© 2002 Program Pasca Sarjana
IPB
Makalah Kelompok D
/TKL-Khusus Posted 21 December, 2002
Falsafah Sains (PPs
702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian
Bogor
December 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
KONFLIK ANTAR NELAYAN DI INDONESIA
Oleh :
KELOMPOK D (S3 TKL KELAS KHUSUS)
Aji
Sularso, C. 561020074
Ali
Supardan, C. 561020104
Abdul
Rokhman, C. 561020054
Mulyono
P. , C. 561020064
Maman
Hermawan, C. 561020034
Andy
A. Zaelany, C. 561020134
1.
PENDAHULUAN
Konflik antar nelayan di
Indonesia telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama
setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki
kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah
laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan Pemerintah Kota/Kabupaten
berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 mil. Ketentuan itu mencerminkan
adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola
sentralistik ke desentralistik.
Namun demikian, karena
operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara
jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan Pemerintah
Daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa Pemerintah
Daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar
kewenangannya. Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi
daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan
tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya,
baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).
Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antara nelayan di beberapa daerah,
seperti yang terjadi di perairan Masalembo pada tahun 2000.
Kondisi di atas apabila
berlangsung terus maka tujuan Pembangunan Perikanan Tangkap sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan, yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (khususnya nelayan) dan sekaligus untuk
menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya akan semakin sulit
dicapai. Makalah ini akan menguraikan secara sekilas faktor-faktor apa saja
yang mendorong timbulnya konflik antar nelayan dan beberapa alternatif
solusinya.
2.
JENIS-JENIS KONFLIK DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Secara umum konflik antar
nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik
kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4) konflik
primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni
konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal
ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang
dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri,
kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju.
Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang
diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial,
karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding
perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil
tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang tersedia
ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.
Konflik orientasi yaitu
konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih
terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya
mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan
sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat
tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak
dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap
kelestarian sumberdaya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang
ramah lingkungan.
Konflik agraria yaitu
konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antar
nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang
marak, sebagai dampak eforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial
terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik
dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena
seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik
orientasi maupun konflik agraria.
3.
TINJAUAN/ANALISIS
a)
Potensi Sumberdaya Ikan vs Jumlah Nelayan
Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
(SDI) pada tahun 1997, yang kemudian dikukuhkan oleh pemerintah melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 Tentang Potensi Sumberdaya
Ikan dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), potensi sumberdaya ikan di
Perairan Indonesia adalah sebesar 6,258
juta ton pertahun, dengan rincian 4,400
juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah
serta 1,858 juta ton pertahun dari
perairan ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azaz
kehatian-hatian (precautionary approach),
maka JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80 % dari
potensi tersebut atau sebesar 5,006 juta
ton pertahun, dengan rincian 3,519
juta ton pertahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah
serta 1,487 juta ton pertahun dari
perairan ZEEI. Pada Tabel 1 disajikan data Potensi dan JTB menurut kelompok
SDI.
Data potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah yang
positif, yakni terjadi kenaikan. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia
diperkirakan sebesar 6,40 juta ton
pertahun, dengan rincian 5,14 juta ton
pertahun berasal dari perairan territorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI. Data ini masih bersifat
sementara, karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi Nasional
Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Sementara itu, berdasarkan proyeksi Ditjen Perikanan Tangkap, nelayan di
Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang. Dengan
berasumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton
pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas
nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton perorang
pertahun atau ekivalen 6,63 kg perorang perhari (lama melaut 200
hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan
persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat,
karena rezim pengelolaan sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access).
Persaingan itu akan bertambah ketat manakala pengawasan terhadap pencurian ikan
oleh kapal-kapal asing belum dapat dilakukan secara efektif.
Tabel 1. Potensi dan JTB
Menurut Kelompok SDI, Berdasarkan
Kepmen Pertanian No.
995/Kpts/IK.210/9/99
Satuan : Ribu Ton/Tahun
No. |
Kelompok SDI |
Potensi |
JTB |
1. |
Ikan Pelagis Besar |
1.053,5 |
842,8 |
2. |
Ikan Pelagis Kecil |
3.253,8 |
2.588,7 |
3. |
Ikan Demersal |
1.786,4 |
1.429,1 |
4. |
Ikan Karang |
76,0 |
60,7 |
5. |
Udang Penaeid |
73,8 |
58,9 |
6. |
Lobster |
4,8 |
3,8 |
7. |
Cumi-Cumi |
28,3 |
22,7 |
|
Jumlah |
6.258,6 |
5.006,7 |
Kondisi di atas dimungkinkan
merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik.
Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk
mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang
merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya
masih rendah.
b)
Tangkapan Berlebih (Over Fishing)
Berdasarkan hasil pengkajian
Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di
laut mencapai 4,069 juta ton. Dengan demikian, Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia
telah mencapai 63,49 % dari potensi
lestari sebesar 6,409 juta ton
pertahun atau 79,37 % dari JTB
sebesar 5,127 juta juta ton
pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan
Perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over
fishing seperti di Perairan Selat Malaka (176,29 %), Laut Jawa dan Selat
Sunda (171,72 %) serta Laut Banda (102,74 %). Tingkat pemanfaatan di wilayah
pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makassar
sebesar 88,12 %, Samudera Hindia 72,41 %, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik
46,84 %, Laut Natuna dan Cina Selatan 44,92 %, Laut Arafura 42,67 % dan Laut
Maluku, Teluk Tomini dan Seram 41,83 %. Adapun Tingkat Pemanfaatan menurut
Kelompok sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 2, sedangkan data yang lebih
rinci mengenai Tingkat Pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan
Perikanan disajikan pada Lampiran.
Tabel 2. Tingkat Pemanfaatan
SDI Berdasarkan Hasil
Pengkajian Pusat Riset
Perikanan Tangkap, BRKP-DKP, 2001
No |
Kelompok SDI |
Potensi (Ton/Th) |
JTB (Ton/Th) |
Produksi (Ton) |
Tingkat Pe-manfaatan (%) |
1. |
Ikan Pelagis Besar |
1.165.360 |
932.288 |
736.170 |
78,97 |
2. |
Ikan Pelagis Kecil |
3.605.660 |
2.884.528 |
1.784.330 |
61,86 |
3. |
Ikan Demersal |
1.365.090 |
1.092.072 |
1.085.500 |
99,40 |
4. |
Ikan Karang |
145.250 |
116.200 |
156.890 |
135,02 |
5. |
Udang Penaeid |
94.800 |
75.840 |
259.940 |
342,75 |
6. |
Lobster |
4.800 |
3.840 |
4.080 |
106,25 |
7. |
Cumi-Cumi |
28.250 |
22.600 |
42.510 |
188,10 |
|
Jumlah |
6.409.210 |
5.127.368 |
4.069.420 |
79,37 |
Terjadinya over fishing
di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan seperti disebut di atas telah
mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan
penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) lain yang masih
potensial, misalnya dari Laut Jawa ke Laut Flores dan Selat Malaka atau Laut
Banda. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong
timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
c)
Perilaku/Motivasi
Seperti diketahui bahwa
sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun
nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam
memanfaatkan sumberdaya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan
sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di
beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom),
pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip
kanibalisme sering terjadi di laut dan konflik antar nelayan tidak dapat
dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu
merubah orientasi nelayan ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.
d)
Sosial Ekonomi
Sampai saat ini kondisi
sosial ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat
pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan,
penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di
rumah yang kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya
konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial
ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi.
Permasalahan kecil yang timbul diantara mereka dapat menyebabkan terjadinya
pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik, meskipun
penyebabnya seringkali masalah sepele.
4.
KONSEP SOLUSI
a)
Pemberdayaan Nelayan
Seperti diuaraikan di atas, bahwa salah satu pemicu timbulnya konflik antar
nelayan adalah kondisi sosial ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada
masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu
dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan
perubahan motivasi/perilaku ke arah yang lebih positif.
Upaya tersebut antara lain
dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Kegiatan
itu telah dilakukan sejak lama, namun hasilnya belum optimal karena skala
kegiatan sangat terbatas sehubungan dengan keterbatasan dana. Untuk itu, sejak
dibentuknya DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kegiatan pemberdayaan
nelayan dilakukan secara lebih intensif
terutama melalui “Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
(PEMP)”.
Tujuan
pelaksanaan Program PEMP adalah untuk :
1) Mereduksi
pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi social ekonomi masyarakat pesisir
melalui peningkatan dan penciptaan usaha produktif secara berkesinambungan;
2) Meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat;
3) Memperkuat
kelembagaan ekonomi masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah;
4) Memicu
bergeraknya usaha ekonomi produktif masyarakat di desa pesisir;
5) Mendorong
bergeraknya mekanisme manajemen pembangunan masyarakat yang partisipatif dan
transparan;
6) Memberikan
kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat pesisir yang terkait dengan
sumberdaya laut dan pesisir.
