© 2002 Priyanto Rahardjo Posted 23 May
2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Oleh:
Priyanto Rahardjo
TKL/ P26600002
E-mail: Priyanto_Rahardjo@hotmail.com.
II.
Pemahaman
Makna Nelayan
Arti nelayan dalam buku statistik perikanan Indonesia disebutkan[2]) nelayan adalah orang yang secara
aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat
jaring, mengangkut alat-alat/perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan
dari perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin, juru
masak yang bekerja diatas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan. Dari
pengertian itu tersirat jelas, nelayan dipandang tidak lebih sebagai kelompok
kerja yang tempat bekerjanya di air; yaitu sungai, danau atau laut. Karena
mereka dipandang sebagai pekerja, maka kegiatan-kegiatannya hanya refleksi dari
kerja itu sendiri dan terlepas dari filosofi kehidupan nelayan, bahwa sumber
penghi-dupannya terletak dan berada dilautan. Sumber kehidupan yang berada di
laut mempunyai makna bahwa manusia yang akan memanfaatkan sumber hidup yang
tersedia dilaut tidak mempertentangkan dirinya dengan hukum-hukum alam kelautan
yang telah terbentuk dan terpola seperti yang mereka lihat dan rasakan.
Tindakan yang harus dilakukan dan perlu dilaksanakan adalah mempelajari melalui
penglihatan, pengalaman sendiri atau orang lain guna melakukan penyesuaian
alat-alat pembantu penghidupan sehingga sumber penghidupan itu dapat berguna
dan berdaya guna bagi kehidupan selanjutnya.
Laut sebagai bagian dari alam semesta mempunyai kecirian tersendiri dibanding-kan dengan bagian alam semesta lainnya seperti tanah, udara dan panas matahari. Kecirian yang berbeda nyata dan sangat besar antara laut dengan tanah telah memberikan kesempatan pada manusia untuk mengenalinya lebih dalam, terutama setelah dikaitkan dengan udara dan panas matahari diantara keduanya, agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan. Ternyata dari pengalaman yang berlang-sung berabad-abad lamanya telah memberikan pengetahuan pada mereka bahwa perlakukan terhadap laut dan tanah harus berbeda, karena keduanya itu mempunyai sifat-sifat alam yang berbeda. Pengenalan sifat-sifat alam tersebut telah mendorong manusia untuk bersikap dan berbuat terha-dapnya selaras dengan sifat-sifat alam itu. Dari hasil pengenalan sifat alam tadi, peleburan manusia terhadap laut dan tanah telah pula menciptakan sikap hidup yang berbeda diantara keduanya. Dapat dilihat dari hasil hidup itu dari peralatan hidup yang mereka ciptakan. Manusia yang bergelut dengan laut; peralatan hidup utamanya seperti perahu dengan segala atributnya. Sedangkan, manusia yang bergelut dengan tanah; peralatan hidup utamanya seperti bajak tanah, dengan segala atributnya pula.
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang
berbeda itu, maka secara perlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan,
dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya
bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini
dapat pula disebut sebagai hasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum,
hasil ciptaan yang berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses
penciptaannya dikatakan ilmu pengetahuan dibidang teknik. Bagi nelayan hasil
ciptaan berupa alat-alat teknik kela-utan sangatlah serasi dengan kebutuhan
mereka sehari-hari, karena peralatan tersebut berguna secara langsung dalam
meno-pang mewujudkan kehidupan mereka yang bersumber dari laut. Adapun hasil
ciptaan yang berupa bukan fisik, adalah yang disebut sendi-sendi yang mengatur
kehidupan mereka, baik secara perorangan atau berkelompok terhadap alam atau
kekuatan supra natural yang berada diluar jangkauan pikir mereka. Hasil kedua ciptaan
itu, dalam praktek kehidupan nelayan tidak boleh saling dipertentangkan, tetapi
harus difungsikan setara dan serasi dalam keharmonisan, sehingga tercipta
kondisi yang seimbang antara kedudukan nelayan sebagai manusia dengan kedudukan
alam sekitarnya yang menghidupi mereka. Perwujudan dari sendi-sendi dasar pengaturan kehidupan nelayan tampak
pada dinamika kehidupannya. Dinamika itu dapat berupa kelembagaan dan sistem
yang mereka anut, dan ada juga pandangan kehidupan. Hal-hal itu dapat dilihat
dari sumber kehidupan dan fenomena kehidupan yang berkenaan dengan kelautan,
pengetahuan, tempat tinggal, norma-norma kemasyarakatan dan sanksi-sanksinya,
peranan kepemimpinan dan juga pola interaksi kehidupan diantara sesama nelayan
atau diluar mereka, juga proses asimilasi terhadap orang yang masuk kedalam
kelompok mereka. Kesemuanya itu didasarkan pada sistem nilai-nilai yang telah mereka miliki dan
jaga bersama.
