© 2002 Program Pasca
Sarjana IPB
Makalah Kelompok 4 Posted 23 November, 2002
Falsafah Sains (PPs
702)
Program
Pasca Sarjana
Institut
Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
BIOETIKA DALAM PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN
PLASMA NUTFAH TUMBUHAN
Oleh
Fitmawati BIO 360120061
It Jamilah BIO 360120051
Medi Hendra BIO 360120071
Nunik Sri Ariyanti BIO 360120011
Ramadhanil BIO 360120101
PENDAHULUAN
Bioetika berasal
dari kata ‘bios’ yang berarti hidup
atau segala sesuatu yang menyangkut kehidupan, dan kata ‘ethicos’ yang berhubungan dengan etika atau moral. Pada awalnya
biotika dikemukakan oleh V.P. Potter, munculnya konsep ini dilatar belakangi
oleh adanya masalah-masalah yang timbul dari kecerobohan manusia seperti polusi
lingkungan yang berkembang cepat, sehingga menyebabkan lingkungan bumi beserta
sistem ekologinya dalam bahaya. Masalah lingkungan ini mengancam kelestarian manusia di muka bumi. Pada
saat itu bioetika merupakan ilmu untuk mempertahankan hidup dalam mengatasi
kepunahan lingkungan dan mengatasi kepunahan manusia.
Dalam
perkembangannya bioetika cenderung mengarah pada penanganan issu-issu tentang
nilai-nilai dan etika yang timbul karena perkembangan ilmu dan teknologi serta
biomedis yang cepat selama 15 tahun terakhir. Misalnya di bidang medis,
bioetika hanya mengarah pada ketentuan atau kode-kode tentang hal-hal yang
boleh atau tidak boleh dilakukan dalam tindakan medis seperti transplantasi,
kloning, aborsi, bayi tabung dan lain-lain. Jadi pengertian bioetika di atas
berbeda dengan konsep awal yang diperkenalkan oleh Potter, yaitu etika yang
diterapkan dalam menghadapi masalah-masalah lingkungan.
Dalam
paper ini dibahas bioetika seperti konsep Potter, memaparkan etika manusia
terhadap lingkungan hayati, khususnya etika yang berkaitan dengan pemanfaatan
plasma nutfah tumbuhan.
Plasma nutfah (germ plasm) adalah suatu substansi
sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat dalam setiap kelompok organisme.
Substansi ini berpotensi untuk dikembangkan atau dirakit guna menciptakan
kultivar-kultivar baru melalui pemuliaan tanaman. Setiap populasi tumbuhan
memiliki seperangkat sifat dan ciri khas
yang dikendalikan oleh suatu sistem genetika yang mantap. Jadi dalam tubuh masing-masing individu yang
menyusun populasi tadi dikandung plasma nutfah,
merupakan substansi yang mengatur perilaku kehidupannya secara turun temurun
sehingga populasi tersebut mempunyai sifat yang membedakannya dari populasi
lain. Karena itu populasi pasak bumi
yang hidup di lereng gunung Halau-halau (pengunungan Meratus Kalimantan
Selatan) mempunyai konstruksi gen-gen yang berbeda dengan yang dimiliki
populasi pasak bumi yang terdapat di hutan Bukit Lawang (dekat Bahorok Sumatera
Utara). Perbedaan-perbedaan yang terjadi itu, mungkin dinyatakan dalam
ketahanannya terhadap penyakit, besarnya perakaran, kandungan zat kimianya,
kemudahannya tumbuh di tempat kritis
dan seterusnya. Jika kerena penebangan hutan populasi di Bukit Lawang itu
musnah, maka musnahlah seperangkat plasma nutfah pasak bumi dengan sifat-sifat
dan potensinya yang belum kita ketahui. Di sisi lain, sampai sekarang orang
belum memikirkan untuk merakit suatu kultivar pasak bumi yang unggul misalnya memiliki kadar kandungan zat yang berkhasiat tinggi, produksi yang tinggi
dan kandungan abu rendah. Mungkin nanti ketika akan melangkah ke arah sana kita
sudah terlambat; saat kita mulai mencari-cari
sumber plasmanutfah dengan sifat-sifat tertentu yang kita inginkan
ternyata semuanya sudah punah.
Pada awalnya diduga bahwa sumber
cadangan variasi genetik tumbuhan terdapat dalam jumlah yang tidak terbatas dan
tidak akan habis-habisnya untuk keperluan pemuliaan tanaman bagi generasi
sekarang serta generasi mendatang. Akan tetapi pada kenyataanya cadangan sumber
daya genetika nabati di pusat keanekaragamannya tidaklah selalu tersedia
terus-menerus seperti yang kita inginkan. Berbagai macam kejadian telah
menyebabkan populasi demi populasi mengalami kepunahan; dan dengan itu musnah
pulalah untuk selama-lamanya plasma nutfah yang dikandungnya. Jadi khasanah
variasi genetika yang besar itu digerogoti terus-menerus sehingga terjadi
proses erosi genetika yang tingkat kehebatannya berbeda untuk setiap jenis
tanaman.
Plasma nutfah tanaman memang tidak
bisa dipegang secara nyata, juga tidak bisa dilihat dalam waktu sekejap karena
merupakan keanekaragaman kandungan gen. Sementara penampakan fenotip yang
secara nyata dapat kita lihat, adalah akumulasi dari faktor genotip dan
lingkungannya. Plasma nutfah termanifestasi sebagai total keanekaragaman
genotip dan fenotip dalam jenis itu sendiri; yang berada dalam jenis liar,
subspesies, landrase, varietas, ras, forma, biotype, kultivar, strain, galur,
dan mutan. Berbagai macam kultivar rambutan dapat dijumpai ketika musim
rambutan tiba, masing-masing dengan sifat spesifiknya, rambutan si nyonya yang
ukuran buahnya lebih besar dan berair, rambutan rapiah yang berdaging buah
manis dan ngelotok. Ada juga rambutan citandui yang meskipun jarang berbuah
tetapi memiliki buah manis dan harum.
Plasma nutfah dapat dimanfaatkan secara langsung untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, dan obat-obatan. Pemanfaatan ini bisa melalui budidaya maupun pemanenan langsung di alam. Berbagai kultivar dan kerabat liar tanaman buah dan sayuran digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Pemanfaatan semacam ini merupakan pemanfaatan pada tingkat individu terhadap individu-individu yang sudah terseleksi, berdasarkan penampilan tanaman dan sifat agronominya.
Secara
tidak langsung, plasma nutfah dapat digunakan pada tingkat gen, sebagai penyedia agen hayati dalam bidang
pemuliaan tanaman. Dengan cukup tersedianya keanekaragaman sumber daya hayati
maka para pemulia akan lebih mudah berinovasi melakukan persilangan sehingga
menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul.
Perkembangan bioteknologi yang pesat akhir-akhir ini
memungkinkan pemanfaatan plasma nutfah secara lebih baik lagi. Teknik
gunting-tempel gen dapat secara tepat
memindahkan hanya sifat yang kita kehendaki saja, tanpa harus memadukan seluruh
sifat yang ada pada suatu individu kepada individu lainnya. Jadi dengan
bioteknologi waktu untuk pembuatan bibit unggul diperpendek. Tambahan pula,
kalau pada pemuliaan kovensional individu di dalam jenis yang sama yang dikawin-silangkan, maka bioteknologi
menghilangkan batas-batas jenis ini. Artinya dua individu dari jenis yang
berbeda, dengan teknik bioteknologi dimungkinkan untuk disatukan menjadi jenis
baru. Namun demikian persyaratan keberhasilan pengembangan bioteknologi tersebut
mutlak memerlukan ketersediaan keanekaragaman biologi baik pada tingkat jenis
maupun pada tingkat genetik.
PERLUNYA BIOETIKA DALAM PEMANFAATAN PLASMA NUTFAH TUMBUHAN
Banyak perubahan yang terjadi di dunia
mendorong perlunya pemikiran bioetika dalam memanfaatkan sumber daya hayati
(plasma nutfah) supaya lestari. Saat ini umat manusia tengah menghadapi empat
masalah besar yang saling kait-mengkait satu sama lainnya; keberhasilan kita
menghadapi keempat masalah tadi akan menentukan kelangsungan hidup manusia.
Keempat masalah itu adalah peledakan penduduk yang memang merupakan masalah
pertama dan sekaligus merupakan titik pangkal permasalahan lainnya. Jika
keadaan terkendalikan dengan baik maka menjelang tahun 2035 sang ibu pertiwi
akan menggendong tidak kurang dari 300 juta orang. Tentunya kita harus dapat
mencukupi kebutuhan dasar mereka akan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
pendidikan. Penyediaan beranekaragam kebutuhan dasar ini merupakan masalah
kedua. Dalam memenuhi berbagai macam tuntutan itu tidak ada pilihan lain selain
mengeksploitasi sumber daya alam lingkungan yang tersedia. Akibatnya
eksploitasi sumber daya hayati serta penggalian sumber daya alam yang dilakukan
secara besar-besaran menyebabkan timbulnya masalah ketiga yaitu kerusakan
lingkungan hidup serta musnahnya beberapa sumber daya alam hayati. Kesadaran
akan besarnya krisis ekologi ini kalau dibiarkan berlangsung terus,
menghantarkan kita pada masalah ke-empat yaitu bagaimana menjamin kelestarian
sumber daya alam secara menguntungkan sehingga sekaligus menjamin kelestarian
umat manusia di bumi.
Ancaman terhadap pelestarian plasma nutfah
Berbagai ancaman terhadap pelestarian
plasma nutfah timbul akibat kegiatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhan yang semakin meningkat seperti eksploitasi yang berlebihan, penerapan
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang juga dapat berdampak negatif.
Pemanfaatan plasma nutfah tidak
terbatas hanya pada kalangan peneliti, pemulia tanaman, dan ahli taksonomi;
tetapi lebih luas dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat hingga
pemanfaatan secara besar-besaran di tingkat industri. Pemanfaatan plasma nutfah
yang tak terkendali secara besar-besaran dan tanpa dibarengi upaya
pelestariannya akan mengikis keberadaannya di alam. Misalnya dalam industri
jamu, meningkatnya permintaan pasar, harga yang membaik, penggalakan serta
premi yang berlebihan, persaingan dan keinginan mendapatkan untung cepat telah
memudarkan sikap tanggung jawab akan adanya hari esok dan generasi mendatang,
melunturkan azas kelanggengan panen dengan akibat yang amat merugikan.
Bahan-bahan baku jamu yang semula tersedia secara melimpah di Jawa sekarang
sudah harus di datangkan dari luar pulau, dan malahan beberapa tahun berselang,
kencur (Kaemferia galanga) pun, harus
diimpor dari luar negeri. Di daerah Jawa Timur, pelangkaan tanaman kedawung (Parkia roxburgii) terjadi karena
pemanenan buahnya untuk bahan jamu dilakukan dengan menebang pohonnya.
Pengurasan dan pelangkaan plasma nutfah tanaman obat juga terjadi akibat
permintaan dari industri farmasi luar negeri akan bahan baku tumbuhan obat yang
makin lama makin meningkat. Hal ini disebabkan karena komunitas yang dicari
seringkali terjadi pada tumbuhan yang jarang tetapi diminta dalam jumlah yang
besar, misalnya industri farmasi Swiss memerlukan 8 ton biji Voacanga grandifolia (Apocynaceae) dan
bersedia membayar mahal untuk setiap kilogramnya. Mengingat tumbuhan ini amat
jarang dan bijinya agak ringan, maka jika permintaan ini dipenuhi pastilah regenerasi
tumbuhan itu tidak akan terjadi lagi sehingga dapat diduga bahwa tumbuhan ini
akan punah dalam waktu yang singkat.
Bersama dengan eksplotasi hutan yang
gegabah, tidak terencana ataupun terkelola dengan sempurna akan merusak habitat
tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan obat liar
yang umumnya peka akan perubahan dengan sendirinya akan sulit
mempertahankan dirinya sehingga mereka akan cepat musnah. Seperti diketahui
kebanyakan tumbuhan obat itu adalah terna, semak, atau perdu yang hidup di
lantai hutan dalam bayangan pohon raksasa belantara. Karena itu pembabatan
hutan untuk mengambil kayu akan merusak lingkungan hidupnya sehingga
kelestariannya tidak terjamin. Selain itu pengrusakan hutan juga dapat
menghilangkan kerabat liar tanaman buah
budi daya asli Indonesia yang pada umumnya tumbuh di hutan alam. Kerabat
liar durian, seperti lahong dan lae tumbuh liar di hutan Kalimantan. Sementara
rambutan, kerabat liarnya dapat ditemukan tumbuh di hutan Sumatera, demikian
juga duku dan sentul. Jenis liar ini tumbuh di antara jenis kayu yang nilai
ekonominya tinggi seperti meranti, keruing, merbau dan sebagainya. Jadi kalau
jenis kayu hutan tersebut ditebang maka ikut pula hilanglah kerabat buah-buahan
kita.
