Makalah Pengantar
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2002
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggungjawab)
Prof. Dr. Ir.
Zahrial Coto
PENGELOLAAN TANAH SULFAT MASAM MELALUI PENGENDALIAN AKTIVITAS
MIKROORGANISMA
Oleh
Khairil Anwar
TNH A226010031
ABSTRAK
Tanah sulfat masam terdapat cukup banyak di Indonesia, dan sebagian telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Problem utama pada tanah tersebut adalah adanya senyawa pirit (Fe2S). Adanya oksidasi senyawa tersebut menyebabkan tanah menjadi masam, logam-logam dan basa-basa melarut sehingga tanah menjadi miskin dan kehidupan biota perairan yang terkena air drainasenya menjadi terganggu. Tanah yang telah teroksidasi tersebut bila tergenang kembali menyebabkan meningkatnya ion besi ferro dan hidrogen sulfida yang dapat meracuni tanaman padi. Reaksi oksidasi dan reduksi tersebut secara kimia berjalan lambat, namun adanya bantuan bakteri pengoksidasi dan pereduksi sebagai katalisator mempercepat proses reaksi tersebut beberapa ratus sampai juta kali lipat, sehingga dampaknya menjadi jauh lebih besar, karena itu pengelolaan tanah sulfat masam dapat didekati melalui pengendalian aktivitas mikroorganisma yang terlibat pada proses oksidasi-reduksi tersebut. Beberapa tindakan untuk menghambat aktivitas bakteri pengoksidasi adalah pemberian bakterisida, pemutusan suplai oksigen melalui penggenangan, dan pemberian kapur. Sedangkan aktivitas bakteri pereduksi perlu dirangsang dengan pemberian bahan organik dan penggenangan, hasil reduksi dapat didrainase melalui media filter.
Kata kunci : Pengelolaan, tanah sulfat masam, mikroorganisma.
PENDAHULUAN
Tanah sulfat masam merupakan tanah
yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak terdapat di daerah
rawa, baik pada pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat berperan dalam
pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut bersifat
stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem, bagi tanah,
kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu
sendiri maupun yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut
tercuci ke perairan tersebut. Mensvoort
dan Dent (1998) menyebutkan bahwa senyawa pirit tersebut merupakan sumber
masalah pada tanah tersebut.
Dilihat luasan, topografi dan
ketersediaan air, lahan tersebut sebenarnya mempunyai potensi untuk
pengembangan tanaman pangan dan tahunan. Di Indonesia, diperkirakan terdapat
sekitar 6,7 ha lahan berpirit tersebut, yang tersebar di pulau Kalimantan,
Sumatera, dan Irian (Nugroho et al.,
1992). Topografi termasuk kategori datar (<3%) dengan ketersediaan air yang bervariasi tergantung tipe luapan
air. Sebagian lahan tersebut telah dibuka untuk pemukiman transmigrasi, dan
ditanami padi, palawija dan buah-buahan dengan hasil yang bervariasi, dan
umumnya dibawah potensi produksi tanaman.
Pembukaan lahan pada tanah tersebut
selalu dibarengi dengan pembuatan saluran air untuk kepentingan transportasi
dan dranase/irigasi kawasan tersebut. Tapi dalam kenyataannya, pengelolaan air
tak terkendali dengan baik. Permukaan air tanah turun di bawah permukaan
lapisan pirit, terutama pada musim kemarau. Akibatnya terjadi oksidasi senyawa
pirit, yang menghasilkan asam sulfat, membuat pH tanah sangat masam. Kemasaman yang rendah tersebut berdampak
negatif terhadap sifat kimia tanah dan aktivitas mikroba tanah.
Tanah-tanah yang sudah teroksidasi ini, bila tergenang pada musim hujan, akan terjadi proses reduksi. Proses tersebut meningkatkan pembentukan besi ferro dan sulfida, yang dapat meracuni tanaman padi.
