© 2002 Luluk Prihastuti Ekowahyuni                                                                                Posted: 30 November 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

FENOMENA VIVIPARY LABU SIAM (Sechium edule Jacq Swartz) VARIETAS LOKAL

DESA BARUKUPA BAWAH CIPANAS

 

 

OLEH :

 

LULUK PRIHASTUTI EKOWAHYUNI

A361020101/AGR

E-mail: ipb_luluk@yahoo.com

 

 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

       Labu Siam (Sechium edule, Jacq Swartz) merupakan tanaman sayuran dataran tinggi yang telah lama dikenal petani di Indonesia selain bawang putih, kubis, sawi wortel, lobak dan tomat (Lingga  2001).  Labu Siam telah dikenal sebagai sayuran buah dan sekarang dikenal sebagai sayuran pucuk  (Rubatzky dan Yamaguchi  1999).  Kandungan kalori yang terdapat pada 100 g bahan segar  labu Siam buah, pucuk dan umbi yaitu 26, 60 dan 79 kalori.  Kandungan vitamin A pada buah dan pucuk labu Siam pada 100 g bahan segar yaitu  43 dan 4560 IU.

       Berdasarkan ciri fisiknya diduga benih labu Siam tergolong  sebagai   benih rekalsitran dengan karakteristik kadar airnya tinggi sehingga mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran (Farrant et al. 1988).  Umumnya benih rekalsitran tidak  mempunyai   masa dormansi proses metabolisme  perkecambahan berjalan terus (Copeland dan McDonald  1995) bahkan benih labu Siam dapat berkecambah ketika masih di pohon (perkecambahan dini) atau bersifat vivipary.  Sifat tanaman yang mirip dengan labu Siam diantaranya adalah tanaman species mangrove (Tomlinson  1998).  Labu Siam tidak tahan disimpan sebagai  benih lebih dari satu bulan sejak   berkecambah    di pohon karena  tidak memiliki masa dormansi sehingga diduga labu Siam termasuk dalam rekalsitran tinggi (highly rekalsitran).  Hal ini menunjang pendapat Farrant et al.  (1988) mengenai beberapa karakteristik benih rekalsitran.

       Perbanyakan tanaman labu Siam selama ini dilakukan secara generatif dengan penanaman buah yang matang di batang dan telah berkecambah (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).  Buah yang dipakai sebagai benih merupakan panenan pertama, terletak pada batang utama, mempunyai ciri-ciri fisik yang baik, dan kotiledon dalam keadaaan sehat. 

     Perbanyakan tanaman dengan cara vegetatif adalah dengan stek yang telah berakar sempurna yang diperoleh dari batang yang muda  namun cara ini jarang dilakukan karena produksi dan produktivitas buahnya rendah.   Rukmana (1999) menambahkan bahwa benih yang baik  dihasilkan dari pohon induk yang baik. yakni  tanaman tumbuh subur normal, berbuah lebat stabil, umur tanaman cukup dan keadaan tanaman sehat tidak berpenyakit atau terserang hama.  Benih yang akan dijadikan bibit harus dipilih benih yang baik, bermutu, buah berumur tua, dan bentuknya normal, terletak di bagian tengah batang atau pada batang pokok, ukuran benih seragam, benih tidak diserang hama dan penyakit.

       Selama ini benih labu Siam dikembang biakkan dalam bentuk buah yang sudah berkecambah dan sehat pada umur 42 hari setelah anthesis (HSA), buah telah berakar dan berkecambah sepanjang 2-4 cm dengan daun sepasang.  Benih labu Siam yang digunakan untuk perbanyakan tanaman beratnya rata-rata 300-400 gram dengan kondisi  voluminous dan resiko kerusakan yang tinggi.  Transportasi benih dari daerah pertanaman labu Siam yang menyebar ke seluruh wilayah Indonesia merupakan hal yang sulit.   Menurut  Lingga (2001) kebutuhan benih per hektar untuk labu Siam adalah sekitar 650 benih/ha. Tahun 2001 luas areal pertanaman baru untuk labu Siam 29.223 ha maka total kebutuhan benih sekitar 18.994.950 benih.

 Penelitian mengenai kandungan gizi kegunaan dan jumlah species labu Siam telah banyak dilakukan di Luar Negeri seperti di Negara Amerika Tengah.  Masih banyak permasalahan yang belum diketahui pada benih  labu Siam khususnya mengenai fenomena vivipary labu Siam varietas lokal daerah Cipanas yang merupakan daerah sentra labu Siam.

