©
2002 Adnan Wantasen Posted: 13 December, 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
December
2002
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Dr
Bambang Purwantara
Oleh:
C261020021
Latar Belakang
Salah satu dari sumber yang mendapat perhatian di wilayah pesisir adalah
ekosistem mangrove. Fungsi hutan mangrove sebagai spawning ground, feeding ground, dan juga nursery ground, di samping sebagai tempat penampung sedimen,
sehingga hutan mangrove merupakan ekosistem dengan tingkat produktivitas yang
tinggi dengan berbagai macam fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
penting. Desa Talise, yang terletak di Kecamatan Likupang Minahasa,
memiliki hutan mangrove dengan luas areal
yang diperkirakan sebesar 62 hektar. Penggunaan
mangrove oleh penduduk desa sudah dilakukan sejak lama baik sebagai kayu bakar
maupun untuk mendirikan rumah.
Tujuan Penelitian
v
Mengetahui potensi
hutan mangrove yang ada di Desa Talise.
v
Menilai secara
ekonomi manfaat langsung dari sumberdaya hutan mangrove di Desa Talise.
v
Memberikan strategi
alternatif dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk Desa Talise.
Peningkatan
pertumbuhan penduduk di Desa
Talise, maka kebutuhan hidup
masyarakat akan meningkat pula.
Peningkatan kebutuhan ini akan mendorong eksploitasi sumberdaya terutama
hutan mangrove (yang dominan berada di sana selain terumbu karang), melalui
berbagai kegiatan yang berlangsung di ekosistem mangrove maupun di sekitarnya,
yang pada akhirnya menekan keberadaan ekosistem mangrove (disamping adanya
faktor alam). Kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang tinggal disekitar hutan mangrove merupakan masalah prinsip
dalam usaha menyelamatkan hutan mangrove.
Kondisi sosial ekonomi yang buruk dari
masyarakat (nelayan) akan mendorong
peningkatan frekuensi dan intensitasnya pada penebangan liar pohon-pohon
mangrove. Hal yang lebih buruk lagi adalah masyarakat desa yang tinggal paling
dekat dengan sumberdaya hayati seringkali merupakan kelompok yang paling tidak
beruntung secara ekonomis yang termiskin diantara yang miskin (McNeely,
1988). Pada gilirannya banyak lahan
pertanian yang nilai produktivitasnya semakin merosot dan hasil panen
berkurang, akibatnya kehidupan nelayan tradisional semakin sulit. Oleh
karenanya keberadaan mangrove perlu diketahui kondisi ekologisnya serta dinilai
secara ekonomi (dengan berbagai teknik valuasi) untuk menentukan efisiensi
pemanfaatannya, berdasarkan pendekatan nilai ekonomi (nilai manfaat
langsung).
Secara ringkas, pendekatan masalah tersebut ditelusuri melalui kerangka berpikir seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
METODOLOGI PENELITIAN
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini didapat dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan lewat pengamatan/analisis langsung di lapangan, wawancara langsung dengan penduduk dan pemilihan obyek penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian adalah desa yang sudah termanfaatkan hutan mangrovenya.
Pengambilan data ekologis mangrove dilakukan pada 3 lokasi penelitian, yaitu : Pulau Kinabuhutan (stasiun I), Kampong Tambun (stasiun II) dan Kampong Talise (stasiun III). Untuk akurasi dilakukan penentuan lokasi dengan GPS (Tabel 1).
Tabel 1. Lokasi dan posisi masing-masing lokasi penelitian
NO. |
LOKASI
|
POSISI |
|
LINTANG UTARA |
BUJUR TIMUR
|
||
1 |
P. Kinabuhutan |
1o50’10”
- 1o50’38” |
125o05’24”
- 125o05’52” |
2 |
Kampong Tambun |
1o48’52”
- 1o48’20” |
125o02’56”
- 125o03’12” |
3 |
Kampong Talise |
1o49’50”
- 1o50’42” |
125o04’36”
- 125o05’16” |
Dalam penelitian ini digunakan 2
metode pengumpulan data yaitu: 1) Transek-kuadrat, dan 2) 'spot check'. Kedua metode ini diaplikasikan untuk
mendapatkan informasi komposisi jenis, struktur vegetasi dan komunitas, serta
distribusi jenis.
