© 2002 W. Nasruddin Posted 19 May 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
KUANTIFIKASI
ILMU-ILMU SOSIAL: SUATU KEMAJUAN ATAU PEMBIASAN ?
(Untuk
Mengenang Jasa Almarhum Prof. Ir. Andi Hakim Nasoetion, PhD dalam
Pengembangan
Metode Kuantitatif di Indonesia)
Oleh:
W. Nasruddin
A. 546010121/EPN
E-mail : wenasthea@hotmail.com
I.
PENDAHULUAN
Peranan matematika dan statistika
sebagai alat bantu kuantitaif yang penting dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan ilmu pengetahuan (juga teknologi, dan kehidupan
sehari-hari) sudah lama diakui, khususnya dalam rumpun ilmu-ilmu pengetahuan
alam (natural sciences) seperti Fisika,
Astronomi, Geologi, dan lain-lain. Phytagoras (582-504 SM) salah seorang ahli Filsafat
terkenal menyatakan tentang pentingnya pengukuran dalam kehidupan manusia
Yang
menarik, dewasa ini matematika dan juga statistika sudah pula menyusupi
ilmu-ilmu sosial seperti Ekonomi, Psikologi, Sosiologi, ilmu politik, ilmu
hukum dan bahkan juga linguistik. Malahan menurut Nasoetion (1970), konon ada
Universitas tertentu di luar negeri yang menganjurkan mahasiswa calon Ph.D.
dalam bidang ilmu sosial, untuk menggantikan syarat mahir berbahasa asing
modern dengan syarat mahir dalam menggunakan matematika sebagai bahasa
komunikasi universal.
Dewasa
ini kecenderungan menggunakan metode kuantitatif di kalangan ilmuwan sosial
semakin berkembang pesat. Di Indonesia penggunaan pendekatan kuantitatif dalam menganalisis gejala kemasyarakatan
relatif belum begitu lama, barangkali mulai tumbuh subur sekitar pertengahan tahun
tujuh puluhan. Seperti halnya di negara-negara Eropa (Barat) dan Amerika
(Utara) tempat di mana pendekatan ini mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan,
di Indonesia cabang ilmu sosial yang paling banyak menggunakan pendekatan
kuantitatif dalam analisisnya adalah ilmu ekonomi, yang sering mendapat julukan
sebagai “ratu” nya ilmu-ilmu sosial. Ekonometrika
adalah cabang ilmu ekonomi yang menggunakan matematika dan statistika sebagai
alat bantu untuk keperluan menjelaskan dan atau memprediksi fenomena ekonomi.
Selain
itu para psikolog juga sudah banyak menggunakan pendekatan kuantitatif (psikometri) dalam mengukur kemampuan belajar,
intelegensi dan sifat-sifat pribadi, menciptakan skala psikologis, meneliti
kelakuan normal dan abnormal dan sebagainya. Sedangkan para sosiolog juga tidak
mau ketinggalan dari rekan-rekan disiplin ilmu lain; mereka mengembangkan sosiometri untuk
menguji teori tentang sistem sosial, merancang dan melaksanakan survei sampel
untuk meneliti sikap, menemukan perbedaan antara kebudayaan dan sebagainya
(Sembiring, 1984). Prancis Stuart Chapin adalah pemimpin aliran sosiologi
kuantitatif yang menekankan penggunaan metode statistika untuk studi fenomena
sosial (Encyclopedia Encarta, 2002). Demikian pula Ilmu Politik sering
menggunakan metode statistika untuk analisis survai pendapat, mengkaji hubungan
antara tingkat kemakmuran suatu negara dengan tingkat demokrasi dari
pemerintahnya. Analisis runtun waktu dipakai dalam ilmu politik untuk
menelusuri hubungan-hubungan politis yang melibatkan waktu, misalnya kekuatan
suara partai sosialis dan jumlah pembelanjaan pemerintah untuk program-program
sosial sepanjang masa.
Sejak
tahun akademik 2000/2001 Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mendirikan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), dengan memberikan persyaratan bagi para
calon mahasiswanya (siswa lulusan SMU) konon harus berasal dari Jurusan IPA,
yang bekal Matematikanya lebih kuat dari Jurusan IPS.
Penulis
makalah ini dengan berbekal pengetahuan yang minim mengenai masalah ini,
memberanikan diri untuk mencoba mempermasalahkan dan membahas tentang
kecenderungan kalangan ilmuwan sosial (termasuk ilmuwan sosial ekonomi
pertanian) menggunakan metode kuantitatif dalam menganalisis permasalahan
sosial.
Tulisan
ini akan membahas : pertama, mengenai
faktor yang mendorong penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial;
kedua, mengenai manfaat pendekatan
kuantitatif; ketiga, mengenai masalah
dalam penerapannya dan keempat mengenai
prospeknya serta bagian terakhir memuat
kesimpulan yang bisa ditarik dari isi makalah ini dalam rangka menjawab apakah
kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial merupakan suatu kemajuan atau pembiasan ?.
