©
2002 M. Luthful Hakim
Posted 16 May 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
STRATEGI
PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN
LAHAN KERING
SECARA BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN
(Strategic planning and
management for sustainable upland in Kalimantan)
Oleh :
M. Luthful Hakim
TNH A.226014011
E-mail: lutfulhakim@hotmail.com
ABSTRACT
The
solution alternatives of food crisis and land agriculture decrase in Java
island are upland agricultural development in Kalimantan. The objective in this paper is arrange to
sustainability upland of the planning and management strategic in Kalimantan. The method used to written paper is SWOT
analysis. The results from SWOT
analysis indicated that of the planning and management strategic such as 1)
land suitability evaluation used to arrange food crop agricultural commodities
zonation and suitable landuse alternatives with land suitability classes, 2)
evaluation of erosion hazard level, 3) applications of soil and water
conservation, 4) applications of agriculture technology inputs with right and
balance, 5) participatory of society in this area, and 6) increase of
government organization functions.
Keywords : Planning and
management strategic, sustainability upland
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda Indonesia
sejak tahun 1997 berdampak terhadap krisis pangan, dimana telah terjadi
peningkatan yang sangat tinggi terhadap impor bahan pangan (beras, jagung,
kedele dan lainnya) baik dari negara Vietnam, Thailand, China maupun
Jepang. Krisis pangan ini sangat ironis
sekali terjadi di Indonesia yang merupakan negara agraris. Krisis ini berdampak buruk terhadap keadaan
sosial-politik-keamanan, dimana telah terjadi peningkatan kemiskinan, tindak
kekerasan, perang antar etnis, pencurian kayu hutan, dan perpecahan
persatuan-kesatuan. Terjadinya krisis
pangan sebagai suatu akibat dari semakin sempitnya luas lahan pertanian
potensial karena perubahan penggunaan lahan untuk perumahan dan industri, serta
menurunnya produktivitas lahan. Hal ini
disebabkan oleh perencanaan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan
lahannya, rendahnya input produksi (pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan
lainnya), dan tidak dilaksanakannya tindakan konservasi tanah dan air. Guna mengatasi krisis pangan ini maka salah
satu cara adalah pengembangan wilayah
pertanian pada lahan kering.
Lahan kering di Indonesia memiliki luas sekitar 116,91
juta hektar, dimana sekitar 22,40 juta hektar lahan kering potensial terdapat
di pulau Kalimantan dan memilki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai
lahan pertanian tanaman pangan maupun lahan perkebunan karena mempunyai relief
dari datar hingga bergelombang (Hidayat et al., 2000; Kurnia et al.,
2000). Iklim di Kalimantan yang
mempunyai curah hujan tinggi dan penyebarannya hampir merata sepanjang tahun
menyebabkan air cukup tersedia, sehingga memberikan peluang masa tanah yang
cukup lama (8 -12 bulan) juga sangat mendukung terhadap pengembangan wilayah
pertanian (Anonimous, 2001). Akan
tetapi dengan curah hujan dan intensitasnya yang tinggi tersebut akan berdampak
terhadap terjadinya erosi tanah yang sangat intensif dan pencucian sebagian besar
unsur hara menyebabkan produktivitas tanah (kesuburan tanah) menjadi
rendah. Selain itu kendala ekonomi dan
sosial masyarakat/petani setempat juga berpengaruh besar terhadap keberlanjutan
dari pengembangan pertanian lahan kering di Kalimantan. Pada umumnya masyarakat petani lahan kering di Kalimantan mempunyai
pendapatan kotor yang rendah (Sitorus dan Pribadi, 2000) dan tingkat pendidikan
yang rendah pula. Apabila tidak dilakukan
upaya untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan, baik kesuburan
fisik, kimia maupun biologi akan berdampak lanjutan terhadap degradasi tanah.
Degradasi
tanah/lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu
tanah/lahan dalam usaha meningkatkan produksi pertanian. Menurut Lal (1994) kerusakan tanah/lahan
dapat disebabkan oleh kemerosotan struktur tanah (pemadatan tanah, erosi dan
desertifikasi), penurunan tingkat kesuburan tanah, keracunan dan pemasaman
tanah, kelebihan garam dipermukaan tanah, dan polusi tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi degradasi
tanah/lahan menurut Oldeman (1994) adalah : (1) pembukaan lahan (deforestration)
dan penebangan kayu hutan secara berlebihan untuk kepentingan domestik, (2)
penggunaan lahan untuk kawasan peternakan/penggembalaan secara berlebihan (over
grazing), dan (3) aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk dan pestisida
secara berlebihan. Kurnia, et al.
(1997) menyatakan bahwa penggunaan lahan yang tidak mempertimbangkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air berakibat dalam mempercepat proses
degradasi lahan yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS).
Fakta menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan disemua
sektor, termasuk diantaranya pembangunan pertanian adalah arah kebijakan dan
strategi pembangunan nasional yang menerapkan sistem satu arah yakni dari atas
ke bawah (top down) dan tanpa melibatkan peran aktif dari
masayarakat/petani setempat. Hal ini
berdampak terhadap pelaksanaan dan pengelolaan pembangunan yang tidak tepat
guna dan tepat usaha sehingga pembangunan menjadi tidak berkeberlanjutan (sustainability).
