© 2002 Eliza S. Rusli Posted 29 November, 2002
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
November
2002
Dosen:
Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Zahrial Coto
Dr. Bambang Purwantara
DETEKSI
DINI SECARA MOLEKULER TERHADAP INFEKSI Tomato spotted wilt tospovirus
(TSWV) PADA KACANG TANAH DAN TANAMAN
LAPANGAN LAINNYA
Oleh :
A.461020051 / FIT
E-mail: elizarusli2002@yahoo.com
Tomato spotted wilt virus (TSWV) adalah virus
yang paling mudah memperbanyak diri atau mereplikasi dari anggota genus
Tospovirus. Virus ini
telah menjadi kendala utama pada kacang tanah, tembakau, tomat dan cabai di
Georgia. TSWV ditularkan oleh dua spesies Thrips :
western flower thrips (Frankliniella occidentalis Hinds) dan tobacco
thrips ( F. fusca Pergande; ). Di Georgia kerugian yang disebabkan oleh
virus ini diperkirakan sebesar 100 juta
USD per tahun (Bertrand, 1997 dalam Jain et al. 1998).
Hoffmann et al. 1998 melaporkan bahwa kerugian
ekonomi karena hilangnya hasil panen
pertanaman kacang tanah di Texas, Amerika Serikat yang disebabkan oleh serangan
TSWV dapat merusak pertanaman kacang tanah sampai 95 %. Bahkan ada yang
melaporkan TSWV dapat menghancurkan tanaman cabai dan tomat dilapangan mencapai
100 % di daerah selatan negara bagian Georgia ( Gitaitis et al. 1998 ).
Dengan mendapatkan informasi di atas tidaklah berlebihan bila
kita perlu mewaspadai masuknya dan terjadinya serangan virus tersebut di
wilayah Indonesia. Sebagaima yang tercantum dalam SK Menteri Pertanian Nomor 38
tahun 1992 yang menetapkan TSWV sebagai organisme pengganggu tumbuhan yang dilarang pemasukannya melalui media
pembawa seperti bibit tanaman dari luar negeri, berdasarkan belum adanya
laporan keberadaan virus tersebut di wilayah Indonesia.
Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya di lapangan perlu
dilakukan survei dan monitoring ( pemantauan ) pertanaman kacang tanah dan
tanaman lain yang mungkin telah tertular virus tersebut di areal pertanian
secara kontinyu. Sehubungan dengan hal tersebut kita perlu mempelajari aspek
biologi dan gejala penyakit serta dapat
mendeteksi secara dini keberadaan dari TSWV tersebut.
Tujuan studi literatur ini adalah untuk mengetahui metoda deteksi
yang cepat, praktis dan dapat diandalkan untuk mengamplifikasi sekuen TSWV dari
kacang tanah dan tanaman lain yang rentan yang akan memfasilitasi penelitian
pada keragaman molekuler diantara populasi virus yang menginfeksi berbagai
tanaman pertanian di Jawa Barat.
TSWV terdiri dari tiga segmen RNA, small
(S), medium (M) dan large (L). S dan M RNA adalah ambisense dalam organisasi genom virus, sedangkan L
RNA berada dalam polaritas negatif. Aspek biologis dan molekuler dari TSWV dan
tospovirus lainnya telah banyak
diteliti di Amerika Serikat, Belanda
dan negara-negara lain (Jain et al. 1998 ; Chu et al. 1998 ;
Ohnishi et al. 2001).
Virus
tersebut dapat ditemukan pada seluruh bagian tanaman yang telah terinfeksi dan
pengelompokan partikel virus sering berada pada retikulum endoplasmik, vakuola
sel dan sitoplasma. Morfologi atau bentuk partikel TSWV adalah sperikel dengan
diameter 80 – 120 nm yang dibungkus oleh suatu lapisan seperti duri dan mempunyai titik inaktivasi yang sangat
rendah yaitu 45° C selama 10 menit serta tidak dapat
bertahan pada cairan perasan tanaman lebih dari 5 jam pada suhu ruangan dalam kondisi in-vitro.
TSWV
termasuk kelompok genus Tospovirus dalam famili Bunyaviridae yang mempunyai
kisaran inang sangat luas sekitar 370 spesies tanaman dalam 50 famili
diantaranya adalah tanaman tomat, cabai, tembakau, semangka, nenas, zucchini,
iris, krisan selain kacang tanah ( Brunt et al. 1990 ; Kokalis-Burelle et
al. 1997 ; Griep et al. 2000 ). Penyebaran virus ini di lapang
terjadi karena adanya serangga vektor yaitu beberapa jenis Thrip seperti Thrip palmi, T. tabacci, T.
setosus, Frankliniella occidentalis, F. fusca, F. intonsa
dan F. schultzei. Di dalam tubuh vektor tersebut virus
dapat mereplikasi dirinya dan bersifat persisten. Tidak hanya serangga dewasa yang dapat
menularkan virus di atas tetapi juga dapat pada larva F. occidentalis
instar kedua ( Garcia et al. 2000;
Groves et al. 2002 ).
Gejala yang
disebabkan oleh TSWV umumnya sangat bervariasi tergantung pada jenis dan umur
tanaman yang diinfeksi selain keadaan suhu pada saat terjadi infeksi. Pada
tanaman kacang tanah gejala yang ditimbulkan adalah bercak bercincin, bercak
khlorotik, mosaik, bercak nekrotik dan kekuning-kuningan pada daun. Bila
tanaman terinfeksi pada awal pertumbuhan tanaman sering tanaman menjadi kerdil
dan menyebabkan kehilangan hasil yang serius ( Mandal et al. 2001
).
Dalam
penelitian Hoffmann et al. 1998 disebutkan bahwa gejala penyakit dimulai
dengan lingkaran bercincin pada daun diikuti dengan gejala khlorosis dan daun
menjadi keperak-perakan. Kemudian pada fase lanjut dari perkembangan penyakit,
tanaman menjadi kerdil , tunas-tunasnya rusak dan akhirnya pertumbuhan tanaman terhambat.
Sedangkan
hasil penelitian Cortes et al. 1998 dan Mandal et al. 2002
menunjukkan bahwa tanaman yang diinfeksi TSWV akan merespon dengan dua hal yang
berbeda. Pertama, bila pada daun terlihat satu atau dua lingkaran kecil
kekuning-kuningan atau lingkaran yang konsentris dan tidak terdapat gejala
tersebut pada daun yang baru tumbuh mengindikasikan gejala tersebut bersifat
lokal. Kedua, bila pada daun terlihat gejala bercak khlorotik dan dilanjutkan
dengan gejala mosaik dan bercak bercincin pada daun yang baru tumbuh,
mengindikasikan bahwa gejala bersifat sistemik.
Juga dari
hasil pengamatan Garcia et al. 2002 gejala penyakit yang disebabkan oleh
TSWV memperlihatkan daun berwarna keperak-perakan dan adanya bercak bercincin
yang konsentris pada daun serta terpelintirnya petiole. Kemudian tanaman menjadi kerdil dan akhirnya layu.
Diagnosis awal yang dilakukan oleh William et
al. 2001 dan Horrero et al. 2000 dan Nagata et al. 2000
dengan menggunakan metode serologi yaitu Double Antibody Sandwich- Enzyme
Linked Immunosorbent Assay ( DAS- ELISA ) pada tanaman tomat dan Datura
stramonium berhasil dengan baik. Tetapi sangat sulit dilakukan pada tanaman
kacang tanah seperti yang dikemukakan oleh Jain et al. 1998.
Metode serologi ini menggunakan antiserum
poliklonal yang bereaksi secara spesifik dengan nukleocapsid protein virus
TSWV. Adapun prosedurnya adalah
menggerus daun yang terinfeksi dengan buffer ekstrak (
phosphate-buffered saline, 0,05% Tween 20, 2% polyvinylpyrrolidone, 0,01 M
sodium sulfite ) dalam perbandingan 1: 10 (wt/vol ) dan menambahkan satu
langkah yaitu blocking dengan 4 % nonfat milk dalam carbonate
buffer pH 9,6 ( Williams et al. 2001 ; Bezerra et al. 1999 ).