Dilihat dari potensi dan dampaknya,
maka tanah tersebut membutuhkan pengelolaan yang tepat dan terintregasi dari
berbagai aspek. Untuk itu perlu dipelajari proses-proses oksidasi dan reduksi
dari senyawa pirit tersebut agar diketahui cara-cara pengelolaannya yang
sesuai.
Reaksi oksidasi dan reduksi pada
tanah tersebut dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika
tanah. Ditinjau dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit
sangat ditentukan oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp.. Sedangkan dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S
sangat ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi sulfat Desulfovibro sp. Karena itu dalam pengelolaan tanah sulfat masam
dapat didekati melalui pemanfaatan peranan kedua bakteri tersebut. Namun
aktivitas kedua bakteri tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, karena adanya
saling ketergantungan satu sama lain antara bakteri dan lingkungannya.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan
peranan mikroorganisma dalam proses-proses reaksi oksidasi-reduksi, dan upaya-upaya pengelolaannya melalui
pengendalian aktivitas mikroba diatas.
PERANAN MIKROORGANISMA
DALAM PROSES OKSIDASI PIRIT
Adanya oksidasi pirit merupakan penyebab utama munculnya permasalahan di lahan sulfat masam. Menurut Dent (1986); Alloway dan Ayres (1997) proses oksidasi pirit pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses kimia serta mikrobiologi. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang. Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :
FeS2 + ½ O2 +
2 H+ à
Fe2+ + 2 S + H2O
Oksidasi belerang oleh oksigen
terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan bakteri autotrop yang berperan
sebagai katalisator, proses berjalan dengan reaksi sebagai berikut:
S + 3/2 O2 + H2O à
SO42- + 2 H+
Menurut Anonim (2002b), bakteri tersebut adalah Thiobacillus thiooxidans dan merupakan bakteri chemolithotrophs yang menggunakan S yang tereduksi sebagai sumber energi. Asam sulfat merupakan hasil akhir dari reaksi tersebut dan menyebabkan pH lingkungan disekitarnya 2 atau kurang. Menurut Anonim (2002a) beberapa bakteri pengoksidasi yang toleran terhadap kemasaman adalah Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans pada pH 2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1,4.
Menurut Dent (1986), kemasaman yang ditimbulkan ditambahkan dengan kemasaman yang terjadi oleh adanya oksidasi besi monosulfat amorf mengakibatkan tanah menjadi masam. Jika pH tanah menjadi lebih rendah dari 4, Fe3+ larut dan mengoksidasi pirit dengan kecepatan tinggi. Persamaan reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ sebagai berikut :
FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O à
15 Fe2- + 2 SO42- + 16 H+
Dengan adanya oksigen, Fe2+ yang dihasilkan dapat berubah menjadi Fe3+. Namun pada pH kurang dari 3,5 oksidasi melalui proses kimia tersebut berlangsung lambat. Fe2+ hanya stabil dengan hadirnya O2 pada pH rendah. Pada pH rendah tersebut redoks potensial lebih besar daripada pH netral (Anonim 2002f). Pada pH rendah tersebut, bakteri Thiobacillus ferrooxidans mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat lagi dalam proses oksidasi pirit. Reaksi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans adalah sebagai berikut :
Thiobacillus
ferrooxidans
Fe2+ + 1/4 O2
+ H+ à Fe3+
+ ½ H2O
Dari persamaan diatas,
terlihat bahwa sebagian besar kemasaman (H+) yang dihasilkan dalam
proses oksidasi pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses oksidasi Fe2+
dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans. Menurut
Anonim (2002c), bakteri tersebut merupakan bakteri sulfur acidophillic yang
dapat menggunakan besi tereduksi (Fe2+) sebagai sumber energinya.
