© 2002 Eko Kuswanto                                                                             Posted  26 November, 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2002

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)                                                       

Prof. Dr. Zahrial Coto

Dr. Bambang Purwantara

 

 

 

BIOIMPERIALISME: ANCAMAN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI INDONESIA

 

 

 

 

Oleh:

 

Eko Kuswanto

E061020091/IPK

E-mail:  ekuswanto@hotmail.com

 

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Salah satu krisis terbesar yang kini dihadapi dunia adalah krisis keragaman di berbagai bidang.  Krisis ini terjadi akibat arus globalisasi dan efisiensi yang menuntut keseragaman.  Contoh paling jelas adalah kehidupan di kota-kota besar atau metropolitan seperti di Jakarta.  Kini, Jakarta telah kehilangan cirinya dan tidak berbeda dari Tokyo ataupun New York karena pola pembangunan kota dan arsitektur bangunan yang serupa, gaya hidup dan penampilan kawula mudanya yang sulit dibedakan, hingga sampai ke jenis makanan modern yang mendominasi, diantaranya ayam goreng ala Amerika dan burger.  Keragaman kini dianggap sebagai inefisien dan primitif, sementara keseragaman adalah efisien dan modern. 

Hal serupa terjadi di bidang keragaman hayati (biological diversity atau sering diistilahkan sebagai keanekaragaman hayati).  Keragaman hayati mencakup keragaman ekosistem (habitat), keragaman spesies (jenis), dan keragaman genetika (keragaman sifat dalam satu spesies).  Keragaman hayati adalah tulang punggung kehidupan baik dari segi ekologi, sosial, maupun budaya.  Sayangnya proses penyeragaman kini sudah melanda sehingga menciutkan keragaman genetik yang dulu justru menjadi kearifan nenek moyang kita.

 

 

KERAGAMAN HAYATI INDONESIA

 

Menurut Shiva (1994), keragaman adalah karakteristik alam dan merupakan dasar kestabilan ekologi.  Keragaman ekosistem menciptakan keragaman bentuk-bentuk kehidupan dan keragaman budaya.  Keragaman budaya dan keragaman hayati idealnya berjalan seiring. 

Keragaman hayati paling tinggi terdapat di negara-negara Dunia Ketiga (juga dikenal sebagai negara-negara Selatan) yang kebanyakan berada di wilayah tropik.  Indonesia adalah salah satu pusat keragaman hayati terkaya di dunia.   Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya.  Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia.  Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik.  Indonesia juga memiliki keragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amfibi, 17 persen dari seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.  Satu hal yang membuat hidupan liar Indonesia demikian menarik adalah tingkat endemisnya yang begitu tinggi.  Banyak pulau terisolir untuk waktu yang lama, mengakibatkan evolusi berbagai spesies baru yang berbeda dibanding dengan yang ada di pulau lain.

Hutan di Indonesia penting bagi kehidupan di muka bumi.  Hutan berfungsi sebagai sumber energi bumi dan memainkan peranan penting sebagai pengendali cuaca dan pengatur berbagai siklus air.  Hutan juga menjadi sumber berbagai makanan dan obat-obatan penting.  Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya.   Dahulu sebagian besar dari Indonesia tertutup oleh hutan hujan tropis.  Kini meski sebagian besar dari hutan ini sudah punah, Indonesia tetap memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia Pasifik, yaitu diperkirakan 1.148.400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keragaman hayatinya di dunia.

Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palem (447 spesies, 225 diantaranya tidak terdapat di bagian dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarpaceae (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia tenggara), dan diperkirakan mengandung 25.000 spesies tumbuhan berbunga.  Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya di dunia untuk mamalia (515 spesies, 36% diantaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% diantaranya endemik), ketiga terkaya di dunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% diantaranya endemik), kelima untuk amfibi (270 spesies), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.

Hasil investigasi baru-baru ini mengindikasikan bahwa sekitar 40 juta penduduk Indonesia, tergantung pada keragaman hayati secara langsung untuk hidupnya. Dari jumlah ini, 12 juta orang merupakan masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Hidup di lingkungan hutan selama berabad-abad, masyarakat-masyarakat adat di Indonesia telah mengembangkan kearifan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.  Mereka sadar betul bahwa kelangsungan hidup mereka sendiri tergantung pada kelangsungan ketersediaan makanan untuk diburu dan dikumpulkan.  Membantu untuk melestarikan budaya dan cara hidup mereka sama pentingnya dan sangat erat kaitannya dengan pelestarian keragaman hayati di Indonesia.

Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81.000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia.  Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia.  Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar.  Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia.  Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia).  Sedangkan lautan biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme terumbu karang yang lain.

Perairan pesisir Indonesia menjadi sumber makanan bagi sejumlah besar mamalia laut, reptil, ikan, dan burung-burung yang tinggal maupun burung-burung yang bermigrasi.  Zona-zona pesisir juga memberikan berbagai manfaat bagi penduduk yang tinggal di kawasan ini.  Kawasan pesisir yang dangkal dengan terumbu karang di lepas pantai dan pantai yang ditumbuhi hutan bakau melindungi garis pantai dari dampak negatif pasangnya laut dan badai.  Secara tradisional terumbu karang di Indonesia menjadi sumber makanan yang sangat penting bagi masyarakat pesisir.  Di masa lalu tradisi ini dilakukan secara lestari dan berkelanjutan, ada berbagai ritual dan pamali yang umum diberlakukan pada tempat-tempat di mana sumberdaya laut dimanfaatkan.  Di Sangihe Talaud misalnya, kawasan tangkap seorang anggota masyarakat adat akan menjadi kawasan lindung untuk masa tertentu setelah kematiannya.

Penduduk Indonesia dijumpai dalam konsentrasi yang padat di kawasan pesisir.  Estimasi saat ini menunjukkan adanya 7.100 komunitas, banyak diantaranya hidup dari upaya menangkap ikan secara tradisional di perairan dekat pantai.  Kini masyarakat ini terancam oleh penangkapan ikan oleh kapal-kapal besar dari Indonesia maupun kapal asing, pengumpulan karang, dan juga penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit.

 

KRISIS KERAGAMAN HAYATI DAN DAMPAK EROSINYA

 

Keragaman kini mulai mengalami berbagai erosi.  Perusakan habitat telah mengganggu ekosistem yang pada gilirannya mengancam berbagai spesies.  Eksploitasi spesies flora dan fauna berlebihan menimbulkan kelangkaan dan kepunahan spesies.  Sementara penyeragaman varietas tanaman dan ras hewan budidaya menimbulkan erosi genetika.  Kesemuanya ini menimbulkan krisis keragaman hayati. 

Pada tingkat dunia, angka kepunahan spesies sungguh luar biasa dan menggelisahkan.  Pada tahun 1988, Wilson dalam Shiva memperkirakan bahwa rata-rata kepunahan spesies mencapai 1000 per tahun.  Bumi ini diperkirakan dihuni oleh 30 juta spesies hewan dan tumbuhan.  Seperempatnya diperkirakan telah punah pada tahun 2000.  Kepunahan varietas suatu spesies tanaman atau ras hewan lebih sukar diperkirakan.  Di Indonesia, kepunahan harimau Jawa sudah sering menjadi bahan diskusi mengenai krisis lingkungan dan keragaman hayati.  Selain itu, the Red Data Books of IUCN dan ICBP menyatakan bahwa 126 burung, 63 mamalia, 21 reptilia, dan 65 spesies hewan Indonesia lainnya kini terancam punah. 

Selain itu, kini kita sudah jarang melihat buah-buahan seperti duwet, gandaria, kepel, kecapi dan yang lain, sementara pasar kita dibanjiri apel, anggur, jeruk, dan buah persik impor.  Demikian pula kita hampir tidak pernah melihat lagi pepaya lokal karena sudah digantikan dengan satu jenis Bangkok.  Durian lambat laun akan mengalami hal yang sama karena durian Bangkok pun mulai digemari.  Di sektor pertanian, ribuan varietas padi kini digantikan dengan hanya beberapa puluh varietas padi unggul yang umum dikenal sebagai padi IR atau PB. 