Guna mengatasi keadaan tersebut
diatas, maka analisis SWOT digunakan untuk menyusun strategi jangka panjang
dalam pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan di Kalimantan. Dalam menyusun suatu strategi, analisis SWOT
ini didasarkan pada kemampuan untuk menganalisis 1) kombinasi antara berbagai
peluang (opportunities) dengan kekuatan internal (internal strengths)
untuk mendukung strategi yang agresif, 2) kombinasi antara berbagai ancaman (threats)
dengan kekuatan internal (internal strengths) untuk mendukung strategi
diversifikasi, 3) kombinasi antara berbagai peluang (opportunities)
dengan kelemahan internal (internal weaknesses) untuk mendukung strategi
turn-around, dan 4) kombinasi antara berbagai ancaman (threats) dengan
kelemahan internal (internal weaknesses) untuk mendukung strategi
defensif.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk menyusun strategi perencanaan dan pengelolaan lahan kering secara
tepat dan berkelanjutan di Kalimantan.
1.3. Manfaat
Sebagai dasar pertimbangan dalam
memberikan masukan, petunjuk dan pengarahan bagi pengambil keputusan/kebijakan
dan para pengguna lahan, baik investor maupun masyarakat petani dalam
perencanaan dan pengelolaan lahan kering di Kalimantan.
Pengembangan wilayah pertanian di
lahan kering untuk tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah dan
lainnya) dan tanaman perkebunan (kelapa sawit, kopi, kakao, karet dan lainnya)
memiliki peluang yang sangat besar.
Lahan kering di Kalimantan memiliki luas sekitar 36,54 juta hektar yang
mempunyai relief dari datar hingga berbukit dan tersebar didaerah dataran
rendah sekitar 29,79 juta hektar dan dataran tinggi sekitar 6,76 juta hektar
(Hidayat et al., 2000; Kurnia et al., 2000). Dari 29,79 juta hektar lahan kering dataran
rendah terdapat sekitar 22,32 juta hektar lahan kering potensial untuk
pengembangan dan sekitar 17,90 juta hektar diantaranya masih tersedia atau
belum dikembangkan. Dan dari sekitar
6,76 juta hektar lahan kering dataran tinggi terdapat 79 ribu hektar lahan
kering potensial untuk pengembangan dan hanya sekitar 67 ribu hektar lahan
potensial yang masih belum dikembangkan.
Kriteria lahan kering potensial disini didasarkan karena lahan tersebut
mempunyai relief dataran – berombak hingga berombak – bergelombang. Mengenai potensi pengembangan lahan kering
dataran rendah dan dataran tinggi di Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1.
Selain potensi atau peluang pengembangan yang cukup besar, ada beberapa kendala yang cukup serius pada lahan kering di Kalimantan yaitu : kendala biofisik lingkungan seperti iklim, keadaan topografi, dan tanah.
Kendala iklim yang sangat berpengaruh disini adalah
curah hujan dan temperatur, dimana rata-rata curah hujan dan temperatur per
tahun di Kalimantan cukup tinggi yakni masing-masing > 2000 mm dan 27oC. Akan tetapi dengan curah hujan dan
intensitasnya yang tinggi tersebut akan berdampak terhadap terjadinya erosi
tanah yang sangat intensif dan pencucian sebagian besar unsur hara dan bahan
organik tanah menjadi tinggi, sedangkan masukan (input) dari luar sangat
sedikit menyebabkan produktivitas tanah (kesuburan tanah) menjadi rendah.
Kendala relief pada lahan kering di Kalimantan adalah
dataran – berombak hingga berombak – bergelombang. Kendala relief ini juga dapat berdampak terhadap besarnya erosi
tanah dan aliran permukaan tanah.
Kendala sumberdaya tanah di lahan kering Kalimantan
adalah produktivitas tanah rendah, dimana miskin akan unsur hara, tingkat
kemasaman agak rendah sampai rendah, kandungan besi (Fe) dan mangan (Mn)
tinggi, kejenuhan aluminium (Al) melampaui batas toleransi tanaman, dan
mempunyai kandungan bahan organik tanah yang rendah. Produktivitas atau kesuburan tanah yang rendah ini disebabkan
bahwa tanah-tanah dilahan kering yang didominasi oleh tanah Ultisol,
Inceptisol, dan Oxisol terbentuk dari bahan induk (batu liat, batu pasir, dan
batu gamping) yang miskin akan unsur hara dan masukan dari luar yang rendah
(pupuk anorganik dan organik). Kendala ekonomi dan sosial dari
masyarakat/petani setempat adalah pendapatan dan tingkat pendidikan yang
rendah.
Tabel 1. Potensi pengembangan lahan kering dataran rendah dan dataran tinggi di Kalimantan
Propinsi |
Lahan
Potensial |
Lahan
Telah Digunakan |
Lahan
Potensial Tersedia |
Dataran Rendah |
|||
Kalbar |
6.476.500 |
2.045.550 |
4.430.950 |
Kalteng |
7.903.900 |
1.060.211 |
6.843.689 |
Kalsel |
1.458.900 |
657.834 |
801.066 |
Kaltim |
6.481.600 |
689.281 |
5.792.319 |
Dataran Tinggi |
|||
Kalbar |
13.000 |
- |
13.000 |
Kalteng |
- |
- |
- |
Kalsel |
- |
- |
- |
Kaltim |
66.000 |
- |
54.000 |
Sumber
: Hidayat et al., 2000 dan Kurnia et al., 2000
3.1. Tempat dan Waktu
Lokasi yang dijadikan obyek dari penulisan makalah ini adalah lahan kering di pulau Kalimantan. Hal ini dikarenakan potensi lahan kering di Kalimantan sangat besar sekali untuk pengembangan pertanian. Penulisan makalah dilakukan sejak bulan April sampai dengan Mei 2002.
3.2. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini
didasarkan dari analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Oppurtunities,
dan Threats) dalam rangka untuk menyusun strategi perencanaan dan
pengelolaan lahan kering di Kalimantan secara tepat dan berkelanjutan. Analisis SWOT itu sendiri didasarkan dari
hasil analisis data penelitian (keadaan biofisik lingkungan, sosial dan
ekonomi) dan buku-buku (texbooks) tentang pengelolaan lahan kering, baik
didalam negeri maupun luar negeri.
