Copyright ©  2002  Program Pasca Sarjana IPB   

Group II Presentation                                                                                          Posted  10 April  2002

Science Philosophy (PPs 702)

Graduate Program

Institut Pertanian Bogor

April 2002

 

Instructor:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng                                                                                                             

 

 

TANAMAN TRANSGENIK DAN PERSEPSI MASYARAKAT

 

Oleh

Kelompok II:

Syukur Umar,  I Nyoma Rai.  Gustan Pari,  Ros Sumarny,  Sri Harijati, Hiasinta F.J. Motulo, Hera Maheswary, Nurul Huda.

 

“We judge ourselves by what we feel capable of doing,

while others judge us by what we have already done”

(Henry Wadsworth Longfellow)

 

 

I.  Pendahuluan

1.1.  Latar Belakang

Perbaikan sifat tanaman disamping dapat dilakukan dengan teknik persilangan konvensional, juga dapat dilakukan melalui modifikasi genetik dengan bioteknologi melalui rekayasa genetika.  Istilah pangan transgenik merujuk pada pangan yang bahan dasarnya mengandung organisme yang telah mengalami rekayasa genetika.  Dengan teknologi rekayasa genetika itu, gen dari berbagai sumber (bisa berasal dari spesies tumbuhan lain, bekteri, virus, binatang, dan lain-lain) dapat dipindahkan ke tanaman yang akan diperbaiki sifatnya.  Gen yang diperoleh dengan jalan sintesis secara kimia juga telah berhasil ditransformasikan ke tanaman (Bird et al., 1991).  Pada dasarnya gen yang ditransfer tersebut haruslah gen yang bermanfaat yang belum ada atau belum dipunyai oleh tanaman tujuan.

Hingga saat ini sudah ratusan gen dari berbagai sumber yang berhasil dipindahkan ke tanaman dan memunculkan ratusan jenis varietas tanaman baru yang disebut tanaman transgenik. Namun sebagian besar tanaman transgenik tersebut belum dipasarkan. Hingga tahun 2000 baru 24 jenis tanaman transgenik yang dikomersialisasikan di Amerika, diantaranya termasuk empat kelompok tanaman transgenik utama yaitu : (1) kedelai transgenik yang menguasai 36% dari 72 ha area global tanaman kedelai, (2) kapas transgenik mencakup 36% dari 34 juta ha, (3) kanola transgenik 11% dari 25 juta ha, dan (4) jagung transgenik 7% dari 140 juta ha (Kompas, 11 Pebruari 2002).

Bahan pangan produk tanaman transgenik sudah barang tentu masuk pula ke Indonesia.  Sampai saat ini belum ada perangkat untuk mengontrol produk transgenik yang beredar tanpa label di Indonesia.  Artinya adalah pemerintah belum melakukan kajian untuk menetapkan bahan pangan produk transgenik apa yang boleh dan tidak boleh masuk ke Indonesia. Ketidaksiapan dalam menetapkan hal tersebut disatu sisi sangat beresiko bagi pengusaha makanan yang berorientasi ekspor, karena bila bahan transgenik itu dilarang dinegara tujuan ekspor maka produksnya akan ditolak.  Disisi lain pemerintah akan sulit melacak distribusi bahan pangan transgenik tersebut.  Boleh jadi bahan yang seharusnya untuk pakan ternak, karena ketidaktahuan masyarakat atau petani kemudian ditanam lalu hasilnya dikonsumsi masyarakat.  Memang pemuliaan tanaman dengan rekayasa genetika (transegenik) dilakukan hati-hati dan pelepasan tanaman maupun produknya kemasyarakat sudah diatur dan diuji ketat, namun resiko jangka panjang produk pangan rekayasa genetik terhadap kesehatan masyarakat masih sulit diprediksi.

Pandangan dan persepsi masyarakat terhadap produk bioteknologi hasil rekayasa genetika, khususnya tanaman transgenik, bervariasi sesuai dengan informasi yang didapatnya. Umumnya ada yang mengambil sikap anti dan tidak menerima, sebaliknya ada yang pro atau menerima, tetapi ada juga yang mengambil sikap menerima tetapi dengan kehati-hatian. Karena terpecahnya penerimaan masyarakat maka seyogyanya pemerintah dapat menentukan sikap dengan melakukan tinjauan secara komprehensif dari berbagai aspek disiplin ilmu menyangkut keamanan hayati, keamanan pangan, keamanan lingkungan, sosio-ekonomi dan etika.  Jadi dengan menganut prinsip kehati-hatian, pemerintah dapat mengambil sikap untuk menerima atau menolak produk transgenik tertentu dengan menyesuaikan dengan kondisi nyata dan kepentingan nasional Indonesia.