Penyeragaman seperti yang diungkapkan di atas dianggap penting dari segi ekonomi dan efisiensi.  Padahal penyeragaman bukannya tanpa risiko.  Selain menggusur varietas-varietas tradisional yang pada akhirnya membuat bahan baku pemuliaan hewan atau tanaman menjadi langka, penyeragaman juga rentan terhadap hama.  Kita masih ingat tragedi serangan hama wereng pada pertengahan tahun 1970-an yang menimbulkan banyak kerugian bagi petani maupun negara. 

Di sektor kehutanan, tanaman pohon yang beragam diganti dengan satu jenis eukaliptus atau akasia dalam program Hutan Tanaman Industri.  Pada tahun 1984, sebuah perusahaan HTI mengalami kerugian karena serangan hama menyebabkan sebagian besar pohon tersebut mati.  Kasus serangan hama lain yang terkenal adalah serangan kutu loncat pada tanaman lamtoro gung.  Tanaman ini diperkenalkan dari Hawaii ke Indonesia bagian Timur dengan tujuan baik yaitu untuk konservasi lahan dan menyediakan pakan ternak, tetapi karena ditanam dalam sistem monokultur maka lamtor gung tidak mampu menahan serangan hama tersebut.

Erosi keragaman hayati menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang cukup serius karena keragaman adalah dasar stabilitas sosial dan ekologi.   Sistem sosial dan ekonomi tanpa keragaman akan mudah rusak dan runtuh.  Sistem yang seragam diibaratkan sebagai lahan homogen yang luas seperti padang rumput kering yang sedang menunggu percikan api yang akan membakarnya.  Hasil penelitian Akademi Ilmu Nasional tentang Kerapuhan Genetik Tanaman Pertanian Utama menyatakan bahwa tanaman jagung menjadi wabah penyakit jamur Helminthosporium maydis di Amerika tahun 1970-an karena kekhususan dalam teknologi yang telah merancang kembali tanaman jagung Amerika sehingga mereka tampak seperti kembar identik.  Apa yang membuat sebatang tanaman rapuh, akan membuat seluruh populasi mudah rapuh pula.

Pada tahun 1966, International Rice Research Institute (IRRI) memperkenalkan sebuah varietas padi "ajaib" yaitu IR-8, yang dengan cepat ditanam di seluruh Asia.  IR-8 ternyata mudah diserang oleh berbagai jenis serangga dan penyakit.  Pada tahun 1968 dan 1969, padi ini diserang penyakit bakteri.  Lalu pada 1970 dan 1971 jenis padi tersebut diserang wabah penyakit tropik lainnya yang disebut tungro (wereng).  Pada tahun 1975, para petani di Indonesia kehilangan setengah juta hektar padi varietas Revolusi Hijau akibat serangan belalang daun.   Pada tahun 1977, IR-36 dikembangkan agar resisten terhadap 8 jenis serangga dan penyakit utama termasuk bakteri dan tungro.  Ternyata padi tersebut justru terserang oleh dua virus baru yang disebut ragged stunt dan wilted stunt.

Varietas "ajaib" telah menggusur keragaman tanaman pertanian tradisional.  Melalui erosi keragaman, benih baru tersebut menjadi sarana untuk memperkenalkan dan membantu penyebaran serangga.  Varietas asli atau tradisional tahan terhadap penyakit dan serangga lokal.  Meskipun penyakit tertentu muncul, beberapa galur mungkin terjangkit, sementara yang lainnya mempunyai ketahanan untuk tetap hidup.  Rotasi tanaman pertanian juga dapat membantu mengendalikan serangga karena banyak serangga bersifat spesifik terhadap tanaman tertentu, menamam tanaman pertanian pada musim yang berbeda dan tahun yang berbeda menyebabkan penurunan besar dalam populasi serangga.  Sebaliknya, menanam tanaman yang sama di lahan yang luas, tahun demi tahun akan meningkatkan populasi serangga.  Karenanya penanaman berdasarkan keragaman telah menciptakan sistem perlindungannya sendiri.

Keragaman memungkinkan adanya ruang ekologi untuk saling memberi dan menerima, untuk saling menguntungkan.  Kerusakan keragaman berkaitan dengan terciptanya monokultur.  Dengan adanya monokultur tersebut, organisasi sistem-sistem yang memiliki pengaturannya sendiri dan terdesentralisasi digantikan oleh input dan kendali terpusat dari luar.  Secara ekologis keberlanjutan dan keragaman saling terkait karena keragaman menawarkan penggandaan interaksi yang dapat mengakhiri kerusakan ekologi di suatu bagian sistem.  Ketidakberlanjutan dan keseragaman berarti bahwa gangguan pada suatu bagian ditafsirkan sebagai gangguan pada seluruh bagian lain.  Maka destabilisasi ekologi cenderung diperbesar, bukan ditampung. 

Erat kaitannya dengan keragaman dan keseragaman adalah isu produktivitas.  Hasil dan produksi yang lebih tinggi merupakan dorongan dan alasan utama bagi pengenalan keseragaman dan proses rekayasa.  Dengan munculnya bioteknologi baru dan digantinya produk-produk biologis dari tanaman pertanian oleh produk substitusi yang dihasilkan industri, kerusakan ekonomi dan sosial yang parah di negara-negara berkembang tinggal menunggu waktu.

 

 

BIOIMPERIALISME DAN HAK MILIK INTELEKTUAL

 

Dampak  kolonialisme pada keragaman hayati adalah sisi yang hampir tidak pernah dibahas dalam sejarah dunia.  Dalam kaitan ini Shiva menyatakan penjarahan keragaman hayati negara-negara Selatan oleh Utara sudah dimulai sejak Columbus menapakkan kaki di Amerika yang menandai era kolonialisme dengan kekerasan.   Penjarahan keragaman hayati Selatan ini diistilahkan oleh Shiva sebagai imperialisme biologi atau bioimperialisme yang berlangsung hingga kini.

Dalam bioimperialisme masa kini, kekerasan fisik sudah tidak berlaku tetapi Utara tetap berhasil mengendalikan keragaman hayati Selatan melalui pengenalan monokultur secara besar-besaran: Revolusi Hijau di sektor pertanian, Revolusi Putih di sektor persusuan, dan Revolusi Biru di sektor perikanan.  Ketiga revolusi ini merupakan teknik budidaya dimana sistem budidaya tradisional yang beragam digusur oleh sistem budidaya monokultur dengan keseragaman hayati.

Menurut Shiva, monokultur ini pertama kali diperkenalkan melalui Revolusi Hijau yang dipelopori oleh lembaga riset pertanian internasional di bawah kendali CGIAR atau Kelompok Konsultatif Penelitian Pertanian Internasional yang dibentuk Bank Dunia pada tahun 1970.  Revolusi Hijau dalam bidang padi memperkenalkan varietas-varietas padi unggul yang seragam, seperti padi varietas PB.  Di Indonesia, dalam 20 tahun terakhir ini paling tidak 1500 varietas padi tradisional telah punah sebagai akibat Revolusi Hijau.  Selain itu, dalam Revolusi Hijau petani kehilangan kendali atas benih karena setiap kali akan menanam harus membeli benih dari perusahaan-perusahaan transnasional yang merangkap sebagai perusahaan agrokimia.

Perusahaan transnasional dan Utara yang menguasai bioteknologi dan rekayasa genetika bisa memperoleh bahan mentah secara bebas untuk direkayasa, sementara hasil rekayasa tersebut menjadi hak milik pribadi mereka dan harus dibeli oleh petani di Selatan.  Mereka dapat dengan leluasa menjarah tanaman obat di Selatan dan kembali menjual obat-obatan dalam kemasan dengan harga mahal ke tempat asalnya: Selatan atau negara Dunia Ketiga.  Dalam kaitan inilah Utara menganggap benih alami ataupun benih hasil pemuliaan para petani dan masyarakat asli Dunia Ketiga sebagai "bahan mentah yang primitif dan tak berharga" sementara benih unggul hasil rekayasa mereka dianggap sebagai "komoditas yang bernilai tinggi". 

Industri farmasi Utara juga telah mendapatkan keuntungan dari koleksi bebas keragaman hayati daerah tropik.  Nilai plasma nutfah Selatan bagi industri farmasi diperkirakan mencapai US$ 47 milyar  pada dekade tahun 2000-an.  Perusahaan obat menyadari bahwa alam kaya akan sumberdaya yang dapat menghasilkan keuntungan, karenanya mereka mulai mendambakan kekayaan hutan tropik basah yang potensial sebagai sumber obat-obatan.   Penelitian dan pengumpulan bahan sumber obat meliputi tumbuhan, bakteri, ganggang, jamur, protozoa, dan sejumlah besar organisme laut termasuk karang, bunga karang, dan anemon. 

Unsur paling penting dalam imperialisme biologi adalah tekad Utara beserta perusahaan transnasional untuk memberlakukan hak milik intelektual atas makhluk hidup hasil rekayasa genetika.  Dalam forum internasional pun mereka memperjuangkan agar FAO mengakui keragaman hayati di alam sebagai warisan universal sehingga mereka bisa mendapatkannya secara bebas dan gratis.

Kerugian yang diderita Selatan termasuk Indonesia dalam hal hak milik intelektual sangat berkaitan dengan lamban dan lemahnya sistem hak paten dan hak  atas kekayaan intelektual di dalam negeri.  Padahal ini sangat penting, tidak hanya memperlancar memasuki pasar global, sekaligus melindungi nilai-nilai seni budaya warisan turun temurun serta karya anak bangsa.   Kasus eksistensi kain batik dan jamu tradisional yang telah menjadi hak paten pengusaha Malaysia, kepemilikan hak paten atas makanan tempe oleh pengusaha Jepang, dan hak paten makanan tahu oleh pengusaha Cina seharusnya bisa menjadi pelajaran tersendiri.

           Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), selama 10 tahun belakangan ini rata-rata persetujuan paten oleh peneliti Indonesia dibanding seluruh paten yang telah dikeluarkan angkanya baru mencapai 3,5%.  Dengan demikian mayoritas pemilik paten selebihnya yang 96,5% berasal dari negara-negara asing, terutama negara industri maju seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Perancis, Singapura, Swiss, dan Taiwan.   Prestasi yang tergolong tinggi yakni tahun 1999 ketika dari sejumlah total 739 paten adalah 88 atau 11% yang didapat kalangan peneliti nasional.  Setahun sebelumnya angkanya 203 dari 1.987 atau 10%.  Jumlah rata-rata persetujuan paten per tahun adalah lebih dari 2.000 paten (Syukri, 2000).

Dengan keunggulan Utara dalam perundingan-perundingan internasional, tidak mustahil bioimperialisme ini akan dilembagakan seperti yang terjadi dalam perundingan GATT (Persetujuan Umum untuk Tarif dan Perdagangan).  Hak milik intelektual nampaknya hanya berlaku atas bentuk-bentuk kehidupan yang direkayasa di laboratorium dari bahan-bahan mentah yang diambil di alam kemudian dipatenkan.  Sementara itu petani Dunia Ketiga yang sudah berabad-abad memuliakan tanaman dan menjaga keragaman hayati tidak akan pernah memperoleh hak milik intelektual. 

Dalam Konvensi Internasional untuk Keragaman Hayati memang disebutkan bahwa negara tempat asal keragaman hayati akan diberi ganti rugi.  Namun pada praktiknya hal tersebut tidak berlaku karena banyak perusahaan bioteknologi memilih menjarah keragaman hayati daripada menempuh perundingan resmi dengan negara asal bahan tersebut.

 

 

BIODEMOKRASI: SEBUAH SOLUSI PELESTARIAN KERAGAMAN HAYATI

 

           Bioimperialisme harus digantikan dengan demokrasi biologi atau biodemokrasi guna menyelesaikan krisis keragaman hayati.  Biodemokrasi tidak hanya menuntut keadilan dan pemerataan dalam hubungan Utara-Selatan tetapi juga menyiratkan hak inheren setiap makhluk hidup untuk mempertahankan keberadaannya, sehingga manusia harus mencegah terjadinya kepunahan spesies atau pun varietas.  Biodemokrasi mensyaratkan pengakuan atas hak masyarakat asli terhadap keragaman hayati dan kontribusi mereka terhadap perlindungannya.

           Indonesia dan negara-negara Selatan harus melindungi hak-hak rakyatnya dan hak semua makhluk hidup dari pengikisan oleh industri yang menginginkan adanya hak pribadi atas kepemilikan makhluk hidup.  Hak atas keragaman hayati adalah hak kedaulatan setiap negara.  Dengan mendukung dan melindungi hak-hak demokrasi atas masyarakat dan keragaman hayatinya maka negara-neara Selatan dapat melindungi kedaulatan negara mereka.  Jika pemerintah Dunia Ketiga justru bersekutu dengan perusahaan transnasional dan Utara dalam mengikis keragaman hayati maka perusakan keragaman hayati tidak akan dapat dicegah.