       Penelitian ini mengamati fenomena vivipary labu Siam melalui analisis kandungan hormon ABA (asam absisat) dan  hormon IAA (asam indole-3 asetic),    

       Diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi tambahan tentang fenomena vivipary benih labu Siam.

 

 

Tujuan Penelitian

        Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :

Memperoleh informasi tentang sifat vivipary labu Siam berdasarkan analisis kandungan ABA dan IAA

Hipotesis Penelitian

       Terdapat penurunan kandungan hormon ABA dan peningkatan kandungan hormon IAA pada fenomena vivipary  benih labu Siam.

 

TINJAUAN PUSTAKA

Labu Siam (Sechium edule, Jacq Swartz)

       Labu Siam (chayote) merupakan salah satu tanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia.  Buah, pucuk, akar dan umbi labu Siam semua bisa dikonsumsi. Menurut Engels (1983) di Papua Nugini pucuk umbi dan buah digunakan sebagai makanan semua jenis ternak.  Tanaman labu Siam mempunyai prospek  sebagai dietary food,  karena mempunyai kandungan kalori yang rendah dan digunakan sebagai makanan penambah rasa.  Bijinya berbentuk seperti kacang yang mengandung sumber protein.  Pucuk khususnya kaya akan vitamin A, B  dan C.  Di Indonesia  tidak ada statistik secara tersendiri  data labu Siam selalu dikombinasi dengan semua tanaman labu (Biro Pusat Statistik  1998).  

      Dalam produksi dan perdagangan Internasional, labu Siam adalah termasuk 5 (lima) jenis sayuran komersial yang penting di Brazil. Ini merupakan Informasi penting bagi Indonesia karena di Indonesia  labu Siam sangat cocok tumbuh dan berproduksi terus sepanjang tahun.  Menurut Rukmana (1999) tanaman labu Siam dalam pertumbuhan dan perkembangannya adalah tanaman hijau sepanjang tahun.  Tanaman ini  direkomendasikan untuk diperbaiki  paling sedikit tiga tahun sekali, terutama apabila terserang penyakit dan untuk menghindari serangan penyakit.

       Syarat tumbuh bagi tanaman labu Siam adalah  kelembaban relatif tinggi (80-85%) curah hujan tahunan paling sedikit 1500 – 2000 mm terdapat Irigasi dan temperatur rata-rata adalah 20 – 250C (dengan batas 12 - 28 0C).  Pertumbuhan terbaik bagi labu Siam adalah pada ketinggian 300 m – 2000 m di atas permukaan laut (dpl) dengan tanah yang berdrainase baik.  Labu Siam apabila ditanam di dataran rendah maka tidak bisa berproduksi menghasilkan buah (Engels  1983).              

       Pembungaan dimulai 1 – 2 bulan sesudah perkecambahan dan pembungaannya menurut  Rukmana (1999) berlimpah sepanjang tahun.  Bunga tanaman labu Siam adalah menyerbuk silang tetapi self compatible dan berumah satu yakni bunga jantan dan betina terdapat dalam satu tanaman.  Bunga jantan mirip dengan bunga betina tetapi berukuran kecil dan tiap tandan terdiri banyak kuntum terletak dalam satu batang.

       Buah terbentuk tiga bulan setelah ditanam.  Buah yang diproduksi jumlahnya ratusan per pohon per tahun.  Perkecambahan bisa terjadi ketika buah berada di pohon.  Fenomena ini disebut vivipary mirip seperti species mangrove.  Labu Siam varitas lokal Cipanas tidak bisa disimpan sebagai benih lebih dari satu bulan sejak berkecambah di pohon, karena benih tidak memiliki masa dormansi.  Selama ini penyimpanan labu Siam adalah dalam bentuk buah.  Engels (1983) mengemukakan pula bahwa penyimpanan atau pemeliharaan plasma nutfah labu Siam harus dalam bentuk tanaman hidup atau kultur jaringan di bawah kondisi kelembaban rendah.  Koleksi plasma nutfah labu Siam di seluruh dunia dihasilkan oleh Chapingo Regional Centre (Mexico) dan beberapa perusahaan lain.   Buah labu Siam berbentuk bulat sampai agak lonjong menyerupai buah alpukat dan mengandung tangkai buah.  Struktur buah terdiri-dari kulit buah yang tipis dan berduri jarang, daging buah yang amat tebal berbiji tunggal, daging buah banyak mengandung air dan getah. Getah labu Siam berkhasiat sebagai obat penurun panas badan. 

