pindah ke tempat (gua) lain, yang kadang tidak sesuai bagi
kehidupannya.
Meskipun belum
ada penelitian, di beberapa tempat di Indonesia terdapat kecenderungan
penurunan populasi kelelawar. Contohnya dulu di Gua Ciampea, Bogor sangat mudah
menangkap lalai kembang (Eonycteris spelaea), namun akhir-akhir ini
sulit mendapatkannya karena populasinya berkurang akibat penangkapan liar untuk
dijual.
Kelelawar
berkembang biak sangat lambat, disamping masa bunting yang cukup lama 5-6 bulan
juga jumlah anak per kelahiran sangat sedikit sehingga apabila jumlah kematian
dan perburuan kelelawar lebih besar dari perkembangbiakan, maka populasi
kelelawar akan menurun. Dengan demikian, jika nasib kelelawar ini tidak
diperhatikan lambat laun populasi menurun dan pada akhirnya manfaat ekonomis
serta biologis sebagai penghasil guano dan pengendali keseimbangan ekosistem
menjadi hilang dan kita akan kehilangan kekayaan hayati yang sulit untuk
dikembalikan.
TUJUAN
1. Mengetahui daerah
penyebaran, habitat, jenis makanan, tingkah laku reproduksi, produktivitas,
tingkah laku makan, dan manfaat kelelawar bagi keseimbangan lingkungan dan
manusia
2.
Mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan
kelelawar sebagai penyedia pupuk guano di Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
KLASIFIKASI
Sistematika Zoology kelelawar
(Koopman dan Jones, 1970).
Kingdom |
: |
Animalia |
|
Phylum |
: |
Chordata |
|
Subphylum |
: |
Vertebrata |
|
Class |
: |
Mammalia |
|
Ordo |
: |
Chiroptera |
|
Subordo |
: |
Famili: 1.
Pteropodidae
|
|
|
|
Famili: |
1. Rhinopomiatidae 2. Nycteridae 3. Megadermatidae 4. Rhinolopidae 5. Hipposideridae 6. Mizopopodidae 7. Mystacinidae 8. Noctilionidae 9. Phyllostomidae 10. Desmodontidae 11. Natalidae 12. Furipteridae 13. Thyropteridae 14. Vespertilionidae 15. Emballonuridae 16. Molossidae |
Subordo Megachiroptera (Old World fruit bats) hanya memiliki satu famili
yaitu Pteropodidae dengan 42 genera dan 175 spesies, sedangkan subordo
Microchiroptera memiliki keragaman yang besar dengan 16 famili, 145 genera dan 788
spesies (Findley, 1993).
Kelelawar merupakan salah satu
anggota mamalia yang termasuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai
“sayap tangan”, karena kaki depannya bermodifikasi sebagai sayap yang berbeda
dengan sayap burung (DeBlase dan Martin, 1981).
Sayap kelelawar dibentuk oleh perpanjangan jari kedua sampai kelima yang
ditutupi oleh selaput terbang atau patagium, sedangkan jari pertama
bebas dan berukuran relatif normal. Antara
kaki depan dan kaki belakang, patagium ini membentuk selaput lateral, sedangkan
antara kaki belakang dan ekor membentuk interfemoral.
Ordo
Chiroptera merupakan hewan yang unik dan menarik karena merupakan satu-satunya
mamalia yang memiliki kemampuan terbang, memiliki jenis pakan yang sangat
bervariasi dan beristirahat dengan cara bergantung terbalik.
Ordo Chiroptera memiliki dua sub ordo yaitu Microchiroptera dan
Megachiroptera. Kebanyakan Microchiroptera adalah insectivora dan hanya
sebagian kecil yang omnivora, karnivora, piscivora, frugivora, nectarivora atau
sanguivora (Findley, 1993). Kelelawar
pemakan serangga yang paling kecil mempunyai bobot 2 gram dan paling besar 196
gram dengan lengan bawah sayap 22-115 cm. Microchiroptera umumnya menggunakan
ekolokasi sebagai alat pengendalian gerakannya di tempat yang gelap dan
menentukan posisi serangga yang akan dimangsanya. Sedangkan Megachiroptera
umumnya adalah herbivora (pemakan buah, daun, nektar dan serbuk sari),
berukuran tubuh relatif besar dengan bobot badan 10 gram untuk ukuran kecil dan
ukuran terbesar dapat mencapai 1500 gram, memiliki telinga luar yang sederhana
tanpa tragus, jari kedua kaki depan bercakar dan mata berkembang relatif baik
(Nowak dan Paradiso, 1983).
