ã
2002 La Ode Safuan Posted 27 October
2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Oktober 2002
Dosen :
Prof Dr.
Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr
Zahrial Coto
Dr Bambang
Purwantara
KENDALA PERTANIAN LAHAN KERING
MASAM
DAERAH TROPIKA DAN CARA
PENGELOLAANNYA
Oleh
:
La Ode Safuan
NRP. A361020151 AGR
E-mail: laodesafuan@yahoo.com
Tanah di
kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi matahari dan curah hujan
yang tinggi sepanjang tahun. Kondisi
tersebut menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi
serta pencucian (leaching) yang tinggi.
Temperatur dan kelembaban udara yang juga tinggi mengakibatkan
dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung cepat. Bartholomew (1972) dalam (Subowo,
Subagja dan Sudjadi, 1990) menyatakan bahwa pencucian merupakan penyebab utama
masalah kesuburan tanah pertanian tropis.
Tanah-tanah
tropis dengan curah hujan tinggi telah mengalami pencucian, menyebabkan jumlah
kation basa yang dapat dipertukarkan berkurang. Kompleks petukaran dalam tanah di dominasi oleh ion-ion hidrogen
dan aluminium, menyebabkan tanah semakin masam serta dapat menurunkan kapsitas
tukar kation melalui proses perubahan mineral liat dalam tanah (De Coninck,
1974) dalam (Amin, Sofyan, dan Sudjadi, 1985). Selanjutnya William dan Yoseph (1976) dalam (Subowo,
Subagja dan Sudjadi,1990) menyatakan bahwa masalah agronomi yang penting pada
tanah tropika adalah kekahatan hara dan kemampuan tanah menahan air yang
rendah.
Menurut
Sudjadi (1984) di Indoneia terdapat 3 jenis tanah penting yang bermasalah. Salah satu diantaranya yang mempunyai agihan
luas, adalah Podsolik Merah Kuning (Ultisol) kurang lebih 48,3 juta hektar atau
sekitar 30 persen luas total daratan Indonesia. Tanah ini memiliki tingkat pencucian hara tinggi, sebahagian
besar kahat Ca, Mg, K,P, N, dan mempunyai kejenuhan Al tinggi serta rentan
erosi.
Salah satu
usaha perbaikan tanah-tanah masam
semacam ini adalah pengapuran.
Pegapuran dapat meningkatkan basa kalsium dan pH tanah melalui
hidrolisis asam lemah yang merupakan bagian dari senyawa tersebut. Kalsit dan Dolomit merupakan bahan yang
banyak digunakan, karena relatif murah dan mudah didapat. Disamping itu bahan tersebut dapat
meperbaiki sifat fisik tanah dan tidak meninggalkan residu yang merugikan dalam
tanah (Buckman dan Brady, 1974).
Apabila pH tanah telah meningkat maka kation aluminium akan mengendap
sebagai gibsit, sehingga tidak lagi merugikan tanaman.
Pada tanah
tropika basah, bahan organik merupakan pendukung yang penting untuk produksi
tanaman pangan. Bahan organik akan
membantu mengurangi besarnya erosi, mempertahankan kelembaban, mengendalikan
pH, memperbaiki drainase, mengurangi pengerasan dan retakan serta meningkatkan
kapasitas pertukaran ion dan aktivitas biologi tanah (Vidyarthy dan Misra,
1982).
Rendahnya
produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang
rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas indeks pertanaman karena
kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam, maka selain
pengapuran dan pemupukan dapat dilakukan dengan optimalisasi pola tanam, yang
selain dapat meningkatkan intensitas indeks pertanaman, juga dapat mengurangi
aliran permukaan/erosi, dan evaporasi tanah oleh adanya penutupan tanaman dan
sisa hasil panen yang dapat berfungsi sebagai mulsa dan menambah bahan organik tanah.
Untuk
mengembangkan usahatani pada lahan kering masam di Indonesia, maka kita akan
dihadapkan pada berbagai kendala . Adanya
berbagai faktor pembatas pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah dan
tidak tersedianya air sepanjang tahun merupakan kendala utama rendahnya
produktivitas lahan. Selain itu suhu yang tinggi dan ketidak merataan curah
hujan serta kerentanan tanah terhadap erosi telah menambah kompleksitas
permasalahan.
Tanah
merupakan faktor lingkungan penting yang mempunyai hubungan timbal balik dengan
tanaman yang tumbuh diatasnya. Tanah
yang produktif harus dapat menyediakan lingkungan yang baik seperti udara dan
air bagi pertumbuhan akar tanaman, disamping harus mampu menyediakan unsur
hara. Faktor lingkungan tersebut
menyangkut berbagai sifat fisik tanah seperti ketersediaan air, temperatur
,aerasi, dan struktur tanah yang baik.
Pengolahan
tanah diperlukan bila kepadatan, kekuatan dan aerasi tanah tidak mendukung
penyediaan air dan perkembangan akar. Sebagian tanah Podsolik merah kuning
mempunyai horizon B yang berat dan padat dimana lapisan di bawah 15 cm sering
sudah terlalu padat sehingga mengganggu akar tanaman. Akibatnya sebagian besar akar tanaman hanya berada di lapisan
atas yang tipis dan tanaman mudah mengalami kekeringan. Untuk memecahkan masalah ini perlu mencoba
mengolah tanah lebih dalam (Suwardjo, Abdurachman dan Sutono, 1984). Tanah yang diolah dalam tanpa mulsa bila
setiap musim tidak diolah lagi akan menjadi padat. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya pori aerasi, yaitu 11,8
persen. Sebaliknya dengan pengolahan
tanah sekali saja dan diberi mulsa tanah tetap gembur. Pori aerasi tanah pada perlakuan tersebut
setelah 8 bulan tidak diolah masih cukup tinggi yaitu 15 sampai 17 persen,
hampir sama dengan yang diolah setiap akan tanam. Bila tanah tidak diolah dan tidak diberi mulsa aerasinya cepat
memburuk karena terjadi penyumbatan pori makro oleh zarah tanah sebagai akibat
pecahnya agregat tanah karena benturan air hujan. Sebaliknya tanah yang ditutupi mulsa pori aerasinya masih baik
karena pecahnya agregat tanah jauh lebih sedikit. Adanya mulsa dapat melindungi tanah dari energi kinetik
hujan,sehingga mencegah atau mengurangi pecahnya agregat tanah dan menghindari
penyumbatan serta pemadatan.
Mulsa yang
menutupi permukaan tanah menyebabkan cahaya matahari tidak dapat langsung
mencapai tanah, sehingga temperaturnya lebih rendah dari tanah terbuka. Pada malam hari mulsa dapat mencegah
pelepasan panas shingga temperatur minimum lebih tinggi. Kedua peristiwa ini menyebabkan menurunnya
fluktuasi temperatur tanah harian.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwardjo, Abdurachman dan Sutono
(1984), menunjukkan bahwa perbedaan temperatur tanah maksimum bulanan antara
yang diberi dan tampa mulsa pada kedalam 10 cm berkisar 2 – 5 oC. Pada kedalam 5 cm penurunan temperatur tanah
yang diberi mulsa mencapai 5 – 12 oC. Perbedaan temperatur harian antara tanah
yang diberi mulsa dan tanpa mulsa mencapai 8 oC dan 10 oC
berturut-turut pada kedalaman 10 dan 20 cm.
Hasil
penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian di India yang di laporkan oleh
Prihar et al. (1979) bahwa pemberian jerami menurunkan temperatur tanah
sebesar 11,0; 7,01; dan 5,4 oC masing-masing pada kedalaman 5, 10
dan 20 cm. Menurut Lal (1979) bahwa
pengolahan tanah maupun pemberian mulsa sangat berpengaruh terhadap temperatur
tanah. Temperatur tanah di Nigeria yang
mencapai 42 oC, bila dengan mulsa jerami 4 ton/ha turun menjadi 34 oC. Penurunan temperatur tanah di daerah tropika
merupakan salah satu factor penyebab peningkatan hasil pertanian (Lal, 1979;
Prihar et al., 1979).
Selanjutnya Barus, Suwardjo dan Haryadi(1984) menjelaskan bahwa dengan
mulsa 4 ton jerami per hektar produksi jagung dilpatkan 2 kali di Bogor. Demikian pula Syarifuddin (1988) menunjukkan
secara tegas manfaat mulsa, dimana perlakuan 6 ton per hektar menghasilkan produksi
jagung dan kedelai yang tinggi.
