© 2002 Endang
Hernawan Posted: 18 December, 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr Bambang Purwantara
DAMPAK KONGLOMERASI DAN KARTEL TERHADAP
KELESTARIAN
HUTAN DAN INDUSTRI HASIL HUTAN
(Impacts of Conglomeration and Cartel on Sustainable Forest and Forest Products Industry)
Oleh:
E
061020041
Sistem HPH pada
dasarnya merupakan bentuk antisipasi pemerintah setelah dibukanya kran
penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Pada
awalnya Direktorat Jenderal Kehutanan, menginsyafi bahwa dengan adanya
penanaman modal besar (asing dan nasional) untuk eksploitasi hutan, sebagian
besar areal hutan yang tersedia akan dipungut hasilnya oleh
perusahaan-perusahaan besar. Untuk menjaga pengusaha-pengusaha kecil dan
menengah tidak dimatikan usahanya, Dirjen Kehutanan waktu itu menggariskan
suatu kebijaksanaan dalam pemberian konsesi tersebut, bahwa luas areal hutan
yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 % diberikan kepada pengusaha
besar sebagai konsesi, dan 20 – 30% diberikan kepada pengusaha kecil, dengan
ijin tebang dan persil tebangan (Departemen Kehutanan RI, 1988).
Namun dalam
perkembangannya pengusaha-pengusaha kecil di daerah tidak dapat bertahan lama,
dipihak lain perusahaan-perusahaan besar mulai mendominasi areal konsesi hutan
produksi. Menurut APHI, sampai tahun 1998/1999 tercatat sebanyak 436 HPH yang
menguasai areal hutan alam produksi seluas 53,550 juta ha. Dari 436 HPH
tersebut, tercatat ada 9 group perusahaan besar yang masing-masing menguasai
lebih dari 1 juta ha.
Permasalahan
penguasaan HPH tersebut tidak hanya terletak kepada arah konglomerasi
pengusahaan hutan Indonesia, namun cara pemberian HPH dinilai banyak pihak
kurang transparan karena tidak melalui sistem lelang (tender) terbuka.
Akibatnya muncul konglomerasi bisnis hutan, sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial.
Konglomerasi pada dasarnya akan mengarah kepada bentuk oligopoli pasar
hasil hutan. Menurut Gisser (1981) oligopoli adalah suatu situasi pasar yang
mana produksi didominasi sebagian atau seluruhnya oleh sejumlah kecil
perusahaan. Karakteristik pasar oligopoli adalah perusahaan akan membatasi
jumlah produksi dan akan menentukan harga yang setinggi-tingginya. Secara
teori, sistem oligopoli ini akan mendukung kelestarian hutan dengan membatasi
jumlah produksi kayu, dan jika konsumen kayu bersifat elastis, maka akan
mengurangi jumlah konsumsinya. Namun kenyatannya, bahwa setelah dibukanya HPH
dan dalam perkembangannya terjadi konglomerasi bisnis kehutanan, tingkat laju
deforestrasi malah tidak terkendali.
FAO memperkirakan selama periode 1982-1991 tingkat penggundulan hutan
mencapai 1,3 juta ha per tahun. Pada tahun-tahun terakhir ini, diperparah dengan
maraknya kegiatan illegal logging, laju deforestrasi diperkirakan telah
mencapai 1,6 juta ha per tahun. Akibatnya kemampuan penyediaan bahan baku
industri jauh dari mencukupi. Pada tahun 2002 penyediaan bahan baku hanya
mencapai 6,5 juta m3 per tahun, atau jauh di bawah realisasi
produksi tahun 1990-an yang mencapai rata-rata 30 juta m3.
Berkaitan dengan itu, tulisan ini
akan menganalisis pengaruh sistem konglomerasi dan kartel terhadap kelestarian
sumberdaya hutan dan industri hasil hutan.