Kelompok masyarakat yang menerima produk transgenik menyatakan bahwa rekayasa genetika memiliki potensi sebagai teknologi yang ramah lingkungan.  Selain ramah lingkungan, teknologi rekayasa genetika diharapkan akan dapat membantu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang tidak dapat dipecahkan lagi secara konvensional (Herman, 2000).  Sebagai contoh,  melalui rekayasa genetika sudah dihasilkan tanaman transgenik yang memiliki sifat baru seperti ketahanan terhadap penyakit, tahan herbisida dan peningkatan kualitas hasil.

Di amping hal positif dari tanaman transgenik, terdapat kekhawatiran dari sebagian masyarakat bahwa tanaman transgenik tersebut akan mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.  Kekhawatiran tersebut dapat berupa anggapan bahwa tanaman transgenik hasil rekayasa genetika dapat menyebabkan alergi, menimbulkan keracunan,  atau bahwa bakteri di dalam perut menjadi resiten terhadap antibiotik akibat penggunaan marka tahan antibiotik dalam tanaman transgenik (Herman, 2000). Oleh karena itu pemerintah bersikap hati-hati dalam mengembangkan tanaman transgenik, dimana saat ini hanya mengijinkan pengembangan tanaman pertanian transgenik untuk tanaman kapas karena hasil budidaya tanaman kapas tidak dikonsumsi untuk dimakan (Kompas, 6 Meret 2002).

 

1.2.    Perumusan Masalah

Tanaman transgenik yang dihasilkan melalui rekayasa genetika untuk sementara disimpulkan telah memberikan manfaat berupa peningkatan hasil, memberikan keuntungan dan efisiensi dalam proses produksi.  Namun demikian masuknya bahan pangan produk tanaman transgenik ke Indonesia diterima dengan pandangan dan persepsi yang berbeda oleh masyarakat sesuai dengan informasi yang didapat. Ada yang bersikap tidak menerima, sebaliknya ada yang menerima dengan kehati-hatian. Perbedaan persepsi penerimaan masyarakat tersebut memerlukan evaluasi dan kajian teknis aspek keamanan pangan sebelum produk rekayasa genetika digunakan dan dikomersialisasikan.

 

1.3.    Tujuan

Tulisan ini bertujuan menelaah persepsi masyarakat terhadap produk tanaman transgenik berdasarkan tinjauan pustaka.  Tinjauan ditekankan pada alasan-alasan penerimaan masyarakat  dan prospek pemanfaatan dimasa depan serta kekhawatiran masyarakat terhadap produk transgenik.

 

II. Teknologi Penciptaan Tanaman Transgenik

2.1. Sejarah penelitian DNA

Karakteristik semua mahluk hidup dari yang paling sederhana seperti virus dan bakteri sampai pada organisme multiselular kompleks seperti tanaman dan hewan ditentukan oleh gen. Gen adalah kumpulan asam deoksiribo nukleat (DNA) yang terdapat dalam kromosom di dalam inti sel yang berfungsi mengatur dan mengendalikan sifat mahluk hidup. Ada gen yang mengatur kenapa buah tomat ketika masak menjadi merah, kera memiliki ekor atau manusia Indonesia berambut hitam. Bahkan gen dalam batas-batas tertentu mengendalikan mengapa seseorang mempunyai wajah cantik sedangkan lainnya tidak.

Prinsip dasar pewarisan karakteristik fisik pertama kali dikemukakan oleh seorang pastor George Mendel pada tahun 1865 yang meneliti tanaman pea. Dikatakannya ada hubungan kenampakan fisik (fenotipe) dengan struktur genetik (genotipe) suatu organisme. Mendel menggunakan istilah bahwa ‘faktor pewarisan’ untuk menjelaskan sesuatu yang selanjutnya oleh Sutton disebut gen pada tahun 1902. Meskipun penelitian genetika klasik ini dianggap luar biasa, tetapi belum terdapat pemahaman tentang sifat molekuler gen sampai tahun seribu sembilan ratus empat puluhan. Baru kemudian setelah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Avery, Mac Leod dan Mc Carty pada tahun 1944  serta Hershey dan Chase pada tahun 1952 semua orang percaya bahwa gen adalah DNA yang merupakan material genetik.