Menurut Yalden
dan Morris (1975), pada waktu terbang kelelawar membutuhkan oksigen jauh lebih
banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml vs. 7 ml oksigen/1 gram bobot
tubuh, dan denyut jantung berdetak lebih kencang (822 kali vs. 522 kali per
menit), untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif
lebih besar dibandingkan kelompok lain ( 0,09% vs. 0,5% bobot tubuh). Kebutuhan
energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar makan dalam jumlah
banyak. Menurut Gould (1955) Myotis lucifugus yang ada di Amerika
Serikat, mampu memakan serangga yang setara dengan 500 individu serangga dalam
satu jam, bahkan kelelawar Pipistrellus subflavus mampu menangkap
serangga sebanyak seperempat bobot tubuhnya dalam waktu 30 menit.
Kelelawar juga
dikenal sebagai pembawa beban yang sangat handal, jenis Lasiurus borealis mampu
membawa empat ekor bayinya yang total bobotnya 23,4 gram atau 181% bobot
tubuhnya (Yalden dan Morris, 1975). Kelelawar lain hanya mampu membawa bayinya
dengan bobot berkisar 9,3-73,3% bobot tubuhnya (Davis dan Cockrum, 1964)
Selain
adaptasinya yang baik, kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat
kosmopolit, karena ditemukan hampir di semua wilayah di muka bumi kecuali di
daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Koopman, 1970).
1.
Aseasonally
polyestrus, yakni seluruh populasi jantan tetap menunjukan spermatogenesis dan
kelenjar kelengkapan menjadi mengembang atau membesar
Hubungan
reproduksi terhadap kejadian masa tidak aktif pada kelelawar senantiasa
mengikuti dua pola dasar:
Spesies Megaderma spasma (nama Inggris Asian False vampires)
termasuk ke dalam Famili Megadermatidae dan genus Megaderma. Famili Megadermatidae
di dunia mempunyai empat genus dan lima spesies sedangkan di Indonesia terdapat
satu genus dan satu spesies (Nowak, 1999). Anggota Megadermatidae dikenal
sebagai pengendali hama tanaman, serangga, dan penghasil pupuk guano.
Ciri-ciri morfologi(Suyatno, 2001)
Taring mencuat ke depan dengan tonjolan
sekunder. Geraham depan atas kecil dan terdesak ke dalam. Telinga
besar dan tegak, bersambungan antara kanan dan kiri pada bagian pangkalnya. Tragus
panjang dan terbelah. Ekor sangat pendek/tidak ada, kalau ada terbenam
dalam selaput kulit antarpaha yang tumbuh baik. Daun hidung tegak dan
panjang (Nowak, 1994).
Ukuran tubuh (Suyatno, 2001)
-
lengan bawah
sayap 53-58 mm
-
telinga 32-39 mm, besar dan tegak
-
betis 29-32 mm
-
kaki belakang
14-17 mm
-
bobot badan
40-60 gram (Lekagul dan McNeely, 1977)
-
total panjang
badan 65-95 mm (Lekagul dan McNeely, 1977)
Karakteristik
reproduksi :
ü
Cenderung
hidup berkoloni besar dalam satu tempat.
ü
Dalam koloni
tersebut jantan hidup bersama betina sepanjang tahun.
ü
Musim kawin
terjadi antara bulan Nopember – Januari
ü
Dewasa kelamin
jantan 15 bulan, dan betina 19 bulan
ü
masa bunting
150-160 hari, dan kelahiran terjadi antara bulan April-Juni.
ü
litter size
1-2 ekor tetapi paling banyak satu ekor,
Kelahiran kelelawar muda terjadi sebelum awal musim hujan. Kelelawar
muda tumbuh sangat cepat dan diasuh oleh induknya selama 2-3 bulan dengan cara
digendong.
Megaderma spasma banyak ditemukan pada habitat seperti
gua-gua, gedung-gedung, rongga
pepohonan dan atap-atap rumah sebagai tempat tinggalnya.
Spesies Megaderma spasma menyebar di India dan Srilangka sampai
Indochina, Malaysia dan Philipina. Di Indonesia banyak ditemukan pulau Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku (Ternate, Pulau Taliabu).