Secara
umum pelaksanaan Program PEMP sejak tahun 2000 s/d 2002 menunjukkan hasil yang
cukup menggembirakan, antara lain dapat dilihat dari :
1)
Meningkatnya
pendapatan nelayan peserta program;
2)
Menguatnya
kelembagaan nelayan;
3)
Tumbuhnya LSM-LSM
lokal yang bergerak dan memperhatikan masalah pemberdayaan nelayan;
4) Tumbuhnya
budaya menghemat di kalangan masyarakat nelayan;
5) Terjadinya
revitalisasi budaya musyawarah untuk menyelesaikan masalah;
6) Meningkatnya
kepedulian nelayan terhadap masalah sosial yang ada di lingkungannya.
Dari
beberapa hasil yang dicapai sebagaimana tersebut di atas, diyakini apabila
kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan secara lebih intensif lagi dan
berkesinambungan maka konflik antar nelayan dapat dihindari.
b)
Relokasi
Berdasarkan data statistik,
sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya seperti
Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Kondisi ini menyebabkan perairan
di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over
fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik
antar nelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh
karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar
perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing
ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya,
misalnya daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Dengan adanya kegiatan ini
maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing
Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan
daerah penangkapan dapat dihindari.
c)
Manajemen Perikanan yang Berkelanjutan (Sustainable)
dan Berbasis Masyarakat
Seperti diketahui bahwa sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan
pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumberdaya
ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources).
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata
pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang
peduli terhadap kelestarian.
Oleh karena itu, penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat adalah suatu keharusan, agar pemanfaatan sumberdaya ikan
dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan
masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumberdaya ikan (sejak perencanaan,
pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan
agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) merasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan.
d)
Kemitraan Usaha
Kemitraan usaha adalah salah satu solusi
untuk menghindari terjadinya konflik vertikal, yaitu antara nelayan skala besar
dengan nelayan skala kecil. Dengan terjalinnya kemitraan maka masing-masing
pihak saling tergantung dan saling memperoleh manfaat dari kegiatan usaha yang
dilaksanakan. Kemitraan yang umum
diterapkan pada usaha perikanan adalah dalam bentuk Inti-Plasma, dimana
Perusahaan Perikanan bertindak sebagai Inti dan nelayan bertindak sebagai
plasma.
Berdasarkan kesepakatan, Perusahaan Inti
biasanya berkewajiban dalam penyediaan sarana produksi (kapal, alat tangkap, es
dll) dan menampung (membeli) hasil tangkapan nelayan plasma. Sedangkan
kewajiban nelayan adalah menangkap ikan dan menjual hasilnya kepada Perusahaan
Inti, dengan harga yang disepakati bersama.
e)
Pengembangan Usaha Alternatif
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk
menghindari konflik antar nelayan adalah pengembangan usaha alternatif,
misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan
adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan
tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi
dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat
ditekan.
Disamping itu, upaya ini dapat juga
mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih
prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti
Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan solusi untuk
menghindari konflik.
f)
Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan
Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan
ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil
tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini
menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk
mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan
mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami
kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar
jumlah tangkapan ke margin pendapatan.
g)
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pemerintah melalui Keputusan Menteri
Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392 Tahun 1999 Tentang Jalur-Jalur
Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antar nelayan terutama konflik
vertikal dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan,
yaitu : Jalur Penangkapan Ikan I (meliputi perairan pantai diukur dari
permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut), Jalur
Penangkapan Ikan II (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai
dengan 12 mil laut ke arah laut) dan Jalur Penangkapan Ikan III (meliputi
perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI).
Jalur Penangkapan
I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5
GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan
Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60
GT.
Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap keputusan tersebut di atas dapat menghindari terjadinya konflik antar
nelayan.
5.
PENUTUP
Secara struktural, nelayan di
Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah
untuk mengantisipasi agar konflik antar nelayan dapat dihindari. Konsep solusi
yang diuraikan di atas merupakan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan lebih
lanjut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan
dalam pembagunan perikanan tangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Ditjen
Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog
Dirjen Perikanan Tangkap dengan
Sub Komisi Kelautan dan Perikanan DPR-RI. DKP, Jakarta
Satria, Arif, dkk,
2002. Acuan Singkat
Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sum-
berdaya Perikanan.
Pusat Kajian Agraria IPB – Partnership for Governance Reform in Indonesia,
Jakarta.