III. Kelompok Nelayan Nusantara
Nelayan didalam statistik perikanan
Indonesia masih disebut sebagai “jumlah nelayan”, yang disatukan dengan “Petani
Ikan”. Dari batasan sebutan itu, nelayan masih dianggap sebagai kelompok kerja,
berarti nelayan disini dihitung berdasarkan jiwanya saja, bukan nelayan sebagai
bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya, yaitu termasuk anggota keluarga yang
menjadi tanggungannya. Dari pengertian didalam statistik itu, maka nelayan
meru-pakan angkatan kerja aktif yang ada di lautan/sungai/danau yang pekerjaan
utama-nya adalah menangkap ikan.
Berdasarkan hasil pencatatan yang dilakukan dalam Tabel 1[3]). Departemen Pertanian, Dirjen
Perikanan, jumlah nelayan dari tahun 1985-1992 adalah sebagai berikut dibawah
ini. Gambaran yang didapat
dalam catatan itu menunjukkan laut bukanlah bagian alam yang besar peranan-nya
memberikan sumbangan lapangan pekerjaan masyarakat nelayan. Kenapa demikian ?,
karena apabila dilihat secara persentase, betapa kecil jumlah angkatan kerja
nelayan dibandingkan dengan total angkatan kerja pada sektor-sektor lainnya
(petani, industri dan jasa), apabila dikaitkan dengan luasnya hamparan laut dan
hamparan sungai serta danau yang terse-dia. Kecilnya jumlah angka persentase
ini telah memberikan gambaran pada banyak orang bahwa nelayan sebenarnya secara
perhitungan ekonomi dapat diabaikan. Oleh sebab itu perhatian pada kelompok
nelayan ini sebagai bagian berbangsa tidaklah harus diutamakan dalam berbagai
pembuatan program pembangunan. Naif memang pandangan ini, tapi demikianlah
kenyataannya, nelayan masih saja bagian yang terpinggirkan dan menderita kemiskinan
yang akut.
Angkatan kerja nelayan yang aktif menangkap ikan dilaut dari gambaran
angka-angka dalam tabel 1, ternyata kisa-rannya hanya antara 74% - 76% selama
delapan tahun terakhir ini. Jelas menurut kisaran angka tersebut, jumlah
nelayan dari tahun ke tahun relatif tetap, perubahannya kecil sekali. Kalau
kisaran angka perubahan ini kita ambil sebagai dasar keberadaan nelayan yang
sumber kehidup-annya berasal dari laut, maka keberadaan nelayan mutlak adanya.
Mereka memang manusia sebagai penghuni tetap yang hidupnya bersumber dari laut,
inilah kenyataan yang dapat ditemui hampir disemua pantai kepulauan-kepulauan
di Nusantara ini.
Ikan atau hasil laut/sungai/danau yang diambil atau ditangkap oleh
nelayan mem-punyai peranan strategis bagi penyediaan protein untuk memenuhi
salah satu kebutuhan esensial manusia. Karena, apa yang dihasilkan oleh nelayan
itu merupakan bagian esensial bagi pemenuhan kebutuhan hidup, maka tuntutan
keberadaan nelayan sebagai salah satu bagian dari sistem kehidupan manusia
Nusantara tidak pernah dapat dihapuskan. Bukti-bukti hasil kerja mereka
sangatlah gamblang dapat dilihat dengan mata telanjang; yaitu ikan, udang,
kerang-kerangan dan rumput laut telah menjadi bagian kebutuhan hidup yang tidak
dapat terpisahkan oleh manusia-manusia. Kesemua itu menunjukkan betapa penting
keberadaan kelompok nelayan bagi keberlangsungan hidup kelompok-kelompok
manusia lainnya.