Peningkatan hasil dan perbaikan produktivitas tanah
Podsolik Merah Kuning dapat dilakukan dengan pemberian pupuk, kapur, penambahan
bahan organik dan penambahan unsur-unsur lain yang kahat (Rumawas, 1984;
Sudjadi,1984). Pemberian bahan organik
tidak hanya menambah unsur hara bagi tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi
yang sesuai untuk tanaman dengan memperbaiki aerasi, mempermudah penetrasi
akar, dan memperbaiki kapasitas menahan air (Anonim, 1990), meningkatkan pH,
KTK, serapan hara dan menurunkan Al-dd,
serta struktur tanah menjadi remah.
Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan tanah, biomasa, dan produksi
tanaman pangan (Sastrosoedarjo, 1984).
Hasil penelitian terdahulu (Sumartono dan Roesdi, 1982 dalam Sastrosoedarjo,
1984) di Rimbobujang, Jambi dan Sanggau, Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa
pemupukan 150 kg/ha Urea, 200 kg/ha TSP dan 50 kg/ha KCl ditambah pupuk dasar 1
ton/ ha kapur dan 5 ton/ha pupuk hijau memberikan hasil jagung dan kacang tanah
yang cukup memuaskan, pada tanah Podsolik.
Kenaikan
pH tanah disebabkan oleh meningkatnya kadar ion Ca, akibat penambahan kapur dan
adanya pengaruh tidak langsung dari hasil dekomposisi bahan organik. Penambahan kapur meningkatkan kadar Ca2+
dan menimbulkan efek netralisasi sebagai akibat reaksi subtitusi ion H+
dengan ion Ca2+. Dekomposisi
bahan organik akan menghasilkan antaralain asam karbonat hasil reaksi CO2
dengan H2O yang akan mempercepat aktivitas CaCO2 atau
kapur pertanian (Supardi, 1983; Miller dan Donahue, 1990).
Kadar bahan organik pada tanah yang
ditanami terus menerus akan menurun sebesar 35 persen dibandingkan dengan tanah
pada kondisi awal sebelum ditanami, sehingga bahan organik harus diberikan
secara teratur (Supardi, 1983).
Pemberian mulsa secara teratur dapat mempertahankan kadar bahan oganik
tanah (Suwardjo, 1981). Beberapa hasil penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa
bahan organik tanah berasal dari penimbunan sisa tumbuhan dan binatang yang
telah mengalami pelapukan lanjut maupun sebagian, sehingga bahan organik tanah
berada dalam bentuk yang tidak mantap dan selalu berubah. Akibatnya, harus selalu diperbaharui melalui
pengembalian sisa-sisa panen (Supardi, 1983; Miller dan Donahue, 1990).
Sukristriyonubowo,dkk.(1993)
melaporkan bahwa, pemberian bahan organik dan kapur dapat meningkatkan
kandungan P tersedia dalam tanah. Hal
ini disebabkan oleh adanya pengaruh langsung dari penambahan bahan organik dan
kapur serta pengaruh tiak langsung dari penambahan bahan organik. Pengaruh
tidak langsung terjadi karena proses dekomposisi bahan organik yang
menghasilkan asam-asam organik mampu menonaktifkan anion-anion pengikat fosfat,
yaitu Al dan Fe, dan membentuk senyawa logam organik. Sedangkan pengarunya secara langsung karena bahan organik
merupakan sumber P dan S tersedia dalam tanah (Miller dan Donahue, 1990).
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sukristriyonubowo,dkk.(1993) menunjukkan bahwa,
pemberian bahan organik, kapur maupun pemupukan NPK meningkatkan hasil biji
kering kacang tanah secara nyata.
Pemberian bahan organik dari pemangkasan Flemingia congesta yang
diberikan secara periodik mampu meningkatkan hasil sebesar 66 % jika
dibandingkan dengan tanpa pemberian bahan organik. Pada pemeberian pupuk NPK dengan 100 kg/ha, pemberian kapur mampu
menigkatkan hasil berkisar 42 – 78 %.
Tetapi pada pemberian pupuk NPK dengan takaran 50 kg/ha peningkatan
hasil biji kering kacang tanah hanya terjadi pada pemberian kapur dengan
takaran 1.000 kg/ha, yaitu sekitar 2,7 kali jika dibandingkan dengan tanpa
pemberian kapur. Sedangkan pemberian
pupuk NPK dengan takaran 100 kg/ha mampu meningkatkan hasil biji kering sekitar
102 % jika dibandingkan dengan takaran 50 kg/ha. Hal ini disebabkan penambahan bahan organik, kapur dan pemupukan
NPK mampu memperbaiki beberapa sifat tanah, seperti pH tanah, kandungan bahan
organik, P-tersedia, KTK tanah dan menurunkan kandungan Al-dd
Pertumbuhan tanaman di lahan kering sangat dipengaruhi oleh
keadaan curah hujan. Oleh karena itu
untuk menghindari resiko kegagalan panen yang besar, pemilihan waktu tanam
suatu jenis tanaman dan varietasnya harus tepat, terutama untuk tanaman pangan. Menurut Allen et al. (1998) dalam
Irianto, dkk. (2000) bahwa, pemilihan saat dan masa tanam yang baik didasarkan
pada indikator indeks kecukupan air (water satisfaction) yang dikenal sebagai
nisbah evapotranspirasi aktual (ETA) dan evapotranspirasi tanaman (ETC). Secara
matematis besarnya ETA dapat dihitung dengan persamaan Eagleman (1971) sebagai
berikut:
ETA/ETC =
a + b(Hr)1 + c(Hr)2 + d(Hr)3.
Dengan :
a = -0.050 + 0.7732/ETP
b = 4.97 – 0.661.
ETP
c = -8.57 + 1.56. ETP
d = 4.35 – 0.880.
ETP
Hr = (FM – WP)/(FC – WP)
Dengan :
FM = kadar air tanah aktual hasil
pengukuran
FC = kadar air tanah kapasitas
lapang
WP = kadar air tanah titik layu
permanen.
ETC dapat dihitung dengan persamaan :
ETC = Kc.ETP
Dengan : Kc = koefisien tanaman
yang besarnya tergantung pada fase
pertumbuhan
tanaman.
Apabila
waktu tanam dan masa tanam pada suatu lokasi pengembangan telah diketaui, maka
langkah selanjutya adalah menyusun pola tanam.
Dalam penyusunan pola taman, selain aspek biofisik maka harus pula
memperhatikan pola tanam yang telah berkembang pada masyarkat setempat,
sehingga pola tanaman yang dikembangkan bukan merupakan sesuatu yang baru sama
sekali tetapi merupakan pengembangan dari pola tanam yang telah sudah ada.
Mengetahui
pola tanam petani yang berlaku adalah sangat penting untuk digunakan sebagai
dasar bagi perancangan suatu pola introduksi yang mampu meningkatkan intensitas
dan produktivitasnya. Pola umum yang
dominan di lahan kering adalah tumangsari antara jagung + padi gogo dan ubikayu
yang penanamannya dilakukan di musim hujan.
Produktivitas dari pola tersebut bervariasi tergantung pada kondisi
iklim dan tanahnya. Dalam pola petani
tersebut, setelah jagung dan padi dipanen, tinggal ubikayu yang akan umbuh
terus sapanjang tahun. Pada saat itulah
terlihat beberapa hal yang menrugikan, antaralain tanah tidak terlindung dengan
baik dari sinar matahari dan curah hujan serta memberikan peluang bagi
tumbuhnya kembali alang-alang.
Dengan
mempertimbangkan potensi curah hujan yang tersedia, maka dirancang pola
introduksi dengan menyisipkan tanaman kacang-kacangan ke dalam pertanaman
ubikayu setelah jagung dan padigogo dipanen.
Pemilihan tanaman kacang-kancangan ini selain dimaksudkan untuk menutup
tanah sepanjang tahun, juga merupakan sumber protein nabati dan pendapatan
petani disamping kemampuannya memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Sisa waktu dan curah hujan yang tersedia
setelah padi masih memungkingkan untuk dapat bertanam dua kali kacang-kacngan sehingga urutan pertanamannya
menjadi : Jagung + padi gogo / ubikayu / kacang-kacangan I – kacang-kacangan
II. (Ismail, Soebowo dan Effendi, 1984).
Abdurahman dan Agus (2000) menyatakan bahwa teknologi
konservasi tanah yang telah dikenal dan mempunyai prospek untuk diadopsi ke
tingkat petani antaralain:
1.
Tehnik olah tanah konservasi,
terdiri atas olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT) yang dapat
menghemat biaya pengolahan, menekan erosi, dan memperbiki sifat fisik tanah.
2.
Pemberian mulsa, berupa
sisa-sisa tanaman, untuk mempertahankan kelembaban tanah, mengurangi alian
permukaan/erosi, dan menambah bahan organik.
3.
Penanaman pohon-pohon produktif,
yang menghasilkan buah, getah dan produk lainnya, yang dapat melindungi
permukaan tanah dari terpaan air hujan dan aliran permukaan.
4.
Penanaman rumput pakan ternak
sebagai tanaman strip (hedgerow crops) pada tampingan dan bibir teras,
seperti rumput gajah, rumput raja, dan rumput benggala.
5.
Sistem pertanaman lorong, dapat
mengurangi erosi secara nyata.
6.
Penterasan, seperti teras gulud
dan teras bangku. Teras bangku cocok
untuk tanah yang solumnya tebal, strukturnya stabil dan tidak mengandung besi
dan Al tinggi dilapisan bawahnya.
Kendala utama pengembangan pertanian lahan kering daerah tropika adalah kesuburan tanah yang rendah dan ketersediaan air yang tidak tersedia sepanjang tahun.
Untuk meningkatkan produktivitas sistem pertanian lahan kering masam di daerah tropika secara berkelanjutan, dapat dilakukan melalui : (1) pemulsaan dan pengolahan tanah, (2) penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK, (3) optimalisasi pola tanam, dan (4) konservasi tanah.
Berbagai
bentuk pendekatan tersebut di atas, dilakukan secara terpadu sesuai dengan
kondisi Agro-ekosistim wilayah yang akan dikembangkan.
Abdurachman,A., dan F.Agus., 2000. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah.
Pasca-NWMCP. Hal : 25 – 38. dalam Pros. Lokakarya
Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Alternatif
Konsevasi Tanah. Bogor,
2-3 September 1999.
Amin
I., A. Sofyan dan M.sudjadi., 1985. Pengaruh Pengapuran Terhadap Beberapa Sifat Kimia
Tanah Ultisol Banten, Jawa Barat. Pembr.Pen.Tanah
dan Pupuk No 4 : 6-9.
Anonim.,
1996. Tekonologi Pengelolaan Lahan
Kering. Bidang Pelayanan Penelitian
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. DepartemenPertanian.
Barus,
A., Suwardjo dan Haryadi., 1984.
Pengaruh Pengelolaan Tanah, Mulsa dan Herbisida terhadap Pertumbuhan
Tanaman Jagung Pada Tanah Latosol Citayam.
Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Puslit Tanah.: 263-276.
Irianto
G., Le I.Amien,dan E. Surmaini., 2000. Keragaman Iklim Sebagai PeluangDiversifikasi. Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya . 67 – 95. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Ismail
I.G., Soebowo dan Suryatna Effendi., 1984.
Penelitian Pola Tanam di Daerah Transmigrasi Lahan Kering Way Abung,
Lampung Utara. Proceeding Pertemuan Teknis
Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Cisarua, Bogor 27 – 29
Februari 1984.:153-172. Departemen Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Prtanian.
Subowo,
Subagja, dan M. Sudjadi., 1990.
Pengaruh Bahan Organik Terhadap Pencucian Hara Tanah Ultisol
Rangkasbitung, Jawa Barat. Pembr. Pen. Tanah dan Pupuk. Nomor 9 : 26-32.
Sukristiyonubowo,
Mulyadi, P.wigena dan A. Kasino., 1993.
Pengaruh Penambahan Bahan Organik, Kapur, dan Pupuk NPK Terhadap Sifat
Kimia Tanah dan Hasil Kacang Tanah.
Pembr. Pen. Tanah dan Pupuk. Nomor 11 : 1-6.
Suwardjo,A.Aburachman
dan Sutono., 1984. Pengaruh Mulsa dan
Pengolahan Tanah Terhadap Produktivitas Tanah Podsolik Merah Kuning
Lampung. Pembr. Pen. Tanah dan Pupuk. Nomor 3 : 12 – 16.
Syarifuddin
K.A., 1988. Tanpa Olah Tanah Dalam Pola Tanam. Pros. Seminar Nasional II. BDP
TOT Bogor. : 1 – 15.