©
2002 Dwi Hastuti Martianto Posted: 15 December, 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
December
2002
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr
Bambang Purwantara
PENDIDIKAN KARAKTER:
PARADIGMA BARU DALAM PEMBENTUKAN MANUSIA
BERKUALITAS
(CHARACTER EDUCATION:
NEW PARADIGM TO HUMAN CAPACITY
BUILDING)
Oleh:
E-mail: tutimartianto@yahoo.com
Demoralization
related by loss of individual self (the light side) and won of individual ego
(the darkness side). It is caused by the breakdown of family and the weakness
of moral standard and ethical instruction about right or wrong in family and
society. Although poverty and low
law-enforcement also correlated with crime and demoralization but the role of
family and school are significantly important.
Character education have major role to develop individual man into a man
that knowing the good, feeling the good, loving the good, desiring the good,
and acting the good. Therefore family
and school should give hand in hand through practice and habituation instead of
memorization to build human capacity building.
In light with this there should be a new paradigm in family and school
in Indonesia to educate individual into a man with character.
I.
I. KEJAHATAN
DAN DEMORALISASI UMAT MANUSIA
Tinjauan Teoritis Kejahatan Umat
Manusia
Individu disebut tidak bermoral (amoral) saat ia tidak mampu memberikan
penghargaan (respect) terhadap
dirinya sendiri dan orang lain dalam
perilaku kehidupan sehari-hari. Para
psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma
umumnya ini sebagai suatu “deviant
behavior”, atau “delinquent”,
misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas (aggressive) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak (destructive) (Wade and Tavris,
1990). Bentuk penyimpangan lainnya
adalah ketika individu mempunyai
perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku
antisosial (antisocial behavior),
dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat
ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum (graffiti), pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau
pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang
melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal
sebagai suatu kejahatan (crime).
Peperangan antara kebaikan dengan
kejahatan telah berlangsung cukup lama melalui periode pre modern, modern dan
post modern saat ini. Pembunuhan paling
primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan Nabi Isa
pada periode kekaisaran Romawi.
Kejahatan dan keborokan manusia juga telah didokumentasikan oleh gereja
katolik dan berbagai penulis misalnya Dante atau C.S. Lewis yang
menggolongkannya sebagai the capital of sin atau the
seven deadly sin. Dosa-dosa
manusia ini meskipun dalam Bible terserak
dan bukan merupakan daftar yang formal namun dapat digolongkan pada tujuh jenis
yaitu sloth (malas), pride (membanggakan diri), gluttony (rakus), greed (ketamakan) , envy (iri), , lust (nafsu, birahi) dan wrath (amarah). Sementara itu kebajikan
(virtue) sebagai perlambang dari lawan the
seven sin masing-masing adalah zeal
(semangat), humility (kerendahan
hati), faith and temperance
(kepercayaan, kesederhanaan, pantangan minuman keras), generosity (dermawan), love
(cinta), self control (kontrol diri),
dan kindness (kebaikan,kelembutan)[1]
Dalam
pandangan Nicolo Machiavelli (1469-1527) manusia itu pada dasarnya adalah
penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Sementara itu Thomas
Hobes (1588-1679) , mengatakan bahwa manusia itu mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri
dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus)[2]
Bapak
Psikologi dinamika seperti Freud (1856-1939) memandang bahwa manusia itu
bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar (“unconscious mind”), sehingga seringkali
manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Sebagai bapak psiko-sexual, Freud memandang
bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual (“sexual drive”) yang mengarah kepada
prinsip kesenangan (pleasure principle)
yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing.
Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku
manusia atas dasar prinsip realitas (reality
principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah
laku manusia atas dasar prinsip moral (morality
principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990).
Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia
berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya
lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan
super-egonya lebih dominan. Idenya yang
kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilku manusia yang menurutnya
didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Secara
spiritual maka kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk
mengendalikan nafsu (desires atau nafs),
motif (motives) dan alam bawah sadar
(unconscious mind) yang secara
naluriah dimiliki oleh setiap manusia.
Dalam pandangan agama kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan
simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani (conscience) dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang
menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol
kebaikan (the basic goodness) yang
secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, yang pertama adalah apakah yang
menyebabkan manusia melakukan kejahatan, dan pertanyaan berikutnya adalah
apakah kejahatan merupakan kesalahan dari inividunya ataukah merupakan
kesalahan dari sistem dimana individu
itu berada ?
Meluasnya
Kejahatan dan Demoralisasi Umat Manusia
Ada
beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan
demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan
kualitas kehidupan suatu bangsa.
Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku
manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu: meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya
rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group
terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan
bahsa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab
individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin
kaburnya pedoman moral.
Di
Amerika Serikat angka kejahatan dan demoralisasi dilihat dari berbagai
perspektif. Pickthal (2002)
melaporkan bahwa di Amerika Serikat
secara nasional seperempat dari anak perempuan usia 15 tahun dan 30 persen dari
anak laki-laki usia 15 tahun telah berhubungan seksual, sehingga setiap
tahunnya hampir satu juta remaja perempuan di bawah usia 20 tahun hamil. Sementara satu dari 4 remaja yang aktif
secara seksual terkena infeksi penyakit akibat hubungan seks (sexually
transmitted deseases) seperti chlamydia, gonorrhea, herpes dan genital
warts. Angka penggunaan narkoba pada
remaja 12-17 tahun meningkat antara
tahun 1989 dan tahun 1995 dari 8.4 menjadi 18.8 orang per 1.000 pengguna
potensial. Lickona (1993) menyebutkan
bahwa di Amerika tingkat bunuh diri pada remaja laki-laki usia 15-24 tahun
lebih tinggi 7 kali lipat dibandingkan Canada dan 40 kali dibandingkan
Jepang. Pembunuhan di kalangan remaja
(youth suicide) juga meningkat 3 kali selama periode 25 tahun terakhir.
Namun
yang lebih mengerikan adalah apa yang dilaporkan The Children’s Defense Fund
yang menyebutkan bahwa pada tahun 1983, 2 951 anak usia 20 tahun terbunuh
karena senjata (gunfire), sedang pada
tahun 1993 terdapat sejumlah 5 751 anak remaja terbunuh. Jumlah ini
tiga kali lebih besar dari jumlah kasus pembunuhan yang terjadi di Australia, Belgia, Canda dan
Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swiss dan Finlandia.