Untuk dapat menghasilkan hasil laut (uraian
selanjutnya), telah dibutuhkan pula sejumlah perahu/kapal perikanan laut yang
terdiri dari berbagai ukuran. Peralatan berupa perahu/kapal itu, asli kreasi
masyarakat nelayan, oleh sebab itu setiap aspek peralatan tersebut bagi
masyarakat nelayan sangat strategis bagi kehidupan mereka. Perahu/kapal tidak
hanya dilihat sebagai benda fisik saja, tetapi ia adalah bagian kehidupan
nelayan, dan dia dipandang mempunyai dimensi dan ruang yang lain. Perlu
diperlakukan sebagai bagian integral dari kehidupan kelompok nelayan.Melihat,
betapa pentingnya peralatan hidup itu, maka setiap perubahan atau penambahan
atribut tertentu padanya, nelayan menuntut perlakuan-perlakuan khusus yang
harus serasi dengan dinamika kehidupan kelompok nelayan. Tuntutan itu erat kaitannya
dengan keselamatan, ketenteraman dan kepercayaan terhadap keunggulan secara
fisik, dan selanjutnya kepasrahan pada kekuatan supra natural yang berada
diluar kelompoknya.
Tampak pada Tabel 2. bahwa
produksi ikan laut per tahunnya kisaran kenaikan-nya tidak berfluktuasi tajam,
yaitu antara angka 5-7% saja. Kenaikan kisaran jumlah nelayan pada tahun yang
sama, terlihat juga tidak berfluktuasi tajam, yaitu antara angka 5-7% juga.
Dari kedua kisaran angka prosentase kenaikan per tahun terse-but menimbulkan
pertanyaan mendasar bagi kita, mungkinkah kisaran kenaikan angka prosentase itu
terjadi secara proporsional ? ataukah memang ada nelayan dan produksi yang
tidak tercatat atau terjang-kau oleh pencatat angka-angka yang ber-wenang
mencatat untuk itu. Dan seberapa pentingkah keberadaan angka-angka itu bagi
nelayan dan keberlangsungan pembinaan dan pengembangan mereka ?. Tampaknya,
masih banyak pertanyaan-pertanyaan dibalik catatan angka-angka tersebut yang
perlu penjelasan lebih lanjut. Pentingkah itu ?.
Bagi bangsa ini yang hamparan
perair-annya lebih luas dari hamparan daratan-nya, dan pantainya berserakan
menempel pada setiap kepulauan yang belasan ribu banyaknya itu, telah
menjadikan kelompok nelayan bagian yang tidak terpisahkan dengan hamparan laut dan
pantai-pantai setiap kepulauan itu, karena mereka merupakan sebuah bentuk
kehidupan yang keberadaannya saling membutuhkan.
IV. Review
Nelayan
Nelayan menurut ensiklopedi Indonesia yang secara lengkap bunyi
kutipannya adalah[4]) “Orang yang secara aktif melaku-kan
kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti para penebar dan penarik
jaring), maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda
kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai
mata pencaharian”. Inti pengertian batasan ini menyatakan, bahwa nelayan adalah
pekerjaan orang yang kerja utamanya menangkap ikan. Batasan pengertian yang ada
pada Ensiklopedi Indonesia itu, tampaknya diikuti sama persis didalam statistik
perikanan Indonesia dalam angka, 1992 yang dikeluarkan oleh Departemen
Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta, 1995, bunyinya adalah sebagai
berikut[5]): “Nelayan adalah orang yang secara
aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lain
-nya/tanaman air. Orang yang hanya mela-kukan pekerjaan, seperti membuat
jaring, mengangkut alat-alat/perlengkapan keda-lam perahu/kapal, mengangkut
ikan dari perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai ne-layan. Tetapi ahli mesin,
juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap dimasuk-kan sebagai nelayan”.
Batasan ini tampak sekali hanya ingin memperjelas istilah didalam Ensiklopedi
Indonesia, sehingga nelayan adalah semua orang yang bekerja diatas perahu/kapal
yang kegiatannya dilaut untuk mencari ikan, binatang dan tanaman air. Tampaknya[6]), Mubyarto, dkk. 1984 dalam bukunya
yang berjudul “Nelayan dan Kemiskinan” dalam Studi Ekonomi Antropologinya,
memberikan pengertian berbeda tentang “Masyarakat Desa Nelayan”. Menurutnya,
memang dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok kaya dan kaya sekali disatu pihak, dan kelompok ekonomi
sedang, miskin, miskin sekali dan tukang dilain pihak. Pemakaian kata “Desa
Nelayan” telah mengantarkan kepada pemahaman bahwa nelayan dilihat sebagai
masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sendiri dan bertempat tinggal berada ditepi
pantai, sehingga dapat juga disebut sebagai masyarakat yang berdiam di “Desa
Pantai Perkampungan Nelayan” yang menjadikan perikanan sebagai mata
pencahariannya yang terpenting. Keluarga sebagai inti terkecil dalam masyarakat
telah dijadikan sebagai pusat penggalian informasi tentang kehidupan nelayan.