Deteksi TSWV dan tospovirus lainnya telah
dilakukan pada tembakau dengan penggunaa Reverse Transcriptase-polymerase
Chain Reaction (RT-PCR). Menggunakan primer degenerate atau spesifik yang
berasal dari nucleocapsid protein gene (NP gene) atau L RNA, deteksi spesies
tospovirus dari satu serogroup atau yang berasal dari serogroup yang
berbeda saat ini dimungkinkan dengan
menggandakan porsi dari genome virus. Sebagian
besar pengujian ini menggunakan
tembakau yang diinfeksi TSWV sebagai sumber jaringan tanaman untuk menunjukan
kegunaan RT-PCR untuk deteksi TSWV.
Penggunaan RT-PCR untuk penguatan dan deteksi dari infeksi TSWV dari kacang
tanah dan studi molekuler berikutnya secara khusus terhalang oleh kesulitan
yang menyertai prosedur ekstraksi yang panjang melibatkan beberapa langkah
dengan pelarut organik. Langkah ini diperlukan untuk mengatasi kemungkinan efek
yang menghalangi dari adanya polyphenols pada jaringan kacang tanah.
Metoda-metoda yang efektif dalam mendapatkan template RT-PCR yang baik dari
tanaman lain seperti tembakau, jeruk, tomat dan tidak berhasil pada kacang tanah.
Metoda yang ada sebelumnya yang memberikan
template berkualitas baik yang sesuai untuk RT-PCR yang menggunakan baik
jaringan tembakau maupun jaringan tanaman inang lainnya. Tetapi metoda ini
memakan banyak waktu, melibatkan beberapa ekstrasi dengan phenol : chloroform
diikuti dengan pengendapan berganda. Tidak satupun dari metoda tersebut yang
memberikan template yang sesuai bagi RT-PCR dari kacang tanah, jadi tidak
efektif dalam mencapai amplifikasi dari sekuen TSWV kacang tanah yang dapat
diandalkan. Prosedur yang lebih sederhana dan cepat yang akan sangat
meningkatkan jumlah produksi dan sekaligus memfasilitasi karakterisasi
molekuler dari virus menjadi perlu (
Jain et al. 1998 ).
Isolat virus. Beberapa isolat
lapang TSWV dikumpulkan dari kacang tanah, tembakau, tomat, cabai, krisan dan
semangka dari beberapa daerah digunakan
dalam pengujian ini. Sampel secara rutin diuji keberadaan TSWV-nya dengan
double-antibody sandwich enzyme-linked immunosorbent assay menggunakan kit yang
dibeli dari Agdia, Inc. (Elkhart, IN).
Pre-treatment dan antibody coating. Tabung microfuge berdinding tipis (kapasitas 200 ml;
Research Products International, Mount Prsopect, IL) pertama-tama diberi perlakuan 0.1 N HCl dan 4 N NaOH
masing-masing selama 15 menit. Setelah masing-masing perlakuan tersebut
, tabung dibilas dengan PBST (0,02 M phosphate, 0,15 M saline, 0,05% Tween-20,
pH 7,5), dicuci dengan 95% ethanol selama 15 menit dan dikering-udarakan pada
suhu ruangan. Tabung kemudian dilapisi
dengan 100 ml NP-specific antibody
(Agdia,Inc.) diencerkan hingga 1:200 dalam carbonate coating buffer (0,05 M carbonate, pH 9,6) dan diinkubasi
semalam pada 4°C. Tabung dicuci tiga kali dengan air distilasi steril dan
digunakan secepatnya, atau dikering-udarakan dan disimpan pada suhu 4°C hingga
digunakan.