      Bijinya berbentuk panjang atau lonjong pipih berkeping dua.  Akan ditelaah apakah biji tanpa  buahnya (benih) dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman secara generatif.

Fenomena vivipary

      Vivipary adalah perkecambahan dini yang terjadi karena embrio yang dihasilkan berasal dari reproduksi sexual normal tidak mempunyai masa dormansi, pertumbuhan pertama kecambah keluar melalui kulit benih dan selanjutnya keluar melalui buah ketika tanaman masih berada di batang tanaman induknya.  Proses ini terjadi pada beberapa species tanaman  diantaranya labu Siam mangrove beberapa kultivar buah seperti citrus  dan ophiorhiza.   Tanaman vivipary  banyak ditemukan di daerah wetlands (basah).

       Hal yang menarik bahwa fenomena vivipary, bisa diamati secara morfologi, ekologi maupun fisiologi.   Fisiologi dari vivipary adalah bervariasi karena adanya kondisi konsentrasi garam di dalam tanah (media), aktivitas respirasi dan distribusi enzym maupun hormon.

      Penelitian ini akan mengamati fenomena vivipary berdasarkan distribusi hormon di dalam perkembangan tanaman labu Siam.  Penelitian ini berarti mengamati fenomena vivipary dari aspek fisiologinya.  Menurut Salisbury dan Ross (1995) yang dimaksud hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang di sintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologi.  Respon pada organ sasaran tidak selalu bersifat memacu, karena suatu proses pertumbuhan dan diferensiasi kadang malah menghambat misalnya ABA (Inhibitor).  Hormon khas pada tumbuhan karena effektif berkerja pada konsentrasi yang amat rendah.  Hormon sering effektif pada konsentrasi 1 mikromolar sehingga senyawa kimia lain yang aktif pada konsentrasi tinggi bukan hormon misalnya vitamin dan sukrosa. 

      Salisbury dan Ross (1995) menambahkan hormon yang pertama kali ditemukan adalah auksin.   Auksin endogen yaitu IAA (Indol Acetic Acid) ditemukan  pada tahun 1930-an bahkan saat itu hormon mula-mula dimurnikan dari air seni.  Karena semakin banyak hormon ditemukan maka efek serta konsentrasi endogennya dikaji.  Hormon pada tanaman jelas mempunyai ciri : setiap hormon mempengaruhi respon pada bagian tumbuhan, respon itu bergantung pada species, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon, interaksi antar hormon, yang diketahui dan berbagai faktor lingkungan yaitu cahaya, suhu, kelembaban, dan lainnya.

 

Hormon ABA (Asam absisat)

      Semua jaringan tanaman terdapat hormon ABA yang dapat dipisahkan secara kromatografi Rf 0.9.   Senyawa tersebut merupakan inhibitor B –kompleks.  Senyawa ini mempengaruhi proses pertumbuhan, dormansi dan absisi.   Beberapa peneliti akhirnya menemukan senyawa yang sama yaitu asam absisat (ABA).   Peneliti tersebut yaitu Addicott et al dari California USA pada tahun 1967 pada tanaman kapas dan Rothwell serta Wain pada tahun 1964 pada tanaman lupin (Wattimena 1992).

       Menurut Salisbury dan Ross (1995) zat pengatur tumbuhan yang diproduksi di dalam tanaman  disebut juga hormon tanaman.  Hormon tanaman yang dianggap sebagai hormon stress diproduksi dalam jumlah besar ketika tanaman mengalami berbagai keadaan rawan diantaranya yaitu ABA.  Keadaan rawan tersebut antara lain kurang air,  tanah bergaram, dan suhu dingin atau panas.  ABA membantu tanaman mengatasi dari keadaan rawan tersebut.

       ABA adalah seskuiterpenoid berkarbon 15, yang disintesis sebagian di kloroplas dan plastid melalui lintasan asam mevalonat (Salisbury dan Ross 1995).   Reaksi awal sintesis ABA sama dengan reaksi sintesis isoprenoid seperti gibberelin sterol dan karotenoid.   Menurut Crellman (1989) biosintesis ABA pada sebagian besar tumbuhan terjadi secara  tak langsung melalui peruraian karotenoid tertentu (40 karbon) yang ada di plastid.  ABA pergerakannya dalam tumbuhan sama dengan pergerakan gibberelin yaitu dapat diangkut secara mudah melalui xilem floem dan juga sel-sel parenkim di luar berkas pembuluh.     

 

Hormon IAA (asam indol- 3 asetat)

       Istilah auksin pertama kali digunakan oleh Frist Went seorang mahasiswa PascaSarjana di negeri Belanda pada tahun 1926 yang kini diketahui sebagai asam indol-3 asetat atau IAA (Salisbury dan Ross  1995).   Senyawa ini terdapat cukup banyak di ujung koleoptil tanaman oat ke arah cahaya.   Dua mekanisme sintesis IAA yaitu pelepasan gugus amino dan gugus karboksil akhir dari rantai triphtofan.  Enzim yang paling aktif diperlukan untuk mengubah tripthofan menjadi IAA terdapat di jaringan muda seperti meristem tajuk, daun serta buah yang sedang tumbuh.  Semua jaringan ini kandungan IAA paling tinggi  karena disintesis di daerah tersebut.

       IAA terdapat di akar pada konsentrasi yang hampir sama dengan di bagian tumbuhan lainnya (Salisbury dan Ross  1995).   IAA dapat memacu pemanjangan akar pada konsentrasi yang sangat rendah.  IAA  adalah auksin endogen atau auksin yang terdapat dalam tanaman.  IAA berperan dalam aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu pembesaran sel yaitu koleoptil atau batang penghambatan mata tunas samping, pada konsentrasi tinggi menghambat pertumbuhan mata tunas untuk menjadi tunas absisi (pengguguran) daun aktivitas dari kambium dirangsang oleh IAA pertumbuhan akar  pada konsentrasi tinggi dapat menghambat perbesaran sel-sel akar.

       Penelitian IAA oleh Gregorio et al (1995) pada embrio, endosperma, dan integumen benih Sechium edule (labu Siam) pada umur 23, 27, 33, dan 37 hari setelah anthesis adalah sebagai berikut: 1) jumlah IAA pada embrio pada umur tersebut berturut-turut 1.67%, 2.08%, 3.40 % dan 3.29 %, 2) Jumlah IAA pada endosperma berturut-turut 20.45%, 25.72%, 30,40%, dan 52.22% dari total IAA, dan 3) Jumlah IAA pada integumen adalah 8.44%, 9.32%, 8.76% dan 8.04%,  dan 4) Jumlah IAA total ( IAA terikat maupun IAA bebas) cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya kemasakan benih labu Siam.

 

METODOLOGI 

       Penelitian dilakukan di empat lokasi yaitu : 1) kebun sayur Pacet desa Barukupa Bawah kabupaten Cianjur Jawa Barat dan 2) laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Cimanggu Bogor .

       Penelitian dimulai bulan Juli 2000 sampai dengan bulan Juni 2001.  Penelitian tentang fenomena vivipary labu Siam dengan cara manganalisa kandungan hormon ABA dan IAA

 Fenomena vivipary dengan menganalisis kandungan hormon ABA dan IAA  

 

         Pengamatan fenomena vivipary benih labu Siam dilakukan dengan menggunakan empat (4) tingkat kemasakan dengan 3 ulangan (3 buah) yaitu :

M0  (14 HSA),  M1 (21 HSA), M2  (28 HSA) yaitu berturut-turut stadia 9,10,11 (diduga merupakan saat masak fisiologis benih) dan 13 yaitu M3   (42 HSA).

1. Analisis kandungan ABA

       Analisis ABA menggunakan metode Robertson dan Synder et al. (1987) dengan alat High Performance Liquid Chromatography.  Tahap  analisis mencakup  penyimpanan ekstrak labu Siam dengan tiga ulangan (3 buah labu Siam).  Ekstrak dari  jaringan  benih  labu Siam yaitu  bagian embrio dan kotiledonnya disimpan dalam    nitrogen cair.  Kemudian di purifikasi dengan larutan methanol : akuades : asam asetat ( 50 : 49 : 1, v/v).   Penetapan  kandungan ABA, larutan contoh disuntikkan  ke alat High Performance Liquid Chromatographi.   Fase diam yang digunakan  adalah  kolom  C 18 sedangkan   fase  cair  adalah  metanol  : asam asetat : akuades.  Detektor dengan l 260 nm sedang kecepatan alir fase gerak adalah 1 ml/ menit suhu detektor 25 0 C dengan attenuasi 0.02.