Maka bahasan yang berkenaan dengan ‘Pembangunan Manusia’ nelayan menjadi tampak
penting, agar “Mutu Kehidupan Manusia” nelayan itu dapat ditingkatkan.
Tabel 1. Jumlah Nelayan dari Tahun 1985 - 1992, Menurut Statistik Tahun 1995.
Tahun |
Total |
Nelayan Laut |
% (Kenaikan/Th) |
Nelayan Perairan Umum |
% (Laut) |
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 |
1.720.738 1.807.661 1.829.983 1.879.043 1.901.379 1.995.290 2.126.000 2.126.000 |
1.286.448 1.357.279 1.372.430 1.417.424 1.463.875 15.24.348 1.632.630 1.632.630 |
- 5,50 1,12 3,28 3,27 4,13 7,10 0,00 |
434.290 450.382 457.553 461.619 437.504 470.942 493.370 493.370 |
74,76 75,08 74,99 75,43 76,99 76,39 76,79 76,79 |
Tabel
2. Produksi
Ikan Laut Menurut Statistik,[7]) Tahun 1985 – 1992.
Tahun
|
Ton |
% (Kenaikan / th) |
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 |
1.821.725 1.922.781 2.017.350 2.169.557 2.272.179 2.370.107 2.537.612 2.692.068 |
- 5,54 4,92 7,54 4,73 4,30 7,06 6,08 |
Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat, dan tidak diragukan lagi. Mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah, sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orangtua mereka sejak mereka masih kanak-kanak. Apabila orang tua mampu, mereka pasti akan berusaha menyekolah-kan anak setinggi mungkin sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtua mereka. Tetapi dari kasus-kasus keluarga yang diteliti, ternyata kebanyakan mereka tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun temurun mereka adalah nelayan. Dipihak lain, banyak ditemui kelompok-kelompok nelayan tetap mampu bertahan hidup dalam menghadapi keadaan yang sangat berat sekalipun, terutama pada masa-masa paceklik. Dalam praktek, “Masalah Sosial dan Ekonomi, nampaknya dapat diatasi oleh lembaga-lembaga ‘bapak-anak (patron-client)’ yang berlaku sesuai adat/kebiasaan setempat”. Ada semacam perasaan ‘wajib’ bagi yang kaya untuk memberi pekerjaan/bantuan pada yang miskin. Dan perasaan ingin me-nolong ini pasti diberikan pada si miskin yang senang bekerja keras. Semangat sosial dan moral tolong menolong masih cukup menonjol, sehingga meskipun keadaan kehidupan yang sangat ‘menderita dan sempit’, semangat untuk mengatasi kesukaran hidup dengan upaya sendiri masih tinggi. Contohnya, kesanggupan mereka mengarungi lautan berhari-hari dan berpindah-pindah tempat, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetap mereka lakukan.
Dari pendapat Fernando, dkk, 1985; yang menyatakan8) ada bentuk-bentuk ke-biasaan pengaturan penangkapan (fishing rights) di “Masyarakat Perikanan” (Fishing Communities), bahwa orang diluar masya-rakat perikanan tersebut tidak dibolehkan menangkap ikan di daerah-daerah penang-kapan masyarakat nelayan (Community fishing ground) dan tenaga kerja penang-kapannya juga tidak diambil dari masya-rakat diluar mereka. Pada mulanya, seperti daerah-daerah penangkapan yang tertutup bagi anggota masyarakat lainnya mulai terbuka, karena sebab-sebab kelangkaan tenaga kerja untuk menangkap ikan di tempat-tempat tertentu yang selama ini sifatnya tertutup. Kecenderungan tersebut makin tampak jelas, setelah alat penang-kapan nelayan secara tehnik makin meningkat kemampuannya. Dan pemakaian istilah ‘Masyarakat Perikanan’ tidak hanya digunakan oleh Fernando, tetapi didalam buku yang sama itu, telah dipakai juga oleh 9)Frederichs and Nair pada penelitian nelayan pantai di Peninsular Malaysia, maka istilah nelayan, secara fungsional tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai kelompok kerja statis, tetapi mereka ada-lah bagian dari masyarakat tersendiri yang dinamis yang mampu mengatur dirinya sendiri dan beradaptasi atau saling tergan-tung dan mempengaruhi masyarakat lain yang berada diluar sistem kemasyarakatan mereka.
Masyarakat nelayan, dapat dicontohkan adalah,10)suku bangsa Bugis dan Makassar. Mattulada, dalam tulisannya menggambar-kan sebagai berikut; Orang Bugis dan Makassar ada yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini, mereka menang-kap ikan dengan perahu-perahu layar sam-pai jauh dilaut. Tampaknya jelas sekali, bahwa orang Bugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di Nusantara ini yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad yang lalu. Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan tekno-logi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, tersebutlah perahu-perahu layar terkenal ciptaan mereka tersebut, yaitu tipe ‘Pinisi’ dan ‘Lambo’. Kedua tipe perahu ini telah teruji kemam-puannya mengarungi perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Philipina untuk ‘berdagang’. Kemampuan berlayar dengan teknologi pelayaran yang dimiliki itu, telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran, seperti disebut dalam bahasa Bugis dan Makassar[8]) “Ade alloppiloping bicaranna pabbolu'e” dan “yang tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa” dalam abad ke 17. Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas, bahwa masya-rakat yang tinggal di daerah pantai mampu membentuk tempat tinggal yang disebut ‘desa nelayan’. Khusus suku Bugis Maka-ssar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan yang mampu mengembangkan masyarakat-nya dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perda-gangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan tersebut.
Semakin jelas bagi kita, maka nelayan tidak hanya berdiri sendiri, tetapi adalah merupakan sistem sosial yang menata khusus kehidupan masyarakat yang sumber mata pencaharian hidupnya dari lautan. Dari pengamatan dan fakta-fakta dilapangan dapat dijumpai diberbagai tempat di daerah Nusantara ini, penduduk-penduduk yang berdiam ditepi pantai, pokok-pokok dasar masyarakat yang beri-dentitas sebagai masyarakat nelayan dilihat dari gejala, dinamika dan konsep-konsep kehidupan mereka, semuanya dilandasi oleh sumber penghidupan utamanya dari laut. Jadi masyarakat nelayan adalah FAKTA, bukan hanya sebagai segerom-bolan tenaga kerja yang menangkap ikan di laut, tetapi sebuah bentuk kehidupan masyarakat yang basis kehidupannya ber-tumpu pada laut dan hasil-hasil laut yang ada didalamnya, yang bersosial, beradab, berbudaya dan berfikir tentang keberlan-jutan masa depannya sendiri.
V. Kedudukan Nelayan Dalam Pembangunan
Berbangsa
Nelayan sebagaimana didalam pengerti-an yang lebih luas, yaitu “Masyarakat yang mempunyai kecirian-kecirian khusus yang bertumpu pada sumber mata pencari-an utamanya menangkap ikan, telah mam-pu mengembangkan bidang-bidang lain yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat-nya”. Seperti kemampuan membuat tekno-logi pelayaran, teknik perdagangan diatas laut dan dipesisir atau desa-desa pantai, serta aturan-aturan hukum dibidang perda-gangan dan sosial kemasyarakatan lainnya. Dalam pembangunan berbangsa, masya-rakat nelayan merupakan bagian kekayaan bangsa yang kedudukan dan peranannya dalam ikut mengisi pembangunan tidak dapat ditawar-tawar, karena besarnya potensi yang mereka miliki. Potensi itu dapat terlihat dari kecirian secara khusus sebagai masyarakat yang berbeda dengan kecirian masyarakat suku-suku lain dari yang ada di Nusantara ini. Adalah tidak mungkin suku-suku lain yang sumber mata pencariannya tidak berasal dari laut, secara singkat dan langsung beradaptasi sekaligus mampu memanfaatkan potensi sumberdaya laut itu untuk kehidupan mereka, dan tanpa didahului oleh penge-nalan dan penyatuan terhadap lingkungan alam tersebut melalui pengalaman-pengalaman yang panjang.
Menarik untuk disimak, keluhan-keluhan kelompok
nelayan-nelayan miskin telah memberikan dasar pada pendapat mereka tentang
konsep-konsep kemakmur-an, kesejahteraan dan kebahagiaan12). Pada umumnya mereka menyatakan bahwa
ter-sedianya pekerjaan sepanjang waktu, kese-hatan yang mantap dan terjamin
agar tetap mampu bekerja dan mencari nafkah untuk hari esok, merupakan
pengertian atau syarat-syarat yang harus terkandung dalam tiga konsep tersebut.
Kekhawatiran akan jaminan pekerjaan dan nafkah yang kurang menentu, juga telah
menjadi satu alasan yang mendorong anggota-anggota keluarga lain seperti istri
dan anak-anak untuk bekerja membantu ekonomi keluarga. Dengan demikian dorongan itu tidak semata-mata
disebabkan kurangnya penda-patan keluarga. Ada semacam daya adap-tasi terhadap
lingkungan kehidupan yang telah terbentuk itu untuk tetap dipertahan-kan.
Dengan cara hidup tolong menolong dan gotong royong lebih didengungkan dalam
masyarakat nelayan, lebih-lebih kebutuhan gotong royong dan tolong menolong itu
terasa menjadi sangat penting pada saat untuk mengatasi keada-an yang menuntut
pengeluaran biaya yang besar dan pengerahan tenaga yang banyak, seperti
saat-saat berlayar di laut, memba-ngun rumah atau tanggul penahan gelom-bang
disekitar pantai di desa-desanya.
Dengan karakter atau kecirian khusus tersebut, bagi pembangunan berbangsa keberadaannya menjadi penting. Dari suku-suku bangsa di Nusantara yang mempunyai kecirian seperti dimaksudkan sebagai masyarakat nelayan, dapatlah disebutkan, antara lain adalah suku-suku bangsa13); Minahasa berdialek Talaut; Bugis Makassar[9]); Ternate[10]); Madura yang berdiam dipantai; Jawa yang berdiam di pantai; Melayu di kepulauan Riau; Aceh di pantai-pantai Timur; Bima; Sunda (Pangandaran, Cirebon, Pelabuhan ratu dan masyarakat sekitar kepulauan Seribu) dan lainnya suku bangsa di pantai yang masih terpencil dipulau-pulau seluruh Nusantara. Mereka dalam mempertahankan hidup dan kehidupan, “Sumber utamanya dari laut” menurut data Statistik Perikanan Indonesia no. 23 tahun 1993. Penduduk Indonesia yang digolongkan sebagai nela-yan perikanan laut berdasarkan pengertian Ensiklopedi Indonesia, tercatat sebanyak16): dalam Tabel 3.
Gambaran jumlah nelayan yang tercatat dalam statistik perikanan Indonesia, telah memposisikan nelayan sebagai kelompok kerja yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, karena jumlahnya secara total kurang dari 2 juta orang sejak dari tahun 1984 sampai dengan tahun 1993. Kalau jumlah ini dihubungkan dengan kedudukan nelayan dalam pembangunan berbangsa, sepertinya tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan Nusantara ini. Kesan angka yang kecil itu, telah secara tidak langsung memberikan pradugaan pada orang-orang yang bukan nelayan, bahwa nelayan tidak perlu mendapat porsi
Tabel 3. Jumlah Nelayan di Indonesia antara Tahun 1984 sampai dengan Tahun 1993.
Tahun
|
Nelayan Penuh |
Sambilan Utama |
Sambilan Tambahan |
Total |
1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 |
636.329 632.189 672.210 679.714 701.998 727.205 754.953 817.301 859.004 937.261 |
484.429 481.277 502.563 508.173 524.833 539.575 564.423 617.544 618.890 667.129 |
173.714 172.982 182.506 184.543 190.593 197.095 204.972 197.785 264.316 285.134 |
1.294.472 1.286.448 1.357.279 1.372.430 1.417.424 1.463.875 1.524.348 1.632.630 1.742.210 1.889.524 |
dorongan pembangunan yang lebih besar dibanding kelompok lain (petani), karena peranan pembangunan mereka tidak besar.