Pengalihan fungsi lahan untuk memenuhi kebutuhan
pangan telah mengubah lahan marginal menjadi areal pertanian, sedangkan
lahan-lahan subur yang biasanya dijumpai pada pusat-pusat pertumbuhan penduduk
diubah peruntukannya menjadi pemukiman, pertokoan, jalan raya, dan pabrik.
Padahal di daerah marginal itu banyak dihuni oleh kerabat liar tanaman
budidaya. Sebagai contoh kerabat liar padi, Oryza
minuta, yang biasanya menghuni rawa-rawa di daerah pinggiran saat ini sudah
tidak ditemukan lagi. Kerabat liar ini mungkin dapat dimanfaatkan dalam
perakitan kultivar unggul di masa depan.
Berbagai usaha dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, antara lain dengan
intensifikasi pertanian. Salah satu caranya adalah dengan sistem penanaman monokultur. Hal ini selain membawa keuntungan
juga dapat menimbulkan berbagai masalah pemusnahan plasma nutfah. Sebagai
contoh, pemanfaatan teknologi monokultur dengan penggalakan penanaman padi PB
(Pelita Baru) sejak 1978 untuk meningkatkan produksi beras, telah berdampak
pada hilangnya 1500 kultivar padi lokal di Indonesia. Hal ini terjadi karena
kebijakan intensifikasi pertanian menggunakan satu macam kultivar unggul secara
nasional, mengiring petani menggunakan hanya satu kultivar tersebut dan
mangabaikan kultivar lokal sehingga kultivar yang telah teradaptasi lama itu tersisihkan
dan akhirnya menghilang. Kasus lain, pemakaian bibit bermutu dan seragam secara
besar-besaran dapat menimbulkan permasalahan seperti timbulnya epidemi dan pada
ujungnya juga berakhir dengan pemusnahan plasma nutfah. Contoh klasik adalah
berjangkitnya penyakit jamur kentang di Irlandia pada tahun 1845. Penyakit itu
dengan cepat merambat keseluruh individu lainnya yang memang seragam. Usaha
untuk membasmi penyakit tersebut sia-sia sehingga dalam waktu singkat tanaman
kentang di Irlandia musnah, akibatnya dalam tahun-tahun berikutnya diperkirakan
sejumlah 1 juta orang menderita kelaparan berat dan 1,5 juta mengungsi ke
negara lain. Kejadian yang serupa terjadi dalam abad kedua puluh yaitu rusaknya
pertanaman jagung di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970, penyakit daun
pada jagung yang disebabkan oleh suatu jenis jamur menyerang tanaman jagung
dari bibit seragam yang berasal dari silangan jagung Texas dengan kecepatan
perusakan 80 km per hari. Untungnya tidak semua pertanaman jagung di sana berasal
dari turunan bibit Texas, sehingga penurunan panenan hanya sebesar 15 % saja.
Di Indonesia sendiri pernah mengalami malapetaka yang serupa, pada kurun waktu
yang bersamaan dengan meledaknya penyakit jagung di Amerika Serikat. Hama
wereng meraja- lela merusak pertanaman padi unggul hasil silangan IRRI yang
secara luas ditanam di sini. Sudah barang tentu petani menderita kerugian
akibat urungnya panen raya.
Ancaman terhadap kelestarian plasma
nutfah juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh globalisasi. Sebagai dampak
dari globalisasi telah terjadi erosi budaya seperti menurunnya kesukaan akan buah lokal karena membanjirnya
buah-buahan impor di pasaran. Selain itu, petani juga diperkenalkan dengan
bibit introduce yang lebih disukai,
sehingga penaman bibit tradisional menjadi jarang dan berangsur-angsur mulai
tergusur oleh bibit introduce. Sebenarnya pengalihan pemakain bibit
tradisional oleh bibit unggul itu adalah wajar, sewajar andong di kota Bogor
yang telah digantikan dengan angkot. Tapi perlu diingat bahwa keanekaragaman
sifat yang dimiliki oleh bibit
tradisional mungkin suatu saat akan diperlukan di masa datang.