Sampai saat sekarang kepemilikan HPH di Indonesia didominasi oleh 9
group perusahaan (Tabel 1). Berdasarkan
Tabel 1, 9 group perusahaan tersebut telah menguasai 34,50 % dari total luas
areal HPH yang ada di Indonesia (53.550.000 ha), dengan persentase tertinggi
adalah Burhan Uray dengan dua Grup HPH,
yaitu Jayanti dan Budi Nusa (7,46 %), kemudian Barito Pasific Group milik
Prajogo Pangestu (6,6%), disusul Kayu
Lapis Indonesia (KLI) yang dimiliki oleh oleh Andi Susanto (5,87%), Alas Kusumah yang dimiliki oleh PO Suwandi
(5,26 %), Korindo milik In Young Sun (2,79 %), Mohamad ‘Bob’ Hasan dengan Grup
Kalimanis (2,52 %), Surya Damai milik
Martias (2,07 %), dan Satja Jaya Group milik Asbet Lyman (1,92 %), serta
sisanya dimiliki oleh perusahaan lain.
Tabel 1. Konglomerasi HPH di Indonesia
Grup Perusahaan |
Jumlah Perusahaan |
Luas Areal (ha) |
Persentase (%) |
Pemilik
|
Barito Pasific |
39 |
3.536.800 |
6,60 |
Prajogo Pangestu |
Kayu Lapis Indonesia |
17 |
3.142.800 |
5,87 |
Andi Susanto |
Djayanti |
20 |
2.805.500 |
5,24 |
Burhan
Uray |
Alas Kusuma |
15 |
2.819.000 |
5,26 |
PO Suwandi |
Korindo |
8 |
1.493.500 |
2,79 |
In
Yong Sun |
Kalimas
Group |
6 |
1.352.000 |
2,52 |
Bob
Hasan |
Budhi
Nusa |
7 |
1.190.700 |
2,22 |
Burhan
Uray |
Satja
Jaya Group |
7 |
1.026.000 |
1,92 |
Asbet
Lyman |
Surya
Damai |
7 |
1.108.000 |
2,07 |
Martias |
Sub Total |
126 |
18.474.300 |
34,50 |
|
Yang
Lain |
310 |
35.075.700 |
65,50 |
|
Total |
436 |
53.550.000 |
100,00 |
|
Sumber
: APHI, 1998
Dilihat dari jumlah
perusahaan, hutan produksi seluas 18.474.300 ha hanya dikuasasi oleh 126 perusahaan atau rata-rata luas setiap
unit HPH dari 9 grup tersebut adalah146.621 ha. Selain itu menurut Kartodiharjo
(1999) bahwa dari 436 HPH yang ada 229 dikuasai oleh militer, baik TNI maupun
Polri. Sejak sistem HPH ini digulirkan, tidak ada satu perusahaan kecil yang
tercatat sebagai pemilik konsesi HPH atau sebagai pemegang ijin tebang dan
persil tebangan, sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan yakni
seluas 20-30 % dari luas hutan produksi setiap propinsi.
Hal yang menarik dari
mekanisme pemberian ijin konsesi ini adalah tidak pernah dilakukan sistem
lelang (tender) secara terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya kolusi,
korupsi dan nepotisme (KKN) cukup besar. Menurut Departemen Kehutanan (1988),
prosedur untuk mendapatkan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) adalah dilakukan di tingkat pusat dengan urutan-urutan
prosedur sebagai berikut: (1) persetujuan azas; (2) persetujuan survey (survey
agrement); (3) orientasi (orientation); (4) persetujuan awal (preliminary
agrement); (5)survai lapangan; (6) persetujuan final (Final Agrement); (7) usul
ke Badan Pertimbangan Modal Asing/Tim Teknis Penanaman Modal Asing (jika PMA);
dan (8) Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Sedangkan untuk
mengakomodasi pengusaha-pengusaha kecil lokal, yang usahanya hanya terbatas
pada penebangan, dilakukan atas dasar (Deparetemen Kehutanan, 1988):
Berdasarkan prosedur
di atas, menunjukkan bahwa perolehan hak pengusahaan hutan maupun ijin tebang
atau persil tebangan dilakukan secara tertutup oleh kalangan terbatas di dalam
Departemen Kehutanan. Menurut Ramli dan Ahmad (1993) pemberian konsesi secara
tertutup menyebabkan kerugian negara karena tidak berhasil mendapatkan
penawaran tertinggi dan paling menguntungkan.