Persiapan sampel. Jaringan
yang terinfeksi (1 g) digiling dalam 9 ml extraction buffer (phosphate-buffered
saline, pH 7,4, mengandung 0,01 M sodium sulfite , 2% polyvinylpyrrolidone, MW
40.000, 0,02% sodium azide, 0,2% powdered egg albumin dan 2% Tween-20) dengan
mortar dan pestel. Ekstrak disentrifuse sebentar dan 100 ml supernatant ditambahkan ke sebuah antibody-coated microfuge
tube. Tube diinkubasi
pada suhu ruangan (22°C) selama 2 hingga 3 jam. Ekstraknya dibuang dan tubenya dibilas tiga kali dengan air
distilasi. Untuk mendestabilkan antibody-bound virus partikel, ke masing-masing
tabung ditambahkan 54 ml air distilasi steril. Terhadap tabung-tabung tersebut
dilakukan dua putaran pembekuan (-80°C selama
10 menit) dan pencairan (70°C selama 5
menit) secara bergantian. Tube-tube tersebut kemudian dipindahkan ke es basah
untuk RT-PCR. Cairan ekstrak dari jaringan yang tidak terinfeksi digunakan
sebagai kontrol.
RT-PCR. Reverse
transkripsi dan amplifikasi dilakukan dengan prosedur sebagaimana diuraikan
sebelumnya dengan sedikit modifikasi.
PCR reaction (100ml) berisi masing-masing 200 ng primer, 16 hingga 20 unit Rnasin
(Promega Corp., Madison, WI), 16
unit AMV reverse transcriptase (Promega
Corp.), 2.5 unit Taq Polymerase (Qiagen Inc., Chatsworth, CA), 1x PCR
buffer (Qiagen Inc.), 10 mM Dithiothreitol, 1xQ solution (Qiagen Inc.) dan
masing-masing 100 mM dNTP (Amersham Inc., Arlington Height, IL). PCR mix (46 ml) berisi
komponen-komponen di atas ditambahkan ke tube berisi template (54 ml) yang
sebelumnya diberi perlakuan putaran pembekuan-pencairan, menghasilkan volume
reaction final 100 ml. Dua set pasangan primer digunakan. Pasangan primer
pertama (5’- ATGTCTAAGGTTAAGCTC-3’ dan
5’- TTAAGCAAGTTCTGTGAG-3’) masing-masing menggambarkan basis pertama dan 18
terakhir coding region dari NP gene.
Pasangan primer yang kedua (5’-AATTGCCTTGCAACCAATTC-3’ dan 5’- ATCAGTCGAAATGGTCGGCA-3’)
adalah spesifik terhadap L RNA (11). Amplifikasi dilakukan dalam automated
thermal cycler (GeneAmp 2400; Perkin-Elmer Corp., Norwalk, CT) diprogram untuk
satu cycle pada 42°C selama 45 menit untuk sintesis cDNA dan 40 cycle amplifikasi
dengan parameter sebagai berikut : 30 detik denaturation pada 90°C, 2 menit
annealing pada 42°C, dan 1 menit extension pada 72°C diikuti dengan 1 cycle final extension selama 60 menit pada 72°C.
Analisis PCR products. Setelah PCR, reaction products (10 ml)
dianalisis dengan 0.8% agarose gel electrophoresis dalam buffer Tris-borate
EDTA (TBE) berisi ethidium bromide. DNA divisualkan dan difoto menggunakan UV transilluminator dan Gel Print 2000i gel
documentation apparatus (BioPhotonics Corp., Ann Arbor, MI). Lambda DNA yang
dipotong oleh enzim restriksi HindIII
digunakan sebagai standar ukuran.
Beberapa hasil penelitian mengenai cara mendeteksi TSWV pada
pertanaman kacang tanah, tomat, cabai dan tembakau, krisan serta semangka,
dapat diketahui bawa metode yang sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia
adalah dengan menggabungkan metode serologi ( DAS- ELISA ) dengan metode
molekuler ( RT-PCR ) dengan pertimbangan sebagai berikut di bawah ini :
Menggunakan antibodi yang spesifik terhadap NP dan primer yang spesifik terhadap S atau L RNA dari
TSWV, IC-RT-PCR dapat meng-amplifikasi NP gene TSWV dari jaringan kacang tanah.
Jaringan daun dan akar kacang tanah memberikan template yang sesuai untuk
digunakan dalam RT-PCR, dan suatu pita DNA utama dengan ukuran yang diharapkan
kira-kira 800 bp terlihat bila
menggunakan pasangan primer spesifik S-RNA. Isolat TSWV tembakau yang telah
dicirikan sebelumnya digunakan sebagai
kontrol positif. Primer dari L RNA TSWV sama efektifnya dalam menguatkan TSWV
genom dari kacang tanah. Primer-primer yang digunakan memberikan pita DNA dengan ukuran yang diharapkan 300 bp.
Prosedur yang diuraikan disini
memenuhi kriteria sederhana dalam arti bahwa jaringan digiling dalam suatu buffer tanpa memerlukan
ekstrasi dengan pelarut organik atau pengendapan dengan ethanol. Siklus
pembekuan dan pencairan secara bergantian sebelum RT-PCR menjadi kritikal,
karena bisa tidak terlihat adanya amplifikasi dari sekuen TSWV. Dua siklus dari
pembekuan dan pencairan diperlukan untuk amplifikasi dari jaringan kacang
tanah, sementara satu siklus sudah cukup untuk tembakau.
Di samping kemampuan untuk mengamplifikasi
sekuen TSWV dari kacang tanah, tomat,
cabai dan tanaman lain yang terinfeksi, kegunaan dari teknik ini terletak pada
aplikasinya terhadap studi molekuler
pada TSWV. Dalam studi ini, amplicon
yang diperoleh melalui IC-RT-PCR digunakan untuk menilai keragaman sekuen
diantara populasi alami dari TSWV. Hal ini memfasilitasi identifikasi sekuen yang unik dari isolat yang
berasal dari beberapa daerah. Sementara makna/arti dari perbedaan-perbedaan ini
dapat diteliti, agar dapat memberikan
cara baru untuk mengembangkan
primer-primer yang membedakan isolat tersebut satu sama lain.
Prosedur yang digunakan cepat dan dapat
diselesaikan dalam satu hari. Antisera yang spesifik terhadap
TSWV-glycoproteins juga efektif dalam IC-RT-PCR. Menggunakan antisera dan
primer yang sesuai, suatu bentuk multiplikasi mungkin dapat dikembangkan pada
kacang tanah untuk membedakan spesies tospovirus dari satu serogroup dengan
tospovirus yang berasal dari serogroup yang berbeda. Prosedur ini juga
digunakan untuk mengamplifikasi virus-virus kacang tanah lainnya, seperti
peanut stripe potyvirus dan potyvirus kacang tanah yang belum dikarakterisasi,
dengan menggunakan antisera yang sesuai. Jadi pengujian ini memperlihatkan
bahwa menggunakan spesifik antisera yang sesuai, IC-RT-PCR efektif dalam
mengamplifikasi sekuen TSWV dari kacang
tanah dan sejumlah tanaman rumah kaca serta tanaman lapangan, dengan demikian
memfasilitasi karakterisasi molekuler dari isolat virus pada sistem pemotongan
yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Bezarra I.C., R. de O. Resende , L.
Pozzer, T. Nagata, R. Kormelink, A.C. De Avila. 1999.
Increase of Tospoviral Diversity in Brazil with the Identification of Two New
Tospovirus Species, One from Chrysanthemum and One from Zucchini.
Phytopathology 89: 823-830.
Brunt, A., K. Crabtree,
A. Gibbs. 1990. Viruses of
Tropical Plants, CAB International. Wallingford Oxon OX10 8 DE UK.
Chu, F.H. and S.D. Yeh.
1998. Comparison of Ambisense M RNA of
Watermelon Silver Mottle Virus with Other Tospoviruses. Phytopathology 88:
351-358.