Metode transek-kuadrat dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus pantai, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat ukuran 10 X 10 m, jarak antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Selanjutnya, pada setiap kuadrat dilakukan perhitungan jumlah individual (pohon dewasa, pohon remaja, anakan), diameter pohon, dan prediksi tinggi pohon untuk setiap jenis. Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat deskriptif.
Proses
identifikasi jenis mangrove merupakan salah satu bagian yang penting dalam
penelitian ini. Untuk tujuan tersebut,
digunakan beberapa pedoman antara lain: Percipal dan Womersky (1975), Tomlinson
et al. (1979), dan Tomlinson (1986).
Dalam pengelolaan hutan mangrove sesuai dengan potensi dan permasalahan hasil kajian, dianalisis dengan menggunakan SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu pengelolaann. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunitie), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot yang berkisar antara 0,0 – 1,0 dimana nilai 0,0 berarti tidak penting dan nilai 1,0 berarti sangat penting. Disamping itu, diperthitungkan rating untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala dari 4 hingga 1, yaitu dari sangat baik sampai kurang baik. Selanjutnya antara bobot dan rating dikalikan menghasilkan skor (Rangkuti, 1998).
Tabel 2. Matrik SWOT
|
Kekuatan |
Kelemahan |
Peluang |
Strategi Kekuatan - Peluang |
Strategi Kelemahan - Peluang |
Ancaman |
Strategi Kekuatan - Ancaman |
Strategi Kelemahan - Ancaman |
Sosial Ekonomi
Masyarakat
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat dan atau lembaga yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pemanfaatan mangrove, dengan sub populasi pengambil hasil hutan, nelayan dan penerima manfaat keberadaan hutan mangrove. Jumlah responden yang mewakili masing-masing strata ditetapkan berdasarkan alokasi non-proporsional dan proporsional.
Setelah data potensi dan
biodiversity mangrove serta data sosial ekonomi diperoleh, akan dilakukan valuasi
ekonomi berdasarkan data-data tersebut. Dengan demikian akan diketahui manfaat
hutan mangrove terhadap masyarakat dan bagaimana mengelola hutan tersebut
secara berkelanjutan.
Analisis
Data
Ekologi Ekosistem Mangrove
1) Keragaman (Diversity) Shannon-Wienner;
dimana :
H’ = indeks keragaman ; ni = nilai tiap individu ke-i
N = total nilai; s = jumlah genera
2) Kekayaan jenis (species Richness) Margalef;
dimana : S = jumlah jenis; n = jumlah seluruh individu.
3) Kemerataan jenis (Species Evenness) Pielou;
dimana : E = Kemerataan jenis
H' = indeks keanekaragaman Shannon
S = jumlah jenis.