Antara
tahun 1960 hingga 1990 Kilpatrik[3] menganalisis di Amerika Serikat telah terjadi
kenaikan 560 persen dalam kejadian kriminalitas dengan kekerasan (violent crime), kenaikan 419 persen
dalam kelahiran di luar pernikahan (illegitimate
births) dan tingkat perceraian. Ia
menilai bahwa dibandingkan negara maju
lainnya, Amerika Serikat tertinggi dalam tingkat perceraian, kehamilan di
kalangan remaja, tertinggi dalam tingkat aborsi, dan tertinggi pula dalam
kematian akibat kekerasan (violent death)
di kalangan remaja.
Kejahatan
dan penyimpangan dalam masyarakat Amerika juga dapat dilihat dari tingginya statistik
anak dan remaja berikut ini dimana setiap harinya lahir 2,500 bayi diluar pernikahan, 135,000 anak
membawa senjata ke sekolah, 7,700 anak remaja aktif secara seksual, 1,100
remaja melakukan aborsi, 600 remaja terjangkit syphilis atau gonorrhea, dan 6
remaja bunuh diri. (Horn, 1991). Bisa
diperkirakan jumlah penyimpangan tersebut setiap tahunnya, yang akhirnya
membentuk masyarakat generasi baru Amerika yang berbeda dengan dekade sebelumnya. Artinya dalam beberapa dekade saja Amerika
telah berubah menjadi negara industrialisasi dengan angka kejahatan
tertinggi.
Negara-negara
barat di Eropa yang dikenal sebagai negara Skandinavia juga terkenal sebagai
negara dengan tingkat perpecahan dan ketidakstabilan keluarga yang tinggi,
dimana angka perceraian tinggi, sementara angka perkawinan amat rendah
(Megawangi, 1999). Laporan The
Economist (9/9/1995) menyebutkan bahwa hal ini berdampak pada tingginya
persentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan (50 persen), dibandingkan
dengan Jepang yang angkanya hampir 0 persen.
Menurut Megawangi (1999) angka kenakalan remaja di kawasan ini memang
meningkat dalam kurun waktu 20 tahun.
Data dari Denmark, Norwegia, dan Swedia memperlihatkan bahwa angka
kriminalitas meningkat sebesar kira-kira 400 persen antara tahun 1950-an dan
1970-an. Demikian pula angka anak-anak
yang bermasalah karena alkoholik, ketergantungan obat bius, dan terlibat
kekerasan yang telah meningkat 400 persen di Denmark dalam kurun waktu
1970-1980. Hal ini
diduga ada kaitannya dengan adanya era child-gulag, yaitu pengiriman anak
secara besar-besaran ke day-care center.
Fakta-fakta yang terjadi di negara
barat di atas bukan berarti bahwa di negara timur yang notabene merupakan
negara berkembang (developing country)
kondisinya jauh lebih baik. Dari sisi
kriminalitas, angka statistik kejahatan dan demoralisasi di kalangan remaja di
negara seperti Thailand, Malaysia, atau Vietnam, Cina dan Indonesia barangkali
belum seburuk apa yang telah terjadi di Amerika. Namun bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada remaja Amerika
sebagian akan dan sudah terjadi di beberapa negara-negara berkembang tersebut,
hanya statistiknya mungkin masih underestimated
atau belum dilakukan survey secara nasional tentang kejahatan di kalangan
remaja.
Kejadian tawuran di Indonesia,
misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota besar Indonesia, terutama
di Kota Jakarta dan Bogor sehingga telah berada pada tahap yang
mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya
menjadi penerus bangsa. Di Bogor saja,
telah dilaporkan bahwa terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang
direncanakan sehingga termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar
ini membawa senjata tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk
pisau, golok, samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk
menganiaya musuhnya dengan sengaja (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti,
2001). Di antara mereka bahkan
melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak
bersalah dan berdosa.
Sementara itu kejadian seks di
luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan remaja didorong oleh makin
maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta
minuman alkohol yang meluas sampai ke pedesaan. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras,
keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai
materialisme (materialism, hedonism)
menjadi gejala yang umum dalam masyarakat.
Hal ini tercermin pada tingginya praktek-praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme yang terjadi di Indonesia, khususnya pada lembaga pemerintahan
sehingga mendapatkan gelar negara terkorup di dunia sesuai laporan PERC pada
tahun 2002[4].
II. AKAR PERMASALAHAN DEMORALISASI
Pertanyaannya tentu saja, apakah
yang terjadi pada negara-negara barat maupun timur, sehingga angka kejahatan dan penurunan moralitas telah meningkat
demikian tajam pada dekade terakhir ini?
Brooks dan Goble (1997) mengungkapkan bahwa meningkatnya kejahatan dan
kriminalitas dalam masyarakat seringkali dihubungkan dengan kemiskinan,
pengangguran, diskriminasi, kelemahan hukum dan sebagainya. Misalnya saja di Amerika dengan meningkatnya
statistik kriminalitas maka oleh para pemimpin negara , dengan berbekal asumsi
bahwa kejahatan berakar dari permasalahan lemahnya kontrol hukum, maka dibuatlah kebijakan peningkatkan jumlah
polisi, perbanyakan penjara, dan perpanjangan hukuman. Akan tetapi angka kriminalitas tetap saja
meningkat, hingga kemudian dilakukan upaya lainnya melalui pengentasan
kemiskinan, pemberian berbagai tunjangan, dan sebagainya yang intinya guna
menurunkan angka kemiskinan (poverty
aveliation), namun angka kejahatan pun tetap tinggi.
Dalam pandangan ideologis seperti
Marx tentu saja kejahatan dan kriminalitas ini dihubungkan dengan
ketidakadilan sistem yang berakar dari
permasalahan ketimpangan atau
diskriminasi dalam relasi produksi antara kelas borjuis dan kelas
proletar. Penindasan yang dibuat kaum
borjuis atas kaum proletar, penindasan laki-laki atas perempuan atau penindasan
kelas elite atas kelas bawah merupakan pencetus kemarahan dan konflik yang
menjadi pendorong kejadian kriminalitas.