Cortes, I. I.C. Livieratos, A. Derk, D. Peters, R. Kormelink.
1998. Molecular and Serological Characterization of Iris Yellow Spot Virus, a
New and Distinct Tospovirus Species. Phytopathology 88: 1276-1282.
Garcia, L.E., R.L. Bradenburg, J.E. Bailey. 2000. Incidence of
Tomato spotted wilt virus ( Bunyaviridae ) and Tobacco Thrips in Virginia- Type
Peanuts in North Carolina. Plant Dis. 84 : 459-464.
Gitaitis, R.D., C.C. Dowler, R.B. Chalfant. 1998. Epidemiology
of Tomato Spotted Wilt in Pepper and Tomato in Southern Georgia. Plant Dis. 82
: 752-756.
Groves, R.L., J.F. Walgenbach, J.W. Moyer, G.G. Kennedy. 2002.
The Role of Weed Hosts and Tobacco Thrips, Frankliniella fusca, in the
Epidemiology of Tomato Spotted wilt virus. Plant Dis. 86 : 573-582.
Griep, R.A., M. Prins, C. van Twisk, J.H.G. Keller, R.J.
Kerschbaumer, R. Komerlink, R.W. Goldbach, A. Schots. 2000. Application of
Phage Display in Selecting Tomato
spotted wilt virus –Specific Single- Chain Antibodies (scFvs) for Sensitive
Diagnosis in ELISA. Phytopathology 90 : 183-190.
Herrero, S., A.K. Culbreath, A.C. Csinos, H.R. Pappu, R.C.
Rufty, M.E. Daub. 2000. Nucleocapsid Gene –Mediated Transgenic Resistance
Provides Protection Against Tomato spotted wilt virus Epidemics in the Field.
Phytopathology 90 : 139-147.
Hoffmann, K., S.M. Geske, J.W. Moyer. 1998. Pathogenesis of
Tomato Spotted Wilt Virus in Peanut Plants Dually Infected with Peanut Mottle
Virus. Plant Dis. 82 : 610-614.
Kokalis-Burell, N.,Porter, D.M.., Rodriguez-Kabana, R.,
Smith,D.H., Subrahmanyam, P. 1997. Compendium of Peanut Diseases. 2nd
Edition, APS Press.
Jain, R.K., S.S. Pappu, H.R. Pappu and A.K. Culbreath, J.W.
Todd. 1998. Molecular Diagnosis of Tomato Spotted Wilt Tospovirus Infection of
Peanut and Other Field and Greenhouse Crops. Plant Dis. 82 : 900-904.
Mandal, B., H.R. Pappu, A.K. Culbreath, C.C. Holbrook, D.W.
Gorbet, J.W. Todd. 2002. Differential Response of Selected Peanut (Arachis
hypogaea) Genoptypes to Mechanical Inoculation by Tomato spotted wilt virus.
Plant Dis. 86 : 939-944.
Mandal, B., H.R. Pappu, A.K. Culbreath. 2001. Factors Affecting
Mechanical Transmission of Tomato spotted wilt virus to Peanut (Arachis
hypogaea). Plant Dis. 85 : 1259-1263.
Nagata, T., A.K. Inoue-Nagata, M. Prins, R. Goldbach, D. Peters.
2000. Impeded Thrips Transmission of Defective Tomato spotted wilt virus
Isolates. Phytopathology 90 : 454-459.
Ohnishi, J., L.M. Knight, D. Hosokawa, I. Fujisawa, S. Tsuda.
2001. Replication of Tomato spotted wilt virus After Ingestion by Adult Thrips
setosus is Restricted to Midgut Ephithelial Cells. Phytopathology 91 :
1149-1155.
Williams, L.V., P.M. Lopez Lambertini, K. Shohara, E.B.
Biderbost. 2001. Occurrence and Geographical Distribution of Tospovirus Species
Infecting Tomato Crops in Argentina. Plant Dis. 85 : 1227-1229.