ã 2002
Lisyanto Posted 23 November, 2002
Makalah Pengantar Falsafah
Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BERBASIS
PERTANIAN
(Suatu Modal Kemandirian dalam Menghadapi Era Global)
Oleh:
Globalisasi dunia ditandai oleh derasnya
arus komunikasi yang mampu menerobos dan melintasi dinding pemisah antar
daerah, pulau, dan bahkan antar negara. Pada era ini, jarak yang membatasi
posisi antar negara di belahan dunia bukan lagi merupakan kendala atau hambatan
yang sulit untuk ditembus dalam proses komunikasi. Dunia yang begitu luas ini
dapat ditransformasikan seolah-olah menjadi sebuah desa atau perkampungan kecil
yang dapat dijangkau dengan cepat dari segala arah, sehingga setiap peristiwa yang terjadi pada suatu daerah
atau negara dapat didengar atau dilihat dengan mudah oleh negara lain seketika
itu juga. Jagat raya ibarat sebuah globe yang berupa peta dunia berbentuk
seperti bola yang berada diatas sebuah meja, sehingga dengan hanya memutar
posisi bola tersebut suatu daerah atau negara-negara lain dapat dilihat berkali-kali dengan mudah. Kondisi ini dapat
terjadi karena adanya perkembangan teknologi komunikasi yang cukup pesat dan
cenderung spektakuler.
Implikasi dari era globalisasi ini adalah terjadinya era perdagangan bebas antar negara atau kawasan. Perdagangan bebas antar kawasan asia (Asia Free Trade Area) akan diberlakukan pada tahun 2003, sedangkan NAFTA (North Afrika Free Trade Area) akan diberlakukan sekitar tahun 2020. Pada sistem perdagangan bebas tersebut, suatu negara dapat menunjukkan dan sekaligus mempromosikan segala kehebatannya kepada negara lain secara leluasa. Produk-produk dari pengembangan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni masing-masing negara akan saling berkompetisi demi merebut dan menguasai pangsa pasar lokal maupun global. Dengan demikian, akan terjadi persaingan produk dari segi fisik maupun finansial. Hal yang paling dibutuhkan oleh suatu negara dalam menghadapi pasar bebas tersebut adalah menyiapkan sumber daya manusia yang cukup, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.
Indonesia yang merupakan salah satu dari negara yang
terlibat dalam sistem perdagangan bebas harus memiliki strategi yang jitu untuk menghadapi era yang sarat
dengan kompetisi tersebut. Strategi tersebut tentunya disusun dan dibuat
berdasarkan pada kemampuan bangsa Indonesia dengan memanfaatkan segala sumber
daya yang dimiliki, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusianya.
Mengingat republik ini merupakan negara agraris,
maka hal utama yang perlu dipikirkan dalam menyusun dan menentukan strategi
tersebut adalah memperkuat sektor pertanian sebagai unsur industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan). Hal ini
disebabkan dengan tangguhnya sektor pertanian akan menghasilkan ketahanan
pangan yang mengakibatkan bangsa ini mempunyai modal dasar yang kokoh untuk menangkal segala gangguan, tantangan, dan ancaman baik yang
bersifat lokal maupun global. Di
samping itu, tentunya juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusianya. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa berdasarkan pengalaman di
Inggris, Jepang, dan Korea Selatan penurunan jumlah tenaga kerja pada industri primer tergantung pada
peningkatan jumlah tenaga kerja pada industri
sekunder ( pertambangan, konstruksi, dan manufaktur) serta industri tersier yang meliputi listrik,
gas, air dan uap, transportasi, komunikasi, perdagangan besar dan eceran,
keuangan, ansuransi, perumahan, jasa, pemerintah, dan lain-lainnya. Berdasarkan
hal tersebut jika sektor pertanian sudah tangguh, efisien, dan modern maka
secara otomatis akan memberikan dukungan bagi pengembangan seluruh sektor
industri lainnya, yakni dengan cara mengalihkan sumber daya tanaga kerja yang
tadinya pada sektor pertanian (industri
primer) untuk bekerja di sektor industri sekunder dan tersier.