Karenanya untuk memperbaiki kondisi ini maka masyarakat tanpa kelas (class-less
society) merupakan solusi yang ditawarkan.
Marx dan pengikutnya (Marxis) percaya bahwa dengan perubahan sistem yang
mendasar dalam kehidupan dengan menciptakan masyarakat yang egaliter dan tanpa
kelas dan persamaan di semua bidang akan menghilangkan kecemburuan yang menjadi
pemicu terjadinya kejahatan. Menurut
Marxis adanya sistem patriarkhi yang membuat masyarakat terbagi atas struktur
merupakan sistem yang memungkinkan terjadinya relasi yang tidak harmonis antara
kelas atas sebagai penguasa sumberdaya, dan kelas bawah sebagai buruh. Sebaliknya mereka melihat bahwa sistem
kapitalisme yang membuat masyarakat terbagi atas struktur atas dan bawah
merupakan ladang subur terjadinya penindasan oleh kelas penguasa terhadap
buruh. Dalam pandangan mereka ketimpangan
atau gap penguasaan sumberdaya yang tinggi antar kelas inilah yang menimbulkan
kemarahan dan menjadi pemicu mengapa di negara kapitalis seperti AS angka
kriminalitas menjadi begitu tinggi.
Kelemahan Institusi Keluarga
Tinjauan teori keluarga memiliki cara pandang yang berbeda
dalam melihat penyebab kriminalitas dan demoralisasi dalam masyarakat. Dalam pandangan mereka keluarga tidak lagi
menjadi wadah yang dapat menumbuhkembangkan karakter manusia karena permasalahan
yang dialami oleh pasangan suami dan istri itu sendiri, disamping adanya
tekanan dari lingkungan luar keluarga termasuk dari media massa dan bekerjanya
kaum perempuan di sektor publik.
Menurut Bronfenbrenner[5]
dalam teorinya tentang family ecology and the child development dinyatakan
bahwa anak merupakan suatu bagian dari sistem keluarga yang pertumbuhan dan perkembangannya mendapatkan
pengaruh terutama dari keluarga kemudian dari lingkungan luar keluarga, mulai
dari lingkungan mikro, lingkungan messo, lingkungan exo dan lingkungan makro. Sehingga penyimpangan yang terjadi pada
individu merupakan suatu hasil pengaruh
sistem keluarga dan lingkungan luarnya ini.
Menurut Brooks dan Goble, keluarga
Amerika berubah setelah perang dunia ke dua (PDII) berakhir. Pada era sebelum PD II wanita umumnya
merupakan ibu rumahtangga sementara suami bekerja di sektor pertanian, sehingga
ketika pecah perang dan keluarga harus bertahan hidup maka perempuan mulai
bekerja di luar rumah untuk menggantikan peran suami yang pergi ke medan
perang. Kedatangan para suami dari perang kemudian melahirkan banyak bayi
(dikenal sebagai baby boom), sementara kaum ibu tidak berniat kembali ke
rumah dan meneruskan kerja di luar rumah bahkan ke sektor industri yang jenis
pekerjaannya lebih formal. Fenomena
inilah yang mulai merubah keluarga Amerika yang ditandai dengan tingginya
tingkat perceraian setelah era ini.
Ahli
lain menganggap bahwa kemiskinan moral juga berkaitan dengan kemiskinan (poverty), dimana kasus kejahatan dan
kriminalitas relatif lebih tinggi resiko nya karena alasan kemiskinan. Tetapi setelah program-program anti
kemiskinan (poverty aveliation)
ternyata juga tidak menurunkan angka kejahatan, maka faktor penyebabnya terus
dicari. Seperti diungkapkan oleh Fagan
(1995) , bahwa terjadinya kriminalitas harus dilihat pada akar
permasalahannya. Menurut Fagan,
bukti-bukti telah menunjukkan bahwa tingginya angka kriminalitas di Amerika
Serikat pada tahun 1990-an bukanlah berakar dari kemiskinan semata. Yang lebih menjadi penyebab adalah adanya
ketidakstabilan keluarga dalam masyarakat Amerika, dimana perceraian meningkat,
keluarga dengan orang tua tunggal menjadi trend, dan kurangnya hubungan intim
dan kasih sayang dalam perkawinan dan keluarga. Bahkan sebagaimana disinyalir oleh Judge L. Bazelon of the US
court of appeals in Washington, kriminalitas bukan hanya berhubungan dengan
kemiskinan saja, akan tetapi plus prejudice, plus perumahan yang buruk, plus
kurangnya pendidikan, plus kurangnya makanan dan kesehatan, serta plus buruknya
lingkungan keluarga, atau bahkan tidak punya keluarga sama sekali[6].
Para
ahli keluarga, seperti Barbara Dafoe Whitehead, menyatakan bahwa ketidaksahan (“illegitimacy”) bukan satu-satunya
ancaman bagi anak. Dia melihat bahwa
budayaAmerika bukan saja budaya dengan
ibu yang tidak menikah, tetapi juga bercerai.
Fenomena ini menurutnya, adalah hasil dari ideologi kebebasan ekspresif
individual yang mengunggulkan aktualisasi diri sendiri dibandingkan kebutuhan
anak-anaknya[7]. Patrick
Fagan[8] percaya bahwa banyaknya keluarga yang “broken” akan
menyebabkan masyarakat menjadi buruk dan sakit, karena dimulai dari cara yang
salah atau keliru:
“whenever
there is too high a concentration of such broken families in any community,
that community will disintegrate. Only
so many dysfunctional families can be
sustained before the moral and social fabrics of the community itself breaks
down. Re-establishment of the basic
community code of children within marriage is necessary both for the future
happiness of American families and for a reduction in violent crime”
(ditempat
dimana banyak keluarga “broken”, disitulah terdapat komunitas yang
terpecah. Ada keluarga “tak berfungsi”
yang berusaha dipertahankan selama
produksi moral dan sosial belum mengalami kehancuran. Penetapan kembali nilai anak dalam pernikahan adalah amat penting
baik bagi masa depan kebahagiaan bangsa Amerika maupun upaya penurunan
kriminalitas dan kejahatan).