Selanjutnya sistem tersebut juga akan menjadi tidak adil karena sangat menutup kemungkinan untuk pengusaha lain.
Selain itu dari aspek penguasaan sentra-sentra produksi kayu,
pengusaha-pengusaha tersebut hanya akan mengarahkan kepada propinsi-propinsi
penghasil utama kayu di Indonesia, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Aceh Riau, Jambi, Maluku dan Irian Jaya.
Proses terjadinya konglomerasi, dimulai
dengan proses penjualan atau
pemindah-tanganan HPH yang sebelumnya
dimiliki oleh purnawirawan/veteran atau
pengusaha pribumi. Meskipun dibatasi oleh PP. No 21/1970, namun pemindah tanganan adalah
sah karena terdapat satu clausa yang membolehkan transfer HPH dengan
Persetujuan Menteri dengan tanpa batas luas areal konsesi.Sehingga akhirnya
terjadilah penguasaan oleh beberapa pengusaha, seperti terlihat apada Tabel 1
di atas.
Sistem ini kemudian dicoba diperbaiki
Departemen Kehutanan pada tahun 1998, melalui kebijakan restrukturisasi
HPH. Pertama, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 728/KPTs-II/1998
tanggal 9 November 1998 tentang Luas Hutan Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan
Kawasan Hutan. Satu HPH memiliki konsesi tidak boleh lebih dari 100.000 ha
dalam satu propinsi dan tidak lebih dari 400.000 hektar di seluruh Propinsi
kecuali di Irian/Papua maksimal 200.000 hektar. Kemudian SK Menhutbun No.
732/KPTsII/1998 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembaharuan HPH, diantaranya
mengatur pemberian 20% dari stok untuk
Koperasi. Kemudian PP No. 21/1970 tentang Pengusahaan hutan dan Pemungutan
Hasil Hutan pada Hutan Produksi diubah dengan PP. No. 6 Tahun 1999, pembangunan
mulai memasuki paradigma baru dengan nama demokrasi ekonomi dan ekonomi rakyat. Pada dasarnya pengusahaan hutan dan
pemungutan hasil hutan dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi, BUMS
Indonesia, Perorangan, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan Masyarakat hukum
adat, dengan mempedomani ketentuan perundangan yang berlaku.
Namun sistem HPH pada sebelum tahun
1998, dan sesudah tahun 1998, tetap menyebabkan terjadinya kehancuran hutan di
Indonesia. Laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan yakni 1,6 juta ha per tahun. Menurut Laporan Baplan-Departemen
Kehutanan (2001), hutan alam yang rusak meningkat dari 28,5 % menjai 45,6 %,
hutan sekunder meningkat dari 27 % menjadi 43,9 %, dan hutan primer menurun
dari 44,5 % menjadi 10,5 %. Data lain juga menunjukan bahwa saat ini terdapat
16,2 juta ha hutan produksi bebas karena HPH sudah tidak lagi mengusahakannya
(Fakultas Kehutanan IPB, 2002). Kehancuran
hutan tersebut tercermin pula dari tingkat produksi kayu gelondongan hutan alam
yang terus menurun sepuluh tahun terakhir, seperti terlihat pada Tabel 2
berikut:
Tabel 2. Produksi Kayu Bulat Dari Hutan Alam Produksi
HPH
No |
Tahun |
Produksi (m3) |
Perubahan (%) |
1 |
1989/90 |
24.409.000 |
|
2 |
1990/91 |
25.312.000 |
4 |
3 |
1991/92 |
23.892.001 |
-6 |
4 |
1992/93 |
28.267.000 |
18 |
5 |
1993/94 |
26.848.011 |
-5 |
6 |
1994/95 |
22.017.434 |
-18 |
7 |
1995/96 |
22.342.130 |
1 |
8 |
1996/97 |
23.289.462 |
4 |
9 |
1997/98 |
25.635.774 |
10 |
10 |
1998/99 |
16.235.580 |
-37 |
11 |
1999/00 |
12.305.212 |
-24 |
12 |
2000/01 |
6.500.000* |
-47 |
Rata-Rata |
|
|
-8 |
Sumber: Departemen Kehutanan, 2002; *) Suara Karya, 8
Mei 2002
Dari data pada Tebel 2, meskipun tidak
diuji korelasi, menunjukkan bahwa, dengan sistem HPH selama ini yang mendukung
terjadinya konglomerasi HPH, telah menyebabkan kelestarian hutan dan hasil
hutan terancam.
