© 2002
Dinarwan
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2002
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
(Penanggungjawab)
Prof.
Dr. Ir. Zahrial Coto
Memberikan Manfaatkah Mereka ?
1.1.
Latar Belakang
Apresiasi terhadap pembangunan
masyarakat pesisir yang dominan
analog merupakan pembangunan terhadap
sektor perikanan dan kelautan, selama
tiga dasawarsa belakangan ini cenderung tidak optimal ; karena kita terbius
oleh sibuknya pemanfaatan terhadap besarnya potensi sumberdaya lahan, seperti
sektor kehutanan dan pertanian.
Terjadinya kelangkaan (scarcity) dan menurunnya potensi sumberdaya
lahan akhir-akhir ini memberikan
konsekuensi logis agar kita perlu menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan, karena sumberdaya ini memiliki potensi yang amat besar.
Besarnya potensi kelautan Indonesia
memiliki 17.508 pulau dengan bentangan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas wilayah perairan Indonesia se-besar
5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 Perairan
Nusantara dan 2,7 km2 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI). Dari besarnya potensi
sumberdaya kelautan Indonesia seperti tersebut di atas, potensi sumberdaya ikan
laut di seluruh perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar
6,26 juta ton per tahun. Sementara produksi tahunan ikan laut Indonesia pada
tahun 1997 sebagai contoh mencapai 3,68 juta ton. Ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia
baru mencapai 58,80 %. Hingga
tahun-tahun terakhir berbagai pihak terkait (Departemen Kelautan dan Perikanan,
Para Peneliti dan Pelaku Bisnis Perikanan) masih mengatakan bahwa masih
tersedia peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut Indonesia,
namun demikian peluang pengembangan ini tidak merata di seluruh wilayah
perairan laut Indonesia.
Dilihat
dari satuan wilayah pengelolaan perikanan, yang berpeluang besar untuk
dikembangkan yaitu wilayah yang tingkat pemanfaatannya masih kurang dari 50 %,
seperti : wilayah perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Seram sampai
Teluk Tomini. Sedangkan wilayah
perairan yang kegiatan penangkapan-nya telah jenuh adalah perairan Selat Malaka
dan Laut Jawa. Wilayah perairan Selat
Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura serta
Samudera Hindia, kegiatan penangkapan ikannya masih dapat dikembang-kan ; baik
dilihat dari sisi kuantitas ketersediaan sumberdaya ikannya, maupun dari sisi
kelompok sumberdaya ikannya.
1.2.
Isu dan Permasalahan Pengembangan
Pada dasarnya kegiatan
usaha penangkapan ikan dapat dibagi dalam tiga katagori skala usaha, yakni :
skala usaha besar, skala usaha menengah dan skala usaha kecil. Upaya pengembangan terhadap ketiga skala
usaha penangkapan ikan tersebut membutuhkan modal (investasi dan modal kerja)
yang tidak sedikit. Pengelolaan
kegiatan usaha penangkapan ikan skala besar biasanya dilakukan oleh pihak Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana
perolehan modal investasi dan modal kerjanya pada umumnya diperoleh dari
bantuan pemerintah. Sedang-kan
pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala menengah biasanya dilakukan
oleh pihak swasta yang mana perolehan
modal investasi dan modal kerjanya pada umumnya diperoleh dari bantuan lembaga
keuangan (bank). Pengelolaan terhadap
kedua jenis skala usaha penangkapan ikan ini tidak banyak menghadapi kendala,
karena masing-masing pihak (baik peminjam dana maupun lembaga keuangan yang
terlibat) sama-sama bertanggung-jawab terhadap kelangsungan kegiatan yang
dilakukan.
Berbeda dengan
pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala besar dan menengah di atas,
pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) justru
menghadapi banyak permasalahan. Secara
umum dapat diangkat 4 (empat) faktor yang sangat dominan mempengaruhi
keberhasilan upaya pengembangan usaha penangkapan ikan skala kecil
(tradisional) ini, yakni :
1.
Pemasaran.