Mengenai analisis SWOT untuk strategi perencanaan dan pengelolaan lahan
kering secara tepat dan berkelanjutan di Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 2.
IV. STRATEGI PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN LAHAN KERING
Berdasarkan matrik analisis SWOT pada Tabel 2, maka strategi perencanaan dan pengelolaan lahan kering di Kalimantan secara tepat dan berkelanjutan, meliputi : 1) evaluasi kesesuaian lahan guna menyusun zonasi komoditas unggulan dan alternatif penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan/kesesuaian lahannya, 2) evaluasi bahaya erosi, 3) penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, 4) penerapan input teknologi pertanian yang tepat dan seimbang, 5) pemberdayaan/partisipatoris masyarakat/petani setempat, dan 6) meningkatkan peran kelembagaan.
4.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Lahan merupakan lingkungan yang
komplek dimana terdiri dari iklim, relief, tanah, hidrologi, vegetasi, dan
semua mahluk hidup yang berperan dalam penggunaannya. Oleh sebab itu evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap
keragaan (performance) dari lahan untuk berbagai tujuan penggunaan yang
spesifik (FAO, 1976).
Tabel 2. Matrik analisis SWOT untuk strategi perencanaan dan pengelolaan lahan kering secara tepat dan berkelanjutan di Kalimantan
UPLAND (Lahan Kering) |
Kekuatan (S) |
Kelemahan (W) |
1. Terdapat cukup
luas di Kalimantan yakni ± 36,54 juta hektar 2. Mempunyai relief
mulai dari datar hingga bergelombang 3. Mempunyai
rata-rata curah hujan tinggi per tahun dan penyebarannya hampir merata
sepanjang tahun menyebabkan air cukup tersedia 4. Memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi |
1. Produktivitas
tanah rendah, dimana miskin akan unsur hara, pH agak rendah sampai rendah,
kandungan Fe dan Mn tinggi, kejenuhan Al melampaui batas toleransi tanaman,
dan kandungan bahan organik tanah yang rendah 2. Mempunyai
rata-rata curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi sehingga tanah pada
lahan kering ini mudah tererosi 3. Tingkat pendapatan
dan pendidikan rendah 4. Minimnya sarana
dan prasarana |
|
Peluang (O) |
SO-Strategi |
WO-Strategi |
1. Kebutuhan akan
bahan pangan yang makin meningkat 2. Besarnya minat
para investor dibidang agribisnis 3. Kawasan konservasi
dan ekotorisme |
1.
Pengembangan lahan pertanian tanaman pangan (padi gogo, kedele,
jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, dan lainnya) dan tanaman perkebunan
(kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi) 2.
Pengembangan hutan konservasi dan kawasan ekotorisme (wisata) |
1.
Penerapan input teknologi (penggunaan bibit unggul, pemupukan, dan
pestisida) yang tepat 2.
Pembangunan sarana dan prasarana, seperti : jalan, pasar, dan lainnya 3.
Melakukan rehabilitasi hutan atau penghutanan kembali |
Ancaman (T) |
ST-Strategi |
WT-Strategi |
1. Makin sempitnya
luas lahan pertanian yang produktif di pulau Jawa akibat perubahan tata guna
lahan, baik untuk perumahan maupun industri 2. Menurunnya
produksi tanaman pangan 3. Isu global tentang
meningkatnya degradasi lahan di negara berkembang |
1. Evaluasi
kesesuaian lahan guna membuat zonasi komoditas unggulan dan alternatif
penggunaan lahan 2. Penerapan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air 3. Pemberdayaan/partisipatoris
masyarakat petani setempat 4. Meningkatkan peran
kelembagaan (pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan kecamatan) |
1.
Penerapan peruntukan penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas
kesesuaiannya 2.
Mengkaji dan menerapkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan 3.
Memberikan penyuluhan dan latihan tentang penerapan konservasi tanah
dan air, serta arti penting menjaga lingkungan hidup |
Pada dasarnya kegiatan evaluasi lahan
meliputi : 1) evaluasi terhadap kualitas lahan (dilakukan oleh ahli tanah), 2)
evaluasi terhadap persyaratan penggunaan lahan (dilakukan oleh ahli budidaya
tanaman/agronomi), dan 3) evaluasi terhadap keadaan sosial – ekonomi (FAO,
1976; Sitorus, 1985; Arsyad, 2000).
Hasil analisis perbandingan antara kualitas lahan dengan persyaratan
penggunaan lahan (land utilization types) dan keadaan sosial – ekonomi
akan menentukan kelas kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan tindakan
pengelolaan lahan. Menurut FAO (1976)
evaluasi kesesuaian lahan sangat mempertimbangkan faktor ekonomi dari usahatani
yang akan dilaksanakan, konsekuensi sosial masyarakat, dan konsekuensi,
keuntungan dan kerugian dari lingkungan.
Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan berfungsi dalam memberikan masukan
dan bimbingan terhadap pengambil kebijakan (pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten) terhadap penggunaan yang sedemikian rupa sehingga sumberdaya lahan
digunakan dalam penggunaan yang sangat menguntungkan bagi manusia/masyarakat
petani setempat dan pada yang sama mengawetkannya bagi kepentingan masa depan.
