ă 2002 Fitmawati
Posted 31 December 2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Desember 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy
C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
RELEVANSI
BATASAN SPESIES DAN
INFRASPESIES VAN STENIS DITINJAU DARI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENCACAH
MOLEKULAR
OLEH:
FITMAWATI
Nrp; G361020061
e-mail: fitmasofyan01@yahoo.com
Objek
utama botani systematika bukanlah menemukan nama tumbuhan, tetapi menentukan
hubungan dan kedekatan satu organisme tumbuhan dengan yang lainnya, sehingga
dapat dikenali sepenuhnya kemiripan dan perbedaanya, karakter umum yang
dimiliki bersama dan karekter spesifik yang dimiliki hanya oleh kelompoknya, serta
apakah kepemilikan itu tetap, baik
bentuk luar maupun struktur dalamnya dan apakah dapat dipakai dalam
prakteknya. Hasil analisis dan sintesis
karakter inilah yang nantinya dipakai untuk menata organisme tumbuhan tersebut
kedalam susunan hirarkhi; ordo, famili, dan sebagainya, dengan kata lain
systematis. Penataan ini, dimaksudkan agar alam hayati
tersusun rapi dan harmony, sehingga
mudah dipahami dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh
karena itu, laiknya seorang penata maka yang paling dipentingkan bukanlah
ragamnya tapi batas-batas keserupaannya.
Disini Van Stenis mencoba menjelaskan dokrin dan prinsip-prinsip utama
guna pembatasan jenis dan taxon
dibawahnya.
Ada
dua rumusan penting dalam konsep jenis Van Stenis; Pertama adalah sikap mental
yang harus dimiliki oleh seorang pekerja taksonomy agar mampu menghasilkan
karya yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Tanpa sikap kritis,
cermat, serius dan memiliki
ketertarikan dalam bekerja dibidangnya mustahil dapat menghasilkan hasil kerja
yang memuaskan, disamping kwalitas material dan pengalaman kerja di lapangan. Bekerja
dalam porsi yang tepat, efisien dalam pengunaan waktu dan energi, cerdas dalam mengambil keputusan dan memiliki
ketahanan mental sehingga dapat bekerja
sampai akhir merupakan syarat lainnya. Van
Stenis berkeyakinan bahwa kerja yang baik hanya diperoleh dari hasil cucuran
keringat (persipirasi 95%) sedangkan intuisi hanya dipakai sebagai pemandu
saja. Akhirnya, agar karya yang dihasilkan dapat diterima dengan baik
dikalangan sejawat, maka kombinasi sikap kesetiaan dan tanggung jawab terhadap
pekerjaan saintis, hobi menulis, sabar serta akurat, siap merecek data,
pengamat yang baik, berfikiran sehat dan teratur serta dapat memberikan opini
yang tepat, punya ambisi untuk maju, memiliki memori yang baik serta memahami
teori taksonomy pendukung, juga merupakan bagian yang ikut berperan dan
menentukan kwalitas kerja taksonomi
yang dihasilkan agar dapat diterima dan langgeng.
. Kedua adalah rambu-rambu yang harus
diperhatikan dalam bekerja. Van Stenis dalam tulisannya menegaskan bahwa ia tidak menciptakan teori
baru, tapi membuat rambu-rambu dalam pembatasan spesies berdasarkan
pengalamannya berkerja dengan flora tropik yang mempunyai keanekragaman yang
besar. Beliau juga menegaskan bahwa mutu kerja taksonomis ditentukan oleh
batasan yang dibuatnya. Hal ini berlaku pada semua tingkat hirarki klasifikasi. Pada tingkat spesies, batasan yang jelas akan menghasilkan kunci
yang berguna, diskripsi dan diagnosa yang terperinci dengan baik. Batasan ini
dibangun dari kombinasi karakter kritis berdasarkan perbandingan karakter yang
ada. Untuk menghasilkan batasan yang baik, perlu pengerjaan secara menyeluruh
dan hati-hati, sehingga seluruh rentang variasi karakter tercandera dengan
baik. Dalam hal ini pembatasan spesies adalah batu dasar dalam menentukan mutu
dan ketepatan status kategori di atas spesies.
Pembatasan spesies ditujukan untuk menyediakan satuan kerangka kerja
taksonomis yang sangat penting guna memahami keanekaragaman hayati. Ada tiga elemen penting yang menjadi pijakan dalam
membuat keputusan pembatasan spesies yakni;
1.
Adanya
kepaduan (kohesi) reproduksi yang menyediakan suatu dasar konseptual yang
mencakup jantan dan betina dari populasi dan jenis yang sama.