Pemerintah, industri, dan ilmuwan Indonesia harus menghargai pengetahuan masyarakat asli dari berbagai suku serta mengakui sumbangan mereka terhadap pelestarian plasma nutfah.  Sementara itu, pengawasan dan penerapan hukum oleh aparat pemerintah harus lebih kuat sehingga penjarahan plasma nutfah tidak terjadi.   Menurut Herwasono Soedjito, biolog dari LIPI, koleksi plasma nutfah mangga Indonesia justru berada di Puerto Rico, tanpa diketahui bagaimana hal itu bisa terjadi.  Hal ini belum mencakup kasus penjarahan lain yang belum  terungkap atau bahkan belum diketahui pihak yang berwenang.  Penjarahan keragaman hayati dapat dicegah jika masyarakat setempat dilibatkan sebagai pemiliknya.  Jika pemerintah ingin mempertahankan hak kedaulatan dan kendali atas keragaman hayati maka mereka harus melindungi hak-hak rakyatnya atas sumberdaya hayati tersebut.

Pendekatan yang adil terhadap pelestarian keragaman hayati yang berkelanjutan secara ekologis dimulai dengan menghentikan dan membalikkan ancaman utama terhadap keragaman hayati.  Hal ini meliputi menghentikan bantuan dan insentif bagi perusakan habitat secara besar-besaran tempat berkembangnya keragaman hayati serta menghentikan subsidi dan dukungan publik bagi penggusuran keragaman oleh sistem produksi kehutanan, pertanian, perikanan, dan peternakan yang terpusat dan homogen.  Karena laju perusakan ini berasal dari bantuan dan dana internasional, awal untuk menghentikan kerusakan keragaman hayati serta langkah awal pelestarian harus dimulai pada tingkat tersebut.  Dukungan harus diberikan kepada cara hidup dan sistem produksi yang berlandaskan pelestarian keragaman hayati yang justru telah dimarjinalisasi oleh pola pembangunan yang dominan.

 

 

REFERENSI

 

Azariah, Jayapaul.  Biopiracy, Environment, Culture.  http://www.intelliwareint.com/gls-cdrom/GLSPapers/Azariah.htm, dikunjungi 22 November 2002.

 

BSP Kemala.  Kekayaan yang Harus Dijaga: Keragaman Hayati Indonesia.  http://www.bsp-kemala.or.id/bahasa/kenapa.htm, dikunjungi 24 November 2002. 

Kimbrell, Andrew.  Replace Biopiracy with Biodemocracy.  http://www.ratical.org/co-globalize/ReplaceBPwBD.html, dikunjungi 22 November 2002.

 

Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency.  1993.  Biodiversity Action Plan for Indonesia.  Jakarta.

 

Ministry of Population and Environment of the Government of Indonesia.  1989.  National Strategy for the Management of Biodiversity.

 

Sastradipradja, S. dan M.A. Rifai.  1989.  Mengenal Sumber Pangan Nabati dan Plasma Nutfahnya.  Puslitbang Bioteknologi, LIPI, Bogor.

 

Shiva, V. and Hudson.  2000.  Tomorrow's Biodiversity.  http://www.mindfully.org/GE/Tomorrows-Biodiversity-Shiva.htm, dikunjungi 22 November 2002.

 

Shiva, Vandana.  1994.  Keragaman Hayati: Dari Bioimperialisme ke Biodemokrasi.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.  49 halaman.

 

Surabaya Post.  Edisi 17/04/2001.  Kiat Jatim Memberdayakan Usaha Kecil: Bentuk Jaring Informasi untuk Tangkap Peluang. http://www.otoda.or.id, dikunjungi 24 November 2002.

Syukri, Agus Fanar.  2000.  HAKI: The Basis of National Science and Technology Development.  Proceedings of the 9th Scientific Meeting Tahun 2000.

 

Wolfson, Adam.  Biodemocracy in America.  http://www.thepublicinterest.com/archives/2002winter/article2.html, dikunjungi 22 November 2002.