Produk perikanan adalah mudah
rusak dan tidak tahan lama (high perishable), sehingga pelaku usaha
penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini selalu berada pada posisi sulit
untuk berkembang akibat harga jual produk yang dite-rima sangat rendah dan
cenderung tidak sebanding dengan resiko maupun biaya yang telah dikeluarkannya.
2.
Produksi.
Usaha
dalam bidang penangkapan ikan di laut sangat berbeda dengan bidang-bidang
lainnya. Kegiatan usaha penangkapan
ikan di laut relatif lebih sulit di-prediksi keberhasilannya karena sangat peka
terhadap faktor eksternal (musim dan iklim) serta faktor internal (teknologi,
sarana dan prasarana penangkapan ikan dan modal). Kerentanan dalam proses produksi akan mengakibatkan adanya
fluktuasi dalam perolehan hasil tangkapannya.
3.
Organisasi.
Kelembagaan
dalam pengelolaan kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional)
harus diakui masih berada dalam taraf mencari bentuk kelembaga-an yang tepat
didalam mengelola sumberdaya, baik ditinjau dari aspek aturan main (property
rights) maupun organisasi.
Konsekuensi dari organisasi dan aturan main yang belum kuat tersebut
memberikan dampak pada lemahnya posisi usaha skala kecil ini dalam melakukan
negosiasi kepada pihak lain. Berbagai
upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menguatkan aspek
organisasi ini, sehingga timbul adanya pola-pola kemitraan antara pelaku usaha
skala kecil dengan mitranya. Namun
kebanyakan program pengem-bangan tersebut berjalan relatif tidak lancar
(terseok-seok).
4.
Keuangan dan Permodalan.
Salah satu isu
masalah pokok yang krusial dan selalu menjadi momok pada kegiatan usaha
penangkapan ikan skala kecil (tradisional) adalah permasalahan keuangan dan
permodalan. Keterbatasan sumber modal
ini bukan disebabkan oleh karena tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya
uang beredar, namun disebabkan oleh karena tidak beraninya lembaga keuangan
berkecimpung pada kegiatan usaha ini.
Kondisi tersebut memang beralasan (bila ditinjau dari sisi ekonomi)
karena kegiatan usaha penangkapan ikan skala kecil (tradisional) ini diperparah
oleh ketidakpastian dalam memperoleh hasil tangkapannya. Sangat wajar apabila lembaga keuangan
menghindari rasa ketakutan yang besar terhadap resiko kredit macet. Dalam kasus seperti ini biasanya lembaga
keuangan menetapkan syarat agunan (collateral) yang tinggi dan sulit
untuk dapat dipenuhi oleh para pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil
(tradisional).
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah, seperti : (i) kebijakan memberikan
sebahagian laba (keuntungan) BUMN (1-5 %), dan (ii) kebijakan alokasi subsidi
non BBM, bahkan telah pula diupayakan pengembangan lembaga keuangan mikro
dengan menerapkan sistem kredit komersial pada tingkat bunga yang serendah
mungkin, dimana pemerintah dapat berperan sebagai penjamin dan pembina teknis,
sementara pihak perbankan berperan dalam penyediaan modal dan pembinaan
manajemen keuangan dan organisasi.
Namun
upaya inipun tampaknya tidak “favorit” didalam masyarakat nelayan
tradisional. Sebagian besar masyarakat
nelayan tradisional menganggap sistem ini sangat “kaku”, terfokus hanya pada
masalah “uang” semata. Sementara di
sisi lain, kondisi sosial keseharian masyarakat nelayan tradisional inipun
perlu mereka hadapi dengan nyata.
II.
SUMBER-SUMBER DAN
MODEL-MODEL PENDANAAN USAHA
BAGI MASYARAKAT
PESISIR.
Sumber pendanaan untuk kegiatan
usaha kecil bagi masyarakat pesisir hingga saat ini telah banyak dikenal, yakni
sebagai berikut :
1.
Perbankan :
1.1.
Skim Komercial
1.2.
Skim Syariah
1.3.
Skim Kredit Program
Bersubsidi
2.
Non Perbankan :
2.1.
Keuntungan BUMN
2.2.
Modal Ventura
2.3.
Permodalan Nasional Madani
3.