Nilai-nilai etika yang perlu ditanamkan agar plasma nutfah lestari
Setelah memahami
manfaat plasma nutfah sebagai pemenuh kebutuhan hidup baik secara langsung maupun tidak langsung, dan melihat
kenyataan bahwa banyak tindakan yang mengancam kelestariannya, timbul
pertanyaan bagaimana supaya plasma nutfah itu dapat dimanfaatkan secara
langgeng sehingga ketersediaannya terjamin untuk waktu sekarang dan masa yang
akan datang.
Manusia
adalah bagian dari ekosistem. Seperti halnya spesies lain di muka planet ini,
manusia merupakan obyek dari hukum-hukum alam yang tidak pernah akan berubah.
Penanaman kesadaran dalam diri manusia bahwa dirinya adalah bagian dari alam
inilah yang dapat melahirkan perilaku yang tidak semena-mena terhadap alam.
Perbuatan aniaya terhadap alam akan membahayakan eksistensi kehidupan manusia
itu sendiri. Setiap spesies mempunyai hak yang sama untuk hidup. Hal ini harus
ditanamkan dalam pikiran kita bahwa setiap bentuk kehidupan
adalah unik dan harus dihormati dan mendapat penghargaan yang sama tanpa
memperhatiakan nilainya bagi manusia saat ini.
Hal
lain yang harus ditanamkan sebagai etika dalam pemanfatan plasma nutfah adalah
kesadaran bahwa kekayaan alam termasuk sumberdaya hayati yang kita manfaatkan
saat ini adalah pinjaman dari anak, cucu, cicit kita, generasi yang akan
datang, yang harus kita kembalikan utuh lengkap dengan bunganya.
Setiap
tindakan dapat berdampak positif atau negatif, sehingga dalam memanfaatkan
plasma nutfah tumbuhan diperlukan kehati-hatian dan prediksi yang tepat
mengenai segala kemungikan akibat tindakan tersebut.
BIBLIOGRAFI
http://envirodebate.org/new4m/list.php?f25. Centre for Enviroment Education
http://library.thinkquest.org/29322/english/definition-n-general-info/bioethic-e.html9/24/02. The Bioethics-What is Bioethics
http://library.thinkquest.org/29322/english/definition-n-general-info/bioethic-e.html9/24/02. Birth of Bioethics
http://onlineethics.org/reseth/mod/biores.html
Murray, T.2002. Ethical Challenges in research with Human Biological Material
http://www.geog.gla.ac.uk/course/OUTLINES/PHISICAL/Conserva…/notes04.ht
10/7/02 Bioethics Linking Humanistic
and Scientific Elements of Conservation
http://www.nature.com/cgi-taf/dynapage.taf?file=/ng/journal/v…/ng0801-297.htm
9/24/02 Defining a New Bioethics.
Kartanegara, M. 2002.
Menembus Batas Waktu. Panorama Filsafat Islam. Penerbit Mizan. Bandung.
Nasution, A.H. 1999.
Pengantar ke Filsafat Sains. Cetakan ketiga. Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor.
National Committee on
Biodiversity Conservation,1993. Biodiversity Action Plant for Indonesia.
Ministri of National Development Planning Agency. Jakarta
Rifai, M.A. 1981. Plasma
Nutfah, Erosi Genetika dan Usaha Pelestarian Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah
dalam Pertemuan Konsultasi Penyuluhan Pengadaan Tanaman Obat, Ditjen POM, 6 – 8
April 1981
Rifai, M.A.2002. Bioetika
dan Kode Etika Biologiawan. Diskusi Panel Bioetika Bagian Keseharian Ilmuan.
LIPI Cibinong. Bogor
Sastrapradja, D.S., S.
Adisoemarto, K. Kartawinata, Setiati Sastrapradja, M.A. Rifai. 1989.
Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Kementrian Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta
Sastrapradja, S.T., dan M.A.
Rifai. 1989. Mengenal Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nutfahnya. Puslitbang
Bioteknologi-LIPI. Bogor
Sukara, E. 2002. Pentingnya Bioetika Sebagai Kendali dan arah
Bagi Kemajuan Biosains. Diskusi Panel Bioetika Bagian Keseharian Ilmuan. LIPI
Cibinong. Bogor
Thohari, M. 2002 Etika
Keilmuan dan Penelitian. Diskusi Panel Bioetika Bagian Keseharian Ilmuan. LIPI
Cibinong. Bogor
WALHI. 1992. Strategi
Keanekaragaman Hayati Global. WRI, IUCN, UNEP, All rigth research