III. Kartel dan
keberlanjutan industri hasil hutan (kasus kayu lapis)
Ekspor kayu lapis Indonesia meningkat dramatis dari hanya 161 juta dola
AS pada tahun 1981 menjadi sekitar 2,35 milyar dollar AS pada tahun 1989. Ekspor
tersebut lebih setengah industri Indonesia sehingga kayu lapis sering disebut primadona
ekspor indonesia. Pangsanya dalam pasar kayu lapis (SITC 6342) meningkat
dengan sangat berarti dari hanya 3,2 % pada tahun 1980 menjadi 70 % pada tahun
1988 (Ramli dan Ahmad, 1993), kemudian pada tahun 1993 telah menguasasi tidak
kurang 90 % seluruh perdagangan kayu keras tropika (tropical hardwood
plywood) dunia (Hasan, 1994).
Meningkatnya laju ekspor tersebut didorong oleh
larangan ekspor kayu gelondongan dan adanya subsidi awal bagi pendirian pabrik
kayu lapis. Selain itu, meningkatnya ekspor tersebut (termasuk larangan ekspor kayu gelondongan) tidak
lepas dari peran Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) yang berdiri pada
tanggal 12 Pebruari 1976. Asosiasi ini didirikan sebagai wadah kerjasama
industri kayu lapis Indonesia dalam rangka menghadapi perkembangan produksi dan
makin kompleksnya pemasaran, terutama ekspor. Dalam perkembangannya APKINDO
telah melakukan berbagai langkah-langkah untuk menempatkan posisi kayu lapis
Indonesia terutama di pasar luar negeri, diantaranya sebagai berikut (Hasan,
1994):
Kedalam:
1. menyuarakan pentingnya industri kayu lapis untuk
mengefisienkan penggunaan sumberdaya hutan Indonesia,
Ke luar:
Langkah-langkah tersebut telah memberikan hasil diantaranya adalah larangan ekspor kayu bulat oleh Pemerintah seperti disebutkan di atas dan kwalitas kayu lapis Indonesia makin diterima dan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki, daya saing kayu lapis Indonesia menjadi sangat kuat. Selain itu pembangunan industri berkembang dengan pesat dan realisasi ekspor meningkat seperti terlihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Kayu Lapis Indonesia
Tahun |
Volume (juta m3) |
Nilai (Miliar US$) |
Rata-rata (Milliar US$) |
1990 |
8,51 |
3,02 |
355,19 |
1991 |
8,97 |
3,17 |
352,86 |
1992 |
9,78 |
3,56 |
363,61 |
1993 |
9,71 |
4,59 |
472,48 |
1994 |
8,92 |
4,03 |
452,67 |
1995 |
8,75 |
3,89 |
444,19 |
1996 |
8,57 |
4,03 |
469,92 |
1997 |
8,35 |
3,89 |
465,41 |
1998 |
8,04 |
2,49 |
309,08 |
1999 |
7,77 |
2,7 |
348,19 |
2000 |
6,97 |
2,42 |
346,95 |
2001 |
6,01 |
1,5 |
250,02 |
Sumber: APKINDO, 2002
Namun dalam perkembangannya,
terutama dalam mengahadapi ketidak-tentuan pasar dunia, APKINDO mengambil langkah-langkah yang
menjurus kepada sistem kartel dalam industri kayu lapis Indonesia. Adapun
langkah-langkah ke arah sistem kartel tersebut diantaranya adalah:
Kartel
didefinisikan sebagai sebuah kelompok dari perusahaan-perusahaan yang
mengorganisasikan diri dengan tujuan untuk menurunkan laju produksi dan
mengupayakan harga pada level yang lebih tinggi untuk mencapai keuntungan yang