Penemua tentang peran DNA merupakan daya tarik yang sangat besar bagi penelitian genetika dan banyak ahli biologi terkenal seperti Delbruck, Chargaff, Crick dan Monod telah memberikan sumbangan jaman kebesaran genetika kedua. Dalam waktu empat belas tahun yaitu pada tahun 1966 struktur DNA telah diketahui, serta proses-proses transkripsi dan translasi ke protein dapat dijabarkan. Pada 1971 –1973 penelitian genetika maju dengan pesatnya sehingga dapat disebut sebagai revolusi dalam biologi modern. Suatu metode yang sama sekali baru dikembangkan sehingga memungkinkan percobaan yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan akhirnya dapat berhasil dirancang dan dilaksanakan. Metode-metode ini disebut teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetik yang inti prosesnya adalah kloning gen dimana gen dapat dipindah-pindahkan dari oraganisme satu ke oragnisme lainnya.

 

2.2. Apakah kloning gen itu ?

            Langkah-langkah dasar dalam kloning gen adalah sebagai berikut :

a.           Suatu fragmen DNA yang mengandung gen target yang akan diklon pada molekul DNA sirkular (plasmid) yang disebut vektor untuk menghasilkan suatu molekul DNA rekombinan

b.          Vektor bertindak sebagai wahana yang membawa gen target masuk ke dalam sel tuan rumah (host) yang biasanya berupa bakteri.

c.           Di dalam sel tuan rumah vektor mengadakan replikasi sehingga menghasilkan banyak turunan yang identik baik vektornya sendiri maupun gen target yang disisipkan.

d.          Ketika sel tuan rumah membelah molekul DNA rekombinan diwariskan pada progeni dan terjadi replikasi vektor selanjutnya.

e.           Setelah terjadi sejumlah besar pembelahan sel maka dihasilkan koloni atau klon sel host yang identik. Tiap-tiap sel dalam klon mengandung satu atau lebih molekul DNA rekombinan.

 

2.3. Teknologi produksi tanaman transgenik

Ahli rekayasa genetik tanaman melakukan transformasi gen dengan tujuan untuk memindahkan gen yang mengatur sifat-sifat yang diinginkan dari satu organisme ke organisme lainnya. Beberapa sifat yang banyak dikembangkan untuk pembuatan tanaman transgenik misalnya (1) gen resistensi terhadap hama, penyakit dan herbisisda, (2) gen kandungan protein tinggi, (3) gen resistensi terhadap stres lingkungan seperti kadar alumium tinggi ataupun kekeringan dan (4) gen yang mengekspresikan suatu ciri fenotipe yang sangat menarik seperti warna dan bentuk bunga, bentuk daun dan pohon yang eksotik.

Dalam hubungannya dengan pembuatan tanaman transgenik terdapat tiga komponen penting yaitu:

1.          Isolasi gen target.Gen target yang kita inginkan misalnya gen Bt (gen tahan terhadap penggerek yang diisolasi dari bakteri Bacillus thurigenensis) diekstrak kemudian dipotong dengan enzim restriksi. Gen yang sudah terpotong-potong kemudian diseleksi bagian gen mana yang menyandikan gen Bt dan diisolasi. Potongan gen Bt kemudian disisipkan  ke dalam DNA sirkular (plasmid) sebagai vektor menghasilkan molekul DNA rekombinan gen Bt. Vektor yang sudah mengandung molekul DNA rekombinan gen Bt dimasukkan kembali ke dalam sel inang yaitu bakteri untuk diperbanyak. Sel inang akan membelah membentuk progeni baru yang sudah merupakan sel  DNA rekombinan gen Bt.

2.          Proses transfer gen ke tanaman target. Agar sel DNA rekombinan get Bt dapat terintegrasi pada inti sel tanaman maka diperlukan vektor yang lain lagi untuk memindahkan gen Bt ke dalam inti sel tanaman. Vektor tersebut adalah bakteri Agrobacterium tumefaciens.  Bakteri ini menyebabkan penyakit tumor pada tanaman. Penyakit ini akan terjadi bila terdapat luka pada batang tanaman sehingga memungkinkan bakteri menyerang tanaman tersebut.  Luka pada tanaman mengakibatkan tanaman mengeluarkan senyawa opine yang merangsang bakteri untuk  menyerang tanaman dimana senyawa ini merupakan sumber carbon dan nitrogen dari bakteri.  Akibat masuknya bakteri menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit tumor pada tanaman.