Kelemahan Standar Moral
Sementara itu tinjauan agama
melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya
karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang
supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari
pengaruh kejahatan. Lahirnya paham
positivism -dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran
jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan
moral dan agama, seperti dituliskan oleh Wilson (1993):
"Why has moral discourse
become unfashionable or merely partisan?
I believe it is because we have learned, either firsthand from
intellectuals or secondhand from the pronouncements of people influenced by
intellectuals, that morality has no basis in scince or logic. To defend morality is to defend the
indefensible".
Beberapa ahli telah menilai bahwa
demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya
penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat maju,
yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Misalnya Brooks dan Goble (1997) dalam
bukunya :“The case for character
education”, yang menyebutkan bahwa gelombang kejahatan tersebut berhubungan
erat dengan kurangnya standar moral dalam masyarakat:
“…that
the root cause of crime, violence, drug addiction, and other symptoms of
irresponsible behavior is, for the most part, the result of inadequate or
inaccurate ethical instruction”
Dikatakan oleh Benson dan Engemen
dalam bukunya Amoral America yang diterbitkan pada tahun 1975, bahwa ada
hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan ethic dalam
masyarakat Amerika yang menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan
di Amerika. Telah lama diketahui bahwa
Bangsa Amerika telah merubah orientasi pendidikannya kepada pemisahan antara
agama dengan pendidikan di sekolah negeri, dimana seperti dikatakan Howard
Kirschenbaum (1992) ia juga terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan
moral di Amerika, bahwa pendidikan moral di Amerika telah melarang siswa didik
untuk melakukan praktek keagamaan di sekolah umum. Menurutnya, hal ini diterapkan mengingat begitu beragamnya ras
dan agama di Amerika (pluralism),
sehingga sistem kurikulum di sekolah negeri mengalami kesulitan ketika harus
mengajarkan tentang pendidikan moral, karena nilai-nilai luhur siapakah yang
harus diajarkan (whose values should be
taught?) untuk masyarakat yang sangat heterogen ini.
Kelahiran filsafat positivism yang
mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science)
telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan
ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling,
bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan
tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga
telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula
manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan
itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga
terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus
berubah (morality as being in flux)
(Lickona, 1994).
Akibatnya,
seperti dikutip dari Lickona, bangsa Amerika terutama generasi mudanya
mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika
individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang
moral. Ia menyatakan sebagai berikut:
“contemporary
western society, and especially American society, suffers from inadequate
training in individual ethics. Personal
honesty and integrity, appreciation of the interest of others, non-violence and
abiding by the law are examples of values insufficiently taught at the present
time…The schools and churches are well situated to teach individual ethical
responsibility, but do not do so”
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah mendorong manusia untuk
mempertanyakan tentang kehidupan termasuk nilai dan moral. Dampaknya adalah manusia mulai merasionalisasikan
segala sesuatu termasuk nilai dan moral, sehingga sistem pendidikan Amerika
yang semula memperhatikan nilai-nilai tradisional pun telah berubah. Sehingga pendekatan yang dilakukan dalam
pendidikan moral di Amerika adalah dengan mengajarkan bagaimana menghargai
pandangan moral orang lain, dan menjelaskan bahwa tidak ada jawaban benar dan
salah dalam setiap permasalahan kehidupan.
Pendekatan dengan menampilkan moral dilemma ini menjadikan anak Amerika
piawai dalam memutuskan benar dan salah dari sisi pandangan pribadinya (personal
point of view).
Salah
seorang pencetus values clarification yakni Sidney Simon dari School of
Education at the University of Massachusetts, menolak apa yang disebutnya
kesalahan fundamental dalam pendekatan tradisional untuk pendidikan moral yakni
dengan melakukan indoktrinasi. Karena
menurutnya indoktrinasi dalam pendidikan moral tradisional akan menyebabkan
siswa didik tidak mampu untuk menjelaskan pilihan keputusannya, dia mengatakan
: none of us has the right set of values
to pass on to others people's children (Brooks and Goble). Oleh sebab itu dalam pendekatan values
clarification para siswa diajarkan tentang ethical relativism dan
bagaimana setiap manusia mengembangkan sistem nilainya sendiri-sendiri. Para guru disodori oleh materi permasalahan
atau dilema moral yang dirancang sedemikian rupa hingga setiap siswa mampu
menemukan nilainya sendiri. Kohlberg
juga sejalan dengan Simon dimana ia mengkritik cara pendidikan moral
tradisional yang dianggapnya sangat tidak berguna dan totalitarian. Dia mengatakan bahwa pemaksaan nilai
tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan moral anak (child's moral
freedom).
Bangsa
Amerika dengan masyarakat yang begitu pluralistik juga telah menyebabkan sistem
pendidikannya mengakomodasi beragam keinginan manusia yang sangat heterogen
tersebut. Oleh sebab itu pendekatan
moral reasoning dan “values clarification” mulai diterapkan dalam pendidikan
moral di Amerika sejak tahun 60-an, yang dipelopori oleh sosiolog Louis E.
Raths, Merrill Harmin dan Sidney B. Simon.
. Mulai periode ini sistem pendidikan Amerika tidak lagi berfungsi membentuk moral dan
karakter siswa didik. Sebaliknya siswa
didorong untuk tumbuh dan berkembang kebebasannya dengan mengenalkan bahwa
tidak ada jawaban benar dan salah dalam kehidupan selama hati nurani menyatakan
benar sebagaimana dituliskan Brooks dan Goble[9]:
“values clarification is concerned not with which values people develop but how they develop their values. The approach seeks to promote growth, freedom, and ethical maturity. It start with the recognition that there’s no right or wrong answer to any question of value”
Kilpatrick
(1992) menyebutkan bahwa pendekatan moral reasoning telah mengakibatkan
ketidakmampuan manusia untuk membedakan baik dan benar karena setiap orang
mempunyai pendapat sendiri-sendiri tentang baik dan benar. Anak-anak Amerika telah terbiasa untuk
diajarkan tentang kenapa dia melakukan tindakan tersebut dan semua pendapat
tersebut harus dihargai baik oleh rekan lain maupun oleh guru. Misalnya ketika seseorang mencuri (shop-lifting) di sebuah supermarket,
maka pertanyaan guru kepada muridnya adalah bagaimana pandangan anda
terhadap kasus ini?
