@ 2002 Hengky Sinjal                                               Posted 30 November 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana/S3

Intitut Pertanian Bogor

November 2002

 

Dosen  : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

               Prof. Dr. Zahrial Coto

               Dr. Bambang Purwantara

 

 

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN

 

 

Oleh:

 

HENGKY JULIUS SINJAL

C061020041/AIR

E-mail : Okiyukimdo@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

 

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri, ikan tersebut berasal dari Afrika bagian timur  di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya, lalu dibawa oleh orang ke Eropa, Amerika, negara-negara Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia benih ikan nila secara resmi didatangkan dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 1969 (Suyanto 1998). Bagi petani ikan di Indonesia, produksi ikan nila saat ini selain untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, ikan tersebut juga dipasarkan ke luar negeri, khususnya Singapura dan Jepang (Rochdianto 1993 dalam Ahmad 1995).Pada pemeliharaan yang dilakukan secara campuran (jantan dan betina), dan kelamin tunggal (monoseks), ternyata ikan nila jantan dapat tumbuh lebih cepat 1,53 – 2,69 gram per hari untuk mencapai ukuran konsumsi dibanding dengan ikan nila betina yang pertumbuhannya hanya 0,83 – 1,05 gram per hari (Jangkaru 1988). Selain pertumbuhannya yang cepat, ikan tersebut memiliki sifat-sifat unggul yang lain, yaitu tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora, mampu mencerna makanan secara efisien dan tahan terhadap serangan penyakit (Suyanto 1998). Keistimewaan ini setidaknya dapat dimanfaatkan bagi suatu usaha budidaya kelamin tunggal (monoseks jantan) yang lebih produktif (Anonimous 1991).

Hal tersebut didukung oleh suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuo dalam Sugiarto (1988) bahwa produksi ikan nila semakin meningkat setelah diterapkan sistem budidaya tunggal kelamin (monoseks), namun dalam metode ini hanya jantan saja yang dipelihara.  Untuk  itu  mengatasi  masalah  ini  perlu dicari teknologi  untuk  menghasilkan jenis kelamin jantan saja. Tulisan ini menginformasikan beberapa teknology yang dapat menghasilkan benih jantan saja

 

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN

Teknologi produksi benih jantan ikan nila dapat dilakukan dengan empat cara. Berikut ini akan diuraikan beberapa teknik produksi benih tersebut yaitu secara manual, hibridisasi antara spesies, merangsang perubahan seks dengan hormon dan manipulasi kromosom.

 

Secara Manual

Metode ini merupakan cara yang paling sederhana yaitu dengan menyisihkan ikan yang paling kecil, yang memperlihatkan pertumbuhan buruk, untuk beberapa waktu sampai pertumbuhannya mencapai 200 gram. Kemudian hanya jantan yang diseleksi berdasarkan bentuk penampilannya (Shokita, dkk 1991).

Menurut Suyanto (1998), ciri-ciri yang dapat membedakan antara benih ikan nila jantan dan betina adalah sebagai berikut :

·       Sisik nila jantan lebih besar daripada nila betina.

·       Alat kelamin jantan berupa satu lubang di papila yang berfungsi sebagai muara urine dan sperma, sedangkan alat kelamin betina terdiri dari dua lubang yang juga terletak di papila. Salah satu lubang untuk muara urine dan yang lain untuk pengeluaran telur.

·       Sisik bawah dagu dan perut ikan nila jantan berwarna gelap, sedangkan pada nila betina berwarna putih atau cerah.

·       Sirip punggung dan sirip ekor ikan nila jantan bergaris hitam yang terputus-putus, sedangkan nila betina bergaris-garis tidak terputus-putus.

Walaupun dalam metode ini tidak diperlukan keahlian khusus ataupun perlengkapan khusus, tetapi waktu yang diperlukan sangat lama (Shokita, dkk 1991). Selanjutnya kegiatan seleksi tergantung pada keterampilan petani dalam mengenal perbedaan antara ikan nila jantan dan betina. Biasanya derajat kesalahannya dapat mencapai 10% yang disebabkan oleh kesalahan yang manusiawi (Suyanto 1998).

 

 

Hibridisasi

Hibridisasi merupakan “pembastaran” ikan-ikan yang berlainan jenis atau varietas. Ikan bastaran (hasil perkawinan silang) yang bersifat unggul merupakan hasil perkawinan langsung induk-induknya (F1). F1 hibrid hanya ditujukan untuk memproduksi benih ikan bagi keperluan konsumsi, bukan untuk induk (Sugiarto 1988).