Kemampuan untuk menyebabkan penyakit ini pada tanaman ternyata ada hubungannya dengan DNA sirkular (plasmid) Ti (Tumor inducing plasmid)   dalam sel bakteri A. tumefaciens.Sifat yang menyolok pada plasmid Ti ialah bahwa setelah infeksi oleh A. tumefaciens,  sebagian dari molekul DNAnya berintegrasi dalam DNA kromosom tanaman. Segmen ini  dikenal dengan nama T-DNA (transfer DNA)

Metode kerjasama antara tanaman dan A. tumefaciens ini digunakan oleh ahli rekayasa genetika tanaman untuk memindahkan gen Bt  agar dapat terintegrasi dalam sel tanaman. Oleh karena itu langkah selanjutnya adalah menyisipkan DNA rekombinan yang sudah membawa gen Bt  ke dalam plasmid Ti dari A. tumefaciens. Setelah itu A. tumefaciens yang membawa gen Bt diinokulasikan pada tanaman. Proses inokulasi tersebut dilakukan pada tanaman target yang sedang diregenerasikan dalam kultur jaringan. Hal ini memudahkan bagi proses transfer gen Bt ke dalam inti jaringan tanaman dimana tanaman masih dalam proses pembelahan sel yang sangat aktif .

3.          Expresi gen pada tanaman transgenik. Gen yang sudah dimasukkan ke dalam tanaman target dalam hal ini adalah gen Bt yang mengekspresikan tanaman transgenik  tahan terhadap hama penggerek harus dapat diexpresikan. Untuk mengetahui apakah gen tersebut terekspresi atau tidak digunakan penanda yaitu selectable and scoreable marker, dimana apabila tanaman target dapat  tumbuh pada media yang mengandung antibiotika  atau tanaman target menampakan warna khusus (warna biru untuk penanda gen gus) maka   tanaman target itu adalah tanaman transgenik.

 

III. PRO DAN KONTRA TENTANG TANAMAN TRANSGENIK

3.1. Tiga dimensi pandangan masyarakat terhadap tanaman transgenik

1. Pandangan kelompok yang setuju tanaman transgenik.

Beberapa pandangan mereka yang setuju dengan tanaman transgenik, antara lain:

·                          Tanaman transgenik memiliki kualitas lebih dibanding tanaman konvensional, kandungan nutrisi lebih tinggi, tahan hama, tahan cuaca, umur pendek, dll; sehingga penanaman komoditas tersebut dapat memenuhi kebutuhan pangan secara cepat dan menghemat devisa akibat penghematan pemakaian pestisida atau bahan kimia lain serta tanaman transgenik produksi lebih baik;

·                          Teknik rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman; yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambah sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman hama maupun lingkungan yang kurang menguntungkan; sehingga tanaman transgenik memiliki kualitas lebih baik dari tanaman konvensional, serta bukan hal baru karena sudah lama dilakukan tetapi tidak disadari oleh masyarakat;

·                          Mengurangi dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan; misal tanaman transgenik tidak perlu pupuk kimia, tak perlu pestisida, dll.  Sehingga tanaman transgenik dapat membantu upaya perbaikan lingkungan.

2. Pandangan kelompok yang tidak setuju tanaman trnsgnk

·                          Potensi bahaya produk tidak diakui, rendahnya daya ramal, sehingga tidak ada antisipasi yang akan dilakukan jika ada penyimpangan; risk assessment dan risk management lemah bahkan tidak ada; yang akan berdampak (bahaya) luas;

·                          Pengetahuan tentang probabilitas dan dampak ekologis dari transfer gen secara horisontal dari transgenik ke organisme lain masih kurang;

·                          Informasi ilmiah yang tersedia saat ini belum memadai untuk melakukan penilaian risiko yang andal mengenai pelepasan transgenik (Myhr dan Traavik, 1999 dalam Jhamtani, 2000);