Sebenarnya dalam evaluasi lahan ada
tiga tingkatan, yaitu : 1) evaluasi lahan tingkat makro, 2) evaluasi lahan
tingkat meso, dan 3) evaluasi lahan tingkat mikro. Evaluasi lahan tingkat makro merupakan evaluasi lahan untuk
tujuan mengetahui gambaran umum tentang potensi suatu wilayah (satu pulau atau
nasional) dan tingkatan surveinya adalah skematik ataupun eksplorasi dengan
skala peta 1:1.000.000 atau 1:500.000.
Evaluasi lahan tingkat meso merupakan evaluasi lahan secara kualitatif
untuk tujuan perencanaan umum penggunaan lahan dan studi kelayakan, serta
tingkatan surveinya adalah tinjau sampai semi detail dengan skala peta
1:250.000 sampai 1:50.000. Evaluasi
lahan tingkat mikro merupakan evaluasi lahan yang dilakukan secara kuantitatif
untuk tujuan pelaksanaan pembangunan dan rencana operasional, serta tingkatan
surveinya adalah detai dengan skala peta 1:10.000 sampai 1:5.000.
4.2. Evaluasi Bahaya Erosi
Evaluasi bahaya erosi merupakan
penilaian atau prediksi terhadap besarnya erosi tanah dan potensi bahayanya
terhadap sebidang tanah. Evaluasi bahaya erosi ini didasarkan dari hasil
evaluasi lahan dan sesuai dengan tingkatannya. Menurut Arsyad (2000) evaluasi
bahaya erosi atau disebut juga indek bahaya erosi ditentukan berdasarkan
perbandingan antara besarnya erosi tanah potensial dengan erosi tanah yang
dapat ditoleransikan (tolerable soil loss). Hasil evaluasi bahaya erosi ini dapat dijadikan sebagai dasar
dalam tindakan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan lahan.
Persamaan perhitungan indek bahaya
erosi (Arsyad, 2000) adalah sebagai berikut :
A
IBE = ( ------- ) ............................................................................................................... (1)
T
dimana, IBE adalah
indek bahaya erosi, A adalah besarnya erosi tanah potensial dalam ton per
hektar per tahun, dan T adalah besarnya erosi tanah yang dapat ditoleransikan
dalam ton per hektar per tahun.
4.3. Tindakan Konservasi Tanah dan Air
Tindakan konservasi tanah dan air
bertujuan untuk melindungi tanah terhadap daya rusak butir-butir hujan yang
jatuh, melindungi tanah dan memperlambat aliran permukaan (runoff), memperbesar
kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan
penyediaan air bagi tanaman. Tindakan
konservasi tanah dan air ini harus disesuaikan dengan hasil evaluasi bahaya
erosi yang terjadi. Menurut Arsyad
(2000) ada tiga (3) metode konservasi tanah, yaitu : 1) metode vegetatif
(penanaman tanaman yang dapat menutupi tanah secara terus menerus, pola
pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem penanaman
agroforestry, dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik
tanah), 2) metode mekanik (pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur,
pembuatan guludan, terras, dan tanggul), dan 3) metode kimia.
4.3.1. Metode Vegetatif
Metode vegetatif dalam tindakan
konservasi tanah merupakan penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-sisanya
untuk mengurangi besarnya erosi tanah dan aliran permukaan. Haryati, et al. (1995) melaporkan
bahwa penerapan metode konservasi secara vegetatif dengan sistem budidaya
lorong dapat menurunkan laju erosi tanah sebesar 0,7 ton per hektar per tahun
dan aliran permukaan sebesar 1,51 m3 per hektar per tahun pada musim
ke-VI penanaman dengan produksi jagung 0,73 ton per hektar. Beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan menyatakan bahwa penerapan sistem budidaya lorong dengan pengembalian
bahan organik sisa-sisa hasil pangkasan kedalam tanah dapat memberikan
keuntungan, yaitu : mengurangi besarnya erosi tanah, memperbaiki sifat fisik
dan kimia tanah, mempertahankan kandungan bahan organik tanah, sebagai pakan
ternak, dan kayu hasil pangkasan dapat dipergunakan sebagai kayu bakar (Basri,
1994). Anecksamphant, et al.
(1990 dalam Lal, 1994) menyatakan bahwa tindakan konservasi pada tanah Ultisol
(kemiringan lereng 20-50% dengan curah hujan rata-rata sekitar 1794 mm per
tahun) dan Alfisol (kemiringan lereng 18-40% dengan curah hujan rata-rata
sekitar 1.434 mm per tahun) dengan sistem budidaya lorong dan tanaman pagar
Leucaena, terbukti dapat menurunkan besarnya erosi tanah sekitar masing-masing
sebesar 69 ton per hekatar dan 1,5 ton per hektar dan aliran permukaan sekitar
masing-masing 8 cm3 per hektar dan 4,5 cm3 per hektar
lebih rendah dibandingkan dengan sistem wanatani (agroforestry) dan
tradisional. Selain itu, hasil
penelitian International Institute of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan,
Nigeria menyatakan bahwa pola pergiliran tanaman berpengaruh besar dalam
memperbaiki degradasi/kerusakan tanah (Lal, 1994).
Beberapa hasil penelitian pencegahan
erosi pada tanah masam terutama pada tanah Ultisol berlereng 3-15% menunjukkan
bahwa penggunaan sisa-sisa tanaman (jerami padi dan jagung) sebagai mulsa yang
disebarkan di atas permukaan tanah pada lahan pertanaman pangan menurunkan laju
erosi tanah sebesar 89 sampai hampir 100% (Abdurachman et al., 1985;
Sudirman et al., 1986; Sukmana dan Erfandi, 1988; Kurnia, 1996). Mengenai pengaruh teknik konservasi tanah
terhadap erosi pada lahan kering masam (tanah Ultisol) dapat dilihat pada Tabel
3. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Irianto, et al. (1993) bahwa
pengembalian bahan organik sisa hasil pangkasan tanaman pagar Flemingia kedalam
tanah didaerah Lampung Utara (tanah Ultisol dan kemiringan lereng > 3%)
dapat memperbaiki kondisi fisik (pori-pori dan permeabilitas tanah) dan kimia
tanah (meningkatnya KTK, basa-basa dapat ditukar, C organik, dan kadar fosfor dalam
tanah).