Harapan pemrasaran semoga pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat. Amin.
Menurut
Kariawan (1986), pemakaian pendekatan matematika dalam ilmu ekonomi mengalami
perkembangan yang cukup pesat selama 10 tahun terakhir ini. Pemakaian ini
ditandai dengan meningkatnya pembentukan model ekonometrika yang sangat
matematis. Ajaran ekonomi yang sangat mengandalkan matematika adalah Ratex (Rational Expectation). Walaupun ajaran Keynes dan
Monetaris relatif sedikit menggunakan matematika dibandingkan dengan Ratex,
tetapi perkembangannya yang terakhir cenderung makin matematis. Indikator
lainnya yang dapat dijadikan ukuran adalah jumlah karangan (artikel) ekonomi
yang pada akhir-akhir ini cenderung makin matematis.
Menurut
the Economist (22 September 1984) seperti
yang disitir oleh penulis di atas, jumlah artikel ekonomi dalam majalah American Economis Review yang menggunakan
pendekatan model matematika mendominasi hampir 72 % pada periode 1972-76,
persentase ini naik menjadi sekitar 78,6 % pada periode 1977-1981.
Kemudian
kalau kita amati pula artikel mengenai Ekonomi Pertanian dalam artikel American Journal of Agricultural Economics
misalnya, atau untuk Indonesia majalah serupa ini adalah Jurnal Agro Ekonomi terbitan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) Bogor sebagian besar analisisnya
menggunakan pendekatan kuantitatif berupa model-model ekonometrika yang cukup
rumit. Rasanya akan sulit bagi kita yang kurang berbekal dalam metode
kuantitatif atau ekonometrika untuk dapat memahami dengan baik isi keseluruhan
dari artikel yang dimuat dalam
jurnal-jurnal tersebut.
II.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENDORONG KUANTIFIKASI DALAM ILMU-ILMU SOSIAL
Menurut Suriasumantri (1984)
ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni
tahap sistematika, komparatif, dan kuantitatif. Pada tahap sistematika, maka ilmu menggolong-golongkan obyek
empiris ke dalam kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita
untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi
kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan
bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap komparatif kita mulai melakukan perbandingan
antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, kategori yang satu dengan
kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai mencari hubungan yang didasarkan
kepada perbandingan di antara berbagai obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya
yaitu tahap kuantitatif, kita mencari
hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan
pengukuran yang eksak dari obyek yang
sedang kita selidiki. Bahasa verbal
berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama, namun dalam tahap yang
ketiga pengetahuan membutuhkan bantuan matematika.
Selanjutnya
menurut Van Dalen (1966) dalam Suriasumantri (1981) dibandingkan dengan
ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu
sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa
ilmu-ilmu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Di
pihak lain terdapat pendapat, bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan
berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang
dicapai ilmu-ilmu alam. Terdapat beberapa kesulitan untuk merealisasikan tujuan
ini karena beberapa sifat dari obyek yang diteliti ilmu-ilmu sosial, yaitu
suatu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia.
Nasoetion
(1972) dalam Damanhuri (1985), menyatakan bahwa setelah suatu ilmu
meningkat dari usaha deskripsi ke usaha analisis, maka ilmu itu sudah pasti memerlukan
matematika sebagai alat bantu. Bahkan di dalam bidang deskripsi pun orang kini
sudah menggunakan konsep-konsep matematika dan statistika.
Dengan
mengacu kepada tiga pendapat di atas, maka kalau ilmu-ilmu sosial ingin
meningkatkan status keilmuannya dari tahap “belia” (tahap klasifikasi atau
tahap sistematika dalam istilah Suriasumantri) ke tahap yang lebih “dewasa”,
maka mau tidak mau ilmu-ilmu sosial
harus mengembangkan pendekatan kuantitatif sebagai alat analisisnya.
Tampaknya
cukup menggembirakan, bahwa usaha mngembangkan pendekatan kuantitatif dalam
menganalisis perilaku manusia pada akhir-akhir ini terlihat mulai meluas di
kalangan para ilmuwan sosial kita, khususnya pada disiplin ilmu ekonomi,
termasuk ilmu ekonomi pertanian yang sedang penulis geluti. Dalam gurauan kami
yang mengambil Program Studi Ekonomi Pertanian “ tiada hari tanpa cacing”,
untuk menunjukkan bagitu intensifnya para Dosen mengajarkan ilmu ekonomi dengan
pendekatan kuantitatif. Cacing di sini adalah representasi dari simbol/tanda “ò” (integral) atau “l” (lambda/fungsi Lagrange) atau “Ö” (akar pangkat dua), dan seterusnya.
Menurut
Lazarsfeld yang disitir oleh Tampubolon dalam Priyono dan Saleh (1984),
ada dua penyebab mengapa orang berusaha untuk menggunakan pemikiran matematika
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu :
1. Karena keberhasilan matematika dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan
2. Karena para ilmuwan sosial semakin merasakan perlunya bahasa yang kokoh
dan tepat.