·                          Memodifikasi desain agung kehidupan yang disebut alam; yang akan mengganggu ekosistem akibat dari penyerbukan yang tidak terbendung, merusak keanekaragaman hayati, melawan upaya penyelamatan bumi dan segala isinya;

·                          Penanaman monokultur amat berbahaya karena membuat stress lingkungan terhadap hama tanaman yang biasa ada, selanjutnya hama tersebut akan berevolusi dan setelah beberapa generasi akan muncul keturunan hama yang rentan;

·                          Kemungkinan bahaya pencemaran biologis mahluk hidup lain, penyelewengan sifat toksin, munculnya alergi yang tidak diketahui dan antibiotik;

·                          Sekali organisme transgenik dilepas ke alam dan terjadi persilangan, maka gen yang mencemarinya tidak dapat ditarik kembali; resiko tidak dapat diramal dalam satu generasi tetapi harus lebih dari 2 atau 3 generasi;

·                          Bioteknologi rekayasa genetika bukan soal meningkatkan produksi pangan semata, tetapi lebih merupakan eksploitasi kehidupan dan sistem pendukung kehidupan demi mencari keuntungan;

3. Pandangn kelompok netral

·                          Perlu ada prinsip kehati-hatian dalam melepaskan produk transgenik kepada masyarakat; termasuk dari pihak pemerintah dalam membuat peraturan;  artinya: apabila ada ancaman kerusakan yang serius, tidak adanya kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak mengambil tindakan prefentif guna mencegah kerusakan lingkungan; artinya: memang ada ketidak pastian ilmiah dalam penerapan rekayasa genetika;

·            Perlu transparansi/keterbukaan informasi yang lengkap kepada masyarakat, tentang:

a.                                  Pengertian tanaman dan produk transgenik;

b.                                  Produk dan tanaman apa saja yang mungkin sudah beredar dan merupakan hasil rekaya genetikan; termasuk upaya pelabelan produk transgenik;

c.                                  Kekurangan dan kelebihan atau bahaya tidaknya tanaman transgenik termasuk produknya,

 

Dalam upaya memberikan informasi yang transparan tentang tanaman transgenik kepada masyarakat, perlu adanya kerja sama yang erat diantara semua pihak yang terlibat (stakeholders).  Berikut adalah beberapa hal yang perlu  dilakukan oleh stakeholder untuk mengkaji lebih jauh tentang pengembangan tanaman transgenik :

(1)         Pemerintah

Sebagai pihak yang dapat menentukan kebijakan, pemerintah harus membuat peraturan-peraturan yang tegas tentang keberadaan tanaman transgenik, baik yang mengenai pemanfatannya maupun bagi dampak yang ditimbulkannya.  Disamping itu, pemerinyah dapat menunjuk  lembaga-lembaga independen yang bertugas mengawasi pengembangan tanaman transgenik. Pemerintah juga harus menghindari vested interest  atau kepentingan tertentu pada tanaman transgenik karena dianggap dapat mendukung kebijakan penyediaan pangan.  Independensi komisi keamanan hayati dan tanaman pangan sangat diperlukan.

(2)         Peneliti

    embaga penelitian harus melakukan tahapan kegiatan sesuai dengan standard operating procedures (sop). Disamping itu, peneliti juga harus melakukan pengawasan ketat sesuai dengan integritas ilmiah.  Disisni perlu adanya suatu komisi etika yang mendampingi dan mengawasi proyek penelitian dari sudut pandang etika.  Selain itu, penelitian yang dilakukan harus melibatkan semua pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya.

(3)         Produsen

Transparansi produk transgenik harus diutamakan, caranya antara lain dapat dilakukan melalui labelling sehingga produk tersebut dapat diketahui dengan jelas oleh masyarakat.  Produsen jangan hanya berorientasi komersial pada keuntungan semata tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan sekitarnya.

(4)         Petani

Petani harus mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang tanaman transgenik tersebut.  Disamping itu, petani disarankan tidak  berorientasi pada keuntungan sesaat atau jangka pendek, tetapi harus memperhatikan kontinuitas produksi dan pendapatannya.

(5)         Masyarakat

Sebagai pihak yang akan menggunakan produk transgenik, masyarakat harus bersikap hati-hati dan kritis. Informasi yang jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana tanaman transgenik harus diketahui dengan pasti.  Setidak-tidaknya sikap atau keputusan yang diambil telah didasarkan atas data dan fakta yang tidak keliru atau menyesatkan.  