Generasi
muda ini memandang bahwa segala sesuatu
itu OK saja selama saya dan kamu juga OK, seperti diilustrasikan Ryan dan
Bohlin (1999): “Iam OK and you’re OK, and different strokes for different
folks, and that’s OK”. Dengan
nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan yang luar biasa ini maka masyarakat
Amerika telah berubah drastis selama 3 dekade mulai tahun 60-an hingga tahun
1990-an. Secara tidak langsung
pendekatan moral reasoning dan values clarification yang sangat humanis
telah merusak otoritas agama dan otoritas orangtua terhadap anak yang
selanjutnya meningkatkan demoralisasi atas bangsa Amerika, suatu hal yang
sangat tidak diharapkan bahkan oleh salah seorang pencetus pendekatan ini yaitu
Howard Kirschenbaum.
III.
PEMBENTUKAN INDIVIDU BARU
Pendidikan
moral adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai (values)
dan kebajikan (virtues) yang akan
membentuknya menjadi manusia yang baik (good
people) (Nord and Haynes, 2002).
Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual (intellectual resources) pada generasi
muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab (informed and responsible judgement) atas
hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan.
Moral secara turun temurun diajarkan kepada generasi
muda melalui penanaman kebiasaan (cultivation)
yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah
mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi
secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran. Begitulah apa yang telah dilakukan oleh
agama manapun dalam membentuk karakter umatnya, yaitu dengan janji pemberian
hadiah atau pahala jika berbuat kebaikan dan
pemberian siksa dan dosa jika berbuat kejahatan.
Dalam pendidikan moral secara konvensional maka untuk
membentuk moral yang baik dari seseorang diperlukan latihan dan praktek yang
terus menerus dari individu seperti dikatakan oleh Jon Moline dalam Lickona
(1992):
“As Aristotle taught, people do not naturally or
spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the
result of a lifelong personal and community effort”.
Disamping
itu kepercayaan bahwa kekuatan supranatural akan menolong dan melakukan
pengawasan merupakan inti dari pendidikan moral tradisional. Sehingga manusia tidak hanya menjadi baik
moralnya jika ada kehadiran guru atau atasan, tetapi manusia menjadi baik
moralnya secara konsisten meskipun tanpa kehadiran pengawas atau orang lain di
sekitarnya. Pada prinsipnya 'you are
what you are when nobody's arround'.
Esensi perbuatan yang tanpa pamrih (Ikhlas dalam Islam) ini menjadi ruh
bagi tingginya derajat moral baik seseorang.
Untuk mencapai masyarakat yang
harmoni, teratur, tertib dan aman, sebagai suatu masyarakat yang diidam-idamkan
setiap bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah.
Meskipun demikian sejak jaman sebelum masehi para filosof dan pemikir
telah membuat suatu tanda dan prasyarat tentang bagaimana suatu bangsa
selayaknya diatur oleh negara guna mencapai masyarakat dan bangsa yang kuat,
secara fisik dan moralnya demi mencapai kesejahteraan bangsa.
Dikutip dari Brooks dan Goble
(1997), Confucius, seorang filsuf Cina pada abad ke lima sebelum masehi
menyatakan bahwa manusia mempunyai moral alamiah, tetapi walapun dia diberi
secukupnya, secara hangat direngkuh, dan secara nyaman dipenuhi, tanpa
dibarengi oleh instruksi, maka manusia akan berubah menjadi binatang
(“beast”). Bahkan pada abad ke 27
sebelum masehi, seorang filsuf Mesir, Ptah hotep, menulis bahwa yang
paling berharga bagi seorang manusia
adalah kebajikan dari anak laki-lakinya, dan karakter baik yang paling
dikenang. Dwight D. Eisenhower presiden
Amerika Serikat menyebutkan pula bahwa tanpa moral dan spiritual, tidak akan
ada harapan bagi bangsa Amerika:
“without
a moral and spiritual awekening there is no hope for us”
Oleh sebab itu pendidikan moral
kepada manusia merupakan prasayarat (pre-requisite) bagi terciptanya masyarakat
madani. Sejalan dengan itu adalah apa yang tertulis dalam “Nortwest Ordinance
enacted in 1787[10] yang
menyatakan bahwa:
“religion,
morality, and knowledge being necessary to good government and the happines of
mankind, schools and the means of education shall forever be encouraged”
Pembentukan Individu Baru Melalui
Keluarga
Berbeda dari makhluk hidup
lainnya, ketika dilahirkan manusia baru (newborn baby) merupakan makhluk
yang tidak berdaya, dan amat sangat tergantung (dependence) pada
pengasuhnya dalam hal ini pada ibunya. Menurut Neuman (1990) hubungan ibu-anak
bahkan sudah dimulai sejak dalam kandungan (intra-uterine) yakni pada masa
uroboric dimana terjadi kesatuan (unity) antara diri (the self),
ego dan kebenaran (ruh Tuhan, the light).
Pada masa uroboric ini hingga individu berusia 20-22 bulan merupakan
masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut
Neuman sebagai primal relationship.
Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh
ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses
social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan
penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta
penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut. Menurut Rohner dalam bukunya the
warmth dimension of parenting dikatakan bahwa seorang anak mempunyai
perilaku baik atau buruk didasarkan atas cara pengasuhan yang diberikan
ibunya. Anak-anak yang diasuh dengan
cara diterima (acceptance) akan
menjadi anak yang tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan anak yang
diasuh dengan cara ditolak (rejection).
Anak-anak yang diasuh dengan kekerasan juga belajar kekerasan pertama
kali dari ibunya, sehingga ia juga akan tumbuh menjadi anak yang menolak (anti-social) dan seringkali diikuti oleh
perilaku destruktif.
Sebaliknya anak-anak manusia yang
diasuh dengan kasih sayang juga akan memiliki ikatan kasih sayang yang kuat
dengan ibunya (emotional bonding) dan
cenderung menjadi anak yang patuh (obedience)
dibandingkan anak yang lemah ikatan emosionalnya. Oleh sebab itu apa yang
terjadi pada anak Jepang yang diasuh ibu dan jarang dipisahkan dari ibunya
memiliki ikatan emosional yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak barat (western society) pada umumnya, dan
ternyata anak-anak Jepang tersebut tumbuh menjadi anak yang patuh dan hormat
kepada orangtuanya serta memiliki prestasi akademik lebih baik dibandingkan
anak-anak barat (Schikendanz, 1986). .
Keharmonisan dalam keluarga
sebagaimana dipercaya oleh para environmentalism
juga mempunyai kontribusi terhadap bagaimana perilaku anak manusia. Hal ini telah dibuktikan oleh para ahli
selanjutnya, seperti diungkapkan Fagan (1995) bahwa anak-anak yang melakukan
kenakalan dan pelanggaran hukum dan norma adalah anak-anak yang berasal dari
keluarga yang tidak harmonis, orangtua tunggal atau orangtua yang menikah
kembali (step parent family). Anak yang dibesarkan dari keluarga seperti
itu juga cenderung memiliki pengalaman pahit dan buruk dalam masa kecilnya,
mereka seringkali disiksa (physically or sexually abused), dan
mengalami perceraian beberapa kali dalam masa kanak-kanaknya, sehingga
anak-anak tersebut belajar kekerasan dan kekejaman dari orangtuanya dan tumbuh
menjadi manusia yang keras dan kejam pula.
Contoh yang buruk dari hubungan
suami dan istri juga menjadi teladan yang buruk bagi kehidupan pernikahan anak
tersebut ketika menjadi dewasa. Mereka
kehilangan komitmen terhadap pasangan, sangat menjunjung tinggi aktualisasi
diri dan kebebasan, hingga angka perceraian di Amerika dan kebanyakan negara
maju lainnya meningkat tajam pada dekade ini. Karena itu anak-anak yang berasal dari keluarga seperti ini
akan menjadi manusia yang kehilangan nilai konvensional dan tradisional tentang
keluarga. Bagi mereka perceraian bukanlah
sesuatu yang salah, meskipun agama Katolik telah mengharamkan terjadinya
perceraian, dan agama Islam telah menyatakan bahwa Tuhan membenci
perceraian. Terlebih sistem hukum
negara saat ini seperti di Amerika Serikat telah memungkinkan terjadinya perceraian
meski tanpa sebab adanya kesalahan (no
vault divorce). Dampaknya adalah
pada menurunnya nilai komitmen dan pengorbanan yang selayaknya ada pada sebuah
keluarga. Hal ini secara tak langsung
dapat menggerus bukan saja nilai keluarga tetapi juga nilai pribadi saat
berhubungan dengan tanggungjawab sosial (civic
responsibility). Kebanyakan orang
saat ini terlalu memperhitungkan untung dan rugi ketika berhubungan dengan
orang lain, termasuk dalam sebuah pernikahan.
Oleh sebab itu keluarga memiliki
peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai
baik dan buruk kepada anak-anaknya.
Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan.
Pembentukan Individu Baru Melalui
Pendidikan Karakter
Sekolah merupakan institusi yang
memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia
juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas
pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan, seperti dikatakan Horace Mann
(1837), Bapak Pendidikan sebagai berikut:
“the highest and noblest office of
education pertains to our moral nature.
The common school should teach virtue before knowlede, for..knowledge
without virtue poses its own dangers “(dikutip dari Admunson dalam Boyer,
1995).
Oleh sebab itu Horace Mann
(1796-1859) telah mempunyai pandangan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi
penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free
public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak
memihak (non sectarian), dan
bebas. Dengan demikian menurut Mann
maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah
sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia
berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Kegagalan pendekatan moral reasoning dan values clarification yang mulai dirasakan akibatnya pada
demoralisasi masyarakat di era tahun 90-an telah membuat titik balik dalam
pendidikan moral di Amerika Serikat.
Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan,
pemimpin remaja, dan sarjana etik (ethics
scholars) yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di
Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang berisi antara lain
keyakinan bahwa generasi berikutnya adalah penentu bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara sehingga masyarakat memerlukan warga negara yang baik (caring citizenry) dengan karakter moral
yang baik pula. Mereka juga yakin bahwa
seseorang tidak secara otomatis memiliki karakter moral yang baik sehingga
perlu dipikirkan upaya untuk mendidik karakter secara efektif (effective character education).
Untuk itulah kemudian disusun
suatu model baru dalam pendidikan moral yang berujung pada pendidikan karakter
agar penyakit yang berada dalam masyarakat Amerika maupun negara manapun di
belahan bumi ini dapat diobati. Brooks
dan Goble menyarankan dalam bukunya The
Case for Character Education agar sistem pendidikan moral tidak lagi
memikirkan tentang nilai-nilai siapa yang akan diajarkan pada siswa di sekolah,
akan tetapi perlu dipikirkan nilai-nilai apa yang akan diajarkan pada siswa (what values should we teach?). Dia juga menekankan bahwa agama-agama besar
di Amerika telah memiliki kesamaan dalam hal pendidikan karakter dan
mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat
ditemukan dalam masing-masing ajaran agamanya:
It is important to note that the
authors' recent experience with groups of teachers in different religious
schools has clearly indicated that the various world religions do have a common
set of core values. Work with Muslim, 7th
Day Adventist, Lutheran, Jewish and
Roman Catholic educators all resulteed in the generation of a list of values
that were overlapping. All groups
listed such values as honesty, respect, courage, perseverence, responsibility,
and caring as common values that must be taught in their school[11]”
Menurut William Bennett (1991)
sekolah mempunyai peran yang amat penting dalam pendidikan karakter anak,
terutama jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan karakter di rumah. Argumennya didasarkan kenyataan bahwa anak-anak
Amerika menghabiskan cukup banyak waktu di sekolah, dan apa yang terekam dalam
memori anak-anak di sekolah akan mempengaruhi kepribadian anak ketika dewasa
kelak.
Di Indonesia, dimana agama di
ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih belum
berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang
tampak meningkat pada periode ini.
Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan
agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara
akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya
terrjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan dikonsentrasikan
atau terpusat pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan siswa
didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran
tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai
kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam
pengajaran moral bagi manusia. Karena
itu tidaklah aneh jika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang
diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam
pendidikan agama untuk membentuk karakter anak (baca:akhlak) menjadi amat
mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan
nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga
maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia,
sebab pendidikan karakter (atau akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur
afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Karakter
Kilpatrick dan Lickona merupakan
pencetus utama pendidikan karakter yang percaya adanya keberadaan moral absolute dan bahwa moral absolute itu perlu diajarkan
kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga
Brooks dan Goble tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan
values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena
sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat
relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong
orang, hormat dan bertanggungjawab.
Pendidikan karakter mempunyai
makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal
yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana
yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domein psikomotor). Seperti kata Aristotle, karakter itu erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan
dilakukan.
Menurut Wynne (1991) kata karakter
berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau
rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang
berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter
mulia. Jadi istilah karakter erat
kaitannya dengan personality
(kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah
lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa
kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa
tersebut secara sadar (cognition)
menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut
dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya
penghargaan akan nilai itu. Misalnya
saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut
dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai
nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab
itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein
affection atau emosi). Memakai
istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk
berbuat kebaikan. Menurut Lickona
pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek
“knowing the good” (moral knowing),
tetapi juga “desiring the good” atau
“loving the good” (moral feeling) dan
“acting the good” (moral action). Tanpa
itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu
paham.
Karakter dan Keberhasilan Akademik Anak
Dalam bukunya yang membahas
tentang kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence, Daniel Goleman (1995)
mengungkapkan pentingnya kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi)
sebagai penentu keberhasilan akademik anak, melebihi kemampuan intelektual
(Intellectual Quotient=IQ) yang selama ini diakui berhubungan nyata dengan
prestasi akademik siswa. Bahkan Goleman
menyatakan bahwa 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan
emosinya (Emotional Quotient=EQ), sementara hanya 20 persen ditentukan oleh
IQ-nya.
Menurut Dorothy Rich (1997)
terdapat nilai (values), kemampuan
(abilities) dan mesin dalam tubuh (inner engines) yang dapat dipelajari oleh
anak dan berperanan amat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah dan di
masa mendatang. Hal ini ia percaya
dapat dipelajari dan diajarkan oleh orangtua maupun sekolah yang dinamakannya Mega skills, meliputi :
1. percaya diri (confidence);
2. motivasi (motivation);
3.
usaha (effort);
4.
tanggungjawab (responsibility),
5.
inisiatif (initiative),
6.
kemauan kuat (perseverence),
7.
kasih sayang (caring),
8.
kerjasama (team work),
9.
berpikir logis (common
sense),
10.
kemampuan pemecahan masalah (problem solving), serta
11. berkonsentrasi
pada tujuan (focus).
Dilaporkan oleh Chicago Tribune
dalam Megawangi (2002) bahwa US Departement of Health and Human Services
menyebutkan beberapa faktor resiko tentang kegagalan sekolah pada anak. Faktor resiko tersebut bukan pada kemampuan
kognitif anak melainkan pada kemampuan psikososial anak, terutama kecerdasan
emosi dan sosialnya yang meliputi:
1.
percaya diri (confidence),
2.
kemampuan kontrol diri (self-control),
3.
kemampuan bekerjasama (cooperation),
4.
kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation),
5.
kemampuan berkonsentrasi (concentration),
6. rasa empati (empathy)
dan
7. kemampuan berkomunikasi (comunication).
Nilai-nilai yang Diajarkan Dalam
Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona
(1992) menekankan pentingya tiga
komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang
moral, moral feeling atau perasaan
tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan
mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral
Knowing. Terdapat enam hal
yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu: 1) moral awereness,
2) knowing moral values, 3) persperctive taking, 4) moral reasoning, 5)
decision making dan 6) self-knowledge.
Moral
Feeling. Terdapat 6 hal
yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia berkarakter yakni : 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy,
4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility.
Moral
Action. Perbuatan/tindakan
moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang
mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will) dan 3) kebiasaan (habit).
Untuk itu dalam Deklarasi Aspen[12] dihasilkan enam nilai etik utama (core
ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan
karakter di Amerika yang meliputi:
1)
dapat dipercaya (trustworthy)
meliputi sifat jujur (honesty) dan
integritas (integrity),
2)
memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3)
bertanggungjawab (responsible),
4)
adil (fair),
5)
kasih sayang (caring)
dan
6)
warganegara yang baik (good
citizen).
Ratna Megawangi[13]
sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia
yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1.
Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2.
Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance,
discipline, orderliness)
3.
Amanah (trustworthiness,
reliability, honesty)
4.
Hormat dan santun (respect,
courtessy, obedience)
5.
Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy,
generousity, moderation, cooperation)
6.
Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity,
resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7.
Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership)
8.
Baik dan rendah hati (kindness,
friendliness, humility, modesty)
9.
Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter
Menurut Brooks dan Gooble dalam
menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk
diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka
nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga
semua siswa dalam sekolah faham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu
menerjemahkannya dalam perilaku nyata.
Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter
secara efektif yang menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di seluruh
sekolah (school-wide approach).
Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi:
1.
sekolah harus dipandang sebagai suatu lingkungan yang
diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas
pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga
kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya.
2.
Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya: 1)
pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara
keseluruhan; 2) diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri (separate-stand
alone subject) namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; 3)
seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan.
3.
Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa
menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial.
Mengingat moral adalah sesuatu
yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada
generasi muda ini. Oleh sebab itu tema
yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita kepahlawanan dan kisah
kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang
bangsa dan humanisme tetap diperlukan.
Bahkan imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal ini (meskipun apa
yang dilihatnya dari sekitarnya tidaklah demikian) perlu ditekankan kepada anak
agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama.