Relevansinya dengan uraian di atas, pengembangan
teknologi berbasis pertanian yang dapat dicirikan melalui inovasi dan
introduksi alat atau mesin pertanian untuk proses produksi mulai dari prapanen
hingga pascapanen merupakan masalah yang urgen. Hal ini disebabkan bahwa
modernisasi pertanian yang dilandasi sistem agribisnis atau agroindustri
sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional demi mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan swasembada pangan, haruslah dikelola secara efektif
dan efisien dalam setiap penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat, dan
peralatan) untuk mencapai produktifitas, kualitas, dan keuntungan yang
maksimal. Kondisi ini dapat terwujud apabila pengembangan teknologi pertanian
beserta perangkat pendukungnya benar-benar diperhatikan secara serius.
Teknologi
pertanian sering dipahami sebagai penggunaan mesin-mesin pertanian lapang (mechanization) pada proses produksi
pertanian, bahkan sering dipandang sebagai traktorisasi. Pemahaman seperti itu
dapat dimaklumi karena introduksi teknologi di bidang pertanian ketika itu
diawali dengan gerakan mekanisasi pertanian untuk memacu produksi pangan
terutama dengan penerapan traktor seperti percobaan mekanisasi pertanian di
Sekon Timor-Timur tahun 1946, pool-pool traktor pada tahun 1958, perusahaan
bahan makanan dan pembukaan lahan tahun 1958, serta PN. Mekatani
(Mekanisasai Pertanian) tahun 1962.
Mekanisasi pertanian
diartikan secara bervariasi oleh beberapa orang. Menurut Moens (1978)
Mekanisasi pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap
bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat
mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan
oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber
energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi
penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan
operasi di dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisai pertanian juga
berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian.
Handaka (1996) mengartikan bahwa pada saat ini teknologi mekanisasi yang
digunakan dalam proses produksi sampai pasca panen (penanganan dan pengolahan
hasil) bukan lagi hanya teknologi yang didasarkan pada energi mekanis, namun
sudah mulai menggunakan teknologi elektronika atau sensor, nuklir, image
processing, bahkan sampai
teknologi robotik. Jenis teknologi tersebut
digunakan baik untuk proses produksi,
pemanenan, dan penanganan atau pengolahan hasil pertanian.
Dilihat dari besarnya kegiatan usaha pertanian dan besarnya kebutuhan akan pangan baik untuk konsumsi domestik maupun export, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal yang serupa terjadi terhadap perkembangan industri alat dan mesin pertanian (alsintan). Jika teknologi pertanian dianggap sebagai unsur penentu dalam upaya mencukupi ketersediaan bahan pangan dalam negeri saja, maka perkembangan teknologi alsintan tersebut masih sangat lambat. Pada tahun 2000 Indonesia masih melakukan impor pangan senilai 1.36 milyar dolar AS, yang terdiri atas impor beras berjumlah 0.5 juta ton, gandum 3.6 juta ton, jagung 1.2 juta ton, dan kedelai sebesar 1.3 juta ton (Rajasa, 2002).
Mekanisasi pertanian dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi. Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan efesiensi, efektifitas, produktifitas, kualitas hasil, dan megurangi beban kerja petani.
Pada
perkembangan awalnya penerapan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia
mengalami hambatan dalam hal teknis, ekonomis, dan sosial. Penggunaan traktor
sebagai salah satu teknologi mekanis mulai berkembang pesat mulai tahun 70-an.
