© 2002 Eko
Kuswanto Posted 26
November, 2002
Makalah Pengantar
Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana
/ S3
Institut Pertanian Bogor
November 2002
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Zahrial Coto
Dr. Bambang Purwantara
BIOIMPERIALISME:
ANCAMAN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI
Oleh:
E061020091/IPK
E-mail: ekuswanto@hotmail.com
PENDAHULUAN
Salah satu krisis terbesar yang kini dihadapi dunia
adalah krisis keragaman di berbagai bidang.
Krisis ini terjadi akibat arus globalisasi dan efisiensi yang menuntut
keseragaman. Contoh paling jelas adalah
kehidupan di kota-kota besar atau metropolitan seperti di Jakarta. Kini, Jakarta telah kehilangan cirinya dan
tidak berbeda dari Tokyo ataupun New York karena pola pembangunan kota dan
arsitektur bangunan yang serupa, gaya hidup dan penampilan kawula mudanya yang
sulit dibedakan, hingga sampai ke jenis makanan modern yang mendominasi,
diantaranya ayam goreng ala Amerika dan burger. Keragaman kini dianggap sebagai inefisien
dan primitif, sementara keseragaman adalah efisien dan modern.
Hal serupa terjadi di bidang keragaman hayati (biological diversity atau sering
diistilahkan sebagai keanekaragaman hayati).
Keragaman hayati mencakup keragaman ekosistem (habitat), keragaman
spesies (jenis), dan keragaman genetika (keragaman sifat dalam satu
spesies). Keragaman hayati adalah
tulang punggung kehidupan baik dari segi ekologi, sosial, maupun budaya. Sayangnya proses penyeragaman kini sudah
melanda sehingga menciutkan keragaman genetik yang dulu justru menjadi kearifan
nenek moyang kita.
KERAGAMAN HAYATI
Menurut Shiva (1994), keragaman adalah karakteristik alam
dan merupakan dasar kestabilan ekologi.
Keragaman ekosistem
menciptakan keragaman bentuk-bentuk kehidupan dan keragaman budaya. Keragaman budaya dan keragaman hayati
idealnya berjalan seiring.
Keragaman hayati paling tinggi terdapat di
negara-negara Dunia Ketiga (juga dikenal sebagai negara-negara Selatan) yang
kebanyakan berada di wilayah tropik.
Hutan di
Indonesia penting bagi kehidupan di muka bumi.
Hutan berfungsi sebagai sumber energi bumi dan memainkan peranan penting
sebagai pengendali cuaca dan pengatur berbagai siklus air. Hutan juga menjadi sumber berbagai
makanan dan obat-obatan penting.
Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis,
yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga
termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan
liarnya. Dahulu sebagian besar dari
Indonesia tertutup oleh hutan hujan tropis.
Kini meski sebagian besar dari hutan ini sudah punah, Indonesia tetap
memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia Pasifik, yaitu
diperkirakan 1.148.400 kilometer persegi. Hutan
Hutan
Hasil
investigasi baru-baru ini mengindikasikan bahwa sekitar 40 juta penduduk
Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai
81.000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki
pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem
kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung
kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar.
Perairan pesisir
Penduduk
KRISIS KERAGAMAN HAYATI
DAN DAMPAK EROSINYA
Keragaman kini mulai mengalami
berbagai erosi. Perusakan habitat telah
mengganggu ekosistem yang pada gilirannya mengancam berbagai spesies. Eksploitasi spesies flora dan fauna berlebihan
menimbulkan kelangkaan dan kepunahan spesies.
Sementara penyeragaman varietas tanaman dan ras hewan budidaya
menimbulkan erosi genetika. Kesemuanya
ini menimbulkan krisis keragaman hayati.
Pada tingkat dunia, angka kepunahan spesies sungguh luar biasa
dan menggelisahkan. Pada tahun 1988,
Selain itu, kini kita sudah jarang melihat buah-buahan seperti
duwet, gandaria, kepel, kecapi dan yang lain, sementara pasar kita dibanjiri
apel, anggur, jeruk, dan buah persik impor.