Pendapat Lararsfeld di atas didukung oleh
pernyataan Whitehwad yang dikutip oleh penyitir yang sama dan juga yang
dikemukakan oleh Djojohadikusumo (1974) dalam Johannes dan Sri Handoko
(1978).
Whitehead
menyatakan bahwa mendapat inspirasi dari keberhasilan matematika dalam fisika,
dan didorong oleh antusiasme tentang kekuatan menalar lewat matematika, maka
para pemikir abad ke-18 yang terkemuka mendekati masalah-masalah sosial secara
rasional dalam mengembangkan ilmu tentang pemerintahan dan ekonomi. Menurut
Whitehead, abstraksi yang tinggi merupakan senjata yang sebenarnya untuk
mengontrol pemikiran kita tentang fakta kehidupan yang nyata.
Sementara
itu Djojohadikusumo mengemukakan bahwa sebagai ilmu pengetahuan kemasyarakatan
yang mempunyai segi dan dimensi permasalahan yang serba kompleks; ilmu-ilmu
sosial memerlukan pengetahuan dan peralatan tambahan yang dapat membantu
penyusunan logika dan kemampuan analisis secara lebih jernih dan tajam,
sehingga sejauh mungkin dapat dicegah adanya kekaburan dalam melihat dan
memecahkan kompleksitas masalah
kemasyarakatan tersebut.
III.
MANFAAT
KUANTIFIKASI DALAM ILMU-ILMU SOSIAL
Untuk melihat keuntungan atau
kekuatan pendekatan kuantitatif dapat didekati dari peranan matematika dan atau
statistika sebagai sarana atau alat pembantunya.
Menurut Kemeny (1959) dalam
Suriasumantri (1981) seorang ilmuwan menggunakan model matematis terutama
karena bahasa matematika merupakan suatu cara yang mudah dalam memformulasikan
hipotesis keilmuan. Cara ini memaksa ahli teori dalam berbagai ilmu untuk
merumuskan hipotesisnya dalam bentuk yang persis dan jelas. Juga hal ini akan
memaksa dia untuk menanggalkan dari masalah keilmuannya segenap perincian yang
tidak penting. Sekali model itu diformulasikan dalam bentuk yang abstrak maka
dia merupakan cabang dari matematika.
Sementara itu Wallis dan Roberts
(1962) dalam Suriasumantri (1981), melihat peranan Statistika dalam
tahap-tahap metode keilmuan. Menurut mereka langkah-langkah yang lazim
dipergunakan dalam kegiatan keilmuan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Observasi
2. Perumusan
hipotesis
3. Peramalan, dan
4. Pengujian kebenaran
Dalam kegiatan keilmuan peranan statistika adalah
penting dalam tahap pertama dan keempat, yakni observasi dan pengujian
kebenaran serta sampai batas tertentu juga penting dalam tahap kedua yakni
dalam merumuskan hipotesis. Metode yang paling penting dalam tahap kedua adalah
intuisi, pemahaman, imajinasi, dan kecerdikan.
Statistika
adalah berguna dalam tahap pertama, observasi , karena statistika dapat
menyarankan mengenai apa yang harus diobservasi untuk menarik manfaat yang
maksimal serta bagaimana caranya menafsirkan hasil observasi tersebut.
Dalam tahap kedua, statistika menolong kita dalam
mengklasifikasikan, mengikhtisarkan dan menyajikan hasil observasi dalam bentuk
yang dapat dipahami dan memudahkan kita dalam mengembangkan hipotesis.
Pada tahap keempat dari metode keilmuan, sebuah
hipotesis dianggap teruji kebenarannya jika ramalan yang dihasilkannya didukung
oleh fakta. Sebuah hipotesis adalah telah sah diuji bila pengaruh unsur
kebetulan dalam pembuktian telah ditafsirkan dengan benar. Prosedur statistika
memperhitungkan secara obyektif penafsiran yang tidak benar dalam nilai-nilai
peluang ( probability ) ; atau dengan perkataan lain, memperhitungkan
resiko dari suatu kesimpulan yang salah.
Sedangkan
Nasoetion dan Barizi (1975) menyatakan adanya tiga hal yang merupakan masalah
utama yang dihadapi para ahli ilmu-ilmu sosial dalam penelitiannya, yaitu:
1. Penyusunan model
2. Pengumpulan dan penyederhanaan data
3. Pengujian terhadap model
Tujuan dari penyusunan model antara lain untuk membimbing
peneliti dalam pengumpulan data agar lebih efisien. Model adalah abstraksi dari
keadaan yang sesungguhnya. Khayalan atau abstraksi inilah yang merupakan model
kerjanya. Model ini biasanya diucapkan sebagai hubungan matematika, karena itu
disebut model matematika. Jadi model
matematika ini merupakan suatu penyarian dari keadaan yang sesungguhnya.
Untuk
menguji keampuhan model ( matematika ), perlu dikumpulkan data dan dibandingkan
dengan model tersebut. Berdasarkan perbandingan ini suatu model dapat ditolak
atau diterima tergantung ada atau tidaknya penyimpangan-penyimpangan yang
berarti antara model dengan data yang dikumpulkan. Prinsip-prinsip dan prosedur
statistika lazimnya digunakan sebagai alat untuk menguji keampuhan model ini.
Johannes
dan Handoko (1974), melihat penggunaan matematika dalam analisis ekonomi (
salah satu cabang ilmu sosial ) sangat menguntungkan, karena :
a.
Hubungan-hubungan antara
besaran-besaran/variabel-variabel dalam ekonomi dapat dinyatakan secara singkat
dan seksama
b.
Perubahan-perubahan mudah dilambangkan,
diikuti dan dihitung
c. Tersedia
teorema-teorema matematika sebagai alat untuk dipakai
d. Definisi dan
asumsi harus dirumuskan secara tegas serta juga kesimpulan-kesimpulan pada
setiap langkah dalam proses analisis, sehingga kekeliruan oleh uraian yang
kabur dapat dihilangkan
e. Penerapan
matematika pada suatu teori ekonomi dapat menampakan keterbatasan-keterbatasan
serta kemungkinan-kemungkinannya
Jan Tinbergen dalam Kurt Dopfer ed. (1976),
seorang pakar ekonometrika berkebangsaan Belanda dalam pujiannya terhadap
karya-karya (tulisan) Nyonya Adelman dan rekan-rekannya dalam mengembangkan
pengukuran gejala-gejala (sosial ekonomi) yang sebelumnya diperkirakan tidak
dapat diukur, mengatakan sebagai berikut :
“ Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat bahwa
kemajuan dalam pemahaman kita tidak dapat hanya didasarkan atas dorongan ini
dan hal ini mengandung arti bahwa sejumlah besar gejala yang diperbincangkan
secara lisan oleh rekan-rekan ahli ekonomi harus diukur. Dalam penjelajahan
saya ke berbagai bidang, bahkan fisika pun, tidaklah mengukur
variabel-variabelnya dengan cara yang sama sekali obyektif ; tetapi dengan cara
“ pemungutan suara terbanyak “, dan menurut pendapat saya suara terbanyak yang
diperlukan untuk suatu pernyataan agar menjadi obyektif adalah kurang dari 100
%, terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial “
( terjemahan
dari Goenawan Moehammad, 1983)
Dari
berbagai pendapat para ahli tersebut di atas semuanya cenderung sampai pada
satu kesimpulan yang sama tentang pentingnya peranan dan manfaat matematika dan
statistika sebagai peralatan analisis seorang ilmuwan sosial.
IV.
BEBERAPA MASALAH KUANTIFIKASI DALAM
ILMU- ILMU SOSIAL
Beberapa kesulitan yang dihadapi
ilmuwan sosial dalam menggunakan pendekatan kuantitatif biasanya dapat
dikembalikan pada hakekat ilmu sosial dan bekal pengetahuan ilmuwan sosial itu
sendiri dalam matematika dan atau statistika.
Pada
hakekatnya kalau kita bicara mengenai pengukuran, maka hal itu selalu
dihubungkan dengan angka, akan tetapi kenyataannya adalah fakta sosial tidak
semuanya berwujud data yang dapat dilihat dengan angka, tetapi banyak yang
berwujud data kualitatif yang bersifat konsep atau pengertian abstrak.
Dalam usaha memperoleh pengukuran
yang paling tepat, masalah yang paling pokok dalam ilmu sosial adalah bagaimana
mengukur data kualitatif atau dengan kata lain bagaimana mengkuatifikasikan
data kualitatif. Seperti dikatakan oleh Lazarsfeld, seorang ahli terkemukan dalam
metodologi ilmu sosial :
“…kita
menghadapi masalah pokok mengenai kuantifikasi dalam ilmu-ilmu sosial; rumitnya
bahan yang menjadi perhatian kita mengharuskan dibentuknya kesatuan yang tak
langsung terlihat dan sampai kini belum cukup teori yang dapat memperkenankan
mengadakan pilihan antara beberapa alternatif yang sama masuk akal” (Mely G.
Tan, 1977).
Selanjutnya menurut Tan (1977), sehubungan dengan hal ini perlu
dikemukakan suatu kelemahan yang terletak pada para ilmuwan sosial sendiri,
kecuali para ahli ekonomi, ialah kurangnya pengetahuan dasar mengenai
statistika dan matematika yang mengakibatkan kurang kemahiran dalam penggunaan
metode kuantitatif.
Sedangkan menurut Tampubolon (1984)
ada beberapa keberatan mengenai ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan
kuantitatif, yaitu : perilaku manusia tidak “teratur”, tidak berulang”
(uniform) baik dilihat dari sudut individu maupun antar masyarakat, oleh karena
itu tidak dapat diukur, tidak dapat diramalkan.
Penerapan
matematika dalam ilmu-ilmu sosial hanyalah fragmen-fragmen dari matematika
keseluruhan dan penerapan itu tidak sesukses penerapannya dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (fisika). Menurut Tampubolon banyak sebabnya, antara lain adalah :
1. Usaha yang sejauh ini dilakukan kurang.
2.
Konsep dan variabel empiris yang
mendasar belum diisolasikan dan dimurnikan pada derajat yang sama.
3.
Matematika tumbuh bersama-sama dengan
dan sampai batas-batas tertentu terbentuk menurut kebutuhan fisika dan oleh karena itu kurang cocok dengan
masalah-masalah ilmu sosial, jika masalah-masalah itu sangat berbeda sifatnya
dengan masalah-masalah fisika.
4.
Masalah ilmu sosial yang khas
nampaknyamenyangkut variabel yang lebih banyak dari pada masalah yang biasanya
ditangani fisika.
5. Akhirnya
sarjana-sarjana ilmu sosial pada umumnya tidak terdidik benar-benar dalam
matematika.
Tamba (1984) menyoroti beberapa
masalah yang selalu timbul setiap kali orang mencoba membuat suatu model
kuantitatif dalam bidang ekonomi untuk keperluan studi empiris. Pada dasarnya
persoalan-persoalannya dapat digolongkan dalam :
a)
Pengenalan yang cukup tentang karakteristik masalah, yang
meliputi pengetahuan teori yang berkaitan dengan masalah dan
kenyataan-kenyataan yang ada atau diduga ada dalam kehidupan sebenarnya. Hal ini sangat menentukan kemampuan untuk
menciptakan sesuatu model yang baik.
b)
Tersedianya informasi
tentang besaran-besaran yang terjadi di masa lalu, yang lazim disebut data
statistik. Di Indonesia hal ini menjadi pembatas utama dalam pembuatan model-model
ekonomi kuantitatif.
c)
Tersedianya fasilitas
yang memadai untuk keperluan komputasi (kiranya sekarang bukan masalah besar
lagi), dan
d)
Tersedianya waktu dan
dana yang cukup (inipun sangat relatif)
Lebih
lanjut Tamba menyatakan bahwa sangat lumrah jika bentuk model ekonometrika di
Indonesia tidak saja ditentukan oleh : persoalan yang ingin ditangani, tetapi
juga oleh data yang tersedia. Adakalanya sejumlah data harus ditaksir
berdasarkan variabel lainnya (proxi),
atau terpaksa digunakan asumsi-asumsi yang kadang-kadang harus “sangat berani”.
Bila model memberikan hasil yang masuk akal dan secara teoritis dapat
dibenarkan maka model diterima. Sebaliknya bila hasilnya “aneh”, maka model
dimodifikasi dengan menghindari variabel yang diragukan tadi.
Betapa sulitnya memperoleh data sudah dirasakan oleh para
peneliti. Karenanya tidaklah mengherankan bila ada yang mengeluh bahwa usaha
mencari data meliputi 80 % dari kegiatan pembuatan model ekonometrika. Keahlian
seorang ahli ekonometrika tidak hanya bergantung pada pengetahuan teoritis
tentang ekonometrika itu sendiri serta ilmu-ilmu yang mendukungnya, tetapi juga
kepada kecerdikan untuk menghindari variabel tertentu atau kemampuan untuk
menaksir variabel bersangkutan melalui variabel lain yang datanya tersedia.
Masalah lain yang dapat menjadi
tantangan bagi para pengembang metode kuantitatif, khususnya dalam ilmu-ilmu
sosial masih terdapatnya kalangan tertentu yang mengkritik bahwa penelitian
kuantitatif yang bertujuan untuk prediksi dan kontrol akan mengucilkan tujuan
kegiatan keilmuan lainnya yang bersifat sah. Memang ini sukar untuk dibantah
untuk ilmu sosial yang subyeknya tidak terbebas dari ikatan kebudayaan.
Kemudian ada pihak lain (terutama
dari pembela penelitian kualitatif) yang secara ekstrim menuduh bahwa
penelitian kuantitatif telah ketinggalan zaman dan memberikan kesimpulan yang
merupakan distorsi dari kenyataan yang sebenarnya (Suriasumantri, 1988).
Senada
dengan pandangan di atas, ekonom Inggris Prof. Paul Ormerod (1994) dalam
bukunya yang kontroversial “The Death of Economics” ,menyatakan bahwa kaum
ekonomi ortodoks (ia menyebutnya demikian) gagal memecahkan persoalan ekonomi
dunia saat ini salah satunya disebabkan mereka membangun teori yang
beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori mereka bukan untuk diuji terhadap
masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan dipertahankan sebagai
doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks.
Pendapat yang cukup bijak diberikan
oleh Sinaga (1998) yang menyatakan tentang tetap diperlukannya pendekatan
kualitatif dalam analisis ekonomi/agribisnis, sebab dalam ilmu ekonomi obyek
studinya adalah perilaku manusia dan kelembagaan. Menurutnya banyak aspek
perilaku manusia yang sulit atau bahkan tidak mungkin dikuantifikasi, tetapi
aspek-aspek tersebut tetap harus dipertimbangkan agar pengkajian tetap relevan
dan berguna dalam pemecahan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Penggunaan
pendekatan kuantitatif dalam kajian-kajian sosial-ekonomi mengalami
perkembangan sangat pesat yang didukung oleh perkembangan teknologi komputer
dan informasi. Berbagai perangkat lunak (software)
untuk mendukung analisis kuantitatif tersedia luas dalam berbagai pilihan
seperti SPSS, SAS, Lindo, dan sebagainya. Tetapi dukungan dan kemudahan
tersebut mengakibatkan terjadinya ekses, seperti pemakaian metode dan model
kuantitatif yang tidak sesuai dengan fenomena yang dikaji karena tidak
dilandasi oleh ketajaman kajian konseptual teoritis. Metode kuantitatif
hanyalah alat bantu, oleh karena itu pengkajian permasalahan bisnis dan ekonomi
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif sebaiknya dilengkapi kajian
aspek-aspek kualitatif.
V.
PROSPEK PENGGUNAAN PENDEKATAN KUANTITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL
Melihat
kecenderungan para ahli ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu-ilmu sosial ekonomi
pertanian) menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai alat bantu analisisnya,
maka kecenderungan seperti itu seyogyanya perlu ditangani secara positif dan
penuh kearifan.
Dalam kaitannya dengan masalah ini,
Nasoetion (1972) menyatakan bahwa kalau kita ingin juga merdeka di dalam bidang
teknologi, maka jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari penjajahan
teknologi ialah mebina kemampuan untuk berbicara dalam bahasa yang sama
(maksudnya : bahasa matematika sebagai bahasa universal, penulis).
Perihal
bahasa yang sama ini juga dikemukakan oleh Zanten (1982) yang menyatakan bahwa
jika seorang peneliti menganalisis soal/masalah yang sama tetapi menggunakan
bahasa ilmiah yang berlainan, maka kesimpulan yang diperoleh juga menjadi
berbeda.
Dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial
pertanian yang dalam sistem pendidikan tinggi kita berada di bawah naungan
Fakultas Agrocomplex (Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan )
pendekatan kuantitatif dapat dikembangluaskan, misalnya untuk menganalisis masalah-masalah
sebagai berikut :
1. Sosiologi
pedesaan dan penyuluhan pertanian dapat memanfaatkan teknik-teknik sosiometri , misalnya untuk studi sikap, status
sosial, jarak sosial, sisitem kepemimpinan dan lain-lainnya dalam suatu
kelompom tani di desa. Di sini teknik membuat skala dan sosiogram sangat
diperlukan. Untuk penyuluhan pertanian, sosiometri berguna, misalnya dalam
usaha mengidentifikasi dan menemukan pemimpin informal, memilih kontak tani;
demikian pula untuk keperluan menentukan impact point (faktor-faktor penentu)
pada saat menyususn program penyuluhan pertanian, serta untuk mengukur tingkat
adopsi sekelompok petani.
Penyuluhan
pertanian mungkin juga dapat mencoba memanfaatkan metode psikometri, misalnya
jika anda akan mengembangkan metode penyuluhan dengan pendekatan massal di mana
psikologi sosial berpeluang besar untuk digunakan.
2.
Dalam ekonomi pertanian penggunaan pendekatan kuantitatif
sudah lebih maju lagi. Teknik-teknik ekonometri dikembangkan dan disempurnakan
terus-menerus untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi. Bagian dari ilmu
ekonomi pertanian yang paling banyak menggunakan pendekatan kuantitatif
misalnya Ekonomi Produksi Pertanian, Ekonomi Sumberdaya Alam / Pertanian,
Analisis Harga, Analisis Sistem Pertanian dan lain-lain. Teknik optimasi (Operation Research/ Management
Science) dapat dipakai untuk menganalisis persoalan manajemen pertanian,
perencanaan pembangunan pertanian dan pedesaan, analisis proyek dan sebagainya.
Dalam
menggunakan pendekatan kuantitatif, statistika yang paling banyak dipakai para
ekonom adalah regresi darab (berganda) dan runtun waktu. Para psikolog dan
sosiolog senang sekali menggunakan analisis faktor (Sembiring, 1984).
Namun
betapapun penting dan besar kegunaannya, kiranya perlu kita sadari bahwa matematika
dan juga statistika bukanlah pengetahuan yang menentukan, melainkan peralatan
yang sekedar membantu analisis masalah sosial ekonomi.
Djojohadikusumo (1974) memperingatkan bahwa meskipun
matematika sangat membantu melatih logika, meningkatkan kemampuan analisis,
tetapi dia tidak bisa dipakai untuk memecahkan masalah sosial dan ekonomi itu
sendiri.
