© 2002 YULIAN FAKHRURROZI Posted: 11 June, 2002
Tugas Mata Kuliah Falsafah
Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana (S3)
Institut Pertanian Bogor
Juni 2002
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)
Oleh:
YULIAN FAKHRURROZI
TKL/C026014011
E-mail: fakhrurrozi@myquran.com
Buah-buahan termasuk alam nabati (tumbuhan, flora) yang merupakan salah satu bentuk kekayaan hayati Indonesia. Sebagai negara megabiodiversitas, kekayaan yang amat besar itu menjadi bertambah besar lagi karena pengaruh keanekaragaman etnik (masyarakat) dan budayanya (kehidupannya). Akan halnya keanekaragaman hayati buah-buahan, peranan etnik dan budaya masyarakat tradisional (lokal) dalam pengetahuan, pemeliharaan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, telah berperan besar menambah kekayaan plasma nutfah buah-buahan tropika dan upaya konservasinya. Begitu pula yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Melayu lokal yang hidup di desa-desa pedalaman Pulau Belitung.
Siapapun yang ingin hidup sehat, pasti suka atau paling tidak pernah makan buah, bahkan lagu klasik tentang buah ciptaan Pak Kasur (Pepaya, mangga pisang, jambu, dibeli dari Pasar Minggu. Di desa banyak penjualnya, di kota banyak pembelinya. ……) kinipun masih disukai/diajarkan para orang tua atau guru kepada anak/muridnya. Selain tak lupa mengungkap jasa penjualnya (petani) yang banyak tinggal di desa, syair lagu itu sarat akan makna dan ragam dampaknya (pedagogi, etnobiologi, biodiversitas dan konservasi). Itulah ungkapan tentang keanekaragaman buah unggul, enak dan telah dipelihara/dikembangkan (domestikasi dan pemuliaan) masyarakat tani/desa yang disebut sebagai buah budidaya (kultivasi).
Awam mungkin tak pernah atau amat jarang sekali bertanya dari mana awal atau bagaimana sejarah cikal-bakal aneka-buah unggul dan enak tadi. Dari mana lagi kalau bukan dari buah-buah liar (edibel), yang umumnya tumbuh liar di hutan-hutan. Mereka itulah (kerabat buah liar) yang bersama generasi domestikasinya (jenis-jenis budidaya) disebut sebagai plasma nutfah buah-buahan. Dengan melibatkan kerabat liarnya tadi, pengembangan potensi keunggulan sifat dan ciri buah-buahan tropika negeri ini akan makin progresif, apalagi dengan menghargai atau tanpa melupakan peranserta dan jerih payah masyarakat pedalaman (desa dan hutan).
Masyarakat Pedalaman dan
Buah-buahan Liar Edibel
Masyarakat pedalaman adalah pelopor pengembangan
(domestikasi dan pemuliaan) buah-buahan liar edibel (buah-buah hutan, bua utan) menjadi buah-buahan tropika
lokal unggul yang bisa kita nikmati kini.
Merekalah saksi atau
fosil hidup sejarah peradaban manusia di bumi ini. Sejak terbit fajar peradaban manusia, keedibelan (ketermakanan)
merupakan pertanyaan pertama yang muncul di benak seorang primitif ketika
berjumpa dengan tumbuhan yang baru baginya (Rifai, 1994). Pertanyaan lainnya lalu berkembang meliputi
segala maksud dan keperluan, baik yang terkait dengan budaya maupun aspek
lainnya termasuk ekonomi (Rifai, 1998).
Buah
dipastikan merupakan makanan (sumber pangan) pertama yang dianugerahkan Sang
Pencipta kepada manusia pertama. Beberapa kitab suci (bagi yang beriman,
seperti QS.2:35-36) mengisahkan bahwa karena buah jualah Adam dan Hawa
diturunkan ke muka bumi (awal kejadian), begitupun kisah pembunuhan pertama
(kisah Habil dan Qabil, QS.5:27) berkaitan dengan buah-buahan (sebagai pangan
persembahan). Namun yang jelas
logiknya, tumbuhan dan buahnya adalah sumber makanan pertama yang termudah
didapat sekaligus paling menarik di zaman prasejarah. Bahkan mengumpulkan
buah-buahan (meramu) bisa dipastikan
lebih duluan dilakukan daripada menangkap hewan (berburu), yang butuh lebih
banyak tenaga, keahlian dan kesempatan.
Dalam
perkembangan selanjutnya buah-buahan (liar) edibel tadi kemudian ditanam/dipelihara dekat kediaman
manusia. Sejak itulah dimulainya masa
pertanian prasejarah, dimana umbi-umbian juga mulai ditanam dan hewan buruan
mulai dipiara. Dengan upaya
domestikasi, seleksi dan pemuliaan terhadap buah-buah liar tersebut, yang
berlangsung sejak zaman prasejarah oleh manusia primitif sampai berikutnya oleh
masyarakat tradisional dan modern kini, barulah kita dapatkan buah-buahan
budidaya yang enak dan unggul. Hal itu
berarti juga bahwa buah-buahan di masa lalu belum tentu seenak dan seunggul di
masa kini.
Sisa-sisa
atau saksi sejarah perkembangan buah-buahan tadi dapat kita telusuri kembali di
alam masyarakat pedalaman (dekat hutan).
Yaitu dengan mengkaji segala aspek kehidupan tradisionalnya yang terkait
dengan tumbuhan, buah-buahan dan lingkungannya, mulai dari yang terdekat yaitu
pekarangan di pemukiman, sampai ke ladang dan hutan di lingkungan lainnya. Namun untuk memulai kajian, paling mudah
adalah dari bentuk-bentuk peralihan, yaitu buah-buahan semidomestikasi
(semiliar) dan lingkungan agrofores. Kedua
bentuk peralihan itu adalah produk kearifan lokal masyarakat tradisional, yang
membuktikan peranan penting mereka dan peranan buah-buahan liar edibel (buah
hutan). Dengan kata lain buah-buahan semiliar dan lingkungan agroforest adalah
titik (jalur) temu paling kongkret antara dua alam (kehidupan), yaitu liar (wildlife) dan budidaya (budaya).