APBN
4. Bantuan Luar Negeri
5. Sumber Lainnya :
5.1.
Individu
5.2.
Koperasi
5.3.
Perusahaan
5.4.
Yayasan
5.5.
Bursa Efek
5.6.
Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan
5.7.
Swadaya Masyarakat
Adapun mekanisme
penyaluran pendanaan dan pembinaannya selain sumber perbankan secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Dana disalurkan
melalui instansi terkait atau langsung kepada lembaga penge-lola dana mikro,
yaitu sebuah organisasi yang bersifat nirlaba, berbadan hukum dan memenuhi
semua persyaratan sesuai peraturan yang berlaku serta berpengalaman di bidang
pengelolaan penyaluran pendanaan mikro dan pengembangan masyarakat ; Atau
langsung disalurkan melalui Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir Setempat, yaitu
unit lapangan dari Lembaga Pengelola Dana Mikro.
b.
Kemudian dana tersebut
disalurkan pada kelompok masyarakat yang terdiri dari 5 (lima) anggota, dimana
setiap anggota tidak diperbolehkan memiliki hubungan keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan
skema di bawah ini.
Bagi
sumber pendanaan yang berasal dari perbankan, mekanisme penyalur-an
pendanaannya mengikuti prosedur standar komersial dimana calon nasabah dapat
memperoleh informasinya di kantor perwakilan bank yang bersangkutan.
Hingga saat ini, model-model pendanaan untuk kegiatan
usaha kecil bagi masyarakat pesisir (terutama nelayan tradisional) yang telah
direalisasikan adalah sebagai berikut :
1. Grameen Bank :
Grameen
Bank adalah model pendanaan skala kecil untuk mengembangkan usaha ekonomi
produktif masyarakat pesisir melalui penyediaan modal, pembinaan usaha secara
kontinu dan intensif, dan pendampingan berkelanjutan yang mandiri.
2. Model Pembinaan Usaha Kecil oleh BUMN :
Model
pembinaan usaha kecil oleh BUMN adalah sebuah model pembinaan dengan memanfaatkan
dana dari bagian laba BUMN, dimana pembinaannya dapat berupa pendidikan,
kemampuan kewirausahaan, manajemen serta keterampilan teknis produksi termasuk
juga pinjaman modal kerja dan investasi, jaminan kredit, pemasaran dan promosi
hasil produksi serta bantuan penyertaan.
3. Model Kemitraan :
Kemitraan
adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar,
dimana terjadi proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil oleh
usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Ketiga model pendanaan seperti
tersebut di atas, pada awal-awal realisasi-nya dapat berlangsung seperti apa
yang diharapkan. Namun ketika memasuki
musim “paceklik” dimana nelayan tradisional sama sekali tidak memperoleh
pendapatan, kelangsungan realisasi model-model pendanaan tersebut menghadapi
banyak kendala ; Akhirnya banyak nelayan tradisional yang kembali berhubungan
dengan tengkulak dan menjadikan program pendanaan seperti tersebut di atas
tidak populer di mata mereka.
III.
MODEL PENDANAAN DARI TENGKULAK
Hampir di setiap
wilayah pesisir di Indonesia dijumpai adanya tengkulak yang mengambil beberapa
fungsi pengembangan di sektor perikanan dan kelautan secara informal. Fungsi-fungsi pengembangan sektor perikanan
dan kelautan yang dimasuki oleh tengkulak tidak saja hanya pada fungsi
finansial, tetapi banyak fungsi lainnya yang telah diambilnya, yakni :
1. Fungsi Produksi :
Pada fungsi produksi ini tengkulak
mengambil peran sebagai penyedia faktor/ sarana produksi penangkapan ikan,
seperti : menyediakan biaya-biaya bekal operasi penangkapan ikan, penyedia alat
tangkap ikan dan bahkan penyedia mesin motor tempel serta kapal penangkap ikan.
2. Fungsi Pemasaran :
Ikan hasil tangkapan nelayan, pada
lokasi-lokasi dimana tidak terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) umumnya dibeli
oleh tengkulak yang kemudian oleh tengkulak disalurkan ke perusahaan-perusahaan
exportir atau disalurkan ke pasar-pasar lokal.
3. Fungsi Finansial :
Segala kebutuhan berupa finansial untuk
terlaksananya kegiatan usaha pe-nangkapan ikan senantiasa disediakan oleh
tengkulak . Nelayan hampir dapat dikatakan bergantung pada
tengkulak. Para tengkulak memberikan
bantuan finansial tanpa syarat-syarat tertentu tidak seperti pada
lembaga-lembaga keuangan (bank).
4.
Fungsi Sosial :
Dikala
terjadi musim paceklik, nelayan tidak melakukan operasi penangkapan ikan sama
sekali. Oleh karenanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari mereka banyak mengandalkan pada bantuan
tengkulak. Bahkan untuk kepentingan
biaya sekolah putera-puteri nelayan, kadang-kadang mereka juga memohon bantuan
pada tengkulak.
Hal
menarik yang perlu dikemukakan disini adalah mengapa nelayan tidak mau
memanfaatkan lembaga keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan
lainnya seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi justru mengikatkan diri
pada sistem yang dilakukan oleh tengkulak ?.
Seolah-olah telah terjadi adanya ikatan lahiriyah dan batiniyah diantara
kedua belah pihak. Apabila
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka peran yang dimainkan oleh lembaga
keuangan formal (bank) dan lembaga-lembaga keuangan lainnya seperti telah
disebutkan di atas hanyalah terbatas pada peran finansialnya saja ; itupun
menurut nelayan tradisional memerlukan persyaratan yang memberatkan
mereka. Di sisi lain, peran yang
dimainkan oleh para tengkulak adalah meliputi keseluruhan peran (produksi,
pemasaran, finansial dan sosial) yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat
nelayan tradisional yang membuat mereka “rela” mengikatkan diri pada ikatan
yang menimbulkan adanya kebergantungan.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas yang didasarkan pada hasil kegiatan
survei ke lokasi-lokasi pesisir di hampir setiap provinsi di Indonesia, maka dapat
disimpulkan bahwa pertanyaan mendasar yang kiranya perlu dikemukakan adalah :
(a). Beranikah lembaga-lembaga keuangan formal,
seperti bank memenuhi keem-
pat fungsi
pengembangan masyarakat seperti disebutkan di atas ?, artinya lembaga keuangan
formal (bank) tidak hanya bermain pada fungsi finansial- nya saja, tetapi
berani pula mengambil peran fungsi-fungsi : produksi, pemasaran dan sosial
kemasyarakatan nelayan tradisional ? ; khususnya bagi upaya penanggulangan
masyarakat nelayan tradisional.
(b). Upaya pengembangan masyarakat nelayan tradisional
seyogianya didekati tidak hanya dari aspek ekonomi semata, melainkan dominan
harus didekati melalui pendekatan-pendekatan sosial kemasyarakatan yang tumbuh
di lingkungan sekitar mereka.
(c) Masih perlu
dikembangkan adanya lembaga-lembaga keuangan yang dapat mendorong peningkatan
kesejahteraan masyarakat nelayan tradisional yang didekati berdasarkan
pendekatan sosial ekonomi budaya.
Kiranya peran yang dimainkan oleh tengkulak sangat bermanfaat bagi upaya-upaya
pengembangan model lembaga keuangan yang ideal bagi kelompok masyarakat nelayan
tradisional Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BRI, Kantor Pusat. Hambatan dan Permasalahan Perbankan dalam
Penyaluran Kredit Sektor Perikanan dan Kelautan. Nopember 2001.
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia. Pendanaan Usaha Bagi
Masyarakat Pesisir. Buku Panduan Umum,
2000.
Forindo
Bangunkonsultan, PT. Pemantapan dan
Pengembangan Akses Permodal-an Dalam Rangka Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat
Pesisir. 2001.
Jauhari
Hasan. Kontribusi UKM dan Koperasi
dalam Menunjang Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan. Nopember 2001.
Samuel
Koto. Apresiasi terhadap Kebijakan
Pengembangan UKM Sektor Perikanan dan Kelautan. Nopember 2001.