Penyebaran subspesies
lainnya (van der Zon, 1979):
Makanan :
Makanan utama spesies ini adalah serangga (insectivore) seperti
belalang atau kupu –kupu. Disamping itu kelelawar ini juga memangsa sejenis
kadal, reptil kecil, burung, ikan, dan rodensia kecil. Kelelawar ini diduga juga memangsa kelelawar sejenisnya
(Nowak, 1994).
Kelelawar
termasuk hewan nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari. Kelelawar
mempunyai kemampuan untuk menangkap pantulan getar atau gema dari suara yang
diitimbulkannya atau dikenal dengan istilah ekholokasi. Ekholokasi adalah suatu
fenomena malam hari, dimana kelelawar akan mengeluarkan suara dengan melalui
mulut atau hidungnya ketika sedang terbang. Suara tersebut umumnya berada di
atas ambang batas pendengaran manusia dan pantulkan kepada kelelawar tersebut
dalam bentuk gema (echoes). Hal ini berguna bagi kelelawar yang sedang
terbang dalam kegelapan untuk menentukan letak seragga mangsanya di atas daun
atau sedang terbang. Mereka tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan
pendengarannya ketika telinga mereka tersumbat. Kelelawar hanya mengeluarkan
seperseribu energi suara untuk memangsa serangga dalam keadaan terbang.
Kebutuhan energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar
makan dalam jumlah banyak. Menurut Gould (1955) Myotis lucifugus yang
ada di Amerika Serikat, mampu memakan serangga yang setara dengan 500 individu
serangga dalam satu jam, bahkan kelelawar Pipistrellus subflavus mampu
menangkap serangga sebanyak seperempat bobot tubuhnya dalam waktu 30 menit.
Tingkah laku.
Jenis ini termasuk
hewan nocturnal (mencari makanan
pada malam hari). Menggelantung dengan kakinya selama siang hari, mereka
menyelimuti tubuhnya dengan sayap ketika dingin dan mengipas-ngipaskan sayapnya
jika keadaan panas. Mereka sering
terlihat makan di atas pohon dan menjatuhkannya ke tanah. Bagi induk yang
memiliki anak, mereka memberikan anaknya makan sebelum mereka makan.
Kebiasaan kelelawar yang hidup
berkoloni pada tempatnya sepanjang hari memberikan manfaat positif, yaitu
kotoran yang dihasilkannya akan mengumpul pada suatu tempat dimana kelelawar
tersebut tinggal. Tumpukan kotoran kelelawar yang merupakan sumber fosfat dapat
dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pupuk secara benar yang tidak
mengganggu atau merusak ekosistem di dalammnya.
Kemampuan fisiologis kelelawar sungguh luar biasa. Pada musim dingin di kawasan subtropis, kelelawar tidur dan mampu menurunkan laju metabolisme tubuhnya sehingga bisa bertahan hidup tanpa makan; keadaan ini disebut masa dorman. Pada kadar karbon dioksida sebesar 21.000 ppm (50 kali kadar karbon dioksida dalam udara normal) dan ammonia sebesar 5000 ppm, kelelawar masih mampu bertahan hidup. Sementara kemampuan manusia untuk bertahan hidup pada kadar karbon dioksida yang sama hanya seperempatnya, dan hanya mampu bertahan hidup selama satu jam dalam kadar ammonia sebesar 100 ppm saja (Constantine, 1970).
Manfaat Ekonomis.
GUANO FOSFAT
Guano kelelawar adalah 100 % pupuk organik yang dihasilkan oleh semua jenis kelelawar yang ada di dunia. Guano kelelawar mengandung elemen mineral mikro dan makro lengkap yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan
:
Jenis hewan |
Nitrogen |
P (P2O5) |
K (K2O) |
Ayam |
3.6 |
1.3 |
1.3 |
Sapi potong |
2.0 |
0.65 |
1.6 |
Sapi perah |
3.3 |
0.35 |
2.0 |
Bebek |
2.6 |
0.8 |
0.5 |
Kambing |
4.0 |
0.61 |
2.8 |
Guano kelelawar |
5.7 |
8.6 |
2.0 |
Kuda |
2.5 |
0.25 |
0.8 |
Manusia |
2 |
1 |
0.2 |
Babi |
2.8 |
1 |
1.2 |
Burung merpati |
6.5 |
2.4 |
2.5 |
Kelinci |
4.8 |
2.8 |
1.2 |
Domba |
3.5 |
0.55 |
1 |
Kalkun |
5 |
0.6 |
0.8 |
Sumber : http.www.css. Cornell, educ. Fertilizer analisis.pdf. dl 27-11-2002.
Dari tabel tersebut
dapat kita lihat bahwa guano kelelawar mengandung paling banyak fosfat. Fosfat merupakan bahan utama penyusun pupuk
disamping nitrogen dan Potasium. Beck (1959) menyatakan bahwa kandungan kasar
bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% nitrogen, 3% Fosfor, dan 1%
Potasium. Tingginya kandungan nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman
yang cepat, fosfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, dan kalium (K)
mendukung kekuatan batang tanaman. Disamping tiga unsur utama tersebut, guano mengandung
semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. Tidak seperti
pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat pengisi. Guano tinggal lebih
lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan
makanan bagi tanaman lebih lama dari pada pupuk kimia buatan.
Proses
pemanenan guano kelelawar di dalam gua harus dilakukan secara profesional. Jika
tidak akan membahayakan pekerja itu sendiri karena terdapat gas amoniak atau
spora jamur. Disamping itu harus dilakukan ketika para kelelawar keluar
meninggalkan gua tersebut.
Gambar 3.
Pemanenan guano di dalam Gua di Texas, Garden Ville.
POTENSI GUA
Gua merupakan
ekosistem alami sederhana yang sangat bermanfaat untuk memahami keterkaitan ekologis,
untuk pengaturan dan pemurnian air, untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai
ekonomis seperti pupuk guano, sarang burung walet atau nilai intrinsik dari gua
itu sendiri. Batas-batas yang jelas, kondisi yang tertutup, tingkat cahaya yang
rendah, suhu dan kelembaban relatif serta aliran udara yang relatif stabil
merupakan ciri khas suatu gua. Variasi dalam ciri khas antara gua yang satu
dengan gua lainnya membentuk berbagai macam habitat yang menentukan tipe dan
jumlah binatang yang dapat hidup di dalam gua.
Gua merupakan
salah satu habitat tempat tinggal sebagian besar jenis kelelawar. Indonesia
sangat kaya akan gua, di Jawa dan Bali saja terdapat sekitar 1000 buah, dan 200
buah diantaranya telah dipetakan. Eksploitasi terhadap kekayaan di dalam gua
yang tidak benar menyebabkan terganggunya ekosistem gua. Misalnya penambangan
batu kapur untuk kebutuhan pembuatan jalan atau kebutuhan lainnya menyebabkan
gua menjadi hancur, kemudian adanya kunjungan wisatawan yang tidak
memperhatikan kelestarian ekologi di dalamnya. Adanya pengrusakan dan gangguan
pada gua mempengaruhi ekosistem yang ada didalamnya termasuk kelelawar,
sehingga mereka terpaksa pindah ke tempat (gua) lain, yang kadang tidak sesuai
bagi kehidupannya.
Beberapa gua di jawa dan Bali yang dihuni oleh ribuan kelelawar, yaitu :
No |
Nama Gua |
Lokasi |
Catatan |
1 |
Lalai |
Pelabuhan Ratu, Jawa Barat |
Jutaan kelelawar bibir keriput Tadarida plicata. Timbunan guano
belum dikelola secara optimal. |
2 |
Ciampea |
Bogor, Jawa Barat |
Dihuni oleh
Lalai Kembang Eonycteris spelaea. Populasi
menurun karena penangkapan liar |
3 |
Pongangan |
Gresik,
dekat Surabaya, Jawa Timur |
Jutaan
kelelawar menghuni gua ini, populasi sudah menurun karena penangkapan liar |
4 |
Lawah |
Klungkung,
Bali |
Dihuni oleh
ribuan codot fajar gua Eonycteris spelaea |
5 |
Giri Putri |
Karangsari, Suana, Nusa Penida Bali |
Gua cukup
besar dengan penghuninya kala cameti, jangkrik gua, kelelawar dan kepiting
endemik |
Potensi dan Peluang Indonesia sebagai
Penghasil Pupuk Fosfat
Indonesia adalah negara agraris. Sebagaian besar lahan daratan digunakan
untuk aktivitas pertanian dan masyarakat mayoritas mempunyai mata pencaharian
sebagai petani yang mendukung lahan pertanian tanaman pangan. Kegiatan pertanian memerlukan pupuk
sebagai pendukungnya. Disamping itu kebijakan pemerintah yang mendukung
terhadap berbagai upaya pengelolaan sumberdaya lokal yang mendapat sambutan
baik dari berbagai komponen starategik seperti lembaga penelitian dan perguruan
tinggi. Hal ini merupakan suatu peluang bagi upaya pengelolaan dan penyediaan
pupuk organik fosfat.
Untuk memenuhi
permintaan petani terhadap pupuk buatan, pemerintah masih mengandalkan impor
terhadap bahan (unsur) penyusun pupuk buatan. Seperti untuk membuat pupuk TSP
(Triplesuperphosphate) hampir 100% bahan tersebut diimpor. Sebagai contoh
menurut data Statistik Impor, Indonesia telah mengimpor triplesuperphosphate
pada bulan Mei 2001 sebanyak 7.570. ton dengan nilai US$ 892.847 atau sekitar
Rp 8.035.623.000 atau sekitar 8 triliun per bulan sehingga dalam satu tahun
menghabiskan devisa sekitar 96 triliun rupiah (BPS, 2001).
Kondisi Indonesia dewasa ini memaksa
kita untuk dapat mencari, menggali potensi kekayaan hayati untuk dikelola sebagai
penghasil devisa negara sekaligus dapat memenuhi permintaan dalam negeri.
Indonesia mempunyai banyak kekayaan hayati, baik flora maupun fauna, namun
belum mengetahui, atau belum dapat mengelola sumberdaya tersebut sebagai
pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Pada akhirnya sumberdaya tersebut
banyak dieksfloitasi oleh orang asing dengan harga murah dan dijual kembali ke
Indonesia dengan berbagai kemasan dengan harga yang lebih mahal. Seperti halnya
dengan pupuk TSP, kita mengimpor total bahan tersebut padahal Indonesia sendiri
mempunyai banyak potensi yaitu kelelawar dan gua sebagai habitatnya dalam
menghasilkan guano fosfat.
Indonesia dengan kondisi geografinya
mendukung terbentuk gua-gua yang cukup banyak. Di Jawa dan Bali terdapat
kira-kira 1000 gua, 200 diantaranya sekarang sudah dipetakan. Gua tersebut
merupakan habitat bagi suatu kumpulan individu dan membentuk suatu ekosistem di
dalamnya, diantaranya adalah jenis kelelawar dan hewan lain seperti serangga.
Banyaknya gua ini merupakan suatu kekuatan (strength) bagi upaya
pelestarian dan pengembangan kelelawar sebagai penghasil pupuk guano di
Indonesia.
Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna sangat melimpah. Kekayaan ini kurang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi penopang kekayaan tersebut, akibatnya banyak potensi dan kekayaan hayati belum dapat dimanfaatkan secara optimal
Kebiasaan kelelawar yang hidup
berkoloni pada tempatnya sepanjang hari memberikan manfaat positif, yaitu
kotoran yang dihasilkannya akan mengumpul pada suatu tempat dimana kelelawar
tersebut tinggal. Tumpukan kotoran kelelawar yang merupakan sumber fosfat dapat
dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pipuk secara benar yang tidak
mengganggu atau merusak ekosistem di dalammnya.
Yang menjadi ancaman
(threats) bagi kelestarian dan pemanfaatan potensi kelelawar ini adalah
perburuan kelelawar untuk dikonsumsi dagingnya, eksploitasi tambang batu kapur
yang menghancurkan gua sebagai habitat kelelawar, dan wisata ke dalam gua dan
pengambilan pupuk guano yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan
penghuninya. Hal ini mengakibatkan gua
untuk kelelawar menjadi rusak dan kelelawar pergi meninggalkan habitatnya
tersebut untuk mencari tempat baru yang belum tentu cocok bagi kehidupannya,
pada akhirnya populasi kelelawar penghuni gua tersebut menjadi berkurang dan
jika tidak diperhatikan suatu saat akan punah.
Tabel Analisis SWOT
terhadap potensi Indonesia untuk menghasilkan pupuk organik fosfat.
\
\ Faktor
Internal \ \ \ \ \ \ Faktor Eksternal \ |
Kekuatan (strength): 1.
Jenis dan
populasi kelelawar tinggi 2.
Gua sebagai
habitat kelelawar banyak 3.
Tidak
memerlukan modal besar 4.
Kelelawar mencari makan sendiri 5.
Sebagai pengendali hama dan lingkungan |
Kelemahan
(weakness) 1.
Perkembangbiakan
kelelawar lambat 2.