Buah-buahan Liar Edibel
Membicarakan tentang buah-buahan, akan lebih mudah dan bermanfaat jika dibahas lebih ke arah ekologi. Dengan sudut pandang ekologi pembahasan buah tak akan terpisahkan dengan biji (Pijl, 1990), bahwa buah bersama biji merupakan organ tumbuhan yang normal untuk pemencaran rekombinatif generatif. Hal ini sejalan dengan pengertian seperti yang ditulis Verheij & Corronel (1997, editor) bahwa buah-buahan edibel (yang dapat dimakan) meliputi fruits (buah biasa) dan nuts (buah geluk atau biji yang dapat dimakan).
Buah-buahan budidaya (cultivated/domesticated) sudah umum diketahui dan dipahami pasti edibel (dapat dimakan), dan umumnya lebih enak dimakan sebagai hasil proses panjang domestikasi, pemuliaan dan seleksi yang dilakukan oleh petani. Lain halnya dengan buah-buahan liar (wild fruits & nuts) yang jangankan keedibelannya, rupanyapun belum tentu diketahui oleh orang awam. Apa lagi belum atau jarang sekali adanya tulisan/publikasi khusus (ilmiah atau ilmiah populer) tentang itu. Pengetahuan tentang buah-buahan liar edibel biasanya ada pada kehidupan tradisional masyarakat pedalaman dekat hutan, seperti pada masyarakat Melayu Belitung (Fakhrurrozi, 2001).
Dalam masyarakat Melayu Belitung, bila disebut bua utan (buah hutan) yang dimaksud
adalah buah-buahan (fruits & nuts)
yang edibel. Fakhrurrozi melaporkan,
masyarakat setempat (khususnya di Tanjong Rawa, Desa Kelubi, Manggar) mengenal
paling tidak 120 jenis. Menurut pengetahuan mereka (dalam lagu Bua Utan, ciptaan Abdul Hadi (Margono,
1989) buah-buahan liar itu (termasuk nuts)
dikelompokkan menjadi bua kayu, bua akar dan bua laruten (lihat Tabel Lampiran, Tabel 1 dan Gambar 1). Meski begitu mereka juga paham bahwa
diantaranya ada juga yang (berisiko) memabukkan, yang secara umum disebut bua mabok.
Tabel 1. Kategori perawakan, macam dan kelompok buah tumbuhan bua utan
Perawakan (etik) |
Jumlah jenis |
% total |
Macam buah (emik) |
Jumlah jenis |
% total |
Kelompok buah edibel |
Jumlah jenis |
% total |
Pohon |
79 |
65,8 |
Bua kayu |
99 |
82,5 |
Fruits (buah biasa)
|
112 |
93,3 |
Semak |
22 |
18,8 |
Bua akar |
13 |
10,8 |
Nuts (buah geluk) |
8 |
6,7 |
Palem |
9 |
7,5 |
Bua laruten |
8 |
6,7 |
|
||
Herba |
9 |
7,5 |
|
|||||
Liana |
6 |
5,0 |
|
(Sumber: Fakhrurrozi,
2001)
Gambar 1.
Kategorisasi buah dan tumbuhan bua
utan
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Mengapa buah-buahan liar edibel (bua utan) tidak selalu enak rasanya bahkan berisiko jika dimakan, termasuk beracun atau memabukkan? Hal itu karena memang sudah menjadi kodratnya, bahwa setiap makhluk hidup memiliki mekanisme untuk mempertahankan diri. Jika di satu sisi pemakan buah merupakan salah satu target strategi tumbuhan liar untuk memencarkan bijinya, di sisi lain tumbuhan tersebut membuat strategi khusus untuk menghindari pemangsa yang merugikan (Pijl, 1990). Adalah merugikan tumbuhan tersebut jika terbawa/terpencar sebelum waktunya, sebelum biji matang dan siap tumbuh di tempat baru. Oleh karen itulah umumnya buah-buahan yang mentah penampakannya kurang/tidak menarik, rasanya tidak /kurang enak bahkan berisiko memakannya, hal inilah yang dianggap sebagai mekanisme seleksi pemencar atau pertahanan dirinya (Whitten dkk., 1984).
Dari alinea di atas dipahami bahwa buah-buahan liar umumnya lebih banyak memiliki mekanisme pertahanan diri dan strategi memilih pemencar khas. Karena itu buah-buahan liar termasuk yang edibel (bua utan), dibandingkan dengan buah budidaya memiliki sifat-sifat yang umumnya a.l.: kurang menarik penampilannya, kurang enak rasanya, berisiko memakannya, kurang seragam penampakannya, kurang serentak matangnya, dan perlu strategi tertentu untuk memakannya. Menurut laporan Fakhrurrozi (2001), dari keterangan masyarakat setempat paling tidak ada 20 jenis bua utan yang berisiko (kurang aman) jika dimakan, hal itu wajar karena namanya saja untuk keperluan survival. Walaupun begitu menurut segolongan orang atau masyarakat, khususnya bagi masyarakat pedalaman setempat bua utan memiliki keunikan tersendiri a.l.: kaya variasi rasa (aneh, khas, unik dan menarik), butuh tantangan (sintasan belantara), sarat dengan kesan dan hiburan, serta memberi banyak pelajaran dan pengalaman.
Habitat buah-buahan liar edibel
Secara etnoekologi, habitat buah-buahan liar edibel (bua utan) di lingkungan masyarakat pedalaman setempat dibagi menjadi tiga macam, yaitu ekosistem alami, ekosistem buatan dan ekositem suksesi. Ketiganya terjadi sebagai hasil dari sistem pengelolaan lingkungan tradisional, baik itu sistem pertanian ladang berdaur-ulang maupun sistem pemukiman khas masyarakatnya. Ekosistem alami merupakan lingkungan yang asli alami atau dipertahankan kealamiannya, ekosistem buatan merupakan lingkungan yang sedang ditempati/diusahakan, dan ekosistem suksesi merupakan lingkungan yang sedang mengalami proses (pemberaan).
Fakhrurrozi (2001) dalam laporan penelitiannya menyebutkan beberapa satuan lansekap penting yang menjadi habitat bua utan. Diantaranya adalah rimba’ (hutan rimba), padangen (padang), dan lingkongen ai’ (hutan sumber air pemukiman) untuk ekosistem alami, ume (ladang) dan pekarangen (pekarangan) untuk ekosistem buatan, serta bebak (lahan bera), bebak usang (lahan bera tua), keleka’ (kebun buah tua) dan keleka’ usang (kebun buah tua yang telah lama ditinggal) untuk ekosistem suksesi. Dalam laporan tersebut tercatat bahwa jumlah jenis (tumbuhan) bua utan yang diketahui masyarakat, paling banyak (>50%) dijumpai berturut-turut di rimba’, lingkongen ai’, bebak usang, pekarangen, bebak, keleka’ usang dan keleka’ (lihat Tabel 2 dan Gambar 2).