Menurut Mills (2002) dan Natarajan (2002), hadirnya Fe3+ akan
menyerang logam sulfide (MS) lainnya dengan persamaan reaksi sebagai berikut:
MS + n Fe3+ à Mn+
+ S + n Fe2+
sehingga melarutkan logam-logam dan menghasilkan ion Cu2+, Zn2+, Pb2+, dan Cd2+. Reaksi logam sulfide dengan asam sulfat bereaksi lambat tanpa hadirnya Fe3+. Hadirnya ion logam tersebut dapat bersifat toksik bagi mikroorganisme, misalnya hasil oksidasi arseno pirit (FeAsS) yaitu ion arsenit dan arsenat, sangat menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi. Menurut Mills (2002), bakteri pengoksidasi tersebut berasal dari genus Thiobacillus, Thiomicrospira dan Sulfalobus.
Reaksi oksidasi pirit yang terjadi dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri hidoksida secara ringkas dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
FeS2
+ 15/4 O2 + 7/2 H2O à Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+
Menurut Konsten et al. (1988) kemasaman maksimal terbentuk jika proses oksidasi pirit menghasilkan feri hidroksida (Fe(OH)3). Seperti terlihat dalam persamaan reaksi di atas, oksidasi 1 mol pirit menghasilkan 4 mol H+. Jika dalam oksidasi pirit terbentuk jarosit, kemasaman yang dihasilkanya hanya 3 mol H+ setiap satu mol pirit teroksidasi. Reaksi oksidasi pirit yang menghasilkan jarosit adalah sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O
+ 1/3 K+ à
1/3 KFe(SO4)(OH)6 + 4/3 SO42-
+ 3 H+
Oksidasi pirit
menghasilkan kemasaman lebih rendah lagi jika proses oksidasi pirit tersebut
menghasilkan Fe2+. Reaksi oksidasi pirit tersebut merupakan oksidasi
kimia, yang menghasilkan Fe2+, reaksinya adalah sebagai berikut :
FeS2 + 7/2 O2
+ 8 H2O à
Fe2+ + 2 SO42- + 2 H+
Menurut
Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit ditentukan
oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil oksidasi, dan
kapasitas netralisasi.
Dari uraian proses oksidasi senyawa pirit diatas
terlihat bahwa mikroorganisma (bakteri pengoksidasi) sangat berperan sekali
dalam proses oksidasi senyawa pirit, baik sebagai pengoksidasi sulfat maupun
besi. Tanpa adanya bakteri sebagai katalisator proses oksidasi secara kimia
berjalan sangat lambat. Berdasarkan perhitungan Dugan (1974), oksidasi yang
disebabkan oleh mikroba beberapa ratus
kali lipat lebih besar dibanding oksidasi secara kimia. Sedangkan menurut
Evangelou dan Zhang (1995 diacu dalam Mills, 2002), okisdasi sulfide yang
dikatalisasi oleh bakteri, kecepatan reaksinya pangkat 6 ( 1 juta kali) lebih
besar daripada reaksi yang sama tanpa adanya bakteri. Anonim (2002b)
menyebutkan bahwa dalam lingkungan arobik (oksidasi), sulfide dikonversi menjadi sulfat oleh bakteri pengoksidasi
sulfur, oksidasi kimia dari sulfide juga terjadi tetapi lebih lambat daripada
dengan adanya mikroba. Ini artinya
bahwa dampak yang ditimbulkan oksidasi senyawa pirit secara kimia relatif kecil
dan berpeluang untuk dapat diatasi dengan upaya penanggulangan yang selama ini
diterapkan. Namun adanya bakteri
pengoksidasi menyebabkan oksidasi senyawa pirit menjadi lebih cepat sehingga
menghasilkan asam yang lebih banyak.
Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O à
Fe2+ + 1 ¼ H2O + ¼ CO2
Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan
bakteri anaerob dan adanya bahan organik sebagai penyumbang elektron. Oleh
sebab itu, dibandingkan pada tanah biasa, kecepatan reduksi pada tanah sulfat
masam yang digenangi lebih lambat karena kemasaman yang tinggi, rendahnya
ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekomposisi, atau kombinasi
dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob kurang mampu
berkembang. Hal ini terjadi terutama pada tanah sulfat masam yang telah lanjut
sehingga mengandung kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit
direduksi, sedangkan pada tanah sulfat masam yang muda, kaya akan koloid besi. Konsten et al. (1990) mendapatkan tidak adanya peningkatan pH setelah
penggenangan pada tanah yang mempunyai kandungan oksida besi ferri yang rendah.