Tabel 3. Pengaruh teknik konservasi tanah terhadap erosi pada lahan kering masam (tanah Ultisol)
Teknik Konservasi Tanah
|
Batumarta
a (Sumsel) |
Pekalongan
b (Lampung) |
K.
Kuning c (Jambi) |
Jasinga
d (Jabar) |
|
-----------------------
t/ha/tahun --------------------- |
|||
Tanpa (Kontrol) |
432,6 |
97,7 |
-
*) |
115,2 |
Mulsa sisa tanaman pada pola berurutan |
46,2 |
0,3 |
- |
6,9 |
Mulsa sisa tanaman pada pola tumpang gilir |
4,1 |
- |
- |
- |
Strip rumput setaria pada pola berurutan |
- |
- |
2,7 |
- |
Sumber
: a = Abdurachman et al., 1985
b =
Sudirman et al., 1986
c =
Sukmana dan Erfandi, 1988
d =
Kurnia, 1996
*) Tidak ada data
Tabel 4. Pengaruh rehabilitasi lahan dengan pemberian sisa-sisa tanaman sebagai mulsa terhadap jumlah hara yang hilang
terbawa erosi pada tanah Ultisol
Rehabilitasi
Lahan |
Jumlah |
|||
Erosi |
N |
P |
K |
|
|
----------------------------
kg/ha --------------------------- |
|||
Tanpa
mulsa (kontrol) |
93.480 |
1.065,8 |
108,5 |
197,0 |
Mulsa
jerami padi |
1.960 |
38,4 |
5,5 |
8,9 |
Mulsa
Mucuna sp. |
14.190 |
196,5 |
21,9 |
45,2 |
Sumber : Kurnia, 1996
Selain itu, didalam tanah yang tererosi terangkut sejumlah unsur hara yang sangat penting bagi tanaman. Dengan tindakan konservasi secara vegetatif ini, ternyata hilangnya unsur hara makro seperti N, P, dan K dapat dicegah. Kurnia (1996) menyatakan bahwa perbandingan jumlah unsur hara N, P, dan K yang hilang akibat erosi tanah pada penggunaan mulsa jerami padi dan mulsa Mucuna sp. berturut-turut sekitar 5,1% dan 26,8% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (lihat Tabel 4).
4.3.2. Metode Mekanik
Metode mekanik merupakan tindakan
konservasi dengan perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan
pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah.
Hasil penelitian Suganda et al.
(1999) di desa Batulawang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur pada tanah Ultic
Hapludands dengan kemiringan lereng 9-22% dan di desa Cikareo, Kecamatan
Sukaresmi, Kabupaten Cianjur pada tanah Andic Dystropepts dengan kemiringan
lereng 10-13% menyatakan bahwa penerapan tindakan konservasi tanah secara
mekanik dengan arah barisan tanaman dan arah bedengan yang searah kontur pada
budidaya sayuran dataran tinggi adalah paling baik dalam mengendalikan besarnya
aliran permukaan dan besarnya erosi tanah.
Mengenai pengaruh beberapa metode mekanik dalam pengendalian aliran
permukaan dan erosi tanah pada budidaya sayuran dataran tinggi dari Oktober
1996 – Maret 1998 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pengaruh beberapa metode mekanik dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi tanah
pada budidaya sayuran dataran tinggi dari Oktober 1996 – Maret 1998
|
Batulawang
|
|
Cikareo |
||
Perlakuan |
runoff |
erosi |
|
runoff |
erosi |
|
(m3/ha) |
(ton/ha) |
|
(m3/ha) |
(ton/ha) |
Arah barisan tanaman
|
|
|
|
|
|
Searah
lereng |
681,1
a |
56,7
a |
|
1.984,7
a |
169,2
a |
Searah
kontur |
585,9
b |
38,8
b |
|
1.869,0
b |
158,8
b |
Segitiga
sama kaki |
621,3
b |
40,3
b |
|
1.782,4
b |
149,2
c |
|
|
|
|
|
|
Arah bedengan
|
|
|
|
|
|
Searah
lereng |
828,7
a |
70,7
a |
|
2.484,2
a |
252,0
a |
Searah
lereng + guludan ditanam katuk |
650,4
b |
47,2
b |
|
1.652,3
bc |
129,7
b |
Searah
lereng + guludan ditanam cabe |
654,6
b |
51,2
b |
|
1.632,3
c |
128,9
b |
Searah
kontur |
394,6
c |
12,0
c |
|
1.745,9
b |
125,6
b |
Sumber
: Suganda et al., 1999
*) Angka dalam kolom
yang sama dan diikuti hurup sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
4.3.3. Metode Kimia
Metode kimia merupakan tindakan
konservasi tanah dengan menggunakan bahan/preparat kimia sintetis atau alami
untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan mengurangi besarnya erosi tanah. Menurut De Boodt, et al. (1973 dalam
Arsyad, 2000) ada lima (5) jenis soil conditioner untuk memperbaiki struktur
tanah yaitu : 1) polymer tak terionisasi : Polyvinil Alcohol (PVA), 2)
polyanion : PVa, HpPAN, PAA, dan VAMA, 3) polycation : DAEMA, 4) dipole polymer
: PAM, dan 5) emulsi bitumen. Lembaga
Penelitian Tanah atau sekarang disebut Puslitbangtanak telah merintis
pemanfaatan preparat kimia sintetis (soil conditioner) berupa emulsi
bitumen, polyacrilamide (PAM) dan lateks untuk memperbaiki sifat fisik pada
tanah Entisol, Ultisol, Oxisol, Alfisol, dan Andisol.