Tabel 3. Tipe ekosistem, satuan lansekap dan jumlah jenis tumbuhan BLE
Ekosistem Alami |
Jumlah jenis |
Ekosistem Suksesi |
Jumlah jenis |
Ekosistem Buatan |
Jumlah jenis |
Rimba’ |
105 (92,1%) |
Keleka’ |
54 (52,9%) |
Pekarangen |
71 (87,7%) |
Padangen |
27 (23,7%) |
Keleka’ usang |
57 (55,9%) |
Ume |
14 (17,3%) |
Ai’ |
102 (89,5%) |
Bebak |
65 (63,7%) |
Total: 81 jenis |
|
Pesisér |
3 (2,6%) |
Bebak usang |
87 (85,3%) |
|
|
Bakau |
2 (1,8%) |
Total: 102 jenis |
|
||
Total: 114
jenis |
|
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Jumlah-jumlah itu membenarkan bahwa memang ekosistem alami atau hutanlah umumnya habitat berbagai jenis buah-buahan liar edibel, tidak keliru bila masyarakat setempat menyebutnya sebagai bua utan (buah hutan). Kenyataan itu juga membenarkan kebiasaan mereka yang menjadikan kehadiran berbagai jenis (tumbuhan) bua utan sebagai indikator keberhasilan suksesi lahan bera menghutan lagi. Selain itu juga menunjukkan bahwa kehidupan mereka tidak pernah jauh sekaligus tergantung langsung dengan lingkungan hutan atau kehidupan liar. Kehadiran jenis-jenis (tumbuhan) buah-buahan liar edibel (bua utan) tersebut, merupakan representasi kehadiran hutan atau kehidupan liar di lingkungan hidup mereka, baik di lingkungan pertanian, pemukiman maupun di sekitarnya.
Paling menarik adalah jenis-jenis bua utan yang berhabitat atau bisa dijumpai dijumpai di keleka’ dan keleka’ usang. Keleka’ yang dikenal juga dengan istilah kebun bua baka (kebun buah lama), merupakan perkembangan dari kebun buah tahun (bua taun) di pekarangan (pekarangen). Kelompok bua utan yang umum dijumpai di dalamya berupa jenis-jenis bua utan semiliar atau semidomestikasi (Purwanto, 1992). Jenis-jenis semiliar ini status konservasinya menurut kriteria Valkenburg (1997) meliputi primarily wild (terutama liar), wild & cultivated (liar dan budidaya) dan primarily cultivated (terutama budidaya) (lihat Tabel 3). Fakhrurrozi (2001) melaporkan ada 20 jenis bua utan semiliar (dari total 120), yang bersama buah-buah budidaya lokal tak umum dikelompokkan masyarakat setempat sebagai bua baka atau bua langka (buah langka). Buah budidaya lokal tak umum misalnya kemang (Mangifera kemanga), jambu kemang (Syzygium malaccensis) dan nam-nam (Cynometra cauliflora). Boleh dikatakan bahwa jenis bua utan yang enak dan unik justru paling banyak dan paling mudah ditemui keleka’ atau keleka’ usang daripada di hutan rimba’.
Gambar 2. Perkembangan satuan-satuan lansekap
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Keterangan
Kubok: pemukiman perintis; Kampong: pemukiman (kampung)
Tabel
3. Status keliaran tumbuhan bua utan
Status
keliaran |
Jumlah jenis |
Wild (liar) |
99 (82,5%) |
PrimarilyWild (terutama
liar)
|
14 (11,7%) |
Wild & cultivated (liar dan
budidaya) |
5 (4,2%) |
Primarily cultivated (terutama budidya) |
2 (1,6%) |
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Peranan Buah-buahan Liar Edibel
Membicarakan peranan (fungsi dan manfaat) bua utan, kita tak akan pernah memisahkan antara peranannya secara biologi dan etnobiologi, artinya baik antara pemahaman saintis maupun masyarakat setempat dengan kearifannya (pengetahuan asli) pada hakikatnya tidaklah jauh berbeda. Begitu pula antara peranannya sebagai organ tersendiri dan sebagai organ yang mewakili tumbuhan berbuah/berbiji secara utuh (individu, populasi dan komunitas).
Pertama, sebagai alat pemencaran (normal) berbagai jenis tumbuhan liar penting. Pemencaran ini dilakukan dalam rangkaian upaya demi melestarikan jenis, baik dilakukan dengan bantuan faktor internal maupun eksternal. Hal inilah yang selanjutnya memberikan pelajaran kepada manusia atau masyarakat setempat bahwa untuk memudahkan mendapatkan kembali jenis-jenis tadi mereka harus menanamnya atau membiarkan/memelihara faktor-faktor yang membantu pemencaran tersebut. Kebiasaan menanam/memelihara jenis-jenis bua utan ini masih terlihat di lingkungan masyarakat setempat, termasuk pula di pekarangan dan kebun buah (pekarangen dan keleka’) khususnya.
Kedua, sebagai sumber makanan (pakan) bagi satwa-satwa liar. Peranan ini sejalan dengan peranan pemencaran, dimana satwa pemakan buah (frugivor) merupakan salah satu faktor eksternal pemencaran, yaitu pemencaran dengan bantuan hewan (zookori). Satwa pemakan bua utan khususnya berbagai jenis burung dan mamalia (terutama primata yaitu kera) dijadikan “guru” atau contoh (teladan) oleh manusia /masyarakat setempat, paling tidak untuk tujuan survival (bertahan /sintas) di hutan. Ini sekaligus membuktikan pendapat Rifai (1994) bahwa keedibelan merupakan aspek awal pemanfaatan tumbuhan oleh manusia. Dengan hal ini pula mereka belajar dan mengajari anak/remajanya tentang survival dan pentingnya kelestarian jenis-jenis (tumbuhan) bua utan, satwa liar dan habitatnya (hutan). Satwa-satwa itu disebut mereka dengan istilah munso (pemakan) bua utan.
Ketiga, sebagai penjaga munso (satwa liar) agar tidak mengganggu tanaman budidaya. Bertolak dari peranannya sebagai sumber
pakan utama satwa liar, secara sadar masyarakat setempat
memperhatikan/menerapkan betul peranan ketiga bua utan ini. Itu sebab mengapa sampai kini mereka masih
memelihara, mempertahankan ataupun menghadirkan satuan-satuan lansekap yang
mendukung peranan ini di lingkungan mereka.
Yaitu lingkongan ai’, keleka’, keleka’ usang, bebak dan bebak usang, semuanya ikut berperan menyangga lingkungan budidaya
(baik di pemukiman maupun perladangan) karena di situ dibiarkan tumbuh atau
sengaja ditanami jenis-jenis bua utan. Lebih dari itu bahkan di pekarangan dan
ladangpun (pekarangen dan ume) keberadaan jenis-jenis bua utan tertentu masih mereka
pertahankan. Semuanya menurut mereka bertujuan untuk mengalihkan perhatian munso ke bua utan dan mengamankan buah-buahan dan tanaman budidaya penting
mereka lainnya.
Keempat, sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan. Plasma nutfah adalah konsep yang lumayan sulit dimengerti, apalagi oleh masyarakat pedalaman setempat. Namun prinsip dan manfaat praktisnya telah mereka laksanakan dan rasakan sejak lama. Dengan dipelihara atau ditanamnya berbagai jenis bua utan di berbagai satuan lansekap “lingkungan penyangga” mereka, khususnya keleka’, disadari atau tidak mereka telah melakukan upaya konservasi, domestikasi, pembibitan, seleksi bahkan pemuliaan untuk menghasilkan jenis buah-buahan unggul. Sebagai dipahami bahwa cikal-bakal buah unggul lokal adalah buah-buahan liar edibel (bua utan) tadi. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jenis buah semiliar (semidomestikasi) yang bisa dijumpai di keleka’-keleka’ masyarakat setempat (lihat Tabel 3). Keleka’ adalah kebun buah tua (belasan/puluhan tahun) yang kondisinya lebih mirip hutan campuran dengan inti pepohonan buah tahunan (bua taun), berkembang dari kebun pekarangan (pekarangen) dan kemudian akan menjadi keleka’ usang (lihat Gambar 2).
Kelima, sebagai media pembelajaran/pewarisan pengetahuan dan kearifan. Bagi masyarakat setempat, dengan bua utan mereka bisa mengajarkan dan belajar banyak hal terutama bagi anak-anak/remaja sebagai generasi penerusnya. Tidak hanya tentang “sintasan belantara”, tetapi terutama tentang saling ketergantungannya antara masyarakat, satwa, tumbuhan dan hutan, dan tentang pentingnya memelihara kelestarian lingkungan hidup mereka. Pengajaran kearifan bisa terlihat salah satunya adalah tentang menghargai (peninggalan) sejarah dan kasih sayang kepada anak-cucu, dimana biasanya kaum tua (kakek-nenek) senang menanam pohon buah (termasuk bua utan) sebagai kenangan indah dan kebaikan buat anak-cucunya di kemudian hari. Banyaknya jenis bua utan di pekarangen, keleka’ dan keleka’ usang adalah berkat jasa kakek-nenek mereka. Karena itu ada istilah keleka’ datu’ atau keleka’ niné’ (datu’= buyut; niné’= nenek).
Tabel 4. Sumbangan jenis tumbuhan BLE terhadap kategori manfaat utama
Jumlah |
Kategori manfaat etik
(Phillips & Gentry, 1993) |
Total |
||||
Konstruksi |
Makanan |
Komersial |
Obat-obatan |
Teknologi |
||
manfaat |
56 |
159 |
37 |
108 |
200 |
560 |
% |
10,0 |
28,4 |
6,6 |
19,3 |
35,7 |
|
jenis |
33 |
120 |
28 |
41 |
64 |
120 |
% |
27,5 |
100 |
23,3 |
34,2 |
53,3 |
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Keenam, baik sebagai organ tersendiri maupun sebagai bagian utuh individu tumbuhannya, bua utan atau tumbuhan bua utan banyak memberikan beranekaragam manfaat kepada masyarakat pedalaman setempat. Seperti dilaporkan Fakhrurrozi (2001) dari paling tidak 120 jenis tumbuhan bua utan yang diketahui masyarakat setempat, secara etik menurut Phillips & Gentry (1993) dengan 5 kategori manfaat, total manfaatnya minimal ada 560 item (lihat Tabel 4). Jumlah item manfaat makanan adalah terbanyak kedua, dimana manfaat dari buah atau bijinya minimal 130 item. Selain bermanfaat sebagai makanan, buah/biji diantara jenis-jenis itu ada pula yang bermanfaat obat, komersial dan teknologi. Sedang sumbangan tumbuhan jenis-jenis itu terhadap beberapa manfaat emik penting minimal 778 item manfaat. (lihat Tabel 5). Paling tidak semua itu adalah manfaat yang telah dilaporkan, mungkin masih banyak manfaat lain yang belum dilaporkan/diketahui, apalagi mereka menganut kepercayaan tidak ada sesuatupun di bumi ini yang diciptakan-Nya dengan sia-sia (QS.3:190).
Tabel 5. Sumbangan jenis tumbuhan terhadap beberapa manfaat penting
Jumlah |
Kategori manfaat (emik) |
Total |
||||||||
Kelau/ survival |
Burung buruan |
Mamaliaburuan |
Pakan munso |
Sumber madu |
Junjong-en lada |
Kayu bakar |
Hiasan hutan |
Per-mainan |
||
manfaat |
115 |
47 |
29 |
I81 |
21 |
48 |
27 |
280 |
40 |
778 |
% |
14,78 |
6,04 |
3,73 |
23,27 |
2,70 |
6,17 |
3,47 |
35,99 |
5,14 |
|
jenis |
113 |
12 |
12 |
82 |
21 |
26 |
27 |
103 |
40 |
120 |
% |
94,2 |
10,0 |
10,0 |
68,3 |
17,5 |
21,7 |
22,5 |
85,83 |
33,3 |
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)
Ketujuh, sebagai bagian tumbuhan liar secara utuh (baik individu, populasi maupun komunitas) bua utan dan tumbuhannya, dalam kehidupan masyarakat setempat biasa pula berperan sebagai indikator keberhasilan suksesi lahan bera menghutan kembali (minimal tiga tahun). Makin banyak individu, populasi atau komunitas jenis tumbuhan bua utan di lahan bera, makin berhasil sukesinya hingga layak dibuka lagi untuk ladang (ume). Bebak usang (bekas lahan ume) adalah lahan bera yang utama untuk dibuka lagi jadi ladang, sedangkan lahan bera dari keleka’ usang (bekas pekarangen/kebun buah) tak diutamakan, kecuali jika maslahatnya lebih umum/besar seperti diwakafkan untuk makam/masjid. Menurut pengalaman mereka (dibenarkan laporan Fakhrurrozi, 2001), secara sempit (tak akumulatif) luasan pada ekosistem suksesi menampilkan kualitas dan kuantitas jenis bua utan lebih besar daripada ekosistem alami. Artinya dalam dimensi ruang dan waktu terbatas, jenis bua utan lebih banyak dijumpai di bebak, bebak usang, keleka’ dan keleka’ usang daripada di hutan rimba’ atau lingkongen ai’. Kehadiran kehati khususnya bua utan yang lebih banyak dan lebih dekat akibat suksesi (pemberaan) inilah (khususnya di bebak dan bebak usang) yang disukai dan dimanfaatkan masyarakat setempat seoptimal mungkin demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk berburu.
Kedelapan, karena banyak dan besarnya peranan yang dimainkan bua utan tadi, wajar jika masyarakat pedalaman setempat menjadikannya sebagai “simbolisasi” dari hutan secara keseluruhan. Artinya berbagai fungsi dan manfaat hutan dengan segenap aspek dapat terwakili/dijelaskan cukup dengan tumbuhan bua utan. Terlebih kini sejak hutan di lingkungan mereka dibuka besar-besaran jadi perkebunan kelapa sawit, daya dukung lingkungan demi kelangsungan/keberlanjutan kehidupan mereka menurun drastis. Terutama berkenaan dengan fungsi penyangga lingkungan budidaya dari munso, fungsi hidrologi hutan (air untuk kebutuhan harian dan pengolahan lada) dan fungsi satwa liar untuk pertanian/perlebahan (penyerbukan tanaman dan produksi madu alam). Jika ditanyakan apa peranan utama bua utan, jawaban mereka amat sederhana yaitu sebagai pakan munso, namun maknanya amatlah luas dan dalam.
Kesembilan, karena menjadi simbolisasi hutan terutama dengan berbagai fungsi dan manfaatnya tadi, maka sebaliknya bua utan juga sekaligus bisa menjadi “kunci” pembuka wawasan bagi siapapun terhadap pengetahuan masyarakat setempat (indigenous knowledge) tentang anasir kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya mereka lainnya. Misalnya keanekaragaman pangan, tanaman pertanian, kayu-kayuan, tanaman obat, satuan lansekap, mata pencaharian, kesenian, pantangan, peralatan, tutur kata, sastra dan sebagainya.
Spektrum Buah-buahan Liar Edibel
dan Kearifan Tradisonal
Dalam kehidupan masyarakat pedalaman setempat, sudah tradisi mengenalkan dan memberi anak-anak (termasuk balita) beranekaragam jenis bua utan tertentu. Tujuannya a.l. untuk hiburan dan permainan, sebagai obat dan makanan kesehatan, pengenalan dan pendidikan pertama dan sederhana tentang kehati, serta pendidikan ketahanan pangan dan hidup. Sementara dalam kehidupan masyarakat perkotaan setempat, orang tua biasanya sering terlalu kuatir atau melarang-larang anaknya memakan bua utan, bahkan dianggap kebiasaan tak terpuji, kelala (rakus). Karena itu masyarakat pedalaman dengan budaya polikulturnya, lebih tahan pangan daripada masyarakat perkotaannya yang budayanya lebih monokultur. Menurut Rifai (2001, komunikasi pribadi) pengenalan rasa pada usia balita (0-18 bulan) amat penting bagi pembentukan ambang rasa, karena hal itu akan membuatnya menjadi manusia yang paling tahan pangan di kemudian hari.
Jika direnungkan semua peranan buah-buahan liar edibel (bua utan) di atas, terlihat bahwa wawasan dan cakrawala pengetahuan masyarakat setempat sebagai bagian dari kearifan tradisional mereka, tidak perlu diragukan lagi kebenaran dan kemaslahatannya secara etik (saintifik). Semua itu mereka pelihara dan kembangkan serta telah teruji ratusan tahun sejak zaman leluhurnya. Sudah semestinyalah muatan lokal (local specific) ini menjadi landasan/pertimbangan utama bagi pembangunan daerah setempat. Baik kalangan pemerintah maupun akademik sudah saatnya belajar dari segenap aspek kearifan masyarakat setempat, untuk kemudian melindungi dan mengembangkan demi kesejahteraan kehidupan masyarakatnya secara berkelanjutan.
Masyarakat setempat biasanya meninggalkan kenangan buat anak-cucunya dengan menanam pohon bua utan dan bua taun di pekarangen atau keleka’, dan menghargai peninggalan leluhurnya (kakek-nenek), merupakan dua tradisi yang penuh kearifan dan patut dilanjutkan/dikembangkan. Kebiasaan ini terpelihara dengan tradisi sedekah buah (sedeka bua) menjelang bulan Ramadhan (biasanya saat musim panen buah-buahan), yaitu doa bersama atau syukuran tahunan (berua taun) dengan mengundang tetangga, sanak-keluarga dan kerabat sambil memohonkan ampunan bagi para leluhur, terutama almarhum kakek-nenek yang telah berjasa menanamnya atau yang memiliki /mewariskan keleka’.
Agar pahala leluhur tersebut berkelanjutan (tetap bertambah), biasanya buah-buahan keleka’ dijual dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum terutama pembangunan masjid. Selain itu jika lahan keleka’ akan diwakafkan, diutamakan untuk kepentingan makam, menyusul masjid dan kepentingan bersama lainnya. Dengan begitu selain tidak banyak pohon buah yang ditebang, manfaat dari buahnya masih berlangsung seiring manfaat penggunaan lahannya, sehingga pahala jariahnya (pahala yang tak terputus) masih terus berlangsung, meskipun pemiliknya telah pindah atau pergi selamanya. Paling tidak untuk memberi makan bagi satwa-satwa liar seperti burung-burung dan mamalia (terutama kalong dan kera). Karena itulah, makam dan masjid biasanya merupakan lingkungan utama dan termudah untuk berburu plasma nutfah buah-buahan lokal, termasuk bua langka dan bua utan.
Tradisi masyarakat pedalaman setempat menanam/memelihara buah-buahan khususnya bua baka (bua langka dan bua utan) di keleka’ patut diteladani, diteruskan dan dikembangkan pada masyarakat lainnya (terutamaa generasi sekarang). Hal ini mengingat makin banyaknya tanaman (buah-buahan) eksotik yang masuk dan lebih menarik bagi masyarakat untuk diusahakan, padahal sejak dahulu daerah ini sudah terkenal sebagai sentra buah-buahan tropika seperti durian, manggis, cempedak dan rambutan. Sudah semestinyalah masyarakat setempat dengan dukungan pemerintah daerah menggalakkan kembali produksi jenis buah-buah unggul lokal tersebut, begitupula dengan jenis-jenis buah langka dan bua utan yang potensial.
Keleka’ dan berbagai satuan lansekap lainnya khususnya di lingkungan pemukiman dan pertanian masyarakat setempat merupakan salah satu bentuk lain dari khasanah agroforest khas Indonesia. Agroforest dan agroekosistem (contohnya perladangan berdaur-ulang) merupakan beberapa diantara berbagai produk kearifan tradisional masyarakat negeri ini yang bisa dijadikan model untuk pengembangan pertanian masa depan berkelanjutan dengan masukan luar rendah, LEISSA (Reijntjes dkk., 1992). Namun pola dan konsep yang serupa apalagi berbeda tidak seharusnya diterapkan dengan sama rata (Foresta dkk., 2000). Biarlah setiap tempat dan masyarakatnya memiliki kekhasan dan keunggulan tersendiri, sebagai salah satu kekayaan akan keanekaragaman hayati dan budaya negeri ini. Salah satu konsep yang serupa tapi mungkin tak sama adalah budaya keleka’ dalam masyarakat Melayu Belitung dengan budaya koloko dalam masyarakat Manado, Sulawesi Utara (Monintja, 2001, komunikasi pribadi). Barangkali menarik untuk dipelajari dan diperbandingkan bagi pengembangan pertanian (hortikultur buah-buahan) dan menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan (etnoekologi dan agroekologi).
Kegiatan masyarakat pedalaman setempat memanfaatan jenis-jenis tumbuhan bua utan dalam kehidupan sehari-hari, begitupun memelihara, mendomestikasi, menyeleksi dan memuliakannya khususnya di keleka’, ditinjau dari sudut konservasi sudah merupakan upaya awal dan lengkap dari strategi pelestarian keanekaragaman hayati. Walaupun caranya masih tradisional, yaitu berdasarkan pengalaman empirik mereka, pengetahuan tradisional tak selamanya dikatakan terbelakang. Bagaimanapun kearifan lokal termasuk pengetahuan itu tetap dinamis dan bisa berkembang terus sampai seiring atau tergantung pada kemajuan peradaban masyarakatnya. Menurut Wilson (1995) strategi pelestarian keanekaragaman hayati meliputi menyelamatkan, mempelajari dan memanfaatkannya secara berkelanjutan.
Budaya simbolik telah ada dan masih terpelihara pada masyarakat setempat tercermin baik dari pola pikir, sikap, tindakan maupun terutama bahasa, seperti pepatah-petitih, pantun, syair dan ungkapan yang tetap berlaku sampai kini. Sebuah kata ungkapan bisa memiliki makna yang luas, dalam dan bahkan meloncat. Contohnya jika topik pembicarannya adalah bua utan, sebenarnya yang terpikir dalam benak dan hati mereka adalah hutan dan nasib (kehidupan) mereka keseluruhan. Budaya tersebut sebenarnya merupakan bukti telah adanya peradaban pikir sekaligus perasaan yang maju, yang sebenarnya lebih beradab dan tidak kalah dengan peradaban teori kuantum dunia Barat kini (Nataatmadja, 2001). Bahkan kearifan tradisional ini tampaknya sejalan dengan konsep intelegensi spiritual yang kini sedang digandrungi (Ginanjar, 2001).
Penutup
Buah-buahan liar edibel (bua utan) adalah salah satu bagian dari kekayaan akan keanekaragaman hayati (kehati) negeri ini. Masyarakat Melayu Belitung di pedalaman merupakan salah satu kelompok etnik yang hidupnya sangat tergantung dari hutan dan banyak mengambil manfat dan merasakan fungsi bua utan. Pada setiap satuan lansekap di lingkungan kehidupan mereka dapat dijumpai keberadaan bua utan, khususnya di keleka’ yang merupakan sumber plasma nutfah buah-buahan lokal. Bua utan merupakan agen penyangga antara kehidupan masyarakat setempat (lingkungan budidaya) dan kehidupan liar (lingkungan hutan) baik satwa maupun tumbuhannya.
Bagi masyarakat setempat bua utan telah menjadi kata simbolik (ungkapan) yang mewakili hutan secara keseluruhan. Musnahnya bua utan berakibat musnahnya sumber kehidupan satwa liar, termasuk pemakan buah (munso), yang selanjutnya akan mengancam lingkungan budidaya masyarakat setempat sekaligus kehidupan mereka yang berkelanjutan. Hal itu juga berarti bahwa topik bua utan bisa menjadi kunci pembuka wawasan ketika mengkaji topik-topik permasalahan lainnya, karena masalah bua utan begitu kompleksnya dan amat terkait dengan banyak hal/masalah.
Semua itu membuktikan dan menekankan bahwa kearifan tradisional sebagai muatan lokal, harus dijadikan sebagai landasan dan pertimbangan utama dalam pembangunan daerah setempat. Salah satu pendekatannya adalah dengan melibatkan tokoh-tokoh kuncinya, seperti kepala adat (dukun kampong) dan tua-tua adat lainnya.
Apabila kearifan tradisional dan kepentingan masyarakat lokal diabaikan dalam pembangunan, yang akan paling merasakan dampak buruknya dan paling menderita menanggung bebannya adalah masyarakat lokal itu sendiri, khususnya masyarakat tradisional setempat baik di pedalaman maupun pesisiran.