Hibridisasi dengan mudah dapat dilakukan di beberapa lahan budidaya. Metode ini yaitu untuk mencari F1 hibrid yang dihasilkan dengan penyilangan betina Oreochromis niloticus dan jantan Oreochromis aureus. Telah diketahui bahwa kebanyakan F1 ini adalah jantan (Shkita, dkk 1991). Selanjutnya hibridisasi juga dapat dilakukan dengan cara mengawinkan induk lini murni antara Oreochromis mossambicus dengan Oreochromis honorum, Oreochromis nigra dengan Oreochromis honorum (Landau 1992).

             Menurut hasil penelitian, hibridisasi antar spesies  dalam genus Oreochromis dapat menghasilkan keturunan F1 yang hampir 100% jantan (Suyanto 1998).

 

Merangsang Perubahan Seks Dengan Hormon

Merangsang perubahan seks dengan hormon telah dipraktekkan di negara maju. Bahkan di Taiwan dan Israel telah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu (Suyanto 1998). Mengutip Shokita, dkk (1991) bahwa metode perlakuan dengan hormon yaitu memperlakukan larva dengan hormon steroid jantan seperti metil testosteron dalam upaya untuk merubah jenis kelamin.

Menurut Purdom (1984), ada tiga cara atau metode dasar dalam pemberian hormon steroid untuk kepentingan pergantian jenis kelamin :

1.    Melalui injeksi

2.    Immersi (Perendaman dalam hormon)

3.    Melalui pemberian makanan

Dari ketia cara tersebut, cara yang terakhir (melalui pemberian makanan) adalah cara yang terbaik, terutama apabila menggunakan hormon etiltestosteron dan metiltestosteron, hormon tersebut dimaksudkan untuk merangsang pergantian jenis kelamin (Helpher dan Pruginin dalam Budisetijono, 1989).

Djarijah (1994) meneliti bahwa teknik alih kelamin ini hanya akan efektif apabila pemijahannya dilakukan dengan teknik pemijahan buatan. Hal tersebut dimaksudkan agar kontinuitas penyediaan benih lebih terjamin dalam jumlah yang banyak. Suyanto (1998) menegaskan agar ekonomis dalam pemberian hormon, jumlah larva dalam satu kali perlakuan minimum 50.000 ekor dengan kepadatan 750-1000 ekor/m3.

Yamazaki (1983) menyatakan bahwa periode yang baik untuk diberi perlakuan (pemberian hormon metil testosteron) adalah pada sradia larva atau pada saat ikan mulai makan. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode tersebut adalah umur benih ikan antara 7-10 hari setelah menetas. Namun demikian keberhasilan perubahan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti macam dan dosis hormon yang digunakan, metode pemberian hormon, lama perlakuan dan jenis ikan serta suhu air selama perlakuan (Yamamoto dalam Nuraini 1990).

Dosis hormon yang diberikan dalam makanan antara 5 – 1000 mg/kg pakan tergantung species ikan itu sendiri (Suyanto 1998). Selanjutnya dosis yang diberikan harus dapat menimbulkan pergantian jenis kelamin sebanyak 50%. Sedangkan untuk “breeding” yang praktis, pada dosis yang rendah sudah dapat menghasilkan pergantian jenis kelamin secara menyeluruh

 

Manipulasi Kromosom

Menurut ilmu genetika, gen yang membawa sifat kelamin jantan ialah gen XY, sedangkan yang membawa gen betina adalah XX. Didalam sel telur terdapat gen yang hanya membawa setengah dari sifat itu yaitu X, sedangkan didalam sperma terkandung pecahan dari XY sehingga ada sperma yang membawa kromosom X dan ada yang membawa kromosom Y. jika terjadi pembuahan sel telur oleh sperma maka akan terbentuk gen rangkap (lengkap), yaitu XX dan XY (Suyanto 1998).

Manipulasi perubahan seks pada ikan nila menghasilkan ikan jantan yang mengandung gen penentu kelamin YY. Ikan ini disebut “jantan super”.

Sedangkan jantan biasa hanya mempunyai sebuah Y yang berpasangan dengan X sehingga menjadi XY. Jika jantan super dikawinkan dengan betina XX akan diperoleh ikan monoseks jantan 100% (Mair dkk. 1998). Selanjutnya menurut Rustidja (1999), salah satu cara untuk menghasilkan ikan jantan homozigot YY yaitu dengan teknik androgenesis.

Menurut Sumantadinata (1998), androgenesis adalah proses terbentuknya embrio dari gamet jantan tanpa kontribusi genetis dari gamet betina. Proses reproduksi ini tidak umum terjadi, sehingga pada androgenesis dilakukan proses buatan yaitu menonaktifkan bahan-bahan genetik yang terdapat pada telur dengan cara meradiasi telur tersebut (Thogaard, dkk 1990). Akibat perlakuan tersebut, maka semua embrio keturunan androgenesis berkembang tanpa peranan gamet betina dan bersifat haploid.