Sumberdaya
manusia masih rendah 3.
teknologi pengelolaan
guano rendah 4.
Belum ada
investor untuk pengelolaan guano kelelawar |
Peluang
(opportunity): 1.
Kebijakan
pemerintah mendukung 2.
harga pupuk
fosfat cukup tinggi 3.
kebutuhan
pupuk fosfat dalam dan luar negeri tinggi 4.
kekuatan
komponen strategik (PT, swasta, LSM, dll) |
Strategi
(SO): 1.
Mengadakan
identifikiasi terhadap potensi gua & kelelawar penghuni gua 2.
Meningkatkan
perhatian pemerintah terhadap habitat kelelawar 3.
melakukan
kerjasama dengan komponen stategik untuk konservasi dan budidaya kelelawar |
Strategi
(WO): 1.
Meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia 2.
Pendidikan
dan pelatihan pengelolaan guano 3.
Pemerintah mencari investor dalam pengelolaan guano 4.
Melakukan
konservasi dan budidaya jenis kelelawar yang sudah bisa dilakukan |
Ancaman
(threats): 1.
Produk
bersaing dengan pupuk impor 2.
Eksploitasi
guano dapat merusak ekologi gua 3.
Ekowisata
mengancam kenyamanan kelelawar gua 4.
Eksploitasi
batu kapur menghancurkan gua |
Strategi
(ST): 1.
Pengelolaan guano dilakukan secara profesional 2.
Mutu pupuk
fosfat bersaing dengan produk impor 3.
Mengatur
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan gua untuk memperhatikan
kelestarian lingkungan |
Strategi
(WT): 1.
Meningkatkan
SDM dalam sehingga dihasilkan produk standar impor 2.
Meningkatkan
koordinasi dengan berbagai pihak yang kegiatannya berhubungan dengan gua dan
penghuninya 3.
mencegah penangkapan kelelawar secara liar dan melindungi habitat gua
dari pengrusakan |
Berdasarkan hasil analisis SWOT, maka perlu dirancang
strategi pendekatan dalam pengelolaan gua dan kelelawar untuk menghasilkan
pupuk guano, sebagai berikut:
Kesimpulan :
Saran :
DAFTAR PUSTAKA
Constantine, D.G. 1970. Bats in relation to the health, welfare, and economy of man. Dalam Wimsat, W.A. (Ed.) Biology of Bats (II), Akademic Press, London.
Davis, R. dan Cockrum, E.L. 1964.
Experimentally determined weight-lifting capacity of five species of western bats. J. Mammal. 45.
DeBlase, A.F. dan R.E. Martin. 1981. A Manual of Mammalogy : With Keys to Families of the World. Wm.C. Brown Company Publishers, Dubuque, Lowa.
Findley, J.S. 1993. A Community
Perspective, 4th ed. Lea & febiger, Philadelphia.
Gould, E. 1955. The feeding eficiency
of insectivorous bats. J. Mammal. 36.
Lekagul, B and J.A. McNeely. 1977.
Mammals of Tailand. Sahakarnbharn, Bangkok.
Koopman, K.F. 1993. Order Chiroptera.
Dalam Wilson, D.E. & Reeder, D.M. (Eds): Mammals Spesies of the World, a
Taxonomy and Geographic Reference, 2nd ed., Smithsonial Inst. Press,
Washington DC.
Medway, L. 1969. The Wild Mammals of Malaya, and offshore islands incluiding Singapore. Oxford University Press, Baltimore. London.
Nowak, R.M and Paradiso, J.L. 1983.
Walker’s Mammals of the World, 4 th
Edition. The Johns Hopkins Universiy Press.
Nowak, L. 1999. Walker’s Mammals of the
World. Vol. 1. John Hopkins University Press, Baltimore and London.
Nowak, R.M. 1994. Walker’s Bats of the
World. The Johns Hopkins University Press, Baltomore and London.
Suyatno, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Biologi-LIPI. Balai Penelitian Botani. Herbarium
Bogoriense.
Bogor-Indonesia.
Van der Zon, A.P.M. 1979. Mammals of Indonesia. Draft
Version. UNDP/FAO National Park Development Project, Bogor, Indonesia.
Walker, E.P.
1975. Mammal of The World. Third
Edition. The John Hopkin University Press and London.
Yalden, D.W. dan Morris, P.A. 1975. The Lives of Bats. The
New York Times Book, New York.