Jadi tingkat kelarutan besi ferro dan kenaikan pH sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan besi yang dapat direduksi, bahan organik dan suasana anaerobik.
Peningkatan pH tanah menurunkan tingkat aktifitas Al3+. Penurunan aktivitas Al akan menurunkan tingkat toksisitasnya, tetapi dilain pihak kondisi reduktif tersebut dapat mengakibatkan timbulnya ion atau senyawa lain juga bersifat toksik (racun) bagi tanaman, yaitu Fe2+, H2S , asam organik, dan CO2 yang larut dalam jumlah tinggi dalam larutan tanah.
Menurut Hardjowigeno dan Rayes
(2001), pada tanah sulfat masam muda, Fe2+ yang tinggi mudah
terbentuk dan dapat bertahan beberapa bulan, karena tanah disangga oleh sulfat
pada pH rendah sehingga Fe2+ tetap berada dalam larutan. Peningkatan Fe2+ umumnya mencapai puncak setelah 2-5 minggu
digenangi. Hasil penelitian Moore dan
Patrick (1993) menunjukkan bahwa serapan Fe pada tanaman padi berkorelasi
dengan aktivitas Fe2+ dalam larutan tanah. Sedangkan pertumbuhan
tanaman berkorelasi dengan pH tanah dan AFe (rasio aktivitas Fe3+
terhadap jumlah aktivitas kation divalent).
Keracunan H2S tidak bersifat spesifik pada tanah sulfat masam. Mitsui 1964 (diacu dalam Breemen 1993) menyebutkan bahwa pada konsentrasi 0,1 mg/l H2S sudah dapat meracuni tanaman padi. Keracunan terjadi umumnya pada tanah yang kaya bahan organik dan rendah besi. Keracunan H2S hanya muncul setelah pH mencapai 5 yang tercapai setelah penggenangan yang lama, hal ini berkaitan dengan aktivitas bakteri pereduksi sulfat. (Desulfovibrio). Timbulnya H2S tersebut menurut Dent (1986), Konsten (1990) dan Breemen (1993) karena proses reduksi SO42- dan jumlah yang terbentuk berhubungan langsung dengan bahan organik. dengan reaksi sebagai berikut :
SO42- + 2
CH2O + H+ à
H2S + 2 CO2 + 2 H2O
Reaksi reduksi sulfat tersebut selain
membutuhkan bahan organik sebagai sumber elektron, dan juga pH yang sesuai agar
berjalan cepat yaitu pH antara 4-5. Reduksi sulfat berjalan sangat lambat pada
pH dibawah angka tersebut, karena itu pada tanah sulfat masam muda, reduksi
sulfat berjalan lebih cepat dibanding pada tanah sulfat masam tua. Tanaman padi
yang mengalami keracunan H2S sangat mudah terinfeksi penyakit dan
akar kurang berkembang (Puslitbangtan Pangan, 2002). Bentuk sulfide bervariasi, pada pH rendah dominan berada dalam
bentuk H2S, sedangkan pada pH netral dalam bentuk HS-,
dan pada pH alkalin dominan berada dalam bentuk S2- (Anonim 2002e).
Menurut Anonim (2002d), bakteri pereduksi sulfat
mereduksi sulfat ke hidrogen sulfida pada lingkungan anaerob. Organisme ini
menggunakan campuran organik atau H2 sebagai sumber elektron untuk
mereduksi sulfat. Sedangkan sulfide merupakan hasil oksidasi kimia oleh O2.
Oksidasi sulfide secara biologi dilakukan oleh bakteri chmolithptrophic terjadi
dalam beberapa strata.
