© 2003 Andy Ahmad Zaelany Posted 25 January,
2003
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Januari 2003
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. John Haluan, Msc
Implementasi Strategi Adaptasi Nelayan Bom Ikan dan
Dampaknya
Terhadap Terumbu Karang:
Kasus Pulau Karang, Propinsi Sulawesi Selatan
Oleh:
Drs. Andy Ahmad
Zaelany, M.A.
Nrp : C561020134
E-mail: andy_az62@yahoo.com
1.Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000.
Jumlah yang besar ini mengindikasikan pula kekayaan biodiversity yang dipunyai
Indonesia. Dalam buku yang dikeluarkan Conservation
International : “Megadiversity :
Earth’s Biologically Wealthiest Nations” (1998) disebutkan bahwa Indonesia
berada di urutan kedua dalam hal keanekaragaman hayati. Namun eksploitasi
berlebihan pada sumberdaya hayati sekarang ini menjadi isu kritis, dan menjadi
masalah dari manajemen biodiversiti. Isu terakhir yang banyak menyita perhatian
adalah kerusakan terumbu karang (coral
reef), karena perannya yang sentral dalam ekosistem laut.
Dengan panjang pantai 81.000
km indonesia bisa dikatakan negara yang memiliki paling banyak ragam terumbu
karang di kawasan Asia Pasifik. Dari hasil penelitian P3O-LIPI sudah berhasil diidentifikasi 354 tipe dan 75
famili terumbu karang. Terumbu karang mempunyai peran penting. Dengan
keberadaannya, pantai dan desa-desa yang terletak di dekat pantai terlindungi
dari hantaman ombak. Terumbu karang juga merupakan komponen penting untuk
bermacam-macam produk manufaktur, seperti farmasi, kesehatan dan industri
pangan. Juga untuk turisme, variasi terumbu karang yang berwarna-warni dan
dalam bentuk yang memikat merupakan atraksi tersendiri untuk orang-orang asing
maupun turis domestik, sebagaimana misalnya di Maluku dan Sulawesi Utara.
Adapun yang jarang diketahui orang adalah kemampuan terumbu karang dalam
memproduksi oksigen sebagaimana hutan di daratan
Berabad-abad penduduk yang
tinggal di dekat pantai “berhubungan” dengan terumbu karang dalam kondisi yang
kurang lebih harmonis, walaupun mereka telah melakukan eksploitasi terhadapnya.
Namun dalam beberapa waktu terakhir ini, melalui introduksi teknologi baru dan
demand yang gencar terhadap produksi laut menyebabkan terumbu karang menjadi
obyek dari perusakan yang serius.
Banyak ilmuwan melihat bahwa
penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah manusia (anthropogenic impact), misalnya melalui tangkap lebih (over-exploitation) terhadap hasil laut,
penggunaan teknologi yang merusak (seperti potassium cyanide, bom ikan,muro ami
dan lain-lain), erosi, polusi industri dan mismanajemen dari kegiatan
pertambangan telah merusak terumbu karang baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada makalah ini akan disoroti secara lebih detil tentang masalah
nelayan yang menggunakan bom sebagai teknologi tangkapnya.
2. Permasalahan
Nelayan selama ini selalu dianggap
oleh berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang.
Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan tidak ramah
lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly
technology), contohnya adalah bom ikan, potassium sianida dan lain-lain.
Fenomena yang banyak menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna bom
ikan karena dua alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan teknologi
ini terhadap terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya
jumlah nelayan pengguna bom ikan ini bersamaan dengan masa krisis ekonomi
Indonesia. Sayangnya tidak ada data kuantitatif yang akurat tentang hal ini,
hanya secara kualitatif dirasakan meningkatnya jumlah nelayan pengguna
teknologi ini. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan. Adakah mereka mengetahui
bahwa teknologi tersebut berbahaya bagi kelestarian lingkungan, khususnya
terumbu karang ? Adakah mereka mengerti jika terumbu karang rusak, mereka akan
menghadapi kesulitan yang besar di masa yang akan datang ? Jika mereka
memahami, mengapa mereka masih juga melakukannya ? Untuk mempermudah memahami
fenomena ini saya akan memaparkan hasil riset yang saya lakukan di Pulau Karang
(pseudonym).
3. Kerangka Teori
Perspektif ekologi fungsional dan
perspektif ekologi prosessual dapat
digunakan untuk menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap manusia. Dari sudut
perspektif ekologi fungsional, adaptasi yang dilakukan individu dapat dilihat
sebagai suatu respon individu atau sistem respon (human response) dengan tujuan untuk memelihara homeostasis. Sebaliknya, dari sudut perspektif ekologi prosessual,
sistem adaptasi dilihat sebagai suatu sistem perilaku yang dibentuk sebagai
hasil proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Vayda and McCay, 1975 :
293-306; Vayda and Rappaport, 1968 :
477:497). Dalam kasus yang menjadi perhatian makalah ini adaptasi dilihat lebih
sebagai suatu proses sebagaimana yang diacu oleh perspektif yang kedua. Perspektif
itu bisa dipakai untuk memahami mekanisme perubahan sosial.
Proses adaptasi --- sebagai suatu
respon terhadap perubahan fisik atau perubahan sosial --- bersifat temporer.
Perubahan lingkungan yang berpengaruh sangat kuat terhadap sistem adaptasi manusia
adalah perubahan lingkungan yang disebabkan oleh bencana (Vayda and McCay,
1975) yang berdampak besar terhadap
kesehatan atau bahkan hidup manusia. Ada dua jenis kelompok bencana, yaitu : a)
bencana fisik, seperti banjir, gunung meletus, badai, kepunahan suatu SDA yang
penting bagi komunitas di sekitarnya dan lain-lain (di Pulau Karang contohnya
adalah tinggal sedikitnya teripang dan ikan sunu serta napoleon wrasse) ; dan
b) bencana non-geofisik, misalnya perang, perampokan, pembunuhan besar-besaran
dan juga krisis ekonomi di Indonesia.
Menghadapi bencana-bencana tersebut orang akan cenderung membangun suatu
pola adaptasi yang terlihat sebagai suatu pola perilaku tertentu seperti
perubahan dalam matapencaharian.
Jika bencana berlangsung sangat lama,
umumnya sistem adaptasi yang terbentuk juga akan lebih kompleks yang
diindikasikan dari perubahan-perubahan sosio-kultural. Contoh dari Pulau Karang
adalah pengutipan uang (money collecting)
oleh pihak polisi terhadap Pa’es (nelayan pengguna bom) lebih sistematik, lebih
intensip dalam melakukan ritual / magic, meningkatkan kualitas bahan pembuat
bom dan lain-lain.
3. Fenomena Pulau Karang
Menurut penduduk
Pulau Karang ada 4 kelompok yang masuk dalam kategori nelayan (emic), yaitu Pa’taripang (nelayan yang mencari teripang), Pa’sunu (nelayan yang mencari ikan komersial seperti ikan Sunu dan
ikan Napoleon Wrasse), Pa’es (nelayan
yang menggunakan bom sebagai teknologi tangkapnya, ada yang harian ada yang
mingguan), dan Pa’dagang (kelompok
orang yang menjual-beli hasil laut seperti teripang,sirip hiu; dan
barang-barang keperluan rumah tangga seperti semen, meja-kursi, baju,
obat-obatan dan lain-lain). Namun secara etic
kita bisa katakan bahwa yang benar-benar nelayan dalam arti menangkap hasil
laut adalah Pa’taripang, Pa’sunu dan Pa’es.
Secara tradisional tujuan
kenelayanan di Propinsi Sulawesi Selatan bukanlah untuk mencari ikan sebagai
target utama. Mereka menangkap ikan
lebih untuk kebutuhan subsistensi. Kini pola tersebut sudah berubah.
Pada periode 1990-an teripang (seacucumber)
menjadi tujuan utama usaha kenelayanan mereka, yang didukung oleh meningkatnya
harga teripang dan meningkatnya demand dari berbagai
Restauran China di
berbagai negara (misalnya : Singapura, Hong Kong, Taiwan etc.) dan juga restauran
China di Indonesia (seperti di Surabaya, Jakarta, Medan). Bahkan ketika
teripang sudah sulit diperoleh di ground
fishing yang berada di dekat Pulau Karang, mereka berlayar ke Australia yang perairannya kaya dengan
teripang. Namun upaya tersebut tidak berlangsung lama, sebab pemerintah
Australia mengetahuinya dan memperketat pengawasan di perairannya. Tahun 1993 –
1994 sering sekali terjadi penangkapan perahu nelayan asal pulau ini,
nelayannya dikirim kembali ke Indonesia dan perahunya dibakar.
Sekitar tahun 1993 banyak nelayan
dari pulau ini yang tertarik juga untuk mencari ikan Sunu dan ikan Napoleon
Wrasse oleh karena daging kedua ikan itu yang konon enak sekali dan harganya
yang mahal. Ikan tersebut ditangkap untuk tujuan diekspor dalam keadaan hidup.
Restauran-restauran dengan menu masakan China di berbagai negara seperti
Taiwan, Hongkong Singapore ( Johannes and Riepen, 1995). Sekarang ini sulit
sekali menemukan ikan Napoleon Wrasse di perairan pulau ini dan sudah sedikit
ikan Sunu yang bisa diperoleh oleh nelayan. Ground
fishing mereka untuk mencari ikan Sunu adalah di daerah lepas pantai
Kalimantan Selatan.
Problemnya kini ukuran ikan-ikan
Sunu yang tertangkap makin kecil saja dan harganya juga cenderung merosot
terus, hal yang sama terjadi pada teripang. Fluktuasi nilai tukar rupiah
terhadap dollar juga sangat berpengaruh.
Sumber : Andy Ahmad Zaelany 2002
Satu hal yang menarik adalah
bersamaan dengan riset lapangan yang saya lakukan, banyak nelayan di Pulau
Karang ini yang beralih pekerjaan, dari Pa’sunu dan Pa’taripang beralih menjadi
Pa’es (nelayan pengguna bom ikan). Sebagai catatan, sudah semenjak beberapa
tahun yang lalu sudah ada nelayan pa’es, khususnya Pa’es harian. Pada saat itu kualitas
bom ikan yang digunakan sebagai teknologi tangkap masih sangatlah sederhana.
Sangat sering bom yang sudah dinyalakan sumbunya dan dilemparkan ke laut tidak
meledak. Atau bom terlalu cepat meledak sebelum sempat dilemparkan, akibatnya
bom tersebut mencelakai si nelayan. Di masa lalu sangat sering ditemui potongan
tubuh manusia, khususnya tangan yang mengapung-apung di laut.
Pada saat penelitian ini
berlangsung, kualitas bom ikan telah
meningkat dengan pesat, terutama dengan adanya perubahan material bom. Material
bom diperoleh melalui jaringan perdagangan ilegal dan “dukungan” polisi yang
korupsi. Harga-harga material untuk membuat bom ikan ini sangat mahal, namun
pendapatan yang diperoleh para nelayan jauh lebih baik. Inilah alasan yang
dikemukakan para responden dalam menjawab alasan mengapa mereka memilih menjadi
Pa’es (Zaelany, 2002)
Kondisi perekonomian yang
terpuruk dalam krisis dan punahnya atau semakin sedikitnya jenis ikan komersial
seperti Sunu fish dan Napoleon Wrasse telah menyebabkan mereka memilih
pekerjaan sebagai Pa’es. Dari hasil wawancara diketahui bahwa umumnya nelayan
telah mengetahui bahwa penggunaan bom ikan akan merusak terumbu karang; dan
mereka juga mengetahui bahwa jika terumbu karang rusak maka akan sulit
memperoleh ikan lagi (Zaelany, 2002). Namun mereka tetap memilih menggunakan
teknologi itu dengan alasan sebagaimana telah disebutkan dalam alinea di atas.
Bahkan mereka berkilah 2 hal : 1) potassium sianida lebih merusak terumbu
karang dibandingkan bom; 2) selalu ada masa istirahat (beberapa bulan) dimana
mereka tidak melaut.
Apapun kilah mereka,
pertanyaannya tetap : seberapa lama mereka akan mampu mempertahankan pendapatan yang besar dengan menggunakan bom
ikan ? Umumnya mereka berlayar hanya 5 – 7 hari. Namun kini sudah mulai ada
beberapa kelompok Pa’es yang harus bekerja selama 3 minggu oleh karena ground fishing mereka semakin jauh dari
Pulau Karang, bahkan sudah ada yang mendekati Pulau Jawa. Kecenderungannya,
mereka harus selalu mencari ground
fishing yang baru karena terumbu karang yang ada di tempat mereka biasa
mencari ikan sudah rusak atau hancur oleh bom dan akibat lanjutannya adalah
hasil ikan yang selalu semakin berkurang.
Problema baru kini muncul :
yakni adanya kebijaksanaan baru dari pemerintah berupa UU nomer 22 / tahun 1990
yang membuka era otonomi daerah atau desentralisasi. Kebijaksanaan ini
menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk mencari ground fishing yang baru.
Sebagai catatan, sudah ada beberapa kasus di daerah lain, bahwa nelayan dari
suatu daerah yang mencari ikan di
perairan daerah lain diusir keluar dengan alasan otonomi daerah.
4. Kesimpulan dan Saran
Menarik kita simak pendapat
dari ahli biologi laut terkemuka, Jacques Cousteau sebagai berikut : “Destruction is quick and easy, Construction
is slow and difficult”. Kalimat
tersebut sesuai dengan kondisi terumbu karang yang terancam berat
keberlanjutannya. Kini upaya-upaya untuk menyelamatkannya berkejaran dengan
waktu. Kasus di Pulau Karang merupakan salah satu contoh betapa beratnya penyelamatan
terumbu karang dari ancaman kerusakan, dan ancaman ini diperberat dengan
kondisi ekonomi Indonesia yang terus tepuruk dalam krisis berkepanjangan.
Penyelesaian masalah nelayan pengguna bom ikan di pulau Karang ini tidaklah
mudah dan memerlukan tahap-tahapan yang agak lama.
Yang paling pertama harus
dikerjakan adalah memotong perdagangan ilegal material untuk membuat bom ikan.
Selanjutnya menertibkan para aparatur yang terlibat atau mendukung keberadaan
sistem Pa’es, yakni para polisi yang korupsi.
Tahap berikutnya adalah
mengupayakan pola matapencaharian yang lebih baik, misalnya dengan melakukan
diversifikasi teknologi untuk jenis-jenis ikan yang berbeda. Di sini perlu
dicarikan jenis-jenis ikan komersial yang bisa diperoleh di perairan sekitar pulau.
Cara lain adalah dengan melakukan budidaya, misal budidaya ikan Sunu, dengan
memelihara bibit ikan Sunu pada kolam jaring (cage net) yang ditaruh di pinggir-pinggir laut. Cara lain lagi
misalnya mengembangkan usaha-usaha yang potensial bisa dikembangkan oleh rumah
tangga nelayan di pulau itu, seperti kerajinan perak, kerajinan dari hasil laut
atau dari tanaman yang ada di pulau, dan perdagangan antar pulau yang
sebenarnya banyak mendatangkan hasil, akan tetapi mengalami kesulitan modal.
Bersamaan dengan upaya
pemberdayaan di atas, perlu dilakukan penyuluhan-penyuluhan yang menambah
pengetahuan mereka terhadap lingkungan (khususnya laut) dan menanamkan
kesadaran untuk melestarikannya.
Glossary :
Anthropogenic impact
= degradasi lingkungan yang disebabkan ulah manusia
Bubu = teknologi tangkap yang berupa jebakan
ikan
Bunre = alat pengumpul ikan
Emic = perspektif yang berdasarkan pengetahuan
penduduk lokal
Etic = perspektif yang berdasarkan pandangan orang
luar
Homeostasis = memelihara keseimbangan dan kelestarian alam
Pa’taripang =
nelayan yang mencari Teripang
Pa’sunu = nelayan yang mencari
ikan Sunu
Pa’es = nelayan pengguna
bom ikan
Johannes, Robert E.
and Michael Riepen 1995. Environmental, Economic, and Social Implications of
the Live Reef Fish Trade in Asia and the Western Pacific. A Report for The
Nature Conservancy and the South Pacific Forum Fisheries Agency.
Vayda, A.P.,and
McCay,B.J. 1975. New Directions in
Ecology and Ecological
Anthropology. In : Annual Review of Anthropology, 4 : 293:306
Vayda, A.P. and
Rappaport,R.A. 1968. Ecology, Cultural and non-cultural, p.477-497. In :
J.A.Clifton (ed.). Introduction to
Cultural Anthropology. Houghton Mifflin, Boston.
Zaelany, Andy Ahmad 2002. Becoming The Fish-bomb Fisherman as an Adaptation Strategy in Economic Crisis Period : Case Study of Pulau Karang, Indonesia. Presented in SEAG seminar 14 – 18 October 2002, Hanoi, Vietnam.