Individu haploid memiliki ciri-ciri yang abnormal misalnya bentuk punggung dan ekor yang bengkok, mata atau mulut yang tidak sempurna, ukuran tubuh yang kecil, sistem peredaran darah yang tidak normal dan ketidakmampuan melakukan aktivitas renang dan makan (Cherfas 1981).

Embrio diploid androgenesis dapat diperoleh dengan cara memberi perlakuan kejutan suhu terhadap telur yang telah diradiasi dan telah dibuahi oleh sperma (Cassani dan Caton 1985). Pada penelitian androgenesis pada ikan mas yang dilakukan oleh Eddy (1994), didapatkan hasil bahwa lama waktu kejutan panas yang dilakukan 40 menit setelah pembuahan pada suhu 400 C yang terbaik adalah 2 menit.

Menurut Penman (1993), pemberian kejutan panas pada saat pembelahan mitosis I akan mencegah pembelahan sel pertama dan menghasilkan duplikasi kromosom dari genom haploid paternal yang membelah menjadi dua .

Menurut Rustidja (1999), berdasarkan proses diatas maka androgenesis akan menghasilkan ikan jantan homozigot XX atau YY, sehingga kalau ikan androgenetik ini dikawinkan dengan ikan betina akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu :

·      Apabila betina (XX) dikawinkan dengan jantan (XX) maka akan terjadi ikan monoseks betina (100%).

·      Apabila betina (XX) dikawinkan dengan jantan (YY) maka akan diperoleh ikan monoseks jantan (100%)

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T.l.S. 1995. Pengaruh Suhu Dan Lama Kejutan Panas Terhadap Keberhasilan Tetrapoidisasi Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp), Skripsi. Fakultas Perikanan IPB Bogor.(tidak dipublikasikan). 43 halaman.

Anonimous. 1991. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Nila. Direktorat Jendral Perikanan. Departemen Pertanian. 47 halaman.

Budisetijono. 1989. Pengaruh Metil Testoteron Terhadap Perubahan Jenis Kelamin Pada Benih Ikan Mas Berumur 25, 30 Dan 31 Hari. Karya ilmiah. Fakultas perikanan IPB Bogor. 55 halaman.

Cherfas, N.B. 1981. Gynogenesis in fishes. In V.S. Kirpichnicov (ed:) : Genetik Bases of Fishes Selection. Springer, Verlag, Berlin, Heidelberg, New York. Pp. 225-237

Cassani, J.R dan W.E Caton. 1985 Induce triploidi in Grass Carp (Ctenopharingodon idella). Aquaculture, 46:37-44.

Djarija, A. 1994. Nila Merah. Pembenihan Dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius. Yogyakarta. 87 hal.

Eddy M. 1994. Pengaruh Lama Kejutan Panas Terhadap Androgenesis Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian. Unida. Bogor. 38 hal.

Jangkaru, Z.M. Sulhi dan S. Asih. 1988. Pembesaran Ikan Nila Jantan Yang Dipelihara Secara Tunggal Kelamin Dan Campuran Dalam Kolam Tanah. Bulletin Penelitian Perikanan Darat. Vol 7 (1): 53-60.

Landau, M. 1992. Introductions to Aquaculture. John Willey and Sons, Inc. New York; Brisbane, Toronto, Singapore. Pp. 246-295.

Mair, G,C JB. Capili, JA Beardmore and Skibinski. 1988. The YY Male Tecnologi For Productions of Monosex Male Tilapia (Oreocromis niloticus) in David Penman (ed.) : Genatic in. Aquacultere and Fisheries manageman. University of Stirling Scotland. Pp. 93-95.

Nuraini. 1990. Pengaruh Metil Testosteron Terhadap Terjadinya Perubahan Kelamin Pada Ikan Mas Betina Hasil Ginogenesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB Bogor. 45 hal

Purdom, C. E. 1984. Genetic Manipulation. Institut of Aquaculture. University of Stirling Scotland. 43 p.

Rustidja, 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Dan Produksi Masal Benih Serta Induk Ikan Nila, Mas, Dan Lele. Dirjen Deptan: Jakarta. 20 hal.

Shokita, dkk, 1991. Aquaculture In Tropical Areas. English Edition by M. Yamaguchi. MIDORI SHOBO Co. Ltd.

Suyanto. S.R. 1988. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. 105 hal.

Sugiarto. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila. CV. Simpleks. Jakarta 69 hal.

Sumantadinata, K. 1988. Aplikasi Bioteknologi dalam Pembenihan Ikan. Buletin Perikanan. Vol. IV (1) : 28-41.

Thorgaard, dkk. 1990. Androgenetik Rainbow Trout. Produced Using Sperm from Tetreploid Males Show Improved Survival. Aquaculture. 85: 215-221.

Yamasaki Fumio. 1983. Sex Control and Manipulation in Fihs in N.P. Wilkins (ed) : Genetic in Aquaculture. Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam. Pp. 329-345.