lebih besar. Tujuan dari kartel adalah untuk membatasi (menahan laju) out-put
pada tingkat dimana kurva MR berpotongan dengan kurva MC guna memperoleh profit
yang maksimum (Gisser, 1981). Secara teori, kartel terjadi apabila seluruh atau
sebagian besar perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam industri bersepakat
untuk meningkatkan harga pada tingkat harga monopoli. Pada kurva agregat demand
yang berslope negatif, peningkatan harga diatas level kompetitif dapat tercapai
hanya jika kartel menetapkan kuota produksi pada anggotanya.
Situasi kartel diilustrasikan dalam
Gambar 2. Pada panel (a), MCi adalah kurva MC dari perusahaan. Pada pada panel
(b), å MCi adalah agregat dari kurva MC
yang mana merupakan kurva supply dalam industri tersebut. Sumbu horizontal
(sumbu x) dari kedua panel tersebut berbeda. Pada panel (a), x adalah satuan output dari perusahaan
tunggal. Pada panel (b) adalah satuan output dari perusahaan-perusahaan dalam
industri tersebut (kartel).
Harga
kompetitif Po ditentukan oleh perpotongan antara kurva å MCi dengan kurva demand (D), dimana industri memproduksi Xo unit. Pada panel (a) masing-masing perusahaan
memproduksi Xo unit, dimana harga sama dengan marginal cost, sehingga Xo = å Xo. Areal
yang berarsir silang dan areal berbayang adalah surplus produsen dari
perusahaan tersebut. Pada panel (b), jika perusahaan membentuk kartel dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal, maka produksi dikurangi dari X0
menjadi X1 pada saat kurva supply å MCi
berpotongan dengan kurva MR dari demand tersebut. Implikasinya bahwa
masing-masing perusahaan (anggota kartel) harus menurunkan output dari Xo ke X1
(menyesuaikan siatuasi kartel). Surplus produsen perusahaan tersebut menjadi
areal berarsir silang ditambah segi empat berbayang. Surplus produsen yang baru
(setelah kartel) menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya karena agregat
profit dari industri telah meningkat sehingga seluruh perusahaan (anggota
kartel) diasumsikan identik meningkat pula. Manajemen kartel menghendaki
masing-masing anggota mengurangi laju produksi laju produksinya dengan
persentase yang seimbang, yaitu (xo – x1)/xo x
100%, dengan harapan anggota kartel memperoleh distribusi profit setidaknya
lebih tinggi dari sebelumnya.
Keinginan
untuk mendapatkan insentif lebih banyak bagi anggota kartel adalah sangat
besar. Perusahaan seperti digambarkan pada panel (a), perusahaan tersebut
bersiasat (melakukan cheating) mengembangkan produksi hingga x2,
dimana harga kartel P1, berpotongan dengan kurva MCi. Tambahan
keuntungan (surplus produsen) perusahaan itu adalah areal berbayang ditambah
areal bergaris miring. Hal inilah awal
terjadinya kegagalan suatu kartel, karena terjadi kecurangan dari anggota
kartel yakni dengan menaikan jumlah produksi dari yang telah disepakati.
