© 2002 Syukur
Umar
Posted:
6 March 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Maret 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
PROSES PEMBENTUKAN AGROFOREST KHAS
PROVINSI SULAWESI TENGAH
Oleh:
P14600010
E-mail: chyumar@yahoo.com
Agroforest atau yang sering juga disebut traditional forest gardens adalah salah satu bentuk tata guna lahan dalam integrated agroforestry system. Ia merupakan salah satu bentuk teknologi agroforestry yang banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional di Indonesia.
Penelitian tentang
traditional management ini; selanjutnya disebut agroforest, sudah cukup banyak
dilakukan di P. Jawa dan Sumatera serta Kalimantan, tetapi masih sangat sedikit
dilakukan di P. Sulawesi. Padahal sistem management ini memiliki kedekatan
dengan ekosistem hutan dan kebudayaan masyarakat lokal. Di Sulawesi Tengah
misalnya, dimana penelitian ini dilakukan, masyarakatnya banyak berinteraksi
dengan hutan sejak keberadaannya. Mereka banyak belajar dari fenomena alam yang terimplikasi dalam sistem
kebudayaan.
Pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan orientasi pembangunan kehutanan dewasa ini. Konsep ini tidak lagi menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai buruh atau penonton praktek pengelolaan hutan, dan tak dapat bersorak kegirangan ketika melihat logging trucks mengangkut ber-kubik-kubik kayu bulat dari hutan yang tidak jauh dari kebun-kebun mereka. Masyarakat sekitar hutan memang selama ini belum mendapatkan tempat yang adil dalam pengelolaan hutan sistem HPH. Mereka tetap dan semakin miskin karena hutan tidak lagi mampu mensuplai air untuk persawahan mereka. Mereka semakin sulit mendapatkan hewan buruan di hutan yang semakin termarginalkan. Pohon duren yang dulu subur dengan buah yang rimbun, kini semakin langkah. Realita pembangunan kehutanan ini menimbulkan berbagai issu dan kritik yang dilontarkan terutama oleh LSM lokal, nasional, dan juga internasional.
Issu dan kritik terhadap pengelolaan hutan sistem HPH merupakan spirit kebangkitan model pengelolaan hutan yang berorientasi kepada pelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat misalnya, keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan hutan telah terimplementasikan dalam suatu program yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Demikian juga di tempat lain seperti di Sulawesi Tengah yang telah melaksanakan proyek hutan kemasyarakat selama tiga tahun terakhir ini. Bahkan spirit masyarakat sekitar hutan dalam memperjuangkan haknya sebagai pengelola hutan telah diutarakan pada berbagai forum seminar, termasuk pada Komperensi Kehutanan Nasional ke-3 di Jakarta tahun lalu.
Espirit masyarakat tersebut di atas sejalan dengan program otonomi daerah yang dilontarkan oleh pemerintah dewasa ini. Sayangnya telah terbersit kekuatiran akan biasnya pemahaman masyarakat luas terhadap Bab IX, X dan XI Undang Undang Kehutanan No 42 Tahun 1999 yang berimplikasi semaraknya perilaku yang mengarah kepada “open acces forest resources” yang berdampak kepada melemahnya kualitas kompetitif bangsa di era globalisasi. Illegal logging yang telah mengakibatkan kerugian sekitar Rp 30,42 triliun setiap tahun dan kerusakan hutan tropika kita sebesar 1,6 juta hektar setiap tahun merupakan fakta masih lemahnya sistem manajemen hutan di Indonesia.
Agroforest merupakan model pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat serta berorientasi kepada kelestarian ekosistem hutan. Oleh sebab itu pemikiran untuk merakit manajemen tradisional ini kedalam sistem manajemen hutan merupakan langkah yang sangat mendesak untuk meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dan terintegrasi.
Darusman et al., 2001 menyimpulkan bahwa Usaha Kehutanan Masyarakat (UKM) telah membuktikan tingkat resiliensi yang tinggi terhadap terpaan gelombang krisis ekonomi yang melanda sendi-sendi perekonomian nasional sejak 1997. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua faktor internal masyarakat (keluarga) yang sangat berpengaruh terhadap resiliensi UKM, yaitu tingkat pengetahuan (know-how) dan responsifitas (low profile). Pengetahuan dan budaya merupakan hal penting yang mempengaruhi kearifan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dan usaha-usaha ekonominya.
Gambar 1 berikut memperlihatkan konsep dasar dengan tiga komponen lunak (budaya, ekonomi, dan pengetahuan) pada pengelolaan agroforest.
Gambar 1. Tiga komponen
lunak pada sistem Agroforest.
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan satu
dari lima provinsi yang terdapat di Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Tengah
didirikan oleh Pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang No 1 tahun 1964. Dewasa ini provinsi Sulawesi Tengah
terdiri dari delapan wilayah (7 kabupaten dan 1 kotamadya) yang secara
keseluruhan memiliki 69 wilayah kecamatan dengan 1.408 desa dan kelurahan. Dari
keseluruhan jumlah desa diperkirakan ± 710 desa yang memiliki kedekatan jarak
dengan hutan, bahkan 149 desa masih merupakan desa enclave (BAPPEDA Provinsi
Sulawesi Tengah, 2000; BAPEDAL Wilayah III, 1999).
Memang yang menjadi ciri khas
penting Sulawesi Tengah adalah tingginya interaksi penduduk yang jumlahnya
2.026.333 jiwa dengan hutan yang luasnya 64% atau 4.395.566 ha dari luas
daratan Provinsi Sulawesi Tengah. Pantai Barat dan Pantai Timur di sepanjang
“leher Sulawesi” memberikan contoh bahwa 95% penduduk Pantai Barat adalah
petani dan hanya 10% penduduk pantai Timur bekerja sebagai nelayan, padahal
“leher Sulawesi ini” yang lebar daratannya hanya 30 km diapit oleh Teluk Tomini
dan Selat Makassar yang luas.
Wilayah daratan Sulawesi Tengah
ditutupi oleh 68% atau 4.637.129 ha kawasan budidaya dan dari kawasan budidaya
ini terdapat hutan sebanyak 32,76%. Kawasan budidaya berupa hutan oleh
pemerintah hingga kini sangat mengandalkan produksi kayu bulat melalui sistem
HPH. Pada tahun 1993 luas penebangan adalah 18.533 ha dengan total produksi
kayu bulat 408.849,48 m3 . Sedangkan pada tahun 1998 kegiatan produksi
mengalami penurunan dan meningkat lagi pada tahun 1999 dengan luas penebangan
10.401,55 ha dengan produksi kayu bulat sebesar 485.719,99 m3
(Kanwil Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah).
Dikenal berbagai istilah tentang tata guna lahan hutan tradisional di Sulawesi Tengah. Pada masyarakat Besoa misalnya, mereka mengenal istilah-istilah: loppo lehe, loppo tua, pondulu, dan pangale, serta wana. Kecuali wana, semua istilah tersebut merupakan type anthropogenic forests. Type hutan tersebut terbentuk sebagai akibat adanya intervensi masyarakat melalui perladangan berpindah-pindah. Loppo lehe terbentuk setelah bekas ladang telah berumur lima tahun, sedangkan loppo tua, pondulu dan pangale masing-masing berumur 10, 15, dan 20 tahun. Wana adalah non-anthropogenic forests yang merupakan hutan belantara yang tidak “dikunjungi” manusia oleh karena jaraknya yang jauh dan atau dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Biasanya peladang berpindah hanya mengolah lahannya selama setahun, dan setelah itu mereka mencari dan membuka ladang baru. Lahan yang ditinggalkan akan mengalami perkembangan (suksesi) dan umumnya ladang tersebut menjadi milik umum (tribe) . Di ladang biasanya ditanami berbagai tanaman musiman seperti jagung dan padi ladang. Luas ladang per kepala keluarga biasanya mencapai satu hektar.
Gambar 2 berikut memperlihatkan sekuent
perkembangan ladang sebagai proses terbentuknya agroforest.
Gambar 2. Hubungan antar berbagai type tata guna lahan tradisional dan dalam hubungannya dengan proses pembentukan agroforest/forest gardens
Mary dan Michon (1987) menjelaskan bahwa di Sumatera, ladang dibuat oleh masyarakat baik di hutan primer maupun di hutan sekunder. Lebih lanjut dijelaskan bahwa agroforest dapat terbentuk oleh pohon damar yang mempunyai peranan yang penting dan tumbuh secara semi natural setelah ladang ditinggalkan. Ladang yang ditinggalkan akan ditanami kopi, cengkeh, dan merica yang mana tanaman ini akan tumbuh bersama-sama dengan pohon damar dan akhirnya membentuk agroforest damar yang permanen.
