Posted   December 22,  2002

© 2002  Dinarwan

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2002

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggungjawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr. Bambang Purwantara

 

 

Peran “Tengkulak” Dalam PengEMBAnGan Masyarakat Pesisir ;

Memberikan Manfaatkah Mereka ?

 

 

I.                   PENDAHULUAN

1.1.           Latar Belakang

 

            Apresiasi terhadap pembangunan masyarakat pesisir  yang dominan analog  merupakan pembangunan terhadap sektor  perikanan dan kelautan, selama tiga dasawarsa belakangan ini cenderung tidak optimal ; karena kita terbius oleh sibuknya pemanfaatan terhadap besarnya potensi sumberdaya lahan, seperti sektor kehutanan dan pertanian.   Terjadinya kelangkaan (scarcity) dan menurunnya potensi sumberdaya lahan akhir-akhir ini  memberikan konsekuensi logis agar kita perlu menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, karena sumberdaya ini memiliki potensi yang amat besar. 

            Besarnya potensi kelautan Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan bentangan garis pantai sepanjang 81.000 km.   Luas wilayah perairan Indonesia se-besar 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 Perairan Nusantara dan 2,7 km2 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).  Dari besarnya potensi sumberdaya kelautan Indonesia seperti tersebut di atas, potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta ton per tahun.   Sementara produksi tahunan ikan laut Indonesia pada tahun 1997 sebagai contoh mencapai 3,68 juta ton.   Ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai 58,80 %.   Hingga tahun-tahun terakhir berbagai pihak terkait (Departemen Kelautan dan Perikanan, Para Peneliti dan Pelaku Bisnis Perikanan) masih mengatakan bahwa masih tersedia peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Indonesia, namun demikian peluang pengembangan ini tidak merata di seluruh wilayah perairan laut Indonesia.

            Dilihat dari satuan wilayah pengelolaan perikanan, yang berpeluang besar untuk dikembangkan yaitu wilayah yang tingkat pemanfaatannya masih kurang dari 50 %, seperti : wilayah perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini.   Sedangkan wilayah perairan yang kegiatan penangkapan-nya telah jenuh adalah perairan Selat Malaka dan Laut Jawa.   Wilayah perairan Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura serta Samudera Hindia, kegiatan penangkapan ikannya masih dapat dikembang-kan ; baik dilihat dari sisi kuantitas ketersediaan sumberdaya ikannya, maupun dari sisi kelompok sumberdaya ikannya.

 

1.2.           Isu dan Permasalahan Pengembangan

Pada dasarnya kegiatan usaha penangkapan ikan dapat dibagi dalam tiga katagori skala usaha, yakni : skala usaha besar, skala usaha menengah dan skala usaha kecil.   Upaya pengembangan terhadap ketiga skala usaha penangkapan ikan tersebut membutuhkan modal (investasi dan modal kerja) yang tidak sedikit.   Pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala besar biasanya dilakukan oleh pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana  perolehan modal investasi dan modal kerjanya pada umumnya diperoleh dari bantuan pemerintah.   Sedang-kan pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala menengah biasanya dilakukan oleh pihak swasta yang mana  perolehan modal investasi dan modal kerjanya pada umumnya diperoleh dari bantuan lembaga keuangan (bank).   Pengelolaan terhadap kedua jenis skala usaha penangkapan ikan ini tidak banyak menghadapi kendala, karena masing-masing pihak (baik peminjam dana maupun lembaga keuangan yang terlibat) sama-sama bertanggung-jawab terhadap kelangsungan kegiatan yang dilakukan.

Berbeda dengan pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala besar dan menengah di atas, pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) justru menghadapi banyak permasalahan.   Secara umum dapat diangkat 4 (empat) faktor yang sangat dominan mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini, yakni :

1.      Pemasaran.

Produk perikanan adalah mudah rusak dan tidak tahan lama (high perishable), sehingga pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini selalu berada pada posisi sulit untuk berkembang akibat harga jual produk yang dite-rima sangat rendah dan cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya yang telah dikeluarkannya.

2.      Produksi.

Usaha dalam bidang penangkapan ikan di laut sangat berbeda dengan bidang-bidang lainnya.   Kegiatan usaha penangkapan ikan di laut relatif lebih sulit di-prediksi keberhasilannya karena sangat peka terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi, sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal).   Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya.

3.      Organisasi.

Kelembagaan dalam pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) harus diakui masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembaga-an yang tepat didalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main (property rights) maupun organisasi.   Konsekuensi dari organisasi dan aturan main yang belum kuat tersebut memberikan dampak pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan negosiasi kepada pihak lain.   Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menguatkan aspek organisasi ini, sehingga timbul adanya pola-pola kemitraan antara pelaku usaha skala kecil dengan mitranya.   Namun kebanyakan program pengem-bangan tersebut berjalan relatif tidak lancar (terseok-seok).

4.      Keuangan dan Permodalan.

     Salah satu isu masalah pokok yang krusial dan selalu menjadi momok pada kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) adalah permasalahan keuangan dan permodalan.   Keterbatasan sumber modal ini bukan disebabkan oleh karena tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang beredar, namun disebabkan oleh karena tidak beraninya lembaga keuangan berkecimpung pada kegiatan usaha ini.   Kondisi tersebut memang beralasan (bila ditinjau dari sisi ekonomi) karena kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini diperparah oleh ketidakpastian dalam memperoleh hasil tangkapannya.  Sangat wajar apabila lembaga keuangan menghindari rasa ketakutan yang besar terhadap resiko kredit macet.   Dalam kasus seperti ini biasanya lembaga keuangan menetapkan syarat agunan (collateral) yang tinggi dan sulit untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, seperti : (i) kebijakan memberikan sebahagian laba (keuntungan) BUMN (1-5 %), dan (ii) kebijakan alokasi subsidi non BBM, bahkan telah pula diupayakan pengembangan lembaga keuangan mikro dengan menerapkan sistem kredit komersial pada tingkat bunga yang serendah mungkin, dimana pemerintah dapat berperan sebagai penjamin dan pembina teknis, sementara pihak perbankan berperan dalam penyediaan modal dan pembinaan manajemen keuangan dan organisasi.

Namun upaya inipun tampaknya tidak “favorit” didalam masyarakat nelayan tradisional.   Sebagian besar masyarakat nelayan tradisional menganggap sistem ini sangat “kaku”, terfokus hanya pada masalah “uang” semata.   Sementara di sisi lain, kondisi sosial keseharian masyarakat nelayan tradisional inipun perlu mereka hadapi dengan nyata.

 

II.                SUMBER-SUMBER DAN MODEL-MODEL PENDANAAN USAHA

      BAGI MASYARAKAT PESISIR. 

 

            Sumber pendanaan untuk kegiatan usaha kecil bagi masyarakat pesisir hingga saat ini telah banyak dikenal, yakni sebagai berikut :

1.      Perbankan :

1.1.           Skim Komercial

1.2.           Skim Syariah

1.3.           Skim Kredit Program Bersubsidi

2.      Non Perbankan :

2.1.           Keuntungan BUMN

2.2.           Modal Ventura

2.3.           Permodalan Nasional Madani   

3.      APBN

4.      Bantuan Luar Negeri

5.  Sumber Lainnya :

5.1.           Individu

5.2.          Koperasi

5.3.           Perusahaan

5.4.           Yayasan

5.5.           Bursa Efek

5.6.           Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan

5.7.           Swadaya Masyarakat

Adapun mekanisme penyaluran pendanaan dan pembinaannya selain sumber perbankan secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut :

a.       Dana disalurkan melalui instansi terkait atau langsung kepada lembaga penge-lola dana mikro, yaitu sebuah organisasi yang bersifat nirlaba, berbadan hukum dan memenuhi semua persyaratan sesuai peraturan yang berlaku serta berpengalaman di bidang pengelolaan penyaluran pendanaan mikro dan pengembangan masyarakat ; Atau langsung disalurkan melalui Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir Setempat, yaitu unit lapangan dari Lembaga Pengelola Dana Mikro.

b.      Kemudian dana tersebut disalurkan pada kelompok masyarakat yang terdiri dari 5 (lima) anggota, dimana setiap anggota tidak diperbolehkan memiliki hubungan keluarga.   Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan skema di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


           

 

Bagi sumber pendanaan yang berasal dari perbankan, mekanisme penyalur-an pendanaannya mengikuti prosedur standar komersial dimana calon nasabah dapat memperoleh informasinya di kantor perwakilan bank yang bersangkutan.

Hingga saat ini, model-model pendanaan untuk kegiatan usaha kecil bagi masyarakat pesisir (terutama nelayan tradisional) yang telah direalisasikan adalah sebagai berikut :

1.      Grameen Bank :

Grameen Bank adalah model pendanaan skala kecil untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif masyarakat pesisir melalui penyediaan modal, pembinaan usaha secara kontinu dan intensif, dan pendampingan berkelanjutan yang mandiri.

2.      Model Pembinaan Usaha Kecil oleh BUMN :

Model pembinaan usaha kecil oleh BUMN adalah sebuah model pembinaan dengan memanfaatkan dana dari bagian laba BUMN, dimana pembinaannya dapat berupa pendidikan, kemampuan kewirausahaan, manajemen serta keterampilan teknis produksi termasuk juga pinjaman modal kerja dan investasi, jaminan kredit, pemasaran dan promosi hasil produksi serta bantuan penyertaan.

3.      Model Kemitraan :

Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dimana terjadi proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

 

            Ketiga model pendanaan seperti tersebut di atas, pada awal-awal realisasi-nya dapat berlangsung seperti apa yang diharapkan.   Namun ketika memasuki musim “paceklik” dimana nelayan tradisional sama sekali tidak memperoleh pendapatan, kelangsungan realisasi model-model pendanaan tersebut menghadapi banyak kendala ; Akhirnya banyak nelayan tradisional yang kembali berhubungan dengan tengkulak dan menjadikan program pendanaan seperti tersebut di atas tidak populer di mata mereka.