Melengkapi evaluasi struktur
komunitas yang telah diuraikan, juga dilakukan perhitungan nilai kerapatan,
kerapatan relatif, dominasi, dominasi relatif, frekuensi, dan frukensi relatif,
dan nilai penting mengikuti cara seperti yang dikemukakan Snedaker dan Snedaker
(1984):
1) Kerapatan : K = Jumlah individu/Luas
contoh
2) Kerapatan relatif : Kr = (Kerapatan suatu jenis/Kerapatan total) x
100%
3) Dominasi : D = Jumlah basal area/Luas
contoh
4) Dominasi relatif : Dr = (Dominasi suatu
jenis/Dominasi total) x 100%
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
5) Frekuensi : F = —————————————————
Jumlah seluruh plot
6) Frekuensi relatif : Fr = (Frekuensi suatu jenis/Frekuensi total) x
100%
7) Nilai penting : NP = Kr + Dr + Fr
Penilaian Ekonomi
ML = Dimana : ML = Total manfaat langsung;
MLi = Manfaat langsung jenis I
Model observasinya dapat ditulis sebagai berikut :
lnY = b0 + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4 + b5lnX5 + e
di mana : Y = Kayu bakar yang diminta (m3)
X1 = Biaya pengadaan (Rp/m3)
X2 = Pendapatan rumahtangga (Rp)
X3 = Umur kepala rumahtangga (th)
X4 = Pendidikan (th)
X5 = Jumlah anggota rumahtangga (orang)
b0 = Intersep (titik perpotongan dengan sumbu Y)
b1,…, b5 = Parameter yang diduga dari
data; dan e = Error observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. Taksonomi
spesies mangrove
Famili |
Spesies |
Nama Lokal |
Avicenniaceae |
Avicennia marina |
Api-api |
Rhizophoraceae |
Bruguiera cylindrica Bruguiera gymnorrhiza Rhizhopora apiculata Rhizhopora mucronata Rhizhopora stylosa |
Ting putih Makurung laut Lolaro
merah Lolaro Lolaro
putih |
Tabel 5. Distribusi Spesies Mangrove
NO. |
SPESIES |
St. I
(P. Kinabuhutan) |
St. II
(Kp.
Talise) |
St.
III
(Kp. Tambun) |
1. |
Avicennia
marina |
|
- |
- |
2. |
Bruguiera cylindrica |
|
- |
- |
3. |
Bruguiera gymnorrhiza |
|
- |
- |
4. |
Rhizhopora apiculata |
|
|
|
5. |
Rhizhopora mucronata |
- |
|
|
6. |
Rhizhopora stylosa |
- |
|
|
Ket :
: Ditemukan -
: Tak ditemukan
Gambar 2 . Profil zonasi vegetasi mangrove
Stasion I.
Gambar 3. Profil zonasi vegetasi mangrove Stasion II.
Gambar 4.
Profil zonasi vegetasi mangrove Stasion III.
Tabel 6. Variabel-variabel struktur komunitas
mangrove pada 3 lokasi penelitian.
Stasion |
Spesies |
K |
Kr |
D |
Dr |
F |
Fr |
NP |
|
A. marina |
11,50 |
25,14 |
0,56 |
14,32 |
0,37 |
24,83 |
64,29 |
St.
I
|
B. cylindrica |
4,23 |
9,25 |
0,52 |
13,30 |
0,31 |
20,81 |
43,36 |
|
B. gymnorrhiza
|
7,60 |
16,61 |
0,49 |
12,53 |
0,28 |
18,79 |
47,93 |
|
R. apiculata |
22,42 |
49,00 |
2,34 |
59.85 |
0,53 |
35,57 |
144,42 |
H’ =
1.01 R = 1.05 E = 0.64 |
||||||||
|
R. apiculata |
23,65 |
77,98 |
0,54 |
45,76 |
32,35 |
69,26 |
193,00 |
St. II |
R. mucronata |
3,75 |
12,36 |
0,41 |
34,75 |
4,64 |
9,93 |
57,04 |
|
R. stylosa |
2,93 |
9,66 |
0,23 |
19,49 |
9,72 |
20,81 |
49,96 |
H’ =
0.74 R = 0.62 E = 0.42 |
||||||||
|
R. apiculata |
25,20 |
71,63 |
0.16 |
17,39 |
0.80 |
34,63 |
123,65 |
St. III |
R. mucronata |
4,47 |
12,71 |
0.14 |
15,22 |
0.76 |
32,90 |
60,83 |
|
R. stylosa |
5,51 |
15,66 |
0.62 |
67,39 |
0.75 |
32,47 |
115,52 |
H’ =
0.68 R = 0.67 E = 0.55 |
Tabel. 7. Hasil pengukuran diameter dan tinggi pohon, pohon anakan, dan remaja serta ketebalan mangrove pada lokasi penelitian.
|
Diameter,
Tinggi, Jumlah
Anakan dan |
S T A S I O N |
||
Spesies |
Remaja |
St.
I |
St.
II |
St.
III |
B.
gymnorrhiza
|
2 Rentang diameter (cm) |
7 – 15 |
- |
- |
|
2 Rentang tinggi (m) |
5 – 10 |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon anakan |
- |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon remaja |
- |
- |
- |
R. apiculata |
2 Rentang diameter (cm) |
10 – 15 |
15 – 25 |
15 – 20 |
|
2 Rentang tinggi (m) |
5 – 8 |
7 – 20 |
5 - 10 |
|
2 Jumlah pohon anakan |
15 |
13 |
25 |
|
2 Jumlah pohon remaja |
5 |
2 |
7 |
A. marina |
2 Rentang diameter (cm) |
15 – 25 |
- |
- |
|
2 Rentang tinggi (m) |
4 – 6 |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon anakan |
3 |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon remaja |
2 |
- |
- |
R. cylindrica |
2 Rentang diameter (cm) |
15 - 20 |
- |
- |
|
2 Rentang tinggi (m) |
4 - 5 |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon anakan |
2 |
- |
- |
|
2 Jumlah pohon remaja |
- |
- |
- |
KETEBALAN
|
MANGROVE (meter)
|
50 – 100 |
25 - 75 |
20 - 40 |
Karena penggunaan kayu bakar yang berasal dari mangrove sangat bergantung pada beberapa variabel seperti biaya pengadaan, pendapatan, umur, pendidikan dan jumlah anggota keluarga, maka dari hasil analisis ekonomi dengan menggunakan regresi berganda diperoleh persamaan sebagai berikut :
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa jumlah kayu bakar yang digunakan dapat dijelaskan sebesar 100% oleh biaya pengadaan, pendapatan, umur, pendidikan dan jumlah anggota rumah tangga.
Semua variabel sosial ekonomi yang digunakan sebagai fungsi dari pemanfaatan hutan mangrove untuk dijadikan kayu bakar menunjukkan hubungan yang nyata dimana r = 1. Manfaat langsung dari hutan mangrove yang digunakan sebagai kayu bakar bernilai Rp.30.544.200/th. Nilai ini didapat dari jumlah semua kayu yang digunakan oleh seluruh kepala keluarga dikalikan dengan harga kayu bakar sebesar Rp 7500 setiap meter kubik.
Menurut Alrasjid (1989) dalam Dahuri et al., (1995) menyatakan bahwa 1 hektar ekosistem mangrove menghasilkan sekitar 9 m3/hektar/tahun. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai kayu bakar di Desa Talise sebesar 8,52 m3 kayu bakar/th untuk setiap kepala keluarga, sehingga dalam setahun dengan jumlah kepala keluarga 478 dibutuhkan 4072,56 m3 kayu bakar/tahun. Dengan pemanfaatan hutan mangrove untuk kayu bakar yang besar tiap tahun di Desa Talise, maka akan terjadi penurunan luasan hutan mangrove yang akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat di Desa tersebut.
Potensi
Hutan Mangrove
Jenis mangrove yang ditemukan memang hanya enam spesies dan ini termasuk sedikit bila dibandingkan dengan mangrove yang ada di P. Mantehage (Taman Nasional Bunaken) yang memiliki 24 jenis (Lalamentik,dkk, 1997). Pulau Mantehage merupakan pulau mangrove karena seluruh daratan ditutupi oleh hutan mangrove, substratnya sangat cocok untuk pertumbuhan mangrove, baik dimulai dari bagian tepi pulau yang tidak pernah kering dari air laut sampai dibagian daratan yang masih mengalami pasang tertinggi sehingga air laut masih menggenangi daerah tersebut.
Desa Talise memiliki substrat lempung dan berpasir dan keberadaan mangrove untuk stasion II dan stasion III hanya pada bagian tepi pantai sedangkan stasion I yang agak tebal sampai bagian belakang dekat pemukiman. Untuk stasion III juga pada bagian tenggara Pulau Kinabuhutan terdapat pulau kecil namanya P. Komang yang tergenang dengan air laut dan hanya ditumbuhi mangrove.
Untuk stasion I tidak terdapat Rhizophora mucronata dan R. stylosa sedangkan R. apiculata terdapat pada semua stasion. Stasion II dan III tidak terdapat Avicennia marina, Bruguiera cylindrica dan B.gymnorrhiza. Banyaknya bekas penebangan pohon bakau menunjukkan banyak lahan kosong bekas tumbuh mangrove dan menjadi lahan yang tidak produksi. Hal ini menyebabkan pada stasion I di P. Kinabuhutan yang merupakan areal datar dan dikelilingi pantai pasir, bila terjadi musim barat dan selatan maka air laut akan sampai didaerah pemukiman hingga tergenang.
Pembagian daerah zonasi mangrove untuk Desa Talise pada ketiga stasion hampir sama karena jenis ini terdapat pada ketiga stasion dan mendominasinya. Untuk stasion I paling depan menghadap pantai ditemukan berturut-turut A..marina, R.apiculata.diselingi B. cylindrica dan B. gymnorrhiza. Stasion I memiliki banyak jenis yang lebih besar, selain arealnya yang datar juga substratnya yang berpasir dan agak berlumpur. Untuk Satsion II dan III luas lahan terbatas dan areal di belakang penduduk sudah merupakan hutan bukit. Substrat untuk stasion II dan III juga agak bercampur dengan hancuran batu karang sisa pengambilan karang oleh penduduk dan juga bekas pengambilan galian pasir yang dilakukan oleh perusahaan budidaya mutiara.
Dengan sedikitnya lahan hutan mangrove yang ada maka kegiatan penambangan batu karang dan penggalian pasir dihentikan di lokasi tersebut. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dari seluruh masyarakat dan pemerintah desa untuk melindungi wilayah pemukiman dan sumberdaya alam yang ada. Pembangunan fisik oleh perusahaan berupa gedung tambahan perlu mencari alternatif lokasi lain untuk penyediaan bahan bagunan seperti pasir, juga penduduk yang menggunakan batu karang untuk perumahan perlu diganti dengan bahan yang lain.
Stasion I yang memiliki tingkat keanekaragaman (H’) yang tinggi menunjukkan tidak ada yang dominan dan memungkinkan untuk bertambahnya spesies yang lain untuk hidup berkembang di daerah tersebut. Dengan nilai kekayaan jenis (R) yang tinggi juga menunjukkan bahwa lebih banyak jenis yang ditemukan. Sedangkan kemerataan jenis (E) relatif tinggi. Stasion II memiliki keanekaragaman (H’) yang relatif rendah, kekayaan jenis (R) juga relatif rendah dan kemerataan jenis rendah. Stasion III juga memiliki kanekaragaman (H’) yang rendah, kekayaan jenis (R) relatif rendah.
Untuk stasion II dan III dengan keanekaragaman, kekayaan jenis dan kemerataan yang relatif rendah memungkinkan hanya beberapa spesies yang dapat bertahan hidup tidak ada yang mendominasi. Hal ini tentunya karena luas areal untuk tumbuh pada stasion II dan III lebih sempit dibanding dengan stasion I. Juga karena substrat dari stasion II dan III yang kurang terdapat lumpur dan hanya terdiri dari pasir sedikit lumpur serta hancuran batu karang. Pada daerah ini juga langsung berhadapan dengan gelombang pantai dimana pada musim tertentu terjadi ombak yang besar sehingga sukar untuk bertumbuhnya bakau.
Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan disesuaikan dengan perencanaan yang terpadu dan juga memperhatikan kebutuhan ekosistem mangrove. Pemanfaatan hutan mangrove selain digunakan secara ekonomi, juga dilihat arti penting fungsi ekologisnya sehingga dampak dari pemanfaatan dapat dikurangi. Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan eksploitasi berlebihan sehingga rusaknya hutan mangrove juga berkontribusi besar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Apabila hal ini terjadi maka habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan nilai dari kehilangan ini lebih besar dari nilai penggantinya (Dahuri dkk, 1996).
Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Talise terdapat 5 strategi. Strategi ST menempati ranking nomor 1, artinya strategi ini diprioritaskan pertama kali untuk dilaksanakan dalam pengelolaan hutan mangrove. Ranking strategi pengelolaan yang ada, secara lengkap sebagai berikut :
1. ST = Menggunakan kekuatan untuk mengurangi ancaman yaitu potensi hutan mangrove yang ada harus dibuat peraturan pengelolaannya, mendirikan lembaga pengelola, sehingga tidak akan terjadi penjarahan dan penebangan liar yang mengakibatkan kerusakan hutan mangrove yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat Desa Talise.
2. WT = Mengurangi kelemahan untuk menghindari ancaman yaitu dengan memberikan pendidikan lingkungan, pemahaman arti pentingnya lingkungan dan sosialisasi peraturan perundangan diharapkan masyarakat akan dapat mengelola hutan mangrove secara bijaksana.
3. WO = Dengan mengurangi kelemahan dan memanfaatkan peluang yang ada yaitu apabila kelemahan-kelemahan yang ada di atas dapat diatasi maka peluang untuk mengadakan pembibitan rakyat, pengembangan ekowisata dan perlindungan hutan rakyat dapat terlaksana.
4. SO1 = Dengan menggunakan kekuatan seperti potensi hutan mangrove, adanya peraturan atau hukum dan sarana transportasi lancar maka dapat dikembangkan usaha pembibitan rakyat dan ekowisata.
5. SO2 = Adanya lembaga pengelola diharapkan hutan mangrove yang masih dianggap hutan rakyat dapat dikelola secara berkelanjutan.
Dari analisis SWOT yang dilakukan, maka dapat
dilihat alternatif strategi yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan hutan
mangrove di Desa Talise. Adapun
strategi-strategi tersebut antara lain :
1.
Membuat
suatu peraturan perundangan dalam pengelolaan hutan mangrove
2.
serta
mendirikan suatu lembaga pengelola.
3. Memberikan pemahaman mengenai pendidikan lingkungan hidup dan
4.
mensosialisasikan
peraturan perundangan dalam mengelola hutan mangrove.
5.
Pengembangan
usaha pembibitan rakyat.
6.
Pengembangan
usaha ekowisata
7. Pengeloalan hutan rakyat secara berkelanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Agustono., 1996. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Bagi Masyarakat (Studi kasus di muara Cimanuk Indramayu). Tesis. PPs IPB, Bogor.
Bengen.D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Bengen, D.G., 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pedoman Teknis. PKSPL, IPB.
Bann.C., 1998. The Economic Valuation of Mangrove: A Mannual for Researchers. Economic and Environment Program for Southeast Asia, IDRC.
Crawford.B.R, P.Kussoy, A.Sihainenia, R.B.Pollnac., 1998. Sosioeconomic Aspects of Coastal Resource Use in Talise, North Sulawesi. Proyek Pesisir Publication No.TE-98/10-E. University of Rhode Island, CRC, Narragansett, Rhode Island USA.
Dahuri, R., V.P.H. Nikijuluw, Manadyanto, L.Adrianto dan Sukardi., 1995. Studi Pengembamgan Kebijaksanaan Ekonomi Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
McNeely, J..M., 1988. Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economic Incentives Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Switzerland.
Snedakeer, S.C and J.G. Snedaker. 1984. The Mangrove ecosystem: research methods, UNESCO. 251.
Percipal, M and J.S. Womersly. 1975. Florestics and ecology of the mangrove vegetation of Papua New Guinea. Botany Bull., 11: 5-96.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge Tropical Series, CambridgeUniversi ty Press. 413.