Di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat dua type agroforest, yaitu bone kopi dan udu. Bone kopi dipraktekkan oleh masyarakat Kulawi sedangkan Udu dipraktekkan oleh masyarakat besoa, terutama oleh sub-etnis kakau (Kakau berarti hutan). Biasanya satu keluarga memiliki satu bone kopi yang seluas satu hektar. Sedangkan udu biasanya relatif lebih sempit, namun terkadang ada yang mencapai satu hektar. Berdasarkan luas lahan berpohon, udu sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai hutan. Udu merupakan dataran yang terletak di tepian sungai dan terdiri atas berbagai type penggunaan lahan. Udu sebagai agroforest terdiri dari berbagai jenis pepohonan yang tumbuh dari benih pohon hutan yang hanyut oleh air sungai. Udu memang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air sungai. Pemilik Udu juga menanam berbagai jenis pepohonan (pohon buah-buahan) seperti advokat, landsat, rambutan, dan lain sebagainya. Sebagai tambahan bahwa tidak semua kepala keluarga memiliki udu. Udu pada masyarakat besoa biasanya dimiliki oleh pemuka adat. Namun akhir-akhir ini beberapa kepemilikan udu telah berpindah ke pihak lain melalui proses jual beli.
Bone sebenarnya berarti kebun pada masyarakat kulawi. Bone yang ditanami padi disebut bone pare. Oleh karena agroforest yang dipraktekkan oleh masyarakat kulawi adalah bone yang ditanami kopi, maka agroforest masyarakat kulawi disebut bone kopi. Bone kopi merupakan praktek pertanian menetap dimana pemiliknya memanfaatkan ruang di bawah tajuk hutan sebagai lokasi tanaman kopi. Sejalan dengan waktu, kepentingan ekonomi kopi akan sangat berperan dalam perubahan penutupan tajuk pohon. Kelihatannya pada awal proses pembentukan bone kopi, interaksi bioekonomi antara pohon dan kopi adalah komplementer (complementer interaction). Kondisi ini akan berlangsung beberapa tahun saja dan kemudian akan terjadi persaingan dan kemudian kembali membentuk interaksi komplementer.
Pemilik Bone pada masyarakat kulawi juga menanam pohon-pohon, baik pohon penghasil buah-buahan maupun pepohonan sebagai peneduh dan penyubur tanah. Pohon buah-buahan yang ditanam adalah landsat, rambutan, durian, kemiri dan lain sebagainya. Sedangkan sebagai pohon peneduh dan penyubur tanah, umumnya pemilik kebun menggunakan dadap hutan (Eritrina sp).
Beberapa
perbedaan antara bone kopi dengan udu diperlihatkan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1.
Perbedaan Antara Bone kopi dengan Udu Sebagai Agroforest atau Forest Gardens
khas Sulawesi Tengah.
Variabel |
Type Agroforest / Forest Gardens
|
|
Udu |
Bone kopi |
|
Lokasi |
Terletak pada tanah datar di pinggiran sungai
dan relatif lebih dekat jaraknya ke permukiman dari pada ke hutan. |
Memiliki berbagai variasi kemiringan lereng
dan merupakan ekosistem yang kontinyu terhadap hutan alam. |
Proses |
Barasal dari praktek tebang habis dan bakar
di hutan alam |
Berasal dari pemanfaatan ruang di bawah
tegakan hutan alam. |
Asal-usul
dan keragaman pohon |
Jumlah dan jenis pohon lebih sedikit karena
pohon-pohon yang tumbuh di sini merupakan hasil perkecambahan benih pohon hutan
yang diendapkan oleh air sungai setelah musim banjir. |
Jumlah dan jenis pohon lebih banyak dan
merupakan pohon-pohon hutan yang sudah ada sejak awal pembuatan kebun hutan. |
Sosial budaya |
Agroforest yang dipraktekkan oleh masyarakat Besoa,
sub-etnis “kakau” dan terbatas pada kalangan tokoh adat. |
Agroforest yang dipraktekkan oleh masyarakat
Kulawi dan Da’a secara umum. |
Pohon enau (Arenga pinnata) merupakan tumbuhan yang selalu ada baik di Udu maupun di Bone kopi. Jumlahnya tidak banyak, namun karena setiap kebun memiliki enau sehingga Weidel (2000) mengatakan bahwa pohon ini merupakan penciri forest gardens di Sulawesi Tengah. Bahkan pohon aren dapat dengan mudah ditemui di halaman rumah penduduk.
Gambar 3 merupakan transek yang
memperlihatkan posisi udu dan bone kopi dalam suatu struktur landscape yang
dimulai dari permukiman hingga ke hutan alam di Kecamatan Palolo.
Pepohonan pada bone kopi merupakan bagian
yang kontinyu dengan pepohonan hutan alam sehingga kemungkinan besar jenis
agroforest ini terletak di dalam kawasan hutan. Sebaliknya, Udu berada di luar
kawasan hutan dan bahkan sangat dekat dengan permukiman penduduk, yaitu
berkisar 1 km. Apakah agroforest terletak di dalam kawasan atau di luar kawasan
hutan merupakan pertanyaan yang masih sulit dijawab. Weidelt (2000) mengatakan
bahwa forest gardens are a traditional land use form of forest margins and are
very typical for Indonesia. Michon dan Foresta (1990; 2000) mengatakan bahwa
meskipun agroforest terdiri dari kumpulan pepohonan yang kompleks, semestinya
jangan dirancaukan dengan hutan alam. Agroforest merupakan ciptaan manusia yang
dikembangkan dalam rangka pengembangan dan pelestarian sumber daya hutan, dan
bukan merupakan upaya pengelolaan hutan alam. Kedua pendapat ini menyimpulkan
bahwa seharusnya agroforest berada di luar kawasan hutan alam. Namun, penulis
berpendapat bahwa indigenous teknologi ini akan sangat efektif digunakan dalam
memperkaya pola pengelolaan hutan alam di Indonesia.
Pemikiran tentang kebersamaan masyarakat
hutan dan pengusaha kehutanan untuk melakukan pengelolaan hutan merupakan
konsep yang positif karena berorientasi kepada kelestarian hutan dan
pengembangan ekonomi kerakyatan. Sarijanto (2001) menggunakan istilah
“penghela” bagi pengusaha kaya yang membantu masyarakat miskin dalam hal
pendanaan dalam pengelolaan hutan.
Salafsky (1994) telah mengkaji potensi
forest gardens dan peranannya pada skala ekologi dan ekonomi dalam perencanaan
wilayah pedesaan. Ia merekomendasikan masih perlunya penelitian tentang forest
gardens agar kita dapat mendefenisikan dengan jelas istilah ini yang pada
akhirnya akan memudahkan bagi semua orang untuk memahami agroforest dan atau
forest gardens.
D. Hutan Alam dan Agroforest
Pada konteks ini, hutan alam adalah hutan
yang di dalamnya tidak dijumpai aktivitas manusia secara permanen. Agroforests
dan atau forest gardens yang dalam bahasa indonesia disebut agroforest atau
kebun hutan merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang sama dan tidak
dipertentangkan. Kekompleksan agroforest atau forest gardens merupakan cirinya
dan sekaligus sebagai pembeda dengan teknology agroforestry lainnya. Dengan
demikian tidak menjedi soal apakah agroforest tersebut berada di dalam kawasan
hutan (bone kopi) atau berada di luar kawasan hutan (udu). Keduanya merupakan
agroforest atau forest gardens dengan alasan kekompleksan yang dimilikinya.
Kekompleksan ekosistem bone kopi dan udu menjadikan traditional land use ini menyerupai hutan alam. Masyarakat hanya mengganti undergrowth, yaitu pepohonan yang berdiameter lebih kecil atau sama dengan 13 cm dengan tanaman kopi, lansat, durian, kemiri, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan penyebaran pohon yang berdiameter 10 – 20 cm di hutan alam dan di agroforest berbeda. Hasil analisis spasial yang menggunakan Two-term local quadrat variance method (TTLQV) terhadap tegakan dengan diameter 10 – 20 cm memperlihatakan pola penyebaran random pada agroforest dan clumped pada hutan alam. Sedangkan untuk tegakan yang berdiameter 50 up memperlihatkan pola penyebaran yang sama, yaitu clumpud baik di agroforest maupun di hutan alam (Gambar 4 a dan b).