2.  Analisis kandungan IAA

        Analisis kandungan IAA ini menggunakan metode Sandberg et al.  (1987).   Tahap  analisis mencakup penyimpanan ekstrak labu Siam dengan 3 ulangan (3 buah labu Siam).  Ekstrak dari jaringan benih labu Siam yaitu bagian embrio dan kotiledonnya disimpan dalam larutan metanol 0.3 g/ml yang mengandung 0.02 % natrium dietilkarbamat, selama 2 jam. Ekstrak metalonat dipurifikasi dengan kromatografi XAD, kemudian dicuci 5 ml etil asetat /hexane ( 3:1, v/v) , dan disuntikkan pada alat  High Performance Liquid Chromatographi.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fenomena vivipary dengan menganalisis kandungan hormon ABA dan IAA 

 

 

      Percobaan fenomena vivipary menganalisis kandungan ABA (asam absisat) dan  kandungan IAA (asam indol - 3 asetat).

 

 

 

Tabel 1.  Kandungan Hormon ABA dan IAA pada benih labu Siam

No

Stadia

ABA (ppm)

IAA (ppm)

Poros embiro

Kotiledon

Poros embrio

Kotiledon

 

1.

2.

3.

4.

 

 9   ( 7  HSA)

10  (14 HSA)

11  (28 HSA)

13  (42 HSA)

 

 

0.275

0.330

0.340

0.830         

 

0.210

0.375

0.475

0.850

 

1.965

1.515

1.215

0.925

 

1.895

1.080

1.105

0.895

 

 

        Tabel 1, menunjukkan kandungan ABA pada benih semakin meningkat dengan meningkatnya stadia kemasakan benih.  Saat masak fisiologi kandungan ABA di dalam kotiledon benih lebih tinggi dibandingkan kandungan ABA di poros embrio.  Kandungan ABA terbesar adalah pada stadia lanjut yaitu stadia 13  berturut-turut kandungannya pada kotiledon dan poros embrio sebesar 0.83 dan 0.85 ppm. 

      Selanjutnya analisis IAA  menunjukkan bahwa kandungan IAA pada perkembangan benih menurun semakin meningkatnya stadia kemasakan benih.   Kandungan IAA pada saat masak fisiologis (stadia 11) di poros embrio lebih tinggi dibandingkan di kotiledon.   Ini menunjukkan fenomena vivipary bisa terjadi  karena IAA sangat berperan penting dengan perkembangan akar suatu tanaman. Hal ini ditambahkan pula oleh Salisbury dan Ross (1995) bahwa kandungan jenis-jenis giberelin yang dimiliki oleh labu Siam sebanyak 24 macam giberelin paling banyak diantara semua tanaman.  Sechium edule berbeda dari spesies lain dalam hubungannya dengan sifat vivipary dari Cucurbitaceae ini.  Konsentrasi IAA di dalam embrio pada umur 23, 27, 33, dan 37 HSA  adalah 1.67, 2.08, 3.40, dan 3.29 %.  Sesuai dengan pendapat Wattimena (1988) bahwa     IAA adalah auksin endogen untuk mendorong pembentukan akar dan stek. Proses perbesaran sel-sel akar IAA adalah satu-satunya fitohormon yang mempengaruhi proses fisiologis seperti mendorong pembesaran sel pada batang, akar dan daun, mempercepat pembesaran sel-sel akar, absisi, menghambat pembentukan mata tunas samping, pertumbuhan akar, aktivitas dari kambium.

        Ditambahkan oleh Hopkins (1995) IAA adalah auksin endogen merupakan hormon tanaman pertama yang ditemukan.  Auksin disintesis dalam batang dan akar, apex dan ditransportasi, di axis tanaman.  Prinsip karakteristik adalah menstimulasi kapasitas perpanjangan sel dalam batang, dan bagian koleoptil, mempengaruhi inang pada respon perkembangan termasuk inisiasi akar, diffrensiasi vascular, respon tropik, perkembangan axilary buds, bunga maupun buah. 

       Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa IAA adalah fitohormon yang banyak dipelajari tentang sistem pengangkutannya di dalam tanaman.  Kecambah monokotil IAA yang banyak terdapat pada ujung koleoptil dan makin berkurang ke arah akar.  Proses pematangan biji, IAA dibuat oleh embrio yang sedang berkembang dan disamping IAA sebagai konyugata dalam jaringan endosperm.  Mekanisme kerja IAA dalam perpanjangan sel adalah IAA mendorong elongasi sel-sel pada koleoptil dan ruas-ruas tanaman.  Elongasi sel terutama terjadi pada arah vertikal diikuti dengan  pembesaran sel dan meningkatnya bobot basah.  Peningkatan bobot basah terutama karena meningkatnya pengambilan air oleh sel tersebut.