2.
Harus mempunyai nilai dignosis sehingga
populasi-populasi atau grup dapat dibedakan satu sama lain.
3.
Harus mempunyai beberapa kriteria untuk
merangking populasi ini pada tingkat jenis.
Pembuatan
batasan taxon yang jelas, menjadi sangat penting ketika kita berhadapan dengan
flora yang memiliki keanekaragaman
tinggi dan variasi yang besar, tidak saja pada jumlah jenisnya tapi juga
keadaan alam dan iklim yang ikut serta
mempengaruhi munculnya variasi karakter
tumbuhan itu, seperti halnya di daerah tropik.
Faktor miskinnya material tumbuhan yang diperiksa dan luasnya wilayah
persebaran tumbuhan, juga berakibat
tidak semua variasi dapat direkam dari sampel yang ada, sehingga banyak spesies
yang dihasilkan yang di kemudian hari harus direduksi kembali. Sebaliknya,
tanpa berlatar belakang pengetahuan flora daerah tropis tidak mungkin diperoleh
pengetahuan kritis yang memadai bagi pembatasan taxon, area distribusinya,
variabilitasnya dan konsekwensi nama dan sinonimnya.
Faktor
lain yang juga ikut terlibat adalah, faktor subjektivitas pribadi dalam
pemilihan karakter yang dianggap penting.
Di sini unsur apresiasi seseorang terhadap karakter juga ikut
mempengaruhi hasil kerja taksonomi. Jika
pembatasan spesies diserahkan penentuannya pada apresiasi seseorang, laiknya
karya seni maka hasil yang didapatkan
akan sangat beragam sesuai selera senimannya. Untuk menekan maraknya
elemen individu ini, diantisipasi dengan pemakaian seluruh sumber informasi
karakter yang ada baik morphologi, anatomi, sitologi, molekular bahkan
penanaman melalui penngecambahan bijinya. Seperti pada kasus Campanula rotindifolia, dari spesimen
yang diperiksa karakter bunga memiliki lima segmen kelopak yang berlepasan,
sehingga harus dikeluarkan dari famili Campanulceae (campanula=bentuk lonceng)
bahkan dari Sympetalae sekalipun, namun ketika dicoba menanam dari bijinya,
maka karakter kelopak bersatu yang merupakan karakter diagnosis famili ini
muncul kembali. Fakta ini dapat diterangkan dengan mempertimbangkan
keikutsertaan faktor penyusun ulang phisiologi yang menyebabkan terjadinya
radikal. Faktor ini dapat menghalangi munculnya karakter konstan pada tingkat
famili dan ordo. Kasus ini hanya muncul sebagai unsur salah cetak dalam
penampakannya dan jelas independen dengan yang lainnya. Atau mungkin saja basis genetik dari radikal
ini mewakili apa yang terdapat dalam genom, tapi selama proses ontogenesis beberapa faktor phisiologi
dominan ikut terlibat sehingga penampakannya menjadi normal
Keberagaman faktor ekologi, geografi,
tingkah-laku silang dan hybridisasi akan mengahasilkan penampakan yang
bervariasi dan mengikuti suatu pola yang dikenal dengan pola variasi.
Esensinya, tiap spesies lineus adalah populasi yang abadi dalam pengertian
genetik . Dalam hal ini satu individu dapat bercampur dengan populasi
spesiesnya, baik yang memiliki perbedaan yang lebih besar atau lebih
kecil. Pencampuran ini menyebabkan
munculnya variasi dan polymorphis, yang akan meningkat secara proporsional
dengan penambahan ukuran area persebaran. Karakter yang terdifinisi secara
genetik tidak dengan sendirinya terwujud secara tepat pada individu yang
berbeda, penampakan ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan selama proses
perkembangan ontogenetik, sehingga spesimen yang mempunyai genetik yang sama
bisa jadi mempunyai penampakan berbeda, bahkan tidak saja terjadi pada spesimen
yang berbeda, juga pada bagian yang berbeda dalam individu yang sama. Daun dari spesimen juvenil bisa berbeda
dengan individu yang sudah dewasa, daun yang berkembang dibawah naungan bisa
berbeda dengan yang yang berkembang pada lingkungan yang terbuka. Perbedaan
penampakan pada kelompok tumbuhan yang memiliki genotyp yang sama ini dikenal
juga dengan variasi phenotyp atau variabilitas, sedangkan perbedaan penampakan
pada level dominansi yang disebabkab oleh komposisi genetik yang berbeda
dikenal juga dengan variasi genotyp. Barhadapan dengan pola variasi sedemikian,
tentu akan rumit menentukan batasan spesies hanya berdasarkan karakter
morfologi.