Traktor 2-roda yang pada tahun 1973 berjumlah 1.914 unit meningkat menjadi
53.867 unit pada tahun 1995, sementara itu traktor 4-roda hanya sedikit mengalami
peningkatan dari dari 1.600 unit
menjadi 6.124 unit. Sebagai gambaran mengenai perkembangan
teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia, dapat dilihat pada tabel 1 berikut
ini:
NO |
Jenis Alsintan |
1973a) |
1981b) |
1988c) |
1990c) |
1994b) |
1995c) |
1 |
Traktor 2-roda |
1.914 |
4.843 |
16.804 |
23.431 |
50.224 |
53.867 |
2 |
Traktor 4-roda |
1.600 |
3.850 |
4.316 |
4.524 |
5.384 |
6.124 |
3 |
Sprayer/duster |
74.190 |
418.237 |
918.699 |
1.061.338 |
1.300.966 |
1.387.233 |
4 |
Perontok Padi |
1.347 |
15.149 |
103.019 |
147.509 |
262.121 |
300.141 |
5 |
Pengering padi |
436 |
1.111 |
1.229 |
1.975 |
4.028 |
5.635 |
6 |
Pembersih gabah |
* |
6.968 |
29.120 |
40.949 |
62.663 |
55.734 |
7 |
Penyosoh Gabah |
* |
10.119 |
13.593 |
11.634 |
11.411 |
13.246 |
8 |
RMU |
21.627 |
* |
26.936 |
31.301 |
* |
40.038 |
Sumber : a) Sunyoto. 1978, b) Handaka. 1996, c) Diolah dari data BPS
*) Data tidak tersedia
Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa
perkembangan penggunaan alsintan di Indonesia yang paling pesat adalah
peralatan pemberantasan jasad pengganggu dan pengolahan hasil panen budidaya
padi.
Dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa
perkembangan teknologi mekanisasi pertanian di Indonesia berada pada tanaman
pangan padi sawah yang menghasilkan produk beras. Bila diasumsikan 50% dari 5,9
juta ha lahan sawah irigasi dapat diolah dengan traktor 2-roda dan rata-rata
daya traktor 8 hp, maka daya traktor yang tersedia adalah 0,146 hp/ha. Pengalaman
dari negara-negara tetangga Asia menunjukkan bahwa perkembangan mekanisasi
pertanian diawali dengan penataan lahan (konsolidasi
lahan), keberhasilan dalam pengendalian air, masukan teknologi biologis,
dan teknologi kimia. Penerapan teknologi mekanisasi pertanian yang gagal telah terjadi di Srilangka yang disebabkan
kecerobohan akibat penerapan mesin-mesin impor secara langsung tanpa
disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik pertaniannya. Berbeda halnya
dengan Jepang yang melakukan modifikasi sesuai dengan kondisi lokal, kemudian
baru memproduksi sendiri untuk digunakan oleh petani mereka.
Perkembangan mekanisasi pertanian tidak terlepas dari peranan industri alat dan mesin pertanian (alsintan) swasta. Sebagian besar dari alsintan produksi beras sudah dapat diproduksi dalam negeri. Pelopor industri alsintan yang berhasil adalah yang berlokasi di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Bahkan saat ini ada perusahaan yang telah mampu mengekspor produknya ke 16 negara. Alsintan beserta suku cadangnya yang diekspor tersebut adalah traktor tangan, rice milling unit, rubber roll, dan pompa air. Tabel 2 berikut menunjukkan kemampuan produksi alsintan dalam negeri.
No. |
Nama Alsin |
88/89 |
90/91 |
92/93 |
94/95 |
96/97 |
1 |
Traktor Tangan |
2.490 |
6.330 |
9.350 |
9.818 |
11.860 |
2 |
Traktor Mini |
14 |
20 |
36 |
38 |
50 |
3 |
Traktor Besar |
188 |
200 |
360 |
540 |
632 |
4 |
Mesin Penumbuk Padi |
830 |
1.337 |
1.511 |
1.587 |
1.980 |
5 |
Mesin Perontok Padi |
500 |
909 |
1.431 |
1.503 |
1.845 |
6 |
Polisher |
150 |
665 |
1.050 |
1.213 |
1.560 |
7 |
RMU |
400 |
468 |
11.300 |
1.638 |
2.010 |
8 |
Pompa Irigasi |
10.800 |
7.973 |
55.714 |
70.200 |
95.875 |
9 |
Alat Penyemprot Hama |
- |
- |
- |
390.500 |
556.000 |
Sumber : Pidato kenegaraan Presiden RI di depan sidang
DPR 16 Agustus 1997
Berdasarkan tabel tersebut dapat dikemukakan bahwa masih terjadi kenaikan produksi dari tahun ke tahun, dimana kenaikan yang paling berarti terjadi pada jenis alat penyemprot hama dan pompa air.