 

III.       MODEL PENDANAAN DARI TENGKULAK

 

Hampir di setiap wilayah pesisir di Indonesia dijumpai adanya tengkulak yang mengambil beberapa fungsi pengembangan di sektor perikanan dan kelautan secara informal.   Fungsi-fungsi pengembangan sektor perikanan dan kelautan yang dimasuki oleh tengkulak tidak saja hanya pada fungsi finansial, tetapi banyak fungsi lainnya yang telah diambilnya, yakni :

1.   Fungsi Produksi :

       Pada fungsi produksi ini tengkulak mengambil peran sebagai penyedia faktor/ sarana produksi penangkapan ikan, seperti : menyediakan biaya-biaya bekal operasi penangkapan ikan, penyedia alat tangkap ikan dan bahkan penyedia mesin motor tempel serta kapal penangkap ikan.

2.    Fungsi Pemasaran :

        Ikan hasil tangkapan nelayan, pada lokasi-lokasi dimana tidak terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) umumnya dibeli oleh tengkulak yang kemudian oleh tengkulak disalurkan ke perusahaan-perusahaan exportir atau disalurkan ke pasar-pasar lokal.

3.    Fungsi Finansial :

        Segala kebutuhan berupa finansial untuk terlaksananya kegiatan usaha pe-nangkapan ikan senantiasa disediakan oleh tengkulak .   Nelayan hampir dapat dikatakan bergantung pada tengkulak.   Para tengkulak memberikan bantuan finansial tanpa syarat-syarat tertentu tidak seperti pada lembaga-lembaga keuangan (bank).

4.    Fungsi Sosial :

        Dikala terjadi musim paceklik, nelayan tidak melakukan operasi penangkapan ikan sama sekali.   Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka banyak mengandalkan pada bantuan tengkulak.   Bahkan untuk kepentingan biaya sekolah putera-puteri nelayan, kadang-kadang mereka juga memohon bantuan pada tengkulak.

                    Hal menarik yang perlu dikemukakan disini adalah mengapa nelayan tidak mau memanfaatkan lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi justru mengikatkan diri pada sistem yang dilakukan oleh tengkulak ?.   Seolah-olah telah terjadi adanya ikatan lahiriyah dan batiniyah diantara kedua belah pihak.   Apabila diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka peran yang dimainkan oleh lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti telah disebutkan di atas hanyalah terbatas pada peran finansialnya saja ; itupun menurut nelayan tradisional memerlukan persyaratan yang memberatkan mereka.   Di sisi lain, peran yang dimainkan oleh para tengkulak adalah meliputi keseluruhan peran (produksi, pemasaran, finansial dan sosial) yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat nelayan tradisional yang membuat mereka “rela” mengikatkan diri pada ikatan yang menimbulkan adanya kebergantungan. 

 

 

IV.   KESIMPULAN

 

Dari uraian di atas yang didasarkan pada hasil kegiatan survei ke lokasi-lokasi pesisir di hampir setiap provinsi di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pertanyaan mendasar yang kiranya perlu dikemukakan adalah :

(a).  Beranikah lembaga-lembaga keuangan formal, seperti bank memenuhi keem-

        pat fungsi pengembangan masyarakat seperti disebutkan di atas ?, artinya lembaga keuangan formal (bank) tidak hanya bermain pada fungsi finansial- nya saja, tetapi berani pula mengambil peran fungsi-fungsi : produksi, pemasaran dan sosial kemasyarakatan nelayan tradisional ? ; khususnya bagi upaya penanggulangan masyarakat nelayan tradisional.

(b). Upaya pengembangan masyarakat nelayan tradisional seyogianya didekati tidak hanya dari aspek ekonomi semata, melainkan dominan harus didekati melalui pendekatan-pendekatan sosial kemasyarakatan yang tumbuh di lingkungan sekitar mereka.

(c)  Masih perlu dikembangkan adanya lembaga-lembaga keuangan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan tradisional yang didekati berdasarkan pendekatan sosial ekonomi budaya.  Kiranya peran yang dimainkan oleh tengkulak sangat bermanfaat bagi upaya-upaya pengembangan model lembaga keuangan yang ideal bagi kelompok masyarakat nelayan tradisional Indonesia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

BRI, Kantor Pusat.   Hambatan dan Permasalahan Perbankan dalam Penyaluran Kredit Sektor Perikanan dan Kelautan.   Nopember 2001.

 

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.   Pendanaan Usaha Bagi Masyarakat Pesisir.   Buku Panduan Umum, 2000.

 

Forindo Bangunkonsultan, PT.   Pemantapan dan Pengembangan Akses Permodal-an Dalam Rangka Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir.  2001.

 

Jauhari Hasan.   Kontribusi UKM dan Koperasi dalam Menunjang Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan.   Nopember 2001.

 

Samuel Koto.   Apresiasi terhadap Kebijakan Pengembangan UKM Sektor Perikanan dan Kelautan.   Nopember 2001.