Dengan APKINDO melakukan langkah-langkah di atas,
banyak pihak memandang bahwa APKINDO telah menjalankan kartel dalam produksi
kayu lapis. Hal yang menarik bahwa APKINDO sebagai sebuah kartel, pada tahun
2002, dari 115 perusahaan kayu lapis yang ada (anggota APKINDO) sebanyak 95
(82,61 %) perusahaan berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Hal ini berarti bahwa para anggota APKINDO telah banyak yang
mengalami kebangkrutan dan APKINDO gagal bertindak sebagai sebuah kartel kayu
lapis Indonesia. Ada beberapa faktor mengapa industri kayu lapis
pada saat sekarang menjadi mundur, diantaranya adalah:
Gambar 2.
Kartel (Gisser, 1981)
Kurva MC perusahaan tunggal digambarkan oleh Mci pada
panel (a). Jumlah dari MCi adalah å MCi yang merupakan kurva supply dalam industri
tersbut, pada panel (b). Kurva permintaan pasar diberi notasi D yang
berasosiasi dengan kurva MR. Dalam kompetisi sempurna kurva å MCi berpotongan dengan kurva D pada titik G yang
menghsilkan harga pada Po. Pada saat total out-put adalah Xo, perusahaan
tunggal memproduksi Xo dan memperoleh surplus produsen pada areal berasir
silang ditambah areal segitiga berbayang. Setelah kartel terbentuk,
keseimbangan bergeser dari titik G menuju titik H, dimana å Mci
berpotongan dengan MR. Total output berkurang menjadi X1 dan
menghasilkan harga pada P1. dengan kata lain masing-masing perusahaan (anggota
kartel) harus mengurangi produksi dari X0 ke X1.
perusahaan tersebut kehilangan surplus produsen yang ditunjukkan oleh segitiga
berbayang, tetapi sebagai gantinya memperoleh surplus yang di tunjukkan segi
empat berbayang. Akan tetapi perusahaan tidak
puas. Pada level harga P1, perusahaan mempunyai kesempatan untuk
meraih keuntungan lebih besar dengan menambah put-put pda X2
(cheating), sehingga surplusnya menjadi bertambah lagi, yang ditunjukkan oleh
areal segitiga berbayang (yang tadi hilang) ditambah areal yang bergaris
miring.
IV. Alternatif Pemecahan Masalah: Pembenahan Sistem HPH dan Restrukturisasi Industri Hasil Hutan
4.1. Perbaikan sistem Alokasi HPH
Dengan sistem HPH
yang mendorong terjadinya
konglomerasi HPH telah menjalankan
pengusahaan hutan tidak berkelanjutan baik secara ekonomi atau ekologi dan
menyebabkan dampak sosial yang berat. Akumulasi sistem tersebut adalah
terjadinya kegiatan illegal logging di satu pihak dan banyaknya HPH yang tidak
menjalankan aktivitasnya di pihak lain.
Dalam mengatasi
dampak sistem pengusahaan masa lalu tersebut, Departemen Kehutanan telah
menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas yaitu (1) pemberantasan penebang liar,
(2) penanggulangan kebakaran hutan, (3) restrukturisasi sektor kehutan, (4)
rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dan (5) penguatan desentralisasi
kehutanan. Bila kelima program tersebut dapat dilaksanakan, bisa diharapkan
keberhasilan berikut (1) pemantapan kawasan meningkat, (2) kesenjangan pasokan
kayu dan kebutuhan bahan baku log menjadi berkurang, (3) tingkat degradasi
kawasan hutan berkurang, (4) tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
meningkat, (5) struktur industri perkayuan yang optimal terbentuk, (6)
pembangunan HTI, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan berkembang, (7) kesadaran
Pemda tentang pentingnya sumberdaya hutan lestari timbul dan berkembang, dan
(8) industri non kayu dan jasa lingkungan semakin berkembang (Business News,
2002).