 

3.2. Dimensi filsafat teknologi tanaman tnsgenik

A.         Secara Ontologi;

Ontologi merupakan uraian tentang apa yang sedang dikaji; dalam tulisan ini produk transgenik merupakan jawaban terhadap apa yang dikaji.  Sehingga secara ontologi, tanaman transgenik adalah suatu produk rekayasa genetika melalui transformasi gen dari mahluk hidup dengan spesies lain kepada mahluk hidup lain.  Tanaman tersebut dihasilkan dengan tujuan menciptakan tanaman baru yang memiliki kualitas lebih baik dari tanaman yang ada sebelumnya.  Alasan secara tak langsung, tanaman transgenik diciptakan atas desakan kebutuhan pangan dalam jumlah banyak dan cepat.  Jadi secara ontologi, tanaman transgenik dapat dibenarkan; namun perlu kajian lebih lanjut yaitu, bagaimana tanaman transgenik diciptakan, bagaimana proses atau tahapannya, bagaimana bahan atau asal bahan tersebut; apakah sudah memenuhi kaidah ilmiah atau belum.  Selain itu, apakah tanaman transgenik lebih banyak memberikan manfaat, dibanding mudlaratnya bagai kehidupan manusia seacra keseluruhan.  Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut adalah kajian secara epistemologi dan axiologi terhadap tanaman transgenik.

 

B.         Secara Epistemologi;

Epistemologi merupakan bagaimana, metode ilmiah terhadap apa yang sedang dikaji; dalam tulisan ini berarti bagaimana metode ilmiah dari tanaman transgenik.

Berdasarkan integritas ilmiah; suatu produk harus merupakan hasil penelitian, melalui studi kelayakan melalui fasilitas uji terbatas, kemudian mengikuti uji lapangan dengan pengawasan ketat, dan analisis dampak lingkungan;  dan diakhiri dengan evaluasi secara keseluruhan; Kehadiran mahluk lain dari luar ekosistem pasti sedikit banyak mengganggu ekosistem tersebut.  Sehingga, setiap introduksi selayaknya dilakukan melalui kajian tentang ekologi mahluk yang akan dimasukkan; ekologi penerima mahluk, dan daya dukung lingkungannya.  Lebih lanjut sebelum tanaman transgenik dipasarkan atau diterapkan kepada masyarakat secara luas harus melalui tahapan secara ketat; termasuk harus melalui analisis dampak lingkungan, dalam jangka panjang, dan beberapa generasi.

Berdasarkan batasan tersebut, tanaman transgenik merupakan produk hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar dengan rentang waktu tertentu, dan telah dilakukan melalui uji terbatas di laboratorium-laboratorium tertentu maupun lahan-lahan terbatas.  Namun uji lapangan secara luas dengan pengawasan ketat sampai saat ini belum ada laporan atau kajian yang lebih jauh.  Oleh karena itu, tanaman transgekin masih membutuhkan kajian lebih jauh untuk dapat diterapkan di masyarakat.

 

C.         Secara Axiologi;

Axiologi merupakan uraian tentang untuk apa atau manfaat dari apa yang sedang dikaji; dalam tulisan ini, secara axiologi berarti: Apa manfaat atau untuk apa tanaman transgenik diciptakan? Apakah manfaat langsung lebih besar dari dampaknya.

Berdasarkan uraian tentang pendapat kelompok yang pro dan kontra; dapat disimpulkan bahwa tanaman transgekin memiliki manfaat sesuai tujuan awal memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang meningkat tajam; tetapi manfaat tersebut belum teruji akan lebih besar manfaatnya dari tingkat kerugian yang ditimbulkan; misalnya adanya penyimpangan gen-gen pada hama taua tanaman transgenik sendiri; sehingga akan berdampak lebih buruk.  Kajian tentang dampak tanaman transgenik secara langsung saat ini memang belum tampak, tetapi beberapa pakar sudah memberikan “warning”.  Oleh karena itu, sebaiknya pemanfaatan tanaman transgenik secara luas di masyarakat ditangguhkan sampai beberapa tahun, tetapi kajian terhadap dampaknya terus dilakukan.  Sehingga,  akan lebih pasti bahwa manfaat tanaman transgenik lebih besar dari dampaknya.