Plot tersebut digambar dengan menggunakan Arcview GIS versi 3,0a. Semua kordinat lokal pohon dimasukan dengan menggunakan variabel latitude adan altitude. Kedua variabel ini akan menggambarkan posisi pohon pada sistem kartesian (X, Y).
Pada plot agroforest (Gambar 4a), pemilik
kebun menggunakan ruang yang kurang pepohonan untuk menanam sayur-sayuran.
Lokasi tanaman sayur mayur ini disebut pampa.
Pampa pada masyarakat kulawi sebenarnya
berarti kebun sayuran yang sifatnya permanen dan biasanya terletak dekat dengan
permukiman. Hanya saja karena keterbatansan lahan, maka pampa dijadikan sarana untuk
meneruskan budaya berpindah-pindah tetapi dilakukan di dalam bone kopi.
Caranya, pemilik kebun akan membuat pampa baru pada lokasi dimanan terdapat
pohon tumbang di dalam bone.
(a) agroforest (b) hutan alam
Gambar 4. Distribusi
diameter pohon dengan diameter setinggi dada 50 up pada tegakan agroforest (a)
dan tegakan hutan alam (b)
Hubungan
fungsional antara volume, diameter dan tinggi diperlihatkan pada persamaan
berikut sebagai hasil analisa regresi.
Dari persamaan di
atas dapat dijelaskan bahwa behavior volume (aspek kuantitas) tegakan hutan
alam dan agroforest berbeda secara signifikan. Sedangkan aspek kualitasnya
tidak, seperti yang diperlihatkan pada hubungan fungsional antara tinggi total
pohon dengan diameter setinggi dada. Hal ini disebabkan oleh adanya intervensi
silvikultur yang dilakukan oleh pemilik kebun, terutama dalam hal pemilihan
jenis pohon yang dibiarkan untuk tetap tumbuh sebagai penanung dan penyubur
tanah.
Bone kopi dan Udu merupakan agroforest
atau traditional forest garden khas Provinsi Sulawesi Tengah yang terbentuk
dari kegiatan perladangan berpindah-pindah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
kepemilikan antar lahan (bekas perladangan berpindah) dengan peladangnya
cenderung terpelihara. Mereka cenderung kembali mengelola lahan dengan sistem
agroforest dengan memanfaatkan ruang di bawah tegakan hutan.
Kepentingan memanfaatkan ruang di
bawah tegakan ini berimplikasi terhadap meningkatnya kualitas tegakan
agroforest.
Daftar Pustaka
Avery T.E., Harold E.B., 1994. Forest Measurements. McGraw-Hill. International editions.
BAPEDA SUL-TENG,
2000. Potensi Dasar Sulawesi Tengah.
BAPEDAL Wilayah III, 1999. Data Dasar Wilayah Kerja BAPEDALWILL III.
Darusman Dudung. 2001. Komparasi antar usaha kehutanan masyarakat. In: Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Debut Press. Fakultas Kehutanan IPB dan Fourd Foundation.
Michon G., and H. de Foresta. 1990. Complex Agroforestry Systems and
Conservation of Biological Diversity (I). Orstom/Seameo-Biotrop, Bogor, P.O. Box 17 Indonesia.
Michon G., dan H de Foresta. 2000. Agroforestry Indonesia: beda sistem beda pendekatan. In Agroforest khas Indonesia; sebuah sumbangan masyarakat. ICRAF. Bogor.
Michon G., and F. Mary. 1987. When agroforests drive back natural forests: A socio-economic analysis of a rice-agroforest system in Sumatra. In: Agroforestry System 5:27 55.
Salafsky N. 1994. Forest gardens in the Gunung Palung region of West Kalimantan, Indonesia: defining a locally-developed, marked-oriented agroforestry system. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
Sarijanto Titus. 2001. Kehutanan menjawab krisis. Grafika Citra Adijaya. Jakarta.
Spur S.H. 1952. Forest Inventory. The Ronald Press Compagny, New York.