Bagaimanapun kearifan lokal merupakan salah satu
kekayaan bangsa yang sangat tak ternilai harganya, karena merupakan sumber bagi
pengembangan ide-ide alternatif di masa kini (Adimihardja, 1996) dan menjadi
landasan kuat bagi teknologi mutakhir (Rifai & Walujo, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, K. 1996. Sistem Pengetahuan Lokal dan Pengembangan Masyarakat Desa. Seminar Jepang-Indonesia di Kagoshima. UPT INRIK UNPAD. Makalah tak diterbitkan, Bandung. 19 hal.
Fakhrurrozi, Y. 2001. Satuan-saruan Lansekap dan Keanekaragaman Tumbuhan Buah-buahan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Belitung. Tesis tidak diterbitkan. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Foresta, H. de dkk., 2000. Ketika kebun berupa hutan: Agroforest Khas Indonesia, Sebuah sumbangan masyarakat. SMT Grafika Desa Putera, Jakarta.
Margono, H.S. 1989. Kumpulan Lagu Daerah Belitung 2. Kantor Depdikbud Kabupaten Belitung, Tanjung Pandan.
Monintja, D.R. 2001. Komunikasi pribadi, Bogor.
Phillips, O. & A.H. Gentry. 1993. The Useful Plants of Tambopata, Peru: I. Statistical hypothesis test with a new
quantitatif technique. Econ. Bot. 47(1): 15-32.
Pijl, L. van der. 1990. Asas-asas Pemencaran pada Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-3. G. Tjitrosoepomo (Penerj.) dan W. Soerodikoesoemo (Editor). UGM Press, Yogyakarta.
Purwanto, Y. 1992. Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Masyarakat Tanimbar-Kei & Perspektif Ekologinya. Lab. Etnobot., Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Makalah, tak diterbitkan. 14 hal.
Reijntjes, C., B. Haverkort & A. Waters-Bayer. 1992. Farming for The Future, An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. London & Basingstoke, The Macmillan Pres Ltd.
Rifai, MA. 1994. A Discourse on Biodiversity Utilization in Indonesia. Trop. Biodiv.2(2): 339-349.
--------------. 1998. Pemasakinian Etnobotani Indonesia: Suatu Keharusan Demi Peningkatan Upaya Pemanfaatan, Pengembangan dan Penguasaannya. Semiloknas Etnobot. III, Denpasar. Makalah, tak diterbitkan. 17 hal.
--------------. 2001. Komunikasi pribadi. Bogor.
-------------- & E.B. Walujo, 1992. Etnobotani dan Pengembangan Tetumbuhan Pewarna Indonesia: Ulasan Suatu Pengamatan di Madura. Pros. Semiloknas Etnobot. I. Cisarua, Bogor 19-20 Feb.1992. Hal. 119-126.
Srivastava, R.C. 1994. Wild Edible Plants of Sikkim Himalaya, Botanical Survey of India, Gangtok. Bull. Bot. Surv. of India Vol. 36, Nos 1-4: 95-126.
Valkenburg, J.L.C.H. van. 1997. Fruits from the tropical rain forest in East Kalimantan and their marked potensial. Plant Div. in Malesia III. Proc. of The 3rd Int. Flora Males. Symp. 1995. Kalimantan Rain Forest Fruits. Hal. 353-363.
Verheij, E.W.M. & Coronel, R.E. 1997. Plant Resources of South-East Asia 2: Edibel Fruits and Nuts. Pudoc/Prosea, Wageningen.
Whitten, A.J. dkk. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. UNDP, UNO, UGM Press, Yogyakarta.
Wilson, E.O. 1995. Strategi Pelestarian Keanekaragaman Hayati. K. Courrier (Peny.). Strategi Keanekaragaman Hayati Global. WALHI-Gramedia, Jakarta.
(YFI;09,10/06/02)
LAMPIRAN
No. |
Suku
|
Jenis
|
Nama
Lokal
|
|
1 |
Amaryllidaceae
|
Curculigo capitulata |
Kelembaken |
|
2 |
|
C. latifolia |
Keliangauen |
|
3 |
Anacardiaceae |
Boea oppositifolia* |
Urisen |
|
4 |
|
Campnospermum auriculatum |
Terentang |
|
5 |
|
Mangifera griffithii* |
Tandong |
|
6 |
|
M. magnifica* |
Asam burut |
|
7 |
|
M. microphylla* |
Rawe |
|
8 |
|
M. quadrifida* |
Asam kumbang |
|
9 |
|
M. torquenda* |
Asam putaren |
|
10 |
|
Mangifera sp.* |
Asam banggok |
|
11 |
Apocinaceae |
(indet.) |
Benta’ |
|
12 |
Aquifoliaceae |
Ilex wallichii |
Mensira’ |
|
13 |
Arecaceae |
Daemonorops angustifolia |
Rauten nanga’ |
|
14 |
|
D. longipes |
Rauten mentulak |
|
15 |
|
D. pericantha |
Rauten cempaka’ |
|
16 |
|
D. trichous |
Rauten mengkikéren |
|
17 |
|
Eleiodoxa conferta |
Kelubi |
|
18 |
|
Nypa fruticans |
Nipa |
|
19 |
|
Pinanga malaiana |
Kelandau |
|
20 |
|
Pianga sp. |
Ngembudingen |
|
21 |
|
Salacca affinis |
Linsum |
|
22 |
Celastraceae |
Salacia grandiflora |
Menciriten |
|
23 |
Cluciaceae |
Calopyllum lanigerum |
Betor belulang |
|
24 |
|
C. pulcherrimum |
Betor padi |