Kritik para pendidik
progresif tentang indoktrinasi nilai
(Simon, Kirschenbaum, dan lain-lain) sebagai sesuatu hal yang tidak boleh
dipaksakan kepada anak justru merupakan kelemahan dari mereka sendiri. Sebab pendidikan tanpa nilai moral seperti
yang mereka lakukan kepada siswa didik adalah merupakan nilai sendiri. Karena
itu dalam mendidik karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan
buruk sangat diperlukan. Namun sejalan
dengan perkembangan usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik
nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik. Sekali lagi perlu difahami benar oleh para
pendidik dan pemerhati kehidupan bangsa, bahwa pendidikan moral dan karakter
adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan
mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti
dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti "social animal". Untuk itu maka tugas para pendidik dan
sekolah-lah untuk menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan
berbudi luhur, seperti dikatakan Lickona :
"Moral education is not a new
idea. It is in fact, as old as
education itself. Down through history,
in countries all over the world, education has had two great goals: to help
young people become smart and to help them become good"
IV. PENUTUP
Demoralisasi
berkaitan dengan ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan ego dan kontrol
diri. Kebebasan ekspresi, kemerdekaan
individu dan kelahiran paham possitivism menyebabkan manusia senantiasa
mempertanyakan kebenaran dari perbuatan baik (the virtues, the goodness and the golden rule). Padahal para filsuf pendidikan seperti
Horace Mann dan John Dewey telah meyakini perlunya kebajikan (virtues)
dalam mendidik manusia selain pengetahuan (knowledge). Kehancuran institusi keluarga dan lemahnya
standar moral dalam keluarga dan masyarakat dianggap sebagai salah satu
penyebab utama kejadian demoralisasi.
Oleh karena itu dalam pembentukan manusia berkualitas pendidikan
karakter amat diperlukan agar manusia bukan hanya mengetahui kebajikan (knowing
the good) tetapi juga merasakan (feeling the good), mencintai (loving
the good), menginginkan (desiring the good) dan mengerjakan (acting
the good) kebajikan. Metode
pendidikan melalui otak kiri dengan hafalan konsep (memorization in learning)
harus dirubah dengan metode yang lebih menekankan pada otak kanan dengan
perasaan, cinta, serta pembiasaan dan amalan kebajikan di dalam keluarga maupun
sekolah.
V. DAFTAR PUSTAKA
Bennet,W.J. 1991.
Moral Literacy and the Formation of Character. In: J.S.Bennigna (ed).
Moral Character, and Civic Education in the Elementary School. Teachers College Press, New York.
Berkowitz,M.W. 1998.
The Education of Complete Moral Person
Brooks,B.D.
and F.G.Goble. the Case for Character
Education: The Role of the School in Teaching Values and Virtues. Studios 4 Productions.
Boyer,E.L. 1995.
Character in the Basic School, Making a Commitment to Character.
Dina,W.F.,
I.D.Puspita, E.Tanjung,R.Widiastuti.
2001. Laporan Karya Ilmiah
Produktif Bidang Sosial. Jurusan
GMSK,Faperta, IPB.
Fagan,P.F. 1995.
The Real Root Causes of Violent Crime: the Breakdown of Marriage, Family
and Community.
Goleman,D. 1995.
Emotional Intelligence; Why It Can Matter More than IQ. Bantam Books, New York.
Horn,W.F. 1991.
Children and Family in America: Chalange for the 1990s.
Kilpatrick,W.
1992. Why Johny Can’t Tell Right
From Wrong. Simon & Schuster, Inc. New York.
Lickona, T.
1992. Educating for Character,
How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York.
_________. 1994. Raising Good Children: From Birth Through
the Teenage Years. Bantam Books, New
York.
Mack,D. 1997. The
Assault on Parenthood: How Our Culture Undermine the Family.
Megawangi,R.
1999. Membiarkan Berbeda? Sudut
Pandang Baru tentang Relasi Gender.
Pustaka Mizan, Bandung.
Neuman,E. 1990. The Child.
Shambala Publications,Inc., Massachusetts.
Nord,W.A. and C.C.Haynes.
2002. The Relationship of
Religion to moral Education in the Public Schools.
Pickthall,Y.A.
2002. Statistics of Teens. Dikunjungi
di: Info@soundvision.com.
Pada bulan Oktober 2001.
Rich,D. 1997. Mega Skills, Building Children’s Achievement
for the Information Age. Houghton
Mifflin Company, New York.
Rohner,R. 1986. The Warmth Dimension of Parenting: Parental
Acceptance-Rejection Theory. Sage
Publications, California.
Ryan and Bohlin.
1999. Values, Views or Virtues?
Schikendanz,J.
1995. Family Socialization and
Academic Achievement. Boston University
Press.
Vasta,R., M.M.Haith,S.A.Miller. 1992. Child Psychology:
The Modern Science. John Wiley &
Sons Inc., New York.
Wade,C. and C.Tavris.
1990. Psychology. Harper & Row Publishers, New York.
Wilson,J.Q.
1993. The Moral Sense. Simon & Schuster Inc,New York.
Wynne,E.A. 1991.
Character and Academics in the Elementary School. In J.S. Benigna (ed). Moral Character, and Civic Education in the
Elementary School. Teachers College
Press, New York.
[1]Dikutip dari www/moral and religion@yahoo.com
[2] Dalam Ratna Megawangi: Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, hal.
[3] William Kilpatrick (1992) :Why Johny Can’t Tell Right from Wrong.
[4] lihat laporan PERC, berpusat di Hongkong tentang indeks korupsi Indonesia yang mencapai 9.82 point dari 10 point indeks korupsi
[5] Lihat dalam Vasta, Haith dan Miller: Child Psychology,pp.54-56
[6] Brooks and Goble: the Case for Character Education,pp.5
[7] Dana Mack :The Assault on Parenthood,pp15.
[8] Patrick Fagan
[9] Brooks & Goble (1997),p.29
[10] lihat Brooks & Goble ,pp.42
[11] Brooks & Goble;pp.56
[12] lihat Brooks & Goble,pp.67-71
[13] Ratna Megawangi adalah staf pengajar pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor dan pendiri The Indonesian Heritage Foundation (IHF), suatu badan wakaf yang bergerak dalam pendidikan karakter. Melalui Yayasan IHF ia mengembangkan model pendidikan karakter bagi siswa TK dengan didirikannya TK Karakter di Cimanggis dan kelompok bermain Semai Benih Bangsa (SBB) bagi anak-anak prasekolah yang berasal dari kelurga miskin di beberapa wilayah seperti Kota Bogor, Cimanggis Depok dan Kecamatan Cibungbulang,Kabupaten Bogor.