       Komponen hormon benih pada labu Siam (Sechium edule) secara intensif diteliti.  Penelitian tersebut meliputi bahwa 1) level ABA endogen pada benih berbeda jumlahnya pada setiap tahap perkembangannya (Valverde et al.  1989)  2) kandungan dan identitas GAs selama pertumbuhan benih dijelaskan secara detail oleh Cecarelli et al.  (1992) dan 3) biosintesa giberrelin diobservasi dengan ekstrak sel bebas dari endosperm dan kotiledon oleh Cecarrelli et al.  (1992) dan  4) kandungan sitokinin dalam endosperma labu Siam (Cecarrelli et al. 1992),  level hormon dalam benih umumnya diteliti dengan analisis total benih tanpa membedakan jaringan dan tipe sel.     

       Penelitian labu Siam pada bagian-bagian benih untuk beberapa stadia perkembangan benih diteliti oleh Gregorio et al (1995).  Penelitiannya mengenai kandungan IAA bebas dan terikat pada benih labu Siam.  Pola IAA yang bebas dan terikat dari benih labu Siam berbeda dari yang diteliti dalam species lain hal ini sehubungan dengan fenomena vivipary dari Cucurbitacea ini.  Perbedaan yang penting dalam kecenderungan konsentrasi IAA selama perkembangan benih antara embrio dengan bagian-bagian lainnya. 

      Pengamatan fenomena vivipary benih labu Siam dalam penelitian awal ini yaitu terjadi peningkatan konsentrasi ABA dengan semakin meningkatnya stadia kemasakan benih labu Siam dari stadia 9 sampai stadia 13 .  

 

Tabel 2.   Pengaruh kelompok hormon pada beberapa tahap perkembangan tanaman

 

Kelompok hormon

 

IAA

Giberelin

Sitokinin

ABA

Etilen

Dormansi

Juvenil

Pertumbuhan extension

Perkembangan akar

Pembungaan

Perkembangan buah

Pematangan

 

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

 

 

 

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

 

X

X

 

 

Sumber ; Hopkins, 1995.

Keterangan : Tanda x menunjukkan efek kelompok hormon pada satu atau lebih aspek katagori

Perkembangan. Tidak  adanya tanda x tidak berarti hormon itu tidak effektif hanya

efek hormon tidak dilaporkan  dalam literatur.

 

       Menurut pendapat Salisbury dan Ross (1995) ABA mempunyai tiga efek utama yang ditentukan oleh jaringan yang terlibat : pertama memberikan efek pada membran plasma sel akar, kedua menghambat sintesis protein, dan ketiga mengaktifkan serta menonaktifkan gen tertentu secara khas (efek transkripsi).   Hopkins (1995) menambahkan terdapat kelompok hormon yang berpengaruh pada beberapa tahap perkembangan tanaman (Tabel 2).

       Kedua pendapat tersebut di atas ditunjang oleh hasil percobaan kedua tentang fenomena vivipary pada benih labu Siam bahwa semakin meningkatnya konsentrasi ABA  baik pada poros embrio maupun kotiledon tetap menyebabkan fenomena vivipary  pada benih labu Siam.  Perkecambahan dini atau fenomena vivipary  tidak begitu dipengaruhi oleh konsentrasi ABA. 

        ABA tidak berpengaruh pada khususnya perkembangan akar.   Hormon yang menunjukkan efek pada perkembangan akar adalah IAA, giberelin, sitokinin, dan etilen (Tabel 2).  Peningkatan ABA seberapapun besarnya tidak berpengaruh pada perkembangan akar karena pengaruh ABA ditutupi oleh pengaruh hormon lainnya terutama giberelin.  Pendapat ini sangat menunjang Salisbury dan Ross (1995) bahwa biji labu Siam banyak mengandung giberelin  dibandingkan tanaman lain.  Jumlah gibberelin yang terdapat pada labu Siam adalah 20.   Tanaman kedua setelah labu Siam adalah kacang hijau mengandung 16.  Sebagian besar tanaman lain, selain kedua tanaman tersebut jumlah kandungan giberelinnya lebih sedikit dan giberelin mampu mengatasi dormansi biji pada berbagai spesies dan berlaku sebagai pengganti suhu rendah, hari yang panjang, dan atau cahaya merah.  Salah satu efek giberelin biji adalah mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat mendobrak endosperm kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhan.

       Ceccareli et al.  (1992) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa peran kotiledon dan giberelin sangat besar di awal pertumbuhan Sechium edule , sangat tidak mungkin ABA dalam kulit biji F. americana berfungsi secara nyata terhadap pengaturan dormansi pada biji.  Hal ini bisa dinyatakan bahwa ada hormon-hormon lain disamping ABA kemungkinan terlibat dalam pengaturan proses perkecambahan dan pertumbuhan bibit sebagai contoh mereka mencatat bahwa giberelin  sendiri effektif dalam meniadakan pengaruh ABA  dalam perkecambahan.  Awal perkecambahan kadar berbagai macam perangsang seperti giberelin dan sitokinin meningkat secara cepat dan ini menghalangi pengaruh ABA, oleh karena itu tunas terjadi adalah hasil keseimbangan antara hormon-hormon perangsang dan ABA.

      Bagan berikut menunjukkan kerja  beberapa hormon  yaitu hormon yang memacu pertumbuhan dan menghambat pertumbuhan (inhibitor)  dalam mempengaruhi perkecambahan dan dormansi biji.

       Fenomena vivipary selain pada labu Siam banyak juga terdapat pada tanaman mangrove famili Rhizophoraceae dan  beberapa spesies buah-buahan.  Tan dan Rao (1981) menyatakan vivipary banyak terdapat pada tanaman di lahan basah (wetlands).   Ditambahkan oleh Tan dan Rao (1981) bahwa terdapat pula vivipary palsu pada famili Rubiaceae inflourecense pada tanaman Agave dan Poa alpina tanpa didahului oleh proses seksual karena hal ini tidak terjadi pada tanaman yang berbunga.  Benih labu Siam perkecambahan terus terjadi ketika di pohon induknya. 

       Kondisi fenomena vivipary pada mangrove menyebabkan tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya (kadar garam tinggi, sinar matahari menyengat, angin yang keras).

                

 

                                                                                                                 GIBBERLLIN        CYTOKININ       INHIBITOR

 

Text Box: KONDISI HORMON

Gambar 1. Model fungsi seleksi dari hormon terhadap perkecambahan dan dormansi

Sumber : Khan (1969)

 

 

       Kesimpulan dari bagan tersebut bahwa perkecambahan tetap terjadi pada tiga situasi hormon : 1.  Apabila hormon giberelin, sitokinin, inhibitor (ABA) ada  2.  Hormon giberelin,sitokinin, ada tetapi ABA  tidak ada,  3.  Ketiga hormon tidak ada.    Benih labu Siam kondisi hormon yang terjadi adalah kondisi yang pertama yaitu hormon giberelin, sitokinin, ABA ada tetapi fenomena vivipary/ perkecambahan dini tetap saja terjadi.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

 

        Fenomena vivipary terjadi karena kandungan ABA semakin menurun dan kandungan IAA semakin meningkat dengan semakin meningkatnya stadia kemasakan benih.  Fenomena vivipary tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan ABA saja tetapi diduga lebih banyak merupakan hasil kerjasama dengan fitohormon lainnya seperti auksin endogen (IAA), giberrelin, sitokinin dan etilen.

SARAN

       Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik tentang fenomena vivipary benih labu Siam pada peneliti selanjutnya dianjurkan untuk menganalisis kandungan fitohormon lainnya giberellin  sitokinin, serta ethilen.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adimargono.  1997.  Recalcitant seeds, Identification and storage.  Thesis. Larenstein International Agricultura Collage.  Deventer.

 

Anonim. 1995.  Produksi tanaman sayuran dan buah-buahan semusim di Jawa. Biro  Pusat Statistik.  Jakarta Indonesia.  3 hal.

 

Berjak P and N W Pammenter. 1994. Recalcitrance is not an all or nothing situation.  Seed Sci. Res  4 : 263-264.

 

Bewley J .D and M Black.  1994. Seeds: physiology of development and germination. 3 rd  Edition Plenum Press.  New York and London.  445p.

 

 

Bonner  F T.  1996.  Response to drying of recalcitrant seed of Quercus nigra  L. Ann.   Bot  78 : 181 – 187.

 

Ceccarelli N and Lorenzi R.  1992.  Role of cotyledon and gibberellines in the early growth of Sechium edule. Sw plantlets.  Journal of palnt physiology.  Italy. 5 hal.

 

Chandler P M.  1988.  Hormonal regulation of gene expression in the “Slender” mutant of barley (Hordeum vulgare L).  Planta.  175 : 115 –120.

 

Chin H F and E H Roberts. 1980. Recalcitrant crop seeds. Kuala Lumpur, Malaysia. Tropical Press  SDN.  BHD. 

 

------------, B. Chrishnapillay and P.C. Standwood  1989.  Recalsitrant Vs Orthodox Seeds, P. 15-22.  In Seed Moisture.  CSSA Special Publication Number 14.  Crop Science Society of America Madison, Winsconsin, USA.

 

Copeland LO dan Mc Donald M B.  1976. Principles of seed science and technology.   Macmilan Publs Cry New York and Callier Macmillan Publ London .  321 p.

 

Creelman R A, Barendse G W M, Galston A W, Robertson J M, and Thompson G A.  1987.  High performance liquid chromatography in Plant Sciences.  Eddited by H.F Linkens dengan j F Jackson.  Aspringer Verlag Berlin Heidelberg New York Paris Tokyo . hal 79-88.

 

Duke N C, Bunt J S, and Williams W T.  1984.  Observations of the floral and vegetative phenologies of North estern Australian mangroves.  Australia. Journal Botany.  32 : 87-89.

 

Engels J M M.  1983 .  Variation in Sechium edule. SW. In Central America. Journal of the American Society for Horticultural Science. 108 hal : 706 –  710.

 

Engels J M M. 1984.  Chayote : a little known. Central American Crop. FAO/IBPGR Plant Genetic Resources Newsletter .  New York.

 

 

Gill A M and Tompson P B.  1977.  Studies of growth of red mangrove (Rhizophora mangle L).4. The adult root system.  Biotropica 9(3) : 145- 155.

 

Gregorio S, Passerini P, Picciarelli P, and Ceccarelli N. 1995.  Free and conyugated indole-3- acetic acid in Developing seeds of  Sechium edule, Jacq Swartz.  Journal of Plant  Physiologi Italy  ; 145  ; 5-6, 736 – 790.

 

Hopkins  W G.  1995.   Introduction to plant physiology. New York, Brisbane, Toronto, Singapore. John Willey and Sons, Inc.

 

 

Johri  B M.  1984.  Embryology of angiosperms. New York Tokyo.  Springer Verlag Berlin Heidelberg .

 

 

Lingga. P.  2001.  Panduan seminar dan peluncuran buku retrospeksi perjalanan Industri benih di Indonesia. Bogor.  P.T. Sang Hyang Seri & Laboratorium Ilmu & Teknologi  Benih Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Institut Pertanian Bogor.

 

 

Rubatzky dan Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3:  Prinsip, Produksi, dan Gizi. Bandung.   Penerbit Institut Teknologi Bandung .

 

Rukmana  R. 1998. Budidaya Tanaman Labu Siam (Sechium edule,. Jacq Swartz). Jogjakarta.  Penerbit Kanisius Jogjakarta.

 

Salisbury F B, dan Ross C W.  1995.  Fisiologi Tumbuhan.  Bandung.  Penerbit ITB Bandung. 

 

Sandberg G, Crozier A, Chen Ch M, Hartley R D, and Smith L A.  1987. High Performance Liquid Chromatography in Plant Sciences.  Eddited by H.F Linkens dengan J F Jackson.  Aspringer Verlag Berlin Heidelberg New York Paris Tokyo .

 

Synder and Robertson J M. 1987. The determination of absisic acid by High performance liquid chromatography, In . H.H. Linshens and J.F. Jackson (Eds). High performance liquid chromatography in Plant sciences.  (Eds).  High Performance liquid chromatography in plant sciences. Springer- Verlag.Berlin. Heidelberg. New York. London.   Paris. Tokyo.  p:  52 – 71

 

Tomlinson P B.  1998.  The Botany of Mangroves. Cambridge.  London,  New York, Melborne, Sydney.  Cambridge University Press.

 

 

Wang Y,  S S Li,  J X He,  and J R Fu.  1977.  Protective enzymes against activated oxygen in recalcitrant wampee (Clausena lansium) seeds during dessication.  p. 147-152.  In. A G Taylor and Xue Ling Huang (Eds).  Progress in seed research.  Conference proceedings of the 2 nd ICSST.  China.

 

Wattimena  G A. 1998. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor.  Pusat Antar Universitas.  Institut  Pertanian Pertanian Bogor.