Kaitan dengan
desentralisasi kehutanan, hal yang muncul menjadi tarik menarik pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten adalah kewenangan pemberian ijin. Meskipun di dalam PP
Nomor 34 Tahun 2002, menyangkut kewenangan pemberian ijin pemanfaatan
hutan secara tegas diatur alur
koordinasi kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan kabupaten/kota
(Pasal 37 s/d 42), namun masih menjadi polemik mengenai pembagian kewenangan
tersebut.
Maraknya pemberian
ijin pengelolaan hutan 100 ha pada izin HPHH (hak pengusahaan hasil hutan) oleh
bebarapa Bupati di Luar Jawa merupakan bukti bahwa desentralisasi kehutanan
perlu lebih diperkuat lagi. Kasus maraknya pemberian ijin pengelolaan hutan 100–an ha tersebut, bukan memperbaiki malah memperparah kondisi
hutan tropis Indonesia karena pengusaha yang bersangkutan hanya melakukan
penebangan, tidak melakukan kegiatan
rehabilitasi sama sekali. Persoalan tidak hanya sampai di situ, persoalan yang
lebih serius adalah terjadinya tumpang-tindih dengan perusahaan-perusahaan HPH
yang telah ada dan sedang beroperasi dengan perijinan HPH tingkat Pemerintah
Pusat. Keadaan tersebut
merupakan bentuk konflik
kewenangan antar Pemerintah Pusat dan daerah (kabupaten/kota).
Dengan PP Nomor 34
Tahun 2002, apakah persoalan pemberian HPH tersebut telah diperbaiki? Menurut Kartodiharjo (2002), PP Nomor 34 tahun
2002 tersebut yang merupakan penjabaran UU Kehutanan, sangat lemah untuk sekedar mampu memberikan aspirasi dalam memperbaiki permasalahan HPH selama ini, yakni dalam
memberikan landasan sebagai berikut:
Dengan memperhatikan
kelemahan PP 39 tahun 2002 di atas untuk dijadikan instrumen dalam memperbaiki
sistem HPH (atau sekarang disebut IUPHHK), maka sistem tender terbuka dalam
pemberian ijin IUPHHK dapat dijadikan salah satu alternatif, guna pemberian kesempatan yang sama bagi
pengusaha-pengusaha kecil di daerah serta guna mendapatkan pemegang IUPHHK yang
dapat memberikan keuntungan yang tertinggi baik secara ekonomis, ekologis,
maupun sosial bagi pemerintah dan masyarakat.
Lelang dilakukan pada tegakan
hutan yang masih berdiri (Standing Stock).
Guna memberikan keuntungan yang maksimal bagi Pemerintah, sistem ini perlu
ditunjang oleh sistem inventarisasi hutan pada skala yang rinci dan dilakukan
oleh pemerintah, sehingga tidak menghasilkan perkiraan yang lebih rendah (under
estimate) yang selama ini terjadi. Para peserta lelang dapat melakukan
penilaian ulang, guna memberikan keyakinan pada mereka untuk mengikuti tender.
4.2 Restrukturisasi Industri dan
Pembatasan Jumlah Produksi
Salah satu faktor
penyebab banyaknya perusahaan industri kayu lapis yang gulung tikar adalah
karena daya saingnya lemah dibanding dengan pabrik yang ada di luar negeri yang
umumnya memiliki mesin baru. Kita ketahui bahwa berdirinya industri kayu lapis
di Indonesia dimulai tahun 1980-an, yang sampai saat sekarang sebagian besar
pabrik belum mengalami peremajaan. Di
pihak lain bahwa kualitas dan ukuran bahan baku mengalami perubahan yang mana
kurang sesuai dengan spesifik dari bahan baku yang disyaratkan industri
tersebut. Akibatnya biaya produksi menjadi tidak efisien dan kualitas hasil
menurun, yang menyebabkan sulit bersaing di pasaran internasional baik harga
maupun kualitas.