Memang
matematika dan statistika hanyalah sebagai alat, dan bukan tujuan. Oleh karena
itu sebaiknya kita berlaku arif di dalam menggunakan alat itu dalam setiap
menghadapi masalah sosial ekonomi. Jan Tinbergen, seorang ahli ekonometrika
berkebangsaan Belanda dengan rendah hati berkata sebagai berikut :
“Altough I am a believer in the use of models, I
don’t think that models are the complete truth. On the contrary, I think they
are only a help. They’re a help to the planner, but unless we add a good deal
of common sense, models may very easily lead us astray” (Supranto, 1980)
Agar
penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial dapat berhasil dengan
baik, banyak usaha dapat dilakukan. Tampubolon (1984) menawarkan tiga jalan
yang bisa ditempuh, yaitu :
1.
Dibutuhkan orang-orang
yang terdidik dalam bidang matematika dan ilmu sosial dan kepada sarjana
matematika/statistika dimasukkan bahan-bahan ilmu sosial.
2.
Memperluas penelitian
ilmu sosial yang menggunakan pemikiran
matematis.
3.
Dibutuhkan penelitian
yang menjelaskan secara lebih umum tentang hubungan yang mungkin antara
matematika dan ilmu sosial. Kita mempelajari masalah-masalah khusus dengan
maksud untuk memperoleh pengerian yang lebih baik tentang kecocokan pemikiran
ilmu perilaku dan struktur berbagai metode matematika.
Usaha
yang pertama tampaknya sudah dicoba, misalnya yang dilaksanakan oleh Program
Studi Statistika Terapan pada F-MIPA Universitas terbuka; kira-kira 25 % dari
jumlah SKS total memuat mata kuliah ilmu sosial atau gabungan dari Matematika,
Statistika, dan ilmu-ilmu sosial seperti Model Ekonometri dan Pengantar
Sosiometri. Usaha yang kedua, sudah dipelopori oleh ilmu ekonomi, psikologi dan
untuk sebagian kecil oleh sosiologi dan ilmu politik. Sedangkan usaha atau
jalan yang ketiga dapat diwujudkan dalam bentuk interaksi yang baik antara
statistikawan/matematikawan dan ilmuwan sosial. Dalam hal ini ilmuwan sosial
menyediakan data atau permasalahan, sedangkan statistikawan/matematikawan
menyediakan atau mencari (kalau belum ada) metode analisis yang sesuai dengan
permasalahan yang diajukan oleh ilmuwan sosial. Kerjasama seperti itu telah
berhasil dirintis oleh fisikawan dan ahli-ahli teknik dengan para
matematikawan/statistikawan, sehingga perkembangan matematika/statistika
seringkali dipengaruhi oleh perkembangan dalam fisika dan ilmu teknik, dan
begitupun sebaliknya.
Salah
satu contoh yang patut untuk diketengahkan mengenai kerjasama antara ilmuwan
sosial dan matematikawan adalah diciptakannya fungsi produksi Cobb-Douglas yang
terkenal itu. Fungsi produksi Cobb-Douglas dibuat oleh matematikawan Charles W.
Cobb dan ekonom Faul H. Douglas sekitar tahun 1928.
Dari
hasil kerjasama ini dapat diharapkan munculnya generasi baru, berupa ilmuwan
sosial yang tangguh dalam penguasaan metode kuantitatif, sebaliknya pada pihak
lain para matematikawan/statistikawan akan menjadi lebih peka lagi di dalam
mengantisipasi penggunaan pengetahuannya, sebab matematika dan statistika tak
dapat tumbuh subur dalam lingkungan yang tertutup. Statistika/matematika
sebagai suatu disiplin ilmu tidaklah menghasilkan data; data berasal dari
disiplin ilmu lain, seperti ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Karena itu, statistika
tanpa bidang lain akan cenderung steril.
Idealnya
barangkali, terbentuknya ilmuwan sosial yang juga mahir dalam penguasaan metode
kuantitatif dan terbentuknya statistikawan/matematikanwan yang mempunyai minat
yang besar terhadap ilmu sosial. Ini bukan usaha yang mudah, seperti yang
dikatakan oleh Sembiring (1984) :
“Membentuk staf khusus di suatu jurusan untuk
melayani kebutuhan statistika sudah tentu bukan hal yang mudah. Mencari seorang
sosiolog, misalnya yang memahami statistika dengan baik bukanlah hal yang
mudah, demikian pula mencari seorang statistikawan yang senang pada sosiologi
mungkin lebih sulit lagi, apalagi statistikawan di banyak negara (termasuk di
Indonesia) masih merupakan komoditas langka “
Meskipun
usaha-usaha untuk memasyarakatkan pendekatan kuantitatif di kalangan ilmuwan
sosial atau calon ilmuwan sosial tidak mudah, karena adanya hambatan-hambatan
tertentu tetapi usaha itu harus terus dicoba.