E.
Pengembangan Teknologi Pertanian sebagai Modal Kemandirian
Untuk mencapai pembangunan pertanian yang tangguh, efesien, dan modern haruslah didukung oleh teknologi pertanian yang cocok untuk petani kita. Jenis teknologi yang cocok tidak mesti harus yang muthakir dan canggih, tetapi teknologi tersebut dapat diterapkan dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat kita. Terkadang kita tidak dapat menghindarkan dari proses alih teknologi. Namun demikian dalam alih teknologi tersebut kita tidak boleh hanya mengadopsi teknologi secara mentah-mentah untuk langsung diterapkan pada masyarakat petani kita. Melainkan teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Hal ini harus benar-benar dijadikan dasar pemikiran dalam kaitannya dengan alih teknologi, karena sistem pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan.negara atau pihak yang mengalihkan teknologi (dalam hal ini Indonesia).
Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia melalui pihak
swasta telah membuat dan mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan
kondisi sistem partanian kita sendiri. Traktor, Thresher (perontok), Rice Milling
Unit (RMU), Dryer (pengering),
dan lain-lainnya sudah dapat dibuat sendiri oleh bangsa kita. Dimana pada
kenyataannya alat dan mesin pertanian tersebut dapat digunakan oleh petani
kita. Dengan demikian memungkinkan para petani untuk meningkatkan produktifitasnya
sehingga ketahanan pangan atau swasembada pangan dapat dicapai dalam masyarakat
kita yang majemuk dan rentan dengan perpecahan (disintegrasi).
Suatu
hal yang paling mendasar yang masih belum diperhatikan dalam pengembangan
teknologi pertanian di Indonesia hingga kini adalah kurang memadainya dukungan prasarana pertanian. Prasarana
pertanian kita belum dikelola secara baik, sehingga masih agak sulit atau
lambat dalam melakukan introduksi mesin-mesin pertanian. Pengelolaan lahan,
pengaturan dan manejemen pengairan yang meliputi irigasi dan drainase, serta pembuatan jalan-jalan
transportasi daerah pertanian, dan masih banyak lagi aspek lainnya yang belum
disentuh secara sungguh-sungguh dan profesional.
Relevansinya dengan hal tersebut, beberapa hal penting yang harus dilaksanakan antara lain adalah merencanakan atau memperbaiki kondisi lahan (konsolidasi lahan). Selain itu juga mendatangkan dan mengupayakan agar prasarana dan sarana pertanian sampai dan tersedia di lapangan tepat waktu dan tujuan sehingga dapat mengakselerasi pencapaian visi dan misi pertanian modern.
Pengembangan teknologi pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat kita umumnya dan petani khususnya. Dapat dipastikan bahwa jika teknologi pertanian yang cocok tersebut telah berhasil dikembangkan dan diterapkan di negara kita, maka ketahanan pangan atau swasembada pangan pasti akan tercapai sehingga kemandirian dalam hal ekonomi dan politik dapat kita wujudkan. Apabila hal tersebut benar-benar kita miliki, maka dalam menghadapi era global nanti kita sudah punya bekal paling tidak ketahanan pangan dalam menghadapi beberapa goncangan. Dengan ketahanan pangan berarti bahaya kekurangan pangan atau kelaparan akibat tajamnya persaingan pada era global dapat dihindarkan. Pada akhirnya kita punya modal kemandirian minimal dalam satu aspek pangan dan beberapa aspek lainnya misalnya keutuhan bangsa dan semangat untuk berkompetesi demi kemajuan bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
Terdapat sejumlah permasalahan dalam upaya
pengembangan teknologi pertanian (alsintan) di dalam negeri yakni: (1) sistem
standarisasi, sertifikasi, dan pengujian alsintan masih lemah, (2) pemanfaatan
dan ketersediaan alsintan masih kurang, (3) sekala usaha penggunaan alsintan belum memadai, (4)
dukungan perbengkelan masih lemah, (5) belum mantapnya kelembagaan alsintan,
(6) belum optimalnya pengelolaan alsintan di subsektor peternakan, dan (7)
masih rendahnya partisipasi masyarakat/swasta dalam pemanfaatan dan
pengembangan alsintan serta terbatasnya daya beli maupun permodalan akibat daya
tukar produk pertanian yang makin menurun.
Berdasarkan permasalahan di atas, tantangan yang dihadapi
dalam pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian adalah: (1) menyiapkan
perangkat peraturan perundang-undangan tentang alsintan, (2) menumbuh
kembangkan industri dan penerapan alsintan, (3) mengembangkan kelembagaan Usaha
Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang mandiri untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan alsintan, (4) mengembangkan lembaga pengujian alsintan yang
terakreditasi di daerah dalam rangka otonomi daerah, (5) mengembangkan alsintan
sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan (6) meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan alsintan.
Undang
undang yang memberikan peluang terhadap pengembangan teknologi alat dan mesin
pertanian bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan
pengolahan serta pemasaran hasil
diantaranya adalah terbitnya undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman, undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
dan undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang belum ditindak
lanjuti secara menyeluruh terutama dalam bidang alat dan mesin pertanian.
Disamping
hal tersebut, terdapat beberapa peluang lain yakni: (1) alsintan sudah menjadi
kebutuhan utama bagi petani dalam mengelola usaha taninya, (2) masih luasnya
lahan pertanian yang belum tergarap karena kurangnya tenaga kerja, (3)
menurunnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian dengan
teknologi sederhana sehingga peluang penggunaan teknologi alat dan mesin
pertanian semakin terbuka, (4) mulai tumbuhnya industri alsintan dalam negeri
dan perbengkelan yang dapat menyediakan suku cadang demi kelancaran operasional
di lapangan, dan (6) tuntutan konsumen terhadap produk pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang berkualitas dan higienis semakin memperbesar peluang
pengembangan alsintan lebih lanjut.
Relevansinya dengan beberapa permasalahan, tantangan, dan
peluang di atas maka strategi dalam pengembangan alat dan mesin pertanian
adalah menyiapkan peraturan perundang-undangan yang kondusif bagi pengembangan
alsintan tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Di
samping itu juga dilakukan upaya untuk memperkuat kelembagaan Usaha Pelayanan
Jasa Alsintan (UPJA) dan lembaga
terkait dalam pengembangan alsintan. Selanjutnya adalah mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan untuk proses produksi pertanian dalam mendukung
pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing dalam tataran
global, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistik.
Menyadari sepenuhnya bahwa negara kita
mempunyai potensi terbesar di bidang pertanian maka kebijakan teknologi harus
berbasis pada tangguhnya sektor pertanian. Pengalaman dari negara-negara yang sudah maju selalu memulai kemajuannya
dari potensi dasar yang dimilikinya. Misalnya Jepang, negara yang cukup canggih
dalam menghasilkan teknologi ini memulai debutnya juga dengan memodernisasi
teknologi pertaniaanya. Tetapi sayang
sungguh sayang terhadap apa yang dilakukan republik ini selama hampir 50 tahun
justru menginjak-injak sektor pertanian,
seakan pertanian adalah keset
yang selalu diposisikan paling bawah. Betapa tidak rusaknya logika berpikir
jika pesawat terbang yang nota bene
hasil rancangan putra-putra terbaik negara ini justru ditukar dengan beras ketan yang dapat dengan mudah dihasilkan
oleh petani kita. Dengan demikian pengembangan teknologi negara kita belum
berbasis pada pertanian. Mengapa republik ini tidak menghabiskan dana
besar-besaran untuk memacu teknologi pertanian, misalnya industri traktor,
pengering, megkonsolidasi lahan, atau bahkan meningkatkan agro industri ?. Mungkin
hal ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat kita yang tidak menyadari sepenuhnya bahwa
keunggulan komparatif yang kita miliki berada di sektor pertanian. Padahal
pengalaman menunjukkan bahwa negara yang berdaya saing tinggi adalah negara
yang mampu mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan
kompetitif. Di samping hal tersebut, masyarakat kita selalu memandang bertani
merupakan pekerjaan yang tidak menarik atau selalu identik dengan pekerja kasar
yang selalu bergelepotan dengan lumpur.