Hasil penelitian Ginting (1975) di
Jonggol menunjukkan bahwa penggunaan Polyacrilamide (PAM) dapat menurunkan
besarnya erosi tanah sekitar 11,85 % dibandingkan kontrol. Stem et al. (1991) juga menyatakan
bahwa penggunaan Polyacrilamide (PAM) pada tanah Alfisol dapat menurunkan
aliran permukaan (runoff) sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan tanpa
penggunaan PAM atau kontrol. Selain itu, penggunaan emulsi aspal pada tanah
berpasir dan Andisol dapat meningkatkan pembentukan agregat dan meningkatkan
kemantapan struktur tanah (Lembaga Penelitian Tanah, 1978 dalam Sutono dan
Abdurachman, 1997).
Selain penerapan tindakan konservasi
tanah, tindakan konservasi air juga diperlukan dalam pengelolaan lahan kering
di Kalimantan. Menurut Arsyad (2000)
teknik konservasi air dapat dilakukan dengan 1) pengelolaan air permukaan (
pengendalian aliran permukaan, pemanenan air, meningkatkan kapasitas infiltrasi
tanah, pengolahan tanah, dan penggunaan bahan penyumbat tanah dan penolak air),
2) pengolahan air tanah ( perbaikan drainase, pengendalian perkolasi dalam dan
aliran bawah permukaan, serta perubahan struktur lapisan bawah), dan 3)
meningkatkan efisiensi pemakaian air tanaman.
Tindakan konservasi air yang mudah dilakukan pada lahan kering adalah
pengelolaan aliran permukaan, baik itu pengendalian aliran permukaan maupun
pemanenan air (water harvesting).
Menurut Noeralam (2002) penerapan pola tanam (kacang tanah – jagung –
kedele), teknik pemanenan air (rorak
bergulud + mulsa vertikal), dan interaksi antara pola tanam dan teknik
pemanenan air dapat menurunkan aliran permukaan dan besarnya erosi tanah
masing-masing sekitar 88 % dan 94 %, serta dapat memperbaiki kualitas tanah
pada lahan kering di Malang, Jawa Timur.
4.4. Penerapan Input Teknologi Pertanian Yang
Tepat dan Seimbang
Penerapan input tekonologi pertanian, seperti penggunaan bibit unggul, pupuk anorganik (pupuk kimia dan pengapuran), dan pestisida harus dilakukan secara tepat dan sesuai dengan kebutuhannya (seimbang).
Penggunaan bibit unggul, seperti bibit padi gogo,
kedele, kacang tanah, dan lainnya haruslah disesuaikan/toleran dengan kondisi
lahan kering masam di Kalimantan. Hal
ini sangat penting sekali dalam meningkatkan dan mempertahankan produktivitas
tanaman dan pendapatan (income) petani.
Pemupukan secara tepat dan berimbang dicetuskan pada
tahun 1985 dan telah menjadi paket Bimas/Insus. Dalam upaya meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dianjurkan
untuk meninjau dan merumuskan kembali pelaksanaan pemupukan berimbang
tersebut. Pemupukan secara tepat dan berimbang
merupakan pemberian pupuk yang disesuaikan dengan waktu kebutuhan tanaman untuk
menyerap unsur hara, baik untuk masa pertumbuhan maupun produksi, dan sesuai
dengan unsur hara dalam tanah. Unsur
hara yang telah berada dalam status optimum didalam tanah tidak perlu dilakukan
penambahan pupuk, karena kelebihan pupuk akan menjadi tidak efisien dan dapat
mencemari lingkungan (water enrichmant). Hasil penelitian dari Puslittanak pada daerah Kubang Ujo di Jambi
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk P alam, pengapuran (2,0 ton CaCO3/ha),
dan bahan organik (5,0 ton/ha) dapat
meningkatkan hasil tanaman kedele sebesar 95% dibandingkan kontrol atau
tanpa pupuk P alam, kapur, dan bahan organik (Anonimous, 2000). Peningkatan hasil tanaman kedele akibat
pupuk P alam, kapur dan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.
Pestisida merupakan bahan-bahan kimia atau alami yang
digunakan untuk memberantas populasi hama (serangga, penyakit, gulma maupun
hewan). Penggunaan pestisida meningkat
dengan pesat khususnya di negara-negara berkembang, dimana pestisida dianggap
sebagai suatu cara mudah untuk meningkatkan produksi dan secara aktif
dipromosikan dan disubsidi.
Tabel 6. Peningkatan hasil tanaman kedele akibat pupuk P alam, kapur dan bahan organik di Kubang Ujo, Jambi
Pupuk |
Tanpa
Kapur |
|
Dengan
Kapur |
||
- BO |
+ BO |
|
- BO |
+ BO |
|
|
----------------------------------- ton/ha
---------------------------------- |
||||
- P
alam |
0,8 |
3,4 |
|
4,3 |
5,8 |
+ P alam |
5,4 |
7,2 |
|
11,5 |
15,7 |
Sumber : Anonimous, 2000
Anonimous (1999) melaporkan bahwa
kadar residu pestisida yang terkandung pada tanaman cabe merah di Kabupaten
Brebes sekitar 1.457-7.524 ppm dengan jenis insektisida monocrotophos,
sedangkan berdasarkan SKB Menkes dan Mentan No. 881/Menkes/SKB/VII/1996 bahwa
batas maksimum residu pestisida adalah 0,1 ppm. Hal ini dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan, resistensi
hama makin meningkat, dan kesehatan manusia.
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan pestisida yang
berlebihan dapat menyebabkan hama-penyakit menjadi lebih kebal/resiten terhadap
pestisida dan dapat berakibat fatal terhadap kesehatan manusia (Gips,
1987). Oleh sebab itu dalam
penggunaannya harus disesuaikan dengan kebutuhannya, seperti pada perlakuan
benih atau aplikasi lokal terhadap serangan lokal.
4.5. Pemberdayaan/Partisipatoris dari Masyarakat
Setempat
Dengan meningkatnya pengakuan terhadap
nilai dan kebutuhan untuk bekerjasama dengan masyarakat/petani setempat dalam
hal identifikasi, uji coba, evaluasi dan penyebaran teknologi baru di lahan
kering, telah diambil bermacam-macam pendekatan pemberdayaan/partisipatoris
oleh sejumlah LSM maupun organisasi pemerintah (Chambers et al.,
1989). Hal ini dikarenakan pendekatan
keproyekan telah dirasakan sangat mengganggu keberlanjutan suatu program pembanguunan. Keterlibatan masyarakat/petani setempat juga
sangat terbatas, padahal masyarakat/petani tersebut yang paling mengetahui
tentang keterbatasan dan problem yang ada didaerahnya. Pelibatan secara langsung masyarakat/petani
setempat (stakeholders) dapat ditempuh baik secara individual maupun
kelompok tani. Dalam hal ini instrumen
RRA (Rapid Rural Appraisal) dan PRA (Participatory Rural Appraisal)
dapat digunakan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat setempat dalam
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan pertanian lahan kering di Kalimantan.
Menurut Coen Reijntjes et al.
(1992) ada enam (6) jenis aktivitas dalam pemberdayaan/partisipatoris
masyarakat setempat, yaitu : 1) tahap awal meliputi : membangun hubungan
kerjasama, analisis kondisi awal dan mobilisasi kesadaran, 2) mencari hal yang
dapat di uji coba meliputi : identifikasi prioritas, identifikasi komunitas dan
pengetahuan informasi lokal dan penyaringan opsi dan pemilihan kriteria
seleksi, 3) merancang uji coba meliputi : mengkaji prkatek uji coba yang ada,
merencanakan dan merancang uji coba dan melakukan evaluasi, 4) melakukan uji
coba meliputi : penerapan uji coba dan mengukur/mengamati , 5) berbagi hasil
meliputi : mengkomunikasikan gagasan dan prinsip-prinsip dasar, hasil dan
proses pemberdayaan/partisipatoris, pelatihan keterampilan, teknologi yang
telah terbukti, dan penggunaan metode uji coba, dan 6) melanjutkan proses
meliputi : penciptaan kondisi yang dapat mendukung untuk keberlanjutan
pengujicobaan dan pengembangan pertanian di lahan kering.
4.6. Peran Kelembagaan
Peran kelembagaan baik pada tingkat
pusat (pemerintah pusat), propinsi, kabupaten maupun kecamatan sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan lahan kering. Dalam perencanaan dan pengelolaan lahan
kering ini, peran kelembagaan mencakup dalam hal hukum dan administrasi,
pendanaan, dan teknis. Peran
kelembagaan dibidang hukum dan administrasi disini adalah membuat
peraturan-peraturan atau perundang-undangan tentang pengelolaan lahan kering
yang berkelanjutan dan memberikan sangsi-sangsi terhadap pelaksana atau
pengguna yang tidak mengikuti/melaksanakan peraturan-peraturan, serta
memberikan insentif atau penghargaan terhadap yang melaksanakan
peraturan-peraturan tersebut. Peran
kelembagaan dalam bidang pendanaan (biaya) adalah penyediaan dana/biaya oleh
pemerintah terhadap pengembangan dan pengelolaan lahan kering, baik itu dalam
hal penyediaan biaya input produksi maupun biaya yang lainnya. Dari segi teknis, peran kelembagaan disini
adalah memberikan pendidikan/penyuluhan tentang pengelolaan lahan kering secara
berkelanjutan, pembangunan sarana dan prasarana, serta infrastruktur yang
menunjang keberlanjutan pengembangan lahan kering.
1. Dalam
rangka pengembangan lahan pertanian maupun perkebunan di lahan kering
Kalimantan, maka diperlukan strategi perencanaan dan pengelolaan yang tepat dan
berkelanjutan yang meliputi :a) evaluasi kesesuaian lahan, b) evaluasi bahaya
erosi, c) penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, d) penerapan input
teknologi pertanian yang tepat dan seimbang, e) pemberdayaan atau
partisipatoris masyarakat/petani setempat, f) meningkatkan peran kelembagaan.
2. Evaluasi
kesesuaian lahan, baik pada tingkat makro, meso maupun mikro sangat diperlukan
guna menyusun beberapa alternatif penggunaan lahan yang sesuai dengan
kesesuaian lahannya dan membuat pilihan-pilihan penggunaan lahan yang paling
menguntungkan berdasarkan keberlanjutannya, serta membentuk zonasi komoditas
unggulan yang tepat usaha.
3. Evaluasi
bahaya erosi, baik pada tingkat makro,
meso maupun mikro berdasarkan peta kesesuaian lahan sangat diperlukan untuk
mengetahui sebaran atau keberadaan satuan unit lahan mana yang kritis dan layak
dikembangkan, serta tindakan-tindakan apa yang diperlukan untuk pengelolaannya.
4. Tindakan
konservasi tanah dan air, serta penggunaan input teknologi yang tepat dan
seimbang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
memperlambat atau menekan laju degradasi lahan.
5. Pemberdayaan
atau partisipatoris masyarakat/petani setempat sangat diperlukan untuk
keberlanjutan pengembangan pertanian atau perkebunan di lahan kering
Kalimantan.
6. Peran
kelembagaan dari segi hukum dan administrasi, pendanaan/biaya, dan teknis
sangat diperlukan untuk keberlanjutan pengelolaan lahan kering.
Abdurachman,
A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman, 1985.
Penerapan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian
tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk. No. 4:41-46.
Anonimous,
1999. Analisis kandungan residu
pestisida pada tanaman sayuran. Balitsa
Lembang, Puslitbang Hortikultura, Departemen Pertanian.
Anonimous,
2001. Teknologi pengelolaan sumberdaya
lahan. Ekspose hasil-hasil penelitian
Puslittanak di pulau Kalimantan.
Kerjasama antara Puslittanak dengan Bappeda Tk. I propinsi Kalimantan
Timur, Nopember 2001.
Arsyad S., 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Basri, I. H.,
1994. Agroforestry sebagai solusi
sistem usahatani berkelanjutan Ultisol di daerah tropika basah (studi kasus
Sitiung). Prosiding Lokakarya Nasional
Agroforestry. Bogor, 24-26 Agustus
1993.
Chambers, R.,
A. Pacey and L. A. Theupp, 1989. Farmer
first : farmer innovation and agricultural research. London : ITP.
Coen
Reijntjes, B. Harverkort dan A. Waters-Bayer, 1992. Pertanian Masa Depan : Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan
dengan Input Luar Rendah. ILEIA.
FAO,
1976. A framework for land
evaluation. FAO Soils Bulletin No.
32/I/ILRI Publ. No. 22. FAO, Rome,
Italy.
Ginting, F.,
1975. Pengaruh tanaman, soil
conditioner dan lereng, serta sifat-sifat hujan terhadap erosi. Tesis S1 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB – Bogor.
Gips, T.,
1987. Breaking the pesticide habit :
alternatives 10-12 hazardous pesticides.
Minneapolis : IASA.
Hafif, B., D.
Santoso, S. Adiningsih dan H. Suwardjo, 1993.
Evaluasi penggunaan beberapa cara pengelolaan tanah untuk reklamasi dan
konservasi lahan terdegradasi.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, No. 11:7-12.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman,
1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada
tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, No. 13:40-50.
Hidayat, A., Hikmatullah dan D.
Santoso, 2000. Potensi dan pengelolaan
lahan kering dataran rendah. Dalam buku
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Puslitbattanak, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Irianto, G., A. Abdurachman, dan I.
Juarsah, 1993. Rehabilitasi tanah
Tropudults tererosi dengan system pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia
congesta L. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk, No. 11:13-18.
Kurnia, U., 1996. Kajian metode rehabilitasi lahan untuk
meningkatkan dan melestarikan produktivitas tanah. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Kurnia, U., N. Sinukaban, F. G.
Suratmo, H. Pawitan, dan H. Suwardjo, 1997.
Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan
kehilangan hara. Pemberitaan Penelitian
Tanah dan Pupuk, No. 15:10-18.
Kurnia, U., Y. Sulaeman dan A. Mutik,
2000. Potensi dan pengelolaan lahan
kering dataran tinggi. Dalam buku
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Puslitbattanak, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Lal R., 1994. Sustainable land use systems and soil resilience. In : Soil Resilience and Sustainable
land use. Proceeding of a Symposium
held in Budapest, 28 September to 2 October 1992, including the Second Workshop
on the Ecological Foundations of Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 41-
68.
Noeralam, A., 2002. Teknik pemanenan air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada usahatani lahan kering. Disampaikan dalam Ujian Terbuka pengukuhan gelar Doktor Program Pascasarjana, IPB. Bogor, 10 Mei 2002.
Oldeman L. R., 1994. The global
extent of soil degradasion. In :
Soil Resilience and Sustainable land use.
Proceeding of a Symposium held in Budapest, 28 September to 2 October
1992, including the Second Workshop on the Ecological Foundations of
Sustainable Agriculture (WEFSA II). pp. 99-118.
Sitorus, S. R. P., 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Penerbit Tarsito, Bandung.
Sitorus, S. R. P dan D. O. Pribadi,
2000. Studi alokasi luasan lahan dan
model kegiatan usahatani di daerah transmigrasi. Jurnal Tanah Tropika, No. 10 : 187-208.
Sudirman, N. Sinukaban, H. Suwardjo dan
S. Arsyad, 1986. Pengaruh tingkat erosi
dan pengapuran terhadap produktivitas tanah.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk.
No. 6:9-14.
Suganda, H., H. Kusnadi dan U. Kurnia,
1999. Pengaruh arah barisan tanaman dan
bedengan dalam pengendalian erosi pada budidaya sayuran dataran tinggi. Jurnal Penelitian Tanah dan Pupuk.
Sukmana, S dan D. Erfandi, 1988. Penelitian pengelolaan lahan berombak. Hal 111-118 dalam Hasil Penelitian Pola
Usahatani Terpadu di daerah Transmigrasi Kuamang Kuning, Jambi. Puslittanak, Bogor.
Stem, R., M. C. Laker and A. J. van der Merwe, 1991. Field studies on effect of soil conditioners and mulch on runoff form kaolinitic and illitic soil. Australian Journal Soil Res. No. 29:249-261.
Sutono dan Abdurachman, 1997. Pemanfaatan soil condisioner dalam upaya
merehabilitasi lahan terdegradasi.
Prosiding Pertemuan Pembahasan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Puslittanak, Badan Litbang
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor,
4-6 Maret 1997.