Asam-asam organik terbentuk sebagai hasil fermentasi tanah tergenang
yang kaya bahan organik, dan ini sangat berbahaya bagi tanaman padi bila
konsentrasinya berada 0,1-1 mmol l-1
. Biasanya terjadi pada tanah bergambut dengan kimia yang miskin, tanah
berpasir dengan besi aktif rendah, dimana pH tetap rendah setelah penggenangan
(Okazaki dan Wada 1976 diacu dalam Breemen 1993).
Dari
uraian diatas terlihat bahwa pada kondisi reduksi pun, mikroorganisme tetap
berperan baik dalam reduksi besi ferri maupun reduksi sulfat. Tanpa adanya bantuan
bakteri, maka reaksi reduksi berjalan sangat lambat. Adanya peran bakteri
tersebut dapat dimanfaatkan untuk usaha
percepatan peningkatan kualitas lahan sulfat masam.
PENGELOLAAN LAHAN MELALUI KONTROL AKTIVITAS MIKROORGANISMA
Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi.
Dalam proses oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui mikroorganisma dapat didekati melalui:
1. Mencegah atau memperlambat terjadi proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut, melalui:
a. Pemberian bakterisida. Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang spesifik. Hasil pengujian Polford et al. (1988) mendapatkan bahwa bakterisida seperti Panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichlorophenylmethane) dan deterjen efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Arkesteyn (1980), pemberian NaN3 dan N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So.
b. Mengurangi suplai oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat. Menurut Anonim (2002b), adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari 1. Kemasaman ini menyebabkan masalah pada organisme lain dan melarutkan logam-logam berat, sehingga lahan tidak layak digunakan untuk pertanian, tetapi berguna untuk menghambat Streptomyces scabies penyebab penyakit pada kentang. Wako et al. (1984) dan Jaynes et al. (1984 diacu dalam Mensvoort dan Dent 1998) menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55oC (optimal 30oC), pH 1.5-5.0 (optimal 3.3). Menurut Anonim (2002b), bakteri tersebut adaptif pada pH rendah (optimum untuk pertumbuhannya 2-3) dengan konsentrasi besi ferro yang tinggi, besi tersebut digunakan sebagai donor elektron, dimana pengaruh pH pada konsentrasi besi direpleksikan dengan energi yang dihasilkan.
c. Pemberian kapur, sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi terhambat, karena meningkatnya populasi bakteri lainnya yang dapat menyaingi dalam pengambilan berbagai kebutuhan hidupnya seperti oksigen dan lainnya. Menurut Mills (2002), terjadi suksesi bakteri dengan perubahan pH tanah. pH yang cocok untuk habitat Thiobacillus ferrooxidans adalah 1,5-3,5, dengan suhu optimal 30-35oC. Pada pH 3,5-4,5 didominasi oleh bakteri metalogenium, sedangkan pada pH netral didominasi oleh bakteri Thiobacillus thioparus. Selain itu, adanya ion Ca yang berasal dari kapur akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga menurunkan aktivitas ion sulfat. Hasil penelitian Arkesteyn (1980) menunjukkan bahwa adanya penambahan kapur mencegah pemasaman, dimana pada pH dibawah 4,0, oksidasi kimia (tanpa bakteri) lebih rendah dibanding tanah yang diberi bakteri Thiobacillus ferrooxidans (oksidasi biologi). Ini artinya pada pH diatas 4,0, kemampuan oksidasi secara biologi tidak berbeda dengan secara kimia, yaitu berjalan sangat lambat. Pada percobaan tersebut, bakteri pengoksidasi pirit lainnya seperti Leptospirillum ferrooxidans atau genus Metallogenium gagal diisolat.