Nasoetion
(1972) salah seorang pakar yang terkenal getol dalam usaha memasyarakatkan
Matematika dan Statistika di Indonesia, mengomentari tentang perlunya para
mahasiswa (IPB) yang duduk di Tingkat Persiapan Bersama (lamanya 3 semester)
mendapat bekal Matematika dan Statistika yang porsinya sama untuk setiap
mahasiswa. Komentarnya adalah sebagai berikut :
“Terhadap pertanyaan, mengapa syarat minimum itu juga
dikenakan kepada mahasiswa-mahasiswa yang terjun ke bidang sosial ekonomi dari
ilmu-ilmu pertanian, dapat kiranya dikemukakan bahwa justru masalah di dalam
bidang ini memerlukan lebih banyak matematika dan statistika. Penggolongan ilmu
menjadi ilmu-ilmu eksakta dan non eksakta ini sebenarnya sudah tidak pada
tempatnya lagi”.
VI . KESIMPULAN
Dari
uraian makalah ini kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Adanya kecenderungan
semakin meluasnya penggunaan metode kuantitatif di kalangan ilmuwan sosial
sebaiknya kita sambut secara positif. Kecenderungan ini tidaklah jelek asalkan
dapat memperjelas masalah sosial yang terjadi sehingga dapat ditemukan jalan
keluar yang tepat.
2.
Model kuantitatif
(matematika dan statistika) bukan menjadi tujuan dari pemecahan suatu masalah
sosial, tetapi ia hanyalah suatu alat untuk membantu analisis pemecahan
masalah.
3.
Perlunya usaha-usaha
untuk lebih memasyarakatkan pendekatan kuantitatif di kalangan ilmuwan sosial.
4.
Terhadap pertanyaan :
kuantifikasi ilmu-ilmu sosial suatu kemajuan atau pembiasan jawabannya
tergantung pada sejauh mana ilmuwan sosial berlaku arif menggunakan metode
kuantitatif dalam analisisnya. Jika tidak hati-hati akan merupakan pembiasan,
sebaliknya jika tepat guna akan merupakan langkah maju yang bermanfaat.
Sebagaimana sebuah alat bantu, seperti halnya sebuah pisau, tergantung
bagaimana ia menggunakannya. Yang penting “the man behind the gun”.
KEPUSTAKAAN
Encyclopedya Encarta 2002. Microsoft Corporation
Johannes,
Herman dan Budiono Sri Handoko. 1978. Matematika untuk Ekonomi.
LP3ES. Jakarta.
Kariawan, Hendi. 1986. “Dinamika
Perkembangan Teori Ekonomi dan
Implikasinya bagi Indonesia” dalam Prisma No.10-1986.
Kemeny,
John G. 1959. “Matematika Tanpa Bilangan:
Matematika untuk Ilmu-ilmu Sosial “ dalam
Suriasumantri (Ed.) : Ilmu dalam
Perspektif (1981). Gramedia. Jakarta.
Nasoetion, Andi Hakim dan Barizi.
1979. Metode Statistika untuk Penarikan
Kesimpulan. Gramedia. Jakarta.
Nasoetion, Andi Hakim. 1970.
“Pengetahuan Matematika untuk Generasi Indonesia Masa Depan” dalam Damanhuri (1985) : Daun-daun Berserakan. Inti
Sarana Aksara. Jakarta.
------------------------------
. 1972. “Statistika, Tongkat Pembimbing ke Daerah Ketidaktahuan : Pidato
Penerimaan Jabatan Guru Besar Statistika dan Genetika Kuantitatif di IPB, 20
Mei 1972” dalam Damanhuri (1985) : Daun-daun Berserakan. Inti Sarana Aksara. Jakarta.
Ormerod, Paul. 1998. Matinya Ilmu
Ekonomi. Gramedia. Jakarta
Sembiring,
R.K. 1984. “ Pendidikan Statistika di
Indonesia” dalam Prisma No. 10-1984.
Sinaga, Bonar M. 1998. Pendekatan Kuantitatif Dalam
Agribisnis. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi-Faperta-IPB. Bogor
Supranto, J. 1980. Metode Ramalan
Kuantitatif untuk Perencanaan. Gramedia. Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 1984.
Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan. Jakarta.
Tamba, J. L. 1984. “Model-model
Ekonometri dan Data Statistik” dalam Prisma No.10- 1984.
Tampubolon,
P.N. Usman. 1984. “Matematisasi Ilmu-Ilmu
Sosial” dalam Priyono et.al.
(Ed, 1984): Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga. PLP2M. Yogyakarta.
Tan,
Melly G. 1977. “Penggunaan Data Kuantitatif” dalam
Koentjaraningrat (Ed., 1977):
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta.
Tinbergen,
Jan. 1983. “Lebih Banyak Penelitian Empiris” dalam Kurt Dopfer : Ilmu
Ekonomi Masa Depan Menuju Paradigma Baru (Terjemahan Goenawan Moehammad). LP3ES. Jakarta.
Wallis,
W. Allen dan Harry V. Roberts. 1962. “Statistika dan Metode
Keilmuan” dalam Suriasumantri (1981) :
Ilmu dalam Perspektif. Gramedia. Jakarta.
Zanten, Wim van. 1982. Statistika
untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta.