© 2003
Abdul Rokhman Posted 17 January,
2003
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Januari 2003
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof. Dr. Ir. John Haluan, Msc
IMPLIKASI GLOBALISASI EKONOMI TERHADAP
PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN
Oleh :
C. 561020054
E-mail : abyuna@yahoo.com
PENDAHULUAN
Dekade 1990-an sering disebut-sebut sebagai awal dari
era atau jaman globalisasi. Beberapa pakar mengartikan bahwa era globalisasi
adalah era dimana berkat kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi dan
transportasi yang semakin pesat dan canggih, orientasi
pemikiran--kepentingan--maupun segala daya upaya manusia untuk mewujudkan
pemikiran dan mencapai kepentingannya itu cakupannya meliputi kawasan yang
semakin “mendunia” atau global.
Fenomena era globalisasi dewasa ini tidak saja mulai
dirasakan, melainkan sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap
bangsa dan negara. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan
pergesekan kepentingan antar bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah
yang semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi
pembatas bagi upaya mengejar kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Di
bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sementara itu terjadi
pula perubahan atau perkembangan nilai maupun ukuran dalam aspek-aspek
kehidupan manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan keamanan.
Sudah barang tentu dampak era globalisasi ini
merupakan tantangan yang sangat berat bagi negara-negara berkembang, karena
kekuatan ekonomi maupun penguasaan teknologi masih terbatas bila dibandingkan
atau dihadapkan kepada kemampuan ekonomi dan teknologi negara-negara maju. Dalam
kondisi yang demikian, faktor kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya
dengan penguasaan teknologi dan manajemen, serta kejelian dan kepandaian
memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan faktor-faktor dominan bagi
bangsa-bangsa didalam menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing.
Dalam kaitan itu, sub sektor perikanan sebagai bagian
integral dari tatanan perekonomian nasional harus mampu memanfaatkan setiap
peluang dan mengatasi ancaman yang timbul dari era globalisasi. Hal ini sangat penting
mengingat sekarang Sektor Kelautan dan Perikanan telah menjadi salah satu pilar
pembangunan perekonomian nasional.
GLOBALISASI EKONOMI
DAN PERDAGANGAN BEBAS
Berbagai perkembangan perekonomian dunia yang terjadi
dewasa ini telah mendorong perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi,
finansial, investasi dan perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi
dunia usaha tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat
internasional atau global. Dampak dari padanya timbul perubahan dalam hubungan
ekonomi dan perdagangan antar bangsa di dunia.
Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin marak
setelah disetujui dan ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh
122 negara anggota di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh
Meeting). Pada
pertemuan tersebut disetujui pula perubahan nama GATT (General Agreement on
Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau
Organisasi Perdagangan Dunia/Internasional.
Tujuan utama
dibentuknya GATT/WTO adalah : (1)
liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga
produksi meningkat; (2) memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan
hambatan-hambatan perdagangan baik dalam bentuk hambatan tarif bea masuk (tariff
barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier); (3)
mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang Intellectual Property
Rights dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi peningkatan
investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan pada gilirannya
akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun demikian, karena adanya kekhawatiran
akan kegagalan perundingan GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang
sudah merasa semakin pentingnya perdagangan bebas antar negara, maka
negara-negara yang berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan
kebutuhan maupun hubungan geografis dan tradisional terdorong untuk membentuk
kelompok/kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sehubungan dengan
itu pada dekade 1990-an terbentuk beberapa kawasan perdagangan bebas seperti :
·
AFTA
(Asean Free Trade Area) yang mencakup negara-negara anggota ASEAN;
·
NAFTA
(North America Free Trade Area) yang mencakup Amerika Serikat, Kanada
dan Meksiko;
·
APEC
(Asia Pacific Economic Community) yang mencakup negara-negara di kawasan
Asia Pasifik, dan
·
Uni Eropa (European Union) yang mencakup
negara-negara di kawasan Eropa Barat.
Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas
tersebut maka untuk beberapa kawasan, liberalisasi perdagangan akan berlangsung
lebih cepat dari yang dijadualkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara
maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Sementara itu, AFTA akan mulai
diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas
sesama negara anggota APEC direncanakan akan dimulai tahun 2005.
Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia,
Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka mau tidak mau harus ikut
melaksanakan perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal itu dimanifestasikan
dalam bentuk keikutsertaan Indonesia dalam AFTA, APEC dan WTO.
Dengan berasumsi bahwa pada era perdagangan bebas masalah
hambatan tarif (tariff barrier) secara bertahap akan dapat diatasi,
perdagangan hasil perikanan nampaknya akan menghadapi permasalahan yang lebih
berat yaitu hambatan non-tarif (non-tariff barrier). Hambatan tersebut dapat
berupa hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek sanitasi dan
fitosanitasi (Sanitary and Phytosanitary).
Hambatan teknis
yang telah dan akan banyak dipakai dalam perdagangan hasil perikanan terutama
adalah masalah mutu, spesifikasi, standar serta issu lingkungan. Pada saat ini
setiap negara cenderung menerapkan standar yang berlaku di negara masing-masing
sebagai acuan dalam impor dan ekspor hasil perikanan. Akibatnya banyak timbul
masalah penolakan/penahanan bahkan embargo terhadap ekspor hasil perikanan dari
negara-negara berkembang ke negara industri maju. Sebagai contoh, terjadinya
kasus penahanan dan penolakan terhadap udang Indonesia yang diekspor ke Uni
Eropa karena produk tersebut dianggap mengandung antibiotika chloramphenicol.
Disamping itu beberapa negara-negara industri maju
juga menggunakan issu-issu lingkungan sebagai hambatan teknis dalam perdagangan
hasil perikanan. Masalah dolphin issue misalnya telah menggoyahkan
ekspor ikan tuna dari negara Amerika Latin dan Asia Tenggara pada tahun
1990-an. Bahkan akhir-akhir ini, Amerika Serikat memberlakukan ketentuan bahwa
udang yang diekspor ke negara tersebut harus ditangkap dengan menggunakan alat
tangkap yang dilengkapi TED (Turtle Excluder Devise), dengan alasan
untuk melindungi populasi penyu. Hal ini berimplikasi bahwa setiap negara yang
melakukan ekspor udang ke Amerika Serikat harus terlebih dahulu mendapatkan
verifikasi dari Pemerintah Amerika Serikat bahwa alat tangkap udang yang
digunakan memenuhi ketentuan tersebut.
Disamping masalah chloramphenicol, ekspor hasil
perikanan ke Uni Eropa juga mengalami berbagai hambatan teknis. Masalah
dekomposisi (pembusukan), kotoran dan kontaminasi bakteri pathogen merupakan
hambatan teknis yang paling banyak digunakan. Bahkan dengan terbentuknya Pasar
Tunggal Eropa, Uni Eropa mengeluarkan ketentuan bahwa setiap negara yang akan
mengekspor hasil perikanannya ke kawasan tersebut harus terlebih dahulu
mendapatkan pengakuan (Approval) sebagai negara pengekspor, demikian
juga perusahaan produsennya. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut setiap negara/produsen harus
menerapkan sistem manajemen mutu yang ekivalen dengan sistem yang diterapkan di
Uni Eropa.
Jepang sebagai negara importir utama hasil perikanan
Indonesia juga menerapkan hambatan teknis yang sangat ketat. Analisa kandungan
histamin, merkuri dan senyawa-senyawa toksin lainnya serta parasit merupakan
persyaratan yang diperlukan bagi ekspor ikan tuna ke Jepang. Disamping itu,
semua hasil perikanan yang diekspor ke Jepang harus bebas dari bakteri Vibrio cholera.
Disamping hal tersebut diatas, sejalan dengan makin
meningkatnya tuntutan konsumen terhadap jaminan mutu (quality assurance)
produk hasil perikanan yang diperdagangkan di pasar internasional, dewasa ini
sedang terjadi pergeseran dalam sistem inspeksi dan sertifikasi mutu produk
perikanan. Sistem inspeksi dan sertifikasi terhadap mutu produk akhir (end-product
inspection) sebagaimana yang diterapkan selama ini dianggap tidak mampu
memberikan jaminan mutu yang tinggi kepada konsumen, sehingga konsumen
menghendaki adanya perubahan dari sistem inspeksi dan sertifikasi produk akhir
menjadi inspeksi dan sertifikasi sistem manajemen mutu.
Sistem manajemen
mutu yang disepakati secara internasional untuk diterapkan pada industri
perikanan adalah Program HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
Program tersebut telah ditetapkan secara wajib (mandatory)
untuk diterapkan pada industri perikanan di beberapa negara industri maju
seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia
dan Kanada.
STRATEGI DAN LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN
Seperti diuraiakan di atas bahwa liberalisasi
perdagangan sebagai fenomena globalisasi ekonomi sebenarnya mempunyai tujuan
yang sangat luhur, yaitu untuk memperlancar dan meningkatkan arus perdagangan
antar negara demi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Namun demikian, pada
kenyataannya dalam perdagangan hasil perikanan terlihat adanya kecenderungan
negara-negara industri maju untuk menggunakan hambatan non tarif berupa
hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek sanitasi dan
fitosanitasi sebagai hambatan terselubung (disguished restriction) demi
kepentingan nasionalnya. Hal ini karena berdasarkan perjanjian GATT-Putaran
Uruguay, setiap negara anggota WTO diperbolehkan untuk memberlakukan peraturan
mengenai masalah teknis dan aspek sanitasi & fitosanitasi sepanjang untuk
tujuan melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan maupun tanaman serta
melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan.
Sementara itu, bagi Indonesia dan negara-negara
berkembang lainnya diperkirakan akan sedikit atau kurang dapat memanfaatkan
peluang-peluang yang ada dari globalisasi ekonomi ini. Bahkan dikhawatirkan
bahwa tanpa adanya konsolidasi dan pembenahan-pembenahan, kelancaran ekspor
hasil perikanan Indonesia justru akan terhambat dengan adanya perdagangan
bebas. Dilain pihak, Indonesia dapat menjadi dumping ground dari
membanjirnya produk-produk perikanan dari luar negeri karena peraturan mengenai
masalah teknis dan sanitasi & fitosanitasi di Indonesia masih lemah serta
pangsa pasar dalam negeri yang cukup besar. Kecenderungan ini sudah terlihat
dari membanjirnya buah-buahan impor di pasar dalam negeri dan meningkatnya
impor daging ternak.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tujuan yang
luhur dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat besar
terhadap pengembangan usaha perikanan di Indonesia dan negara-negara berkembang
lainnya. Oleh
karena itu, dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan 3 (tiga)
persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) super efficient,
(2) real quality, dan (3) mega marketing. Super efficient
dimaksudkan bahwa proses produksi dan pemasaran produk perikanan harus
dilakukan secara efisien, sehingga harga jual produk tersebut bisa lebih rendah
dari yang ditawarkan oleh negara kompetitor. Untuk mencapai tingkat efisiensi
yang tinggi diperlukan penguasaan teknologi dan manajemen yang memadai pada
sisi pelaku usaha, dan penerapan standar pelayanan prima pada sisi pemerintah.
Real quality dimaksudkan bahwa produk hasil perikanan harus
betul-betul bermutu tinggi.. Untuk itu pembinaan dan pengawasan mutu
harus ditangani secara lebih serius untuk mendapatkan mutu yang konsisten
sesuai permintaan pasar. Sedangkan mega
marketing dimaksudkan bahwa kita harus selalu melakukan market
intelligence, untuk mempertahankan pasar yang sudah kita kuasai dan
meningkatkan akses pasar yang lebih luas.
Strategi di atas
dapat diimplementasikan melalui berbagai langkah operasional, antara lain :
a) Menerapkan kaidah-kaidah yang termuat dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam pengelolaan sumberdaya ikan;
b) Restrukturisasi industri penangkapan ikan nasional dengan meningkatkan komposisi kapal-kapal besar yang berkemampuan jelajah tinggi, terutama untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan KTI dan ZEEI;
c) Mengembangkan komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi;
d) Mengembangkan prasarana perikanan terutama di KTI, seperti Pelabuhan Perikanan/ Pangkalan Pendaratan Ikan guna mendukung peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan tersebut;
e) Meningkatkan kemampuan penetrasi pasar dan daya saing produk perikanan di pasar internasional melalui : peningkatan mutu produk, diversifikasi produk, diversifikasi pasar, penguasaan informasi pasar, peningkatan kegiatan promosi dan peningkatan akses pasar melalui Memorandum of Understanding (MOU)/Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan negara importir potensial.
f) Mengembangkan usaha perikanan yang berwawasan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan hidup, serta untuk menangkal issu-issu lingkungan yang dituntut negara-negara mitra dagang;
g) Menerapkan Program HACCP secara konsisten pada seluruh tahapan produksi hasil perikanan, untuk memberikan jaminan mutu yang lebih tinggi kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.
PENUTUP
Dari uraian di
atas terlihat bahwa globalisasi ekonomi mempunyai implikasi yang besar terhadap
perdagangan hasil perikanan dunia dan pengembangan usaha perikanan di
Indonesia.
Liberalisasi
perdagangan sebagai fenomena globalisasi ekonomi sebenarnya mempunyai tujuan
yang luhur, yaitu untuk memperlancar dan meningkatkan perdagangan dunia demi
peningkatan kesejahteraan umat manusia. Namun demikian, liberalisasi
perdagangan hasil perikanan diperkirakan tidak akan berjalan secara efektif,
karena negara maju akan menggunakan hambatan teknis untuk mengfilter masuknya
hasil perikanan dari luar negeri.
Disisi lain,
negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang mempunyai peraturan teknis dan
sanitari & fitosanitari relatif longgar diperkirakan akan kebanjiran produk
impor dari negara maju. Oleh karena itu Indonesia perlu menerapkan strategi dan
langkah-langkah operasional agar dapat bersaing di pasar global sekaligus
membendung mengalirnya impor dari luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,
M. Amin, 1993. Pasar
Global Agroindustri – Prospek Pengembangan pada PJPT II.
Bangkit, Jakarta.
Asian Productivity Organization,
2002. Quality
Control in Fish Processing. Asian
Productivity Organization,
Tokyo, Japan.
Yamazawa, Ippei, 200. Developing Economies in The
Twenty-First Century – The
Challenges of Globalization, Institute of Developing Economies, Japan External
Trade Organization, Chiba,
Japan