2. Mempercepat proses reduksi sulfat dan besi, dengan menciptakan kondisi lingkungan yang diperlukan oleh bakteri tersebut. Hasil reduksi tersebut dikeluarkan dari lahan melalui air drainase saat air surut. Menurut Anonim (2002b), reduksi sulfat tersebut dimedia oleh organisme yang diketahui secara kolektif sebagai bakteri pereduksi sulfur (SRB). SRB merupakan bakteri obligat anaerob yang menggunakan H2 atau organik sebagai donor elektron (chemolithotrophic). Kelompok organisme pereduksi sulfat ini secara generik diberi nama awal dengan “desulfo”, dimana SO42- sebagai aseptor elektron. Menurut Mills (2002) bakteri tersebut berasal dari genus Desulfovibrio dan Desulfotomaculum yang merupakan organisme heterotrophic, yang menggunakan sulfate, thiosulphate (S2O3) dan sulfide (SO3-) atau ion yang mengandung sulfur tereduksi sebagai terminal aseptor elektron dalam proses metabolisme. Bakteri tersebut memerlukan subtrat organik yang berasal dari asam organik berantai pendek seperti asam laktat atau asam piruvat. Dalam kondisi alamiah, asam tersebut dihasilkan oleh aktivitas fermentasi dari bakteri anaerob lainnya. Laktat digunakan oleh SRB selama respirasi anaerobik untuk menghasilkan acetat dengan reaksi berikut:
2 CH3CHOHCOO- + SO4- à 2CH3COO- + 2HCO3- + H2S
H2S tersebut
berguna untuk mengendapkan Cu, Zn, Cd sebagai metal sulfide. Menurut Anonim (2002a) dan Gadd (1999),
bakteri pereduksi sulfat dapat mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi
sulfida, selanjutnya dapat mengendapkan logam-logam toksik sebagai logam
sulfida. Menurut Saida (2002), pada percobaan lab dengan media agar, bakteri
tersebut dapat tumbuh sampai pH 2 dan meningkatkan pH media menjadi 6,4.
Menurut Beckett et. al. (diacu dalam
Sullivan et al. 2002), reduksi sulfat ke sulfide dalam lingkungan
anarobik dilakukan oleh bakteri dan fungi. Beberapa gas dihasilkan dalam
oksidasi-reduksi sulfur tersebut dan tervolatilisasi ke atmosfer dengan jumlah
kurang dari 5% dari total residu sulfur. Dua gas terpenting adalah SO2
dan H2S. SO2 dari lahan basah bergabung dengan yang
berasal dari industri dapat membentuk formasi hujan asam. Pada kondisi aerobik, H2S mungkin
dikonsumsi oleh pengoksidasi S, dimana SO2 diserap secara kimia.
KESIMPULAN
Dari hasil uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Adanya
senyawa pirit merupakan salah satu penciri tanah sulfat masam dan merupakan
sumber masalah pada tanah tersebut.
2.
Adanya
oksidasi senyawa pirit menyebabkan tanah menjadi masam, basa-basa tercuci,
kelarutan logam-logam meningkat, aktivitas mikroorganisma tanah dan kehidupan
biota perairan menjadi terganggu.
3.
Proses
oksidasi senyawa pirit dan reduksi dari ion atau senyawa yang dihasilkannya
terjadi secara kimia dan biologi.
4.
Kecepatan
oksidasi dan reduksi secara kimia berjalan lambat. Adanya bantuan bakteri
pengoksidasi atau pereduksi sebagai katalisator mempercepat reaksi tersebut
beberapa ratus sampai juta kali.
5.
Pengelolaan
tanah sulfat masam dapat dilakukan
melalui pengendalian aktivitas mikroorganisma yaitu menghambat aktivitas
bakteri pengoksidasi melalaui pemberian bakterisida, pemutusan suplai oksigen
melalui penggenangan dan pemberian kapur agar terjadi suksesi bakteri.
Sedangkan pada proses reduksi, perlu dirangsang dengan pemberian bahan organik
sebagai sumber elektron dan energi serta penggenangan untuk memutus suplai
oksigen sebagai aseptor elektron.
Alloway BJ. and Ayres DC. 1997. Chemical Principles of Enviromental Pollution. Second edition. London : Blackie Acad. & Professional.
Anonim. 2002 a. Sulphur Cycle. http://bob.soil.wisc.edu/hickey/soil523/ Partll /sulphur cycle.html. [15 Oktober 2002]
Anonim. 2002b. Microbial transformations of sulfur, phosphorus and metals. Part 2 section 3. In Biochemistry. http://bob.soil.wisc.edu/~hickey/soil523/ Partll/ p2_section3. [22 Oktober 2002]
Anonim. 2002c. Metabolic diversity. In: CK Biology of Microorganisms. http://cw.prenhall.com/~bookhind/pubbooks/CK/chapter13/objectives/deluxe-content.html. [29 Oktober 2002].
Anonim. 2002d. Microbial ecology. In: Brock Biology of Microorganisms. http: // cw.prenhall.com/~bookhind/pubbooks/brock/chapter14/objectives/deluxe-content.html. [5 November 2002].
Anonim. 2002e. Chemolithotrops: Chemical energy source using an inorganic compound to supply electrons to etp. http:// stin.ac.uk/Departments/ Natural Sciences/DBMS/Coursenates/30MI/chemoliths.htm. [26 Agustus 2002]
Arkesteyn GJMW. 1980. Contribution of microorganisms to the oxidation of pyrite. WAU disertation no. 791. http://agralin.nl/wda/abstracts/ab791.htm. [10 September 2002].
Breemen N van.
1993. Environmmental aspects of acid sulphate soils. In: Dent DK
andvan Mensvoort MEF. (ed). Selected Paper of the Ho Chi Minh City Symposium
on Acid Sulphate Soils; Vietnam, March
1992. hlm.391-402
Dent D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. Wageningen: ILRI Publ. 39.
Dugan PR. 1974 . Biolchemical Ecology of Water Pollution. New York: Plenum Press.
Evangelou, VP and Zhang YL. 1995. A review: Pyrite oxidation mechanism and acid mine drainage prevention, Crtitical Reviews in Environmental Science and Technology. 25 (2): 141-199.
Gadd GM. 1999. Metal-microbe
interactions. In: Adv.Microb.Physiol. 41:47-92. http://www.dundee.ac.uk/
Biocentre/SLSBDIV7gmg.htm. [8 Oktober 2002]
Hardjowigeno S dan. Rayes
ML 2001. Tanah Sawah. Bogor : IPB, Program Pascasarjana.
Konstens CJM, Suping S, Aribawa IB, and Widjaja-Adhi
IPG. 1990. Chemical processes in acid
sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan. In AARD/LAWOO
(ed.). Paper Workshop on Acid Sulfate
Soils In The Humid Tropics; Bogor,
20-22 November 1990. Bogor: AARD. hlm. 109-135.
Mensvoort MEF van and Dent DL. 1998. Acid sulphate soils. In. Lal R,
Blum WH,
Valintine C, and Stewart BA.(ed). Method for Assesessment of Soil Degradation. Florida: CRC Press LLC. hlm. 301-337.
Mills C. 2002. The role of micro-organisms in acid rock drainage. http://www.environmine.com/ard/microorganisms/nele of.htm. [1 Oktober 2002].
Moore PA and Patrick Jr. WH.
1993. Metal avaulability and uptake by rice in acid sulphate soils. In:
Dent DK and van Mensvoort MEF. (ed). Selected Paper of the Ho Chi Minh City
Symposium on Acid Sulphate Soils;
Vietnam, March 1992.hlm. 205-224.
Natarajan. KA. 2002. How can bacteria augment gold recovery. Departement of Metallurgy, India. http://www.c.sic.iisc.ernet.in/csicweb/inscight5/ bacteria. html. [24 September 2002].
Saida 2002. Isolasi,
karakterisasi dan uji aktivasi bakteri pereduksi sulfat dari ekosistem air
hitam Kalimantan Tengah. http://www.icbb.org/indonesia/
penelitian/penelitian12.htm. [12 November 2002]