Kecenderungan memakai karakter morphologi dalam pengerjaan suatu
flora, disebabkan oleh pendekatan morfologi memberikan jalan tercepat dalam memperagakan
kenekaragaman dunia tumbuhan dan dapat dipakai sebagai sistim pengacuan umum
yang dapat menampung pernyataan data–data dari bidang lainnya. Selain itu, data
morphologi dapat dilihat dengan mudah dan cepat dibanding data dari sumber
lainnya. Perlu disadari bahwa klasifikasi berdasarkan sifat morfologi semata-mata
bukan merupakan cara yang paling ideal. Khususya ketika kita menjumpai keadaan
dimana variasi karakter sangat besar seperti yang terdapat di tropik. Untuk itu
perlu dicarikan jalan keluarnya dengan mengunakan metode-metode yang lebih
sensitif, sehingga variabilitas yang ada, dapat direkam dengan baik dan
menyeluruh dan sintesa yng
dihasilkannya pun akan lebih berguna. Banyak spesies yang memiliki batasan yang
tidak bernilai secara taksonomy karena terjadinya bias phenotyp terutama
struktur vegetatifnya, sehingga pemakaian karakter ini sebaiknya hanya
penunjang karakter generatif saja.
Van Stenis dalam tulisannya mencoba
mengambarkan sumber kerancuan dalam pembatasan spesies dan infraspesies, bila
pengamatan hanya terpaku pada penampakan material kering herbarium. Dia mencoba
menjelaskan fenomena yang sesunguhnya terjadi di alam yang membutuhkan
pendekatan yang lebih baik agar semua variasi yang ada ikut terlibat menentukan
batasan taxon. Paparan Van Stenis tentang pola variasi menyediakan tempat bagi
pendekatan lain seperti; taksonomi ekperimental, anatomi, sitologi, molekular
untuk ikut berperan dalam menyusun batasan yang lebih komprehensif dan
teruji. Ada beberapa pertimbangan
dalam memilih karakter apa yang
sebaiknya digunakan dalam pembuatan batasan taxon yaitu; Adakah karakter yang
dipakai mempunyai basis genetika yang independen, adakah data yang diperoleh
dapat dianlisa dan dibandingkan, serta
dengan kombinasinya hypotesa
phylogeni dapat diturunkan.
Secara spesifik, ada lima keadaan dimana data morphologi saja
tidak memadai dipakai sebagai dasar pembatasan spesies yakni;
1.
Ketika
dua spesies sympatrik atau parapatrik,
tapi sangat mirip secara morphologi, sehingga status spesiesnya sulit
diditeksi.
2.
Dua
populasi allopatrik (terpisah secara goegrafi) mungkin secara morphologi
berbeda, tapi status biologinya masih dipertanyakan.
3.
Dua
populasi parapatrik, yang mungkin secara morphologi berbeda tapi memperlihatkan
variasi klinal atau hybridisasi yang luas.
4.
Dua bentuk yang secara morphologi berbeda bisa
mewakili satu polimorfis dalam satu populasi yang saling interbriding.
5.
Satu spesies asexual komplek yang mungkin
secara morphologi mempunyai bentuk yang sama, muncul secara independen dari
spesies sexual.
Suatu
alternatif yang dapat menjawab
permasalahan ini, adalah penggunaan penanda (marker) genetika molekuler yang memiliki beberapa keunggulan
diantaranya; tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan stadia pertumbuhan
organisme, sehingga lebih efisien serta dapat dipakai untuk menentukan
kekerabatan secara evolusi karena parameter yang digunakan terdapat pada semua
organisme hidup, fungsinya identik,
dapat dibandingkan secara objektif serta berubah sesuai dengan jarak
evolousinya sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang andal. Adapun
aplikasi sistematika molekuler
meliputi; studi struktur populasi menggunakan populasi biologi, variasi
geografi dan system perkawinan, identifikasi spesies yang berbatasan dan
perkiraan phylogeni. Kesemuanya membutuhkan perbedan pendekatan dalam tiap fase
studi, perencanaan, ukuran sampel, strategi sampling, metode koleksi data dan
analis data. Sedangkan cakupannya meliputi variasi infraspesies yang termasuk
genetika populasi dan keragaman antar spesies yang masuk wilayah phylogenetik.
Beberapa
teknik melokular yang umum digunakan adalah RFLP (Restriction Fragmen Lengh
Polymorphism), RAPD (Rando Amplied Polimorpism DNA), AFLP (Amplified Fragmen Length Polymorfism) dan SSR (Simple
Sequences Reped). Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh
karena itu, pemilihan teknik analisis
molukular disesuaikan dengan tujuannya. Oleh karena sumber data yang dipakai
berdsarkan penanda (marka) molekul maka kita lebih cendrung mengenal nama
bidang ilmu ini dengan sistematika molekular.
Sistematika
molekular memakai penanda genetik untuk membuat kesimpulan tentang proses
evolusi dan philogeni dengan merumuskan suatu substansi data base komparatif
untuk gen spesifik atau protein. Studi evolusi molekular memakai data ini untuk
mengevaluasi rata-rata, proses batasan dalam perubahan molekular sepanjang
waktu, selanjutnya data ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan struktur
genetika populasi dan menganalisis pohon phylogeninya.
Ada
dua type dasar informasi molekular ini yakni; data jarak, dimana perbedan antar
molekul diukur sebagai variabel tunggal dan data karakter, dimana perbedaan
diukur sebagai sebuah rangkaian variabel diskret yang masing-masingnya multipel
state. Data karakter dapat dikonversikan menjadi jarak, tapi data jarak
biasanya tidak dapat dikonfersikan ke dalam data karakter. Type data kedua
ini biasanya dapat dipakai untuk data
koleksi dan analisis, mudah untuk menambahkan informasi bagi taxa baru dan
dapat diperoleh dari sumber yang
berbeda serta dikombinasikan untuk analisis
Prinsip
kerjanya berlandaskan pada pemikiran bahwa perbedaan spesies memberikan perbedaan alel yang mantap pada
beberapa lokus yang di payar (screen) pada protein elektroforesis, sehingga
umumnya spesies outcros, adanya spesies
cryptik, dan sympatrik dapat diuji dengan mencari variasi lokus yang kurang heterozigot. Sementara status morfophit sympatrik dapat
dievaluasi dengan uji untuk perbandingan signifikan dalam genotyp atau
frekwensi alel. Untuk popupalsi
allopatrik dan populasi asexual, tujuannya adalah untuk memperkirakan seberapa luas penyebaran genetik antar
populasi yang diuji dalam hubungannya
dengan variasi geografi spesies. Dalam
hal ini memaksimalkan jumlah lokus adalah lebih penting dari pada memaksimalkan
jumlah individu yang diuji.
Untuk
mempelajari variasi infra spesies banyak dilakukan pengujian variasi pada lokus
mikrosatelit, tapi terfokus pada rata-rata mutasi yang tinggi dan informasi sejarah populasi serta rata-rata
migrasi. Pengaruh migrasi dan mutasi
sulit diukur diantara populasi yang berbeda.
Kesimpulan
Konsep spesies Van Stenis
menyediakan wadah bagi perkembangan ilmu genetika molekular ikut memberi
kontribusi menjadi sumber data bagi batasan jenis, terutama berhadapan dengan
permasalahan variasi genotyp dan phenotyp yang besar.
Perkembangan
ilmu biologi molekular tidak membuat konsep Van Stenis menjadi usang,
justru beranjak dari pengalamannya itu
kita menyadari bahwa untuk menghasilkan batasan yang berkwalitas, semua aspek
dapat berperan membangun batasan yang dipakai dengan langeng.
Pendekatan
molekuler memberi angin segar ketika berhadapan dengan situasi dimana karakter
morphologi terbatas atau homologi dari morphologi kurang jelas
Bibliografi
Van Stenis, 1956. Flora Maleisiana seri I Vol. 5
Brown, A.H.D, 1978. Isozimes, Plant Population,
Genetics Struktur and genetik Conservation. CSRO, Devision of Plant Industri,
canberra, Australia.
Davis.P.H and
V.H. Heywood,1963. Prinsiple of Angiosperm Taxonomi. Oliver & Boyd.
Edinburgh and London.
Hillis.D.M and Morits C. and Mable.K.B. 1996.
Molekular Sytematics, 2 nd edition. Sinauer Associetes
Inc. Publiser.
Senderland, Massachusets. U.S.A
Karp.A.2001. The New Genetics Era Will it Help us
inManaging Genetics Diversity. Reseach Stasion, University of Bristel.
Steven.F.P. 2002. Why Do We name Organisme? Some
Reminder from The Past. Taxon 51. Hal. 11-26
Rifai. M. A. 1976.
Sendi-Sendi Botani Systemtika. Herbarium Bogoriense. Lemabag Biologi
Nasional L.I.P.I