Restrukturisasi dilakukan tidak pada setiap
industri, tetapi prioritas diberikan kepada perusahaan industri yang memiliki
prospek seperti memiliki jaringan pemasaran yang luas, bahan baku yang cukup,
serta tenaga yang terampil. Dana restrukturisasi tersebut perlu disediakan
pemerintah melalui pembukaan kran kredit untuk penggantian mesin-mesin produksi
kayu lapis. Sebagai bagian dari restrukturisasi, pemerintah hendaknya juga
memberikan diinsentif berupa penutupan bagi industri perkayuan yang pasokan
bahan bakunya tidak jelas, dan membatasi pembangunan industri kayu baru.
Pembatasan industri kayu baru dilakukan melalui pelarangan sesuai
Keppres 96 tahun 1999. Larangan pembangunan industri pengolahan kayu atau hasil
hutan tersebut sangat terkait dengan semakin terbatasnya pasokan bahan baku
kayu dari hutan produksi alam. Karena itu Pemerintah dalam tahun 2002 ini
membatasi produksi balak (log) nasional sebesar 12 juta m3, dan pada
tahun 2003 jatah itu ditekan lagi menjadi 6,48 juta m3. Pengetatan
penjatahan produksi log tersebut mengacu kepada upaya-upaya pemerintah dalam
rehabilitas hutan yang setiap tahun mengalami degradasi seluas 1,6 juta ha.
Para pengusaha industri kayu lapis dan pemerintah hendaknya melakukan
restrukturisasi di tubuh APKINDO terutama mengembalikan kepada fungsi semula
yakni untuk efisiensi penggunaan sumberdaya hutan, menjaga kualitas produksi,
dan penciptaan pasar terutama pasar internasional.
1. Sistem pemberian HPH selama ini kepada
pengusaha dilakukan secara tertutup yang merugikan negara dan menimbulkan
ketidakadilan, dan sistem HPH tersebut telah mendorong terjadinya pula konglomerasi HPH melalui proses
penjualan atau pemindah-tanganan
HPH yang dimungkinkan oleh
peraturan yang ada.
2. Sistem
konglomerasi dengan areal konsesi yang sangat luas dan diharapkan dapat
melaksanakan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, malah telah mendorong
terjadinya deforestrasi yang besar dan memicu kecemburuan sosial dengan
puncaknya terjadinya illegal loging yang tidak terkendali.
3. APKINDO
sebagai wadah pengusaha industri kayu lapis Indonesia telah mengarah kepada
bentuk kartel kayu lapis, yang menyebabkan kurang sehatnya persaingan pasar
kayu lapis dan tidak efisiennya produksi kayu lapis.
4. Alternatif
mengatasi dampak akibat konglomerasi dan kartel terhadap kelestarian hutan dan
industri hasil hutan adalah melalui perbaikan sistem alokasi IUPHHK,
restrukturisasi industri hasil hutan dan pembatasan produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan RI. 1988. Sejarah Kehutanan Indonesia II – III
Periode Tahun 1942 – 1983.
Fajari, Kristiyono. 1997. Strategi Pemanfaatan Konsep Hutan Lestari Dalam Menunjang pembangunan Berkelanjutan. Masyarakat Perhutanan Indonesia.
Gisser, M. 1981. Intermediate
Price Theory: Analysis, Issues, And Aplication. McGraw-Hill Book Company.
Hasan, M. 1994. Profil Industri
Kayu Nasional Dewasa Ini. Bahan Ceramah Pembekalan Mahasiswa Fakultas Kehutanan
Universitas Winaya Mukti Bandung. Asosiasi Panel Kayu Indonesia
Kartodihardjo, Hariadi. 2002. Deforestrasi Dalam Logika Politik yang Cacad. Tidak dipublikasikan.
Rizal, Ramli dan Mubariq Ahmad. 1993. Rente Ekonomi Pengusahaan Hutan Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.