Sumberdaya perikanan yang tempatnya di lautan, telah dipandang tidak bedanya dengan tanah dan hutan yang ada di perbu-kitan, lembah gunung dan dataran rendah, sebagai lahan yang dengan gampang dan mudah dieksploitasi, guna pembangunan, sementara nelayan dipinggirkan sebagai pelaku pasip dalam memanfaatkan hasil-hasil laut. Kecenderungan kearah itu ter-lihat dari struktur kepemilikan aset atau alat-alat penangkapan ikan. Pada periode tahun 1970, hampir setiap nelayan memiliki alat penang-kapan sendiri-sendiri. Diawal tahun 1974 diadakan program motorisasi, yang terkenal dengan istilah ‘Modernisasi Perikanan’ telah menghasilkan pergeseran struktur kepemilikkan alat-alat penangkap-an. Dengan pergeseran ini, dengan sendiri-nya menggeser status nelayan, yang tadinya memang sebagai pemilik baru, lama kelamaan berubah menjadi penyewa atau yang dipekerjakan. Selain dari itu, produktivitas nelayan,[11]) sebagai contoh di Kabupaten Jepara antara tahun-tahun 1969, 1973 dan 1977 telah terjadi penu-runan rata-rata per nelayan, yaitu masing-masing dari 670 turun menjadi 368 dan turun lagi menjadi 154 ton. Pertumbuhan yang amat cepat dari jumlah nelayan ternyata mempunyai dampak negatif bagi produktivitas nelayan, termasuk juga volume ikan yang ditangkap ikut menu-run. Dari contoh ini, mungkin memberi-kan sedikit gambaran pada kita, perubah-an teknologi penangkapan telah ikut berpengaruh pula pada sumberdaya ikan disekitar daerah penangkapan yang meng-gunakan teknologi baru itu. Oleh karena itu, layaklah menjadi bahan perhatian bagi semua pihak, perubahan yang dilakukan diseputar kenelayanan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ada pengaruhnya pada perubahan-perubahan seputar lingkungan kenelayanan lainnya.
Pada Statistik Perikanan Indonesia terbitan tahun 1995, menggambarkan pandangan yang berbeda dengan temuan Mubyarto, ternyata data yang dihimpun, adanya gambaran pergeseran perubahan yang cepat pada status kepemilikan seperti tampak tidak terjadi.[12])Perkembangan jumlah perahu/kapal perikanan laut dari tahun 1984-1993 meningkat rata-rata 2,5% per tahun, yaitu dari 313.640 buah pada tahun 1984 menjadi 389.498 buah pada tahun 1993. Dari gambaran ini, menunjuk-kan juga adanya perkembangan struktur perahu/kapal yang cukup baik, dimana jumlah perahu tanpa motor bertambah yaitu dari 219.929 buah menjadi 247.745 buah pada periode yang sama, atau ada kenaikan 1,4% per tahun, dilain pihak perahu motor tempel dan kapal motor masing-masing ada kenaikan dari 61.789 menjadi 82.217 buah, dan dari 31.922 buah menjadi 59.536 buah. Hal ini berarti untuk motor tempel mengalami kenaikan rata-rata 3,3% per tahun, dan kapal motor ada kenaikan 7,3% per tahunnya. Dilihat pula dari jumlah unit penangkapan perikanan laut pada tahun 1984 sebanyak 425.263 unit dan tahun 1993 telah menjadi 635.957 unit, atau ada kenaikan rata-rata 4,7% per tahunnya.
Berdasarkan gambaran diatas mengesan-kan bahwa, nelayan Nusantara ini telah mengalami perubahan kearah peningkatan kesejahteraannya, karena dari indikator perahu/kapal dan unit penangkapan sejak sepuluh tahun terakhir ini (1984-1993) semuanya selalu mengalami perbaikan yang ditunjukkan oleh angka-angka prosentase kenaikannya. Dengan adanya perubahan-perubahan yang mengesankan itu menurut angka-angka perhitungan statistik tampaknya masih menyisakan beberapa pertanyaan. Pertama, dalam kenyataannya dilapangan, ketergantungan nelayan diluar pada sektor kenelayanan sebagai penyedia sarana dan prasarana semakin membesar. Kedua, seharusnya-lah daya kemandirian yang lebih profesi-onal telah tercipta di masyarakat nelayan, sehingga kesan-kesan marginal dan kemiskinan tidak tampak jelas lagi dalam masa-masa sekarang ini, setelah lama ikut dalam proses pembangunan. Ketiga, masyarakat nelayan belum juga diakui sebagai masyarakat tersendiri yang mem-punyai ciri-ciri sumber penghidupan dari laut, dan pengembangannya harus diper-lakukan sesuai dengan kecirian-kecirian yang khusus dimiliki itu.
Dalam proses pembangunan berbangsa, keikut sertaan masyarakat nelayan adalah mutlak adanya, karena itu penanganan masyarakat nelayan ini haruslah proporsional dengan potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Adanya pengakuan tentang peranan yang dimiliki nelayan memberikan peluang lebih besar terhadap keberadaan mereka. Potensi besar yang dimiliki masyarakat nelayan bila tidak didaya gunakan secara optimal dalam mengisi pembangunan, adalah kerugian besar bagi masyarakat bangsa ini. Masyarakat nelayan umumnya mampu berkiprah secara luas19) di sektor pelayaran rakyat dan perikanan, karena usaha-usaha yang telah dijalankan sejak beberapa abad lamanya (khususnya orang Bugis-Makassar) telah mendarah daging dalam alam jiwa mereka.
VI.
KESIMPULAN
Dari sekian banyak yang telah diuraikan, kita harus menyadari bahwa optimalisasi kemampuan itu haruslah berakar pada kecirian yang dimiliki oleh masyarakat nelayan, oleh sebab itu kecirian-kecirian yang dimaksud haruslah dipahami betul-betul, sehingga pemberdayaan mereka dalam mengisi pembangunan berbangsa tidak sebatas pendefinisian dalam Esiklopedi Indonesia dan Statistik Perikanan Indonesia.
Daftar Pustaka
Ensiklopedi Indonesia 1983, Ichtiar Baru-Van
Haeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1983.
Fernando,
L. Devasena, R.M.R. Banda and H.K.M. Somawantha, 1985. Fishing Rights, Production
relations, and profitability : A case study of Jamena Fishermen in Bangladesh
Mahbub Ullah. Small-scale fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and
Policy. Ottawa, ent. : DRC, 1985. 283 p.
Frederichs, S. Nair, and J. Yahoya, 1985.
Small-scale Fisheries in Peninsular Malaysia : Socioeconomic profill and incame
distribution.
Kalangil N.S., 1983. Kebudayaan Minahasa,
Dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Prof. Dr. Koentjoroningrat.
Penerbit Djambatan.
Mattulada, 1983. Kebudayaan Bugis-Makassar.
Dalam buku Kimtguraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit
Djambatan.
Mubyarto, Loekman Soetrisno Michael Dave,
1984. Nelayan dan Kemiskinan; Study Ekonomi Antropologi di dua desa pantai.
Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Aqro Ekonomika. Penerbit CV. Rajawali,
Jakarta.
Statistik Perikanan Indonesia Dalam Angka
1992. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta, 1995
Tobing POL 1961. Hukum Pelayaran dan
Perdagangan Amanna Gappa. Makassar, 1961.
[1]) Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Haeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 1983.
[2]) Statistik Perikanan Indonesia Dalam Angka, 1992. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta, 1995.
[3]) Sumber : Statistik Perikanan Indonesia Dalam Angka, 1992. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta, 1995.
[4]) Ensiklopedi Indonesia, 1983.
[5]) Statistik Perikanan Indonesia Dalam Angka, 1992. Statistik Perikanan Indonesia, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta, 1995.
[6]) Mubyarto, Loekman Soetrisno Michael Dave, 1984. Nelayan dan Kemiskinan; Study Ekonomi Antropologi di dua desa pantai. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Aqro Ekonomika. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
[7]) Sumber : Statistik Perikanan Indonesia Dalam Angka, 1992.
[8]) Fernando, L. Devasena, R.M.R. Banda and H.K.M. Somawantha, 1985. Fishing Rights, Production relations, and profitability : A case study of Jamena Fishermen in Bangladesh Mahbub Ullah. Small-scale fisheries in Asia : Socioeconomic Analysis and Policy. Ottawa, ent. : DRC, 1985. 283 p.
[8]) Frederichs,S. Nair, and J. Yahoya, 1985. Small-scale Fisheries in Peninsular Malaysia : Socioeconomic profill and incame distribution.
[8]) Mattulada, 1983. Kebudayaan Bugis-Makassar. Dalam buku Kimtguraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan.
[8]) Ph. O.L. Tobing, 1961. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa. Makassar, 1961.
[9]) Mubyarto, 1984.
[9]) N.S. Kalangil, 1983. Kebudayaan Minahasa, Dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Prof. Dr. Koentjoroningrat. Penerbit Djambatan.
[9]) Mattulada, 1983. Kebudayaan Bugis - Makassar.
[10]) Subyakto, 1983. Kebudayaan Ambon.
[11]) Statistik Perikanan Indonesia, 1995.
[11]) Mubyarto, 1984.
[12]) Statistik Perikanan Indonesia, 1993.
[13]) Mattulada, 1983.