|
25 |
|
Calophyllum sp.1 |
Betor mimar |
|
26 |
|
Calophyllum sp.2 |
Betor raba’ |
|
27 |
|
Calophyllum sp.3 |
Betor rambai |
|
28 |
|
Calophyllum sp.4 |
Bunut |
|
29 |
|
Garcinia bancana |
Mela’ |
|
30 |
|
G. hombroniana |
Kiras |
|
31 |
|
G. parvifolia* |
Kandis |
|
32 |
Combretaceae |
Terminalia catappa* |
Ketapang |
|
33 |
Dilleniaceae |
Dillenia suffruticosa* |
Simpor (bini) |
|
34 |
Elaeocarpaceae
|
Elaeocarpus glabra |
Pedu keli’ |
|
35 |
|
E. petiolata |
Subal |
|
36 |
|
Elaeocarpus sp. |
Genansi |
|
37 |
Ericaceae |
Vaccinum bancanum |
Perai laki |
|
38 |
|
V. bracteatum |
Perai (bini) |
|
39 |
Euphorbiaceae |
Baccaurea dasystacia |
Repis |
|
40 |
|
B. multiflora * |
Tampui |
|
41 |
|
Baccaurea sp.1 |
Ketapi’ |
|
42 |
|
Baccaurea sp.2 |
Petiken |
|
43 |
|
Glochidion littorale |
Kemanisen aér |
|
44 |
|
Sapium baccatum |
Ludai kijang |
|
45 |
|
(indet.) |
Ulok-ulok |
|
46 |
Fabaceae |
Diallium indium* |
Keranji |
|
47 |
|
Pithecellobium jiringa* |
Jering |
|
48 |
Fagaceae |
Castanea costata |
Berangen duri |
|
49 |
|
C. inermis |
Berangen dangkal |
|
50 |
Flacourtiaceae |
Flacourtia rukam* |
Rukam |
|
51 |
Gnetaceae |
Gnetum gnrmoides |
Layak |
|
52 |
|
G. latifolium |
Tangkél |
|
53 |
Lauraceae |
Litsea garciae |
Mali’ |
|
54 |
Melastomataceae |
Melastoma polyanthum* |
Keleta’en |
|
55 |
Meliaceae |
Dysoxylum heynenum |
Tungking kijang |
|
56 |
|
Sandoricum koetjape* |
Setulen |
|
57 |
Moraceae |
Arthocarpus dadah |
Kubing |
|
58 |
|
A. elasticus |
Bakél |
|
59 |
|
A. kemando |
Pudok |
|
60 |
|
A. rigidus |
Kelidang |
|
61 |
|
Ficus hirtus |
Sendetupen rusa’ |
|
62 |
|
Ficus sp. |
Sendetupen bulu |
|
63 |
|
Ficus sp. |
Kerasak |
|
64 |
Myrsinaceae |
Ardisia crispa |
Mate mano’ |
|
65 |
|
A. humilis* |
Kempunaien |
|
66 |
|
Embelia ribes |
Kelimparen |
|
67 |
|
Maesa sp. |
Ketumpu |
|
68 |
Myrtaceae |
Eugenia cerina |
Gelamen tikus |
|
69 |
|
E. cymosa |
Mengkelingen |
|
70 |
|
E. euneura |
Kelebantuien |
|
71 |
|
E. garcinaefolia |
Asau |
|
72 |
|
E. lepidocarpa |
Samak |
|
73 |
|
E. leptantha |
Arang-arangen semak |
|
74 |
|
E. paludosa |
Arang-arangen batang |
|
75 |
|
Syzygium
bisulea |
Jambu’ utan |
|
76 |
|
S. buxifolium* |
Sekudong pelandok |
|
77 |
|
S. decipiens |
Kelinsuten |
|
78 |
|
S. incarnatum |
Kedindipen |
|
79 |
|
S. muelleri |
Ubar |
|
80 |
|
S. polyanthum* |
Bangé’ |
|
81 |
|
S. rostratum |
Sisélen |
|
82 |
|
S. zeylanicum |
Bebeti’ |
|
83 |
|
Syzygium sp.1 |
Kamba’ |
|
84 |
|
Syzygium sp.2 |
Singkang |
|
85 |
|
Rhodamnia cinerea |
Jemang |
|
86 |
|
Rhodomyrtus tomentosa* |
Keremuntingen |
|
87 |
Oxalidaceae |
Oxalis barrelieri |
Belimbing utan |
|
88 |
Passifloraceae |
Passiflora foetida |
Cempelos |
|
89 |
Rubiaceae |
Chantium sp. |
Sereting |
|
90 |
|
Morinda citrifolia* |
Mengkudu |
|
91 |
|
Pavetta gracilifolia |
Mate siau |
|
92 |
|
Psychotria viridiflora |
Tenam |
|
93 |
|
Psychotria sp. |
Mensalongen |
|
94 |
|
Timonius sp. |
Tempala’en |
|
95 |
Sapindaceae |
Guioia pubescen |
Pulas |
|
96 |
|
Lepisanthes amoena |
Mencuka’en |
|
97 |
|
Nephellium cuspidatum* |
Dekat |
|
98 |
|
N. maingayi |
Ridan |
|
99 |
|
Nephellium sp.* |
Dengking |
|
100 |
Sapotaceae |
Palaquium rostratum |
Nyato pisang |
|
101 |
Simaroubaceae |
Brucea javanica |
Ipo-ipo |
|
102 |
Solanaceae |
Solanum torvum* |
Terong pukak |
|
103 |
|
Solanum sp.* |
Terong pipit |
|
104 |
|
Physalis minima* |
Terong licak |
|
105 |
Sterculiaceae |
Sterculia macrophylla |
Kelumpang |
|
106 |
|
S. rubiginosa |
Itap |
|
107 |
Tiliaceae |
Microcos hirsuta |
Mendamaken |
|
108 |
|
M. tomentosa |
Semuntut |
|
109 |
Ulmaceae |
Trema orientalis |
Mengkiraien |
|
110 |
Verbenaceae |
Callicarpa longifolia* |
Kelingka’en |
|
111 |
Vitaceae |
Vitis ampellocissus |
Lambai |
|
112 |
|
V. geniculata |
Lakum |
|
113 |
Zingiberaceae |
Alpinia oxymitra |
Lepang |
|
114 |
|
Amomum sp. |
Mate kucing |
|
115 |
|
Etlingera punicea |
Ketunggun |
|
116 |
|
Etlingera sp. |
Kelincoken |
|
117 |
Miscellaneous |
(indet.) |
Berangen dayang |
|
118 |
|
(indet.) |
Keruncu’ |
|
119 |
|
(indet.) |
Mengkikéren |
|
120 |
|
(indet.) |
Rukam laut |
|
Keterangan:
*Jenis-jenis yang dibiarkan
tumbuh, dipelihara atau sengaja ditanam.
(Sumber: Fakhrurrozi, 2001)