Demikian pula kita hampir tidak pernah melihat lagi pepaya lokal karena
sudah digantikan dengan satu jenis
Penyeragaman seperti yang
diungkapkan di atas dianggap penting dari segi ekonomi dan efisiensi. Padahal penyeragaman bukannya tanpa
risiko. Selain menggusur
varietas-varietas tradisional yang pada akhirnya membuat bahan
Di sektor kehutanan, tanaman pohon
yang beragam diganti dengan satu jenis eukaliptus atau akasia dalam program
Hutan Tanaman Industri. Pada tahun
1984, sebuah perusahaan HTI mengalami kerugian karena serangan
Erosi keragaman hayati menimbulkan
dampak sosial dan ekologi yang cukup serius karena keragaman adalah dasar
stabilitas sosial dan ekologi. Sistem sosial
dan ekonomi tanpa keragaman akan mudah rusak dan runtuh. Sistem yang seragam diibaratkan sebagai
lahan homogen yang luas seperti
Pada tahun 1966, International Rice Research Institute (IRRI)
memperkenalkan sebuah varietas padi "ajaib" yaitu IR-8, yang dengan
cepat ditanam di seluruh
Varietas "ajaib" telah menggusur keragaman tanaman
pertanian tradisional. Melalui erosi
keragaman, benih baru tersebut menjadi sarana untuk memperkenalkan dan membantu
penyebaran serangga. Varietas asli atau
tradisional tahan terhadap penyakit dan serangga lokal. Meskipun penyakit tertentu muncul, beberapa
galur mungkin terjangkit, sementara yang lainnya mempunyai ketahanan untuk
tetap hidup. Rotasi tanaman pertanian
juga dapat membantu mengendalikan serangga karena banyak serangga bersifat
spesifik terhadap tanaman tertentu, menamam tanaman pertanian pada musim yang
berbeda dan tahun yang berbeda menyebabkan penurunan besar dalam populasi
serangga. Sebaliknya, menanam tanaman
yang sama di lahan yang luas, tahun demi tahun akan meningkatkan populasi
serangga. Karenanya penanaman
berdasarkan keragaman telah menciptakan sistem perlindungannya sendiri.
Keragaman memungkinkan adanya ruang ekologi untuk saling memberi
dan menerima, untuk saling menguntungkan.
Kerusakan keragaman berkaitan dengan terciptanya monokultur. Dengan adanya monokultur tersebut,
organisasi sistem-sistem yang memiliki pengaturannya sendiri dan
terdesentralisasi digantikan oleh input dan kendali terpusat dari luar. Secara ekologis keberlanjutan dan keragaman
saling terkait karena keragaman menawarkan penggandaan interaksi yang dapat
mengakhiri kerusakan ekologi di suatu bagian sistem. Ketidakberlanjutan dan keseragaman berarti bahwa gangguan pada
suatu bagian ditafsirkan sebagai gangguan pada seluruh bagian lain. Maka destabilisasi ekologi cenderung
diperbesar, bukan ditampung.
Erat kaitannya dengan keragaman dan keseragaman adalah isu
produktivitas. Hasil dan produksi yang
lebih tinggi merupakan dorongan dan alasan utama bagi pengenalan keseragaman
dan proses rekayasa. Dengan munculnya bioteknologi
baru dan digantinya produk-produk biologis dari tanaman pertanian oleh produk
substitusi yang dihasilkan industri, kerusakan ekonomi dan sosial yang parah di
negara-negara berkembang tinggal menunggu waktu.
BIOIMPERIALISME DAN HAK
MILIK INTELEKTUAL
Dampak kolonialisme pada
keragaman hayati adalah sisi yang hampir tidak pernah dibahas dalam sejarah
dunia. Dalam kaitan ini Shiva
menyatakan penjarahan keragaman hayati negara-negara Selatan oleh Utara sudah
dimulai sejak
Dalam bioimperialisme masa kini, kekerasan fisik sudah tidak
berlaku tetapi Utara tetap berhasil mengendalikan keragaman hayati Selatan
melalui pengenalan monokultur secara besar-besaran: Revolusi Hijau di sektor
pertanian, Revolusi Putih di sektor persusuan, dan Revolusi Biru di sektor
perikanan. Ketiga revolusi ini
merupakan teknik budidaya dimana sistem budidaya tradisional yang beragam
digusur oleh sistem budidaya monokultur dengan keseragaman hayati.
Menurut Shiva, monokultur ini pertama kali diperkenalkan melalui
Revolusi Hijau yang dipelopori oleh lembaga riset pertanian internasional di
bawah kendali CGIAR atau Kelompok Konsultatif Penelitian Pertanian
Internasional yang dibentuk Bank Dunia pada tahun 1970. Revolusi Hijau
dalam bidang padi memperkenalkan varietas-varietas padi unggul yang seragam,
seperti padi varietas PB. Di Indonesia,
dalam 20 tahun terakhir ini paling tidak 1500 varietas padi tradisional telah
punah sebagai akibat Revolusi Hijau.
Selain itu, dalam Revolusi Hijau petani kehilangan kendali atas benih
karena setiap kali akan menanam harus membeli benih dari perusahaan-perusahaan
transnasional yang merangkap sebagai perusahaan agrokimia.
Perusahaan transnasional dan Utara yang menguasai
bioteknologi dan rekayasa genetika bisa memperoleh bahan mentah secara bebas
untuk direkayasa, sementara hasil rekayasa tersebut menjadi hak milik pribadi
mereka dan harus dibeli oleh petani di Selatan. Mereka dapat dengan leluasa menjarah tanaman obat di Selatan dan
kembali menjual obat-obatan dalam kemasan dengan harga mahal ke tempat asalnya:
Selatan atau negara Dunia Ketiga. Dalam
kaitan inilah Utara menganggap benih alami ataupun benih hasil pemuliaan para
petani dan masyarakat asli Dunia Ketiga sebagai "bahan mentah yang
primitif dan tak berharga" sementara benih unggul hasil rekayasa mereka
dianggap sebagai "komoditas yang bernilai tinggi".
Industri farmasi Utara juga telah
mendapatkan keuntungan dari koleksi bebas keragaman hayati daerah tropik. Nilai plasma nutfah Selatan bagi industri
farmasi diperkirakan mencapai US$ 47 milyar
pada dekade tahun 2000-an. Perusahaan
obat menyadari bahwa alam kaya akan sumberdaya yang dapat menghasilkan
keuntungan, karenanya mereka mulai mendambakan kekayaan hutan tropik basah yang
potensial sebagai sumber obat-obatan. Penelitian
dan pengumpulan bahan sumber obat meliputi tumbuhan, bakteri, ganggang, jamur,
protozoa, dan sejumlah besar organisme laut termasuk karang, bunga karang, dan
anemon.
Unsur paling
penting dalam imperialisme biologi adalah tekad Utara beserta perusahaan
transnasional untuk memberlakukan hak milik intelektual atas makhluk hidup
hasil rekayasa genetika. Dalam forum
internasional pun mereka memperjuangkan agar FAO mengakui keragaman hayati di
alam sebagai warisan universal
sehingga mereka bisa mendapatkannya secara bebas dan gratis.
Kerugian yang
diderita Selatan termasuk
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), selama 10 tahun belakangan ini rata-rata
persetujuan paten oleh peneliti Indonesia dibanding seluruh paten yang telah
dikeluarkan angkanya baru mencapai 3,5%.
Dengan demikian mayoritas pemilik paten selebihnya yang 96,5% berasal
dari negara-negara asing, terutama negara industri maju seperti Amerika Serikat,
Belanda, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Perancis, Singapura, Swiss,
dan Taiwan. Prestasi yang tergolong
tinggi yakni tahun 1999 ketika dari sejumlah total 739 paten adalah 88 atau 11%
yang didapat kalangan peneliti nasional.
Setahun sebelumnya angkanya 203 dari 1.987 atau 10%. Jumlah rata-rata persetujuan paten per tahun
adalah lebih dari 2.000 paten (Syukri, 2000).
Dengan
keunggulan Utara dalam perundingan-perundingan internasional, tidak mustahil
bioimperialisme ini akan dilembagakan seperti yang terjadi dalam perundingan
GATT (Persetujuan Umum untuk Tarif dan Perdagangan). Hak milik intelektual nampaknya hanya berlaku atas bentuk-bentuk
kehidupan yang direkayasa di laboratorium dari bahan-bahan mentah yang diambil
di alam kemudian dipatenkan. Sementara
itu petani Dunia Ketiga yang sudah berabad-abad memuliakan tanaman dan menjaga
keragaman hayati tidak akan pernah memperoleh hak milik intelektual.
Dalam Konvensi
Internasional untuk Keragaman Hayati memang disebutkan bahwa negara tempat asal
keragaman hayati akan diberi ganti rugi.
Namun pada praktiknya hal tersebut tidak berlaku karena banyak
perusahaan bioteknologi memilih menjarah keragaman hayati daripada menempuh
perundingan resmi dengan negara asal bahan tersebut.
BIODEMOKRASI:
SEBUAH SOLUSI PELESTARIAN KERAGAMAN HAYATI
Bioimperialisme
harus digantikan dengan demokrasi biologi atau biodemokrasi guna menyelesaikan
krisis keragaman hayati. Biodemokrasi
tidak hanya menuntut keadilan dan pemerataan dalam hubungan Utara-Selatan tetapi
juga menyiratkan hak inheren setiap makhluk hidup untuk mempertahankan
keberadaannya, sehingga manusia harus mencegah terjadinya kepunahan spesies
atau pun varietas. Biodemokrasi
mensyaratkan pengakuan atas hak masyarakat asli terhadap keragaman hayati dan
kontribusi mereka terhadap perlindungannya.
Pemerintah, industri, dan ilmuwan
Pendekatan yang adil terhadap
pelestarian keragaman hayati yang berkelanjutan secara ekologis dimulai dengan
menghentikan dan membalikkan ancaman utama terhadap keragaman hayati. Hal ini meliputi menghentikan bantuan dan
insentif bagi perusakan habitat secara besar-besaran tempat berkembangnya
keragaman hayati serta menghentikan subsidi dan dukungan publik bagi
penggusuran keragaman oleh sistem produksi kehutanan, pertanian, perikanan, dan
peternakan yang terpusat dan homogen. Karena
laju perusakan ini berasal dari bantuan dan dana internasional, awal untuk
menghentikan kerusakan keragaman hayati serta langkah awal pelestarian harus
dimulai pada tingkat tersebut. Dukungan
harus diberikan kepada cara hidup dan sistem produksi yang berlandaskan
pelestarian keragaman hayati yang justru telah dimarjinalisasi oleh pola
pembangunan yang dominan.
REFERENSI
Azariah, Jayapaul.
Biopiracy, Environment, Culture.
http://www.intelliwareint.com/gls-cdrom/GLSPapers/Azariah.htm,
dikunjungi
BSP Kemala. Kekayaan yang Harus Dijaga: Keragaman Hayati
Kimbrell, Andrew. Replace Biopiracy with Biodemocracy. http://www.ratical.org/co-globalize/ReplaceBPwBD.html, dikunjungi
Ministry of National
Development Planning/National Development Planning Agency. 1993.
Biodiversity Action Plan for
Ministry of Population and Environment
of the Government of
Sastradipradja,
S. dan M.A. Rifai. 1989.
Mengenal Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nutfahnya. Puslitbang Bioteknologi, LIPI,
Shiva, V. and
Shiva,
Vandana. 1994. Keragaman Hayati: Dari Bioimperialisme ke
Biodemokrasi. Gramedia Pustaka Utama.
Syukri, Agus Fanar.
2000. HAKI: The
Basis of National Science and Technology Development. Proceedings
of the 9th Scientific Meeting Tahun 2000.
Wolfson, Adam. Biodemocracy in