Waktu telah bergulir, dan kini kita telah memasuki era global yang sarat dengan kompetisi. Persaingan terang-terangan yang bersifat lokal maupun global akan terjadi. Negara yang tidak mempunyai dasar yang kuat dalam sistem perekonomiannya akan menjadi incaran dan mangsa bagi negara lain yang telah unggul teknologinya. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan yang semakin mencolok antara negara maju dengan negara yang belum maju.
Oleh karenanya, demi kemandirian bangsa, minimal kita harus mempunyai ketahanan pangan. Hal ini dapat dicapai bila sistem pertanian kita dikelola secara maksimal, berorientasi pasar, serba efektif dan efisien dalam penggunaan sarana input produksi (bibit, pupuk, obat, dan peralatan) sehingga tercapai produktifitas dan kualitas demi memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini dapat tercapai bila peranan teknologi pertanian (alsintan) makin dikembangkan dan dioptimalkan berdasarkan strategi pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.
Apabila kita sudah memiliki ketahanan pangan maka sangat memungkinkan bagi kita untuk berkonsentrasi dalam mengembangkan dan mengejar bahkan menandingi produk produk teknologi dari negara yang sudah maju. Meskipun hal ini memakan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit serta membutuhkan dukungan dari segenap komponen masyarakat. Melalui langkah yang sistematis, bersungguh-sungguh, dan konsisten dalam upaya melakukan inovasi atau pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian, maka kita memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat berkompetisi dengan bangsa lain dalam menghadapi era global.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto J. 2001. Inovasi alsin untuk agribisnis. Di dalam: Keteknikan Pertanian untuk Agroindustri dan Agribisnis yang Berdaya Saing. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ; Jakarta, 10 Juli 2001. Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. hlm 1-9.
Handaka. 1996. Pengembangan alat dan mesin pertanian
di Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Konstribusi Teknik Pertanian untuk Memacu Pembangunan Industri
dalam Era Globalisasi.
Moens. 1978. Objective of agricultural mchanization.
Paper in Agricultural Mechanization Strategy, NUFFIC THE/LHW. IPB. Bogor.
Rajasa H. 2002. Sambutan menteri
riset dan teknologi pada seminar nasional perhimpunan teknik pertanian
Indonesia. Malang 3-4 Mei 2002.
Saragih B. 2000. Agribisnis sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia dalam era milenium baru. Agrimedia 6: 4-7.
Soedjatmiko. 1996. Kepeloporan nasional teknik
pertanian di Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Konstribusi Teknik Pertanian untuk Memacu Pembangunan Industri
dalam Era Globalisasi.
Sunyoto. 1978. Agricultural mechanization as a basis
for a new farming pattern in the national development. Paper in Agricultural
Mechanization Strategy, NUFFIC THE/LHW. IPB. Bogor.
Suprapto A. 2001. Kebijakan dan strategi pengembangan alat dan mesin pertanian. Di dalam: Keteknikan Pertanian untuk Agroindustri dan Agribisnis yang Berdaya Saing. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ; Jakarta, 10 Juli 2001. Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. hlm 10-14.