 

D.         Secara Etika Moral;

Beberapa rambu yang perlu diperhatikan dalam mengkaji apakah pemanfaatan tanaman transgenik saat ini benar secara etika moral, adalah:

1.          Jangan hanya karena menguntungkan secara bisnis dan dalam jangka pendek;

2.          Merubah desain alam seacar tidak alami;

3.          Bagaimana masyarakat yang tidak diberi informasi lengkap dapat mengambil keputusan dengan benar;

4.          Jangan memberi tekanan/pemaksaan kepada petani/ konsumen agar menggunakan tanaman transgenik;

5.          Jangan manipulasi data;

Dari bahasan diatas, dapat dikatakan bahwa secara moral kita harus melakukan evaluasi etika  terhadap suatu teknologi baru. Dalam konteks tanaman transgenik, moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis supaya kita dapat menggunakannya untuk kebaikan.  Masih banyak hal yang belum jelas dengan tanaman transgenik. Oleh karena itu, keberadaan dan pengembangannya  perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut terutama mengenai dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya, baik mengenai keamanannya bagi kesehatan maupun bagi lingkungan. Jika hal tersebut sudah jelas dan tuntas, maka langkah selanjutnya adalah memberikan penerangan atau penyuluhan (jika perlu) tentang keunggulan dan dampak negatif  tanaman transgenik kepada masyarakat secara rinci. Setelah itu, biarkan masyarakat sebagai konsumen produk tanaman transgenik yang menyaring informasi tersebut dan menentukan sikap atau pilihannya sendiri. 

 

IV.  Kesimpulan

Teknologi transgenik merupakan hasil perkembangan rekayasa genetik yang sudah berlangsung sejak era Mendel. Iptek ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan umat manusia dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan sebagainya. Namun iptek ini telah membangun tiga persepsi masyarakat, yaitu: persepsi yang pro, persepsi yang kontra, serta persepsi yang bersifat netral.

Keberpihakan terhadap teknologi transgenik memiliki alasan bahwa tanaman transgenik memiliki kualitas yang lebih baik dan pembudidayaannya tidak menimbulkan pencemaran yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia. Sedangkan kritik terhadap tanaman transgenik lebih banyak menekankan bahwa iptek ini memiliki lebih banyak dampak lingkungan dan ekology.

Berdebatan ini masih berlangsung di kalangan ilmuan, penentu kebijakan, petani dan masyarakat umum lainnya. Oleh karena itu masyarakat yang memiliki pandangan yang netral menganjurkan agar penelitian tentang teknologi transgenik masih harus dikembangkan lagi lebih sistematis, serta pengembangan institusi penyuluhan yang akan menginformasikan hasilnya kepada masyarakat luas.

 

Saran

 

1.          Beberapa himbauan:

a.           moratorium pelepasan tanaman dan produk hasil rekayasa genetika ke alam, baik secara komersial atau di ladang uji coba terbuka, paling tidak untuk lima tahun;

b.          penarikan dan pelarangan pemberian paten bagi proses kehidupan, organisme hidup, benih, garis sel dan gen;

c.           penyelidikan publik yang komprehensif terhadap masa depan pertanian dan ketahanan pangan untuk semua orang;

2.          Bukan menghentikan eksperimentasi ilmiah tetapi penghentian sementara komersialisasi produk; perkembangan ilmu lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa produk rekayasa genetika yang dilepas nantinya aman bagi lingkungan dan masyarakat;

3.          Koordinasi berbagai institusi termasuk peraturan yang ketat dalam memasyarakatkan produk transgenik;

 

Pustaka

Bird, C. R., J. A. Ray, J. D. Fletcher, J. M. Boniwell, A. S. Bird, C. Teuliers, I. Blain, P. M. Bramley and W. Scuhch.  1991.  Using Antisense RNA to Study Gene Function : Inhibition of Carotenoid Biosynthesis in Transgenic Tomatoes.  Biotechnology 9:635-639.

 

Herman, M.  2000.  Pengaturan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Bogor, 14 – 26 Pebruari 2000.  Kerjasama antara Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian dan PAU Bioteknologi IPB.  26 hal.

 

Mlynarova, L., A. Loonen., J. Holdens, R. C. Jansen, P. Keizer, W. J. Stiekema and J. Nap.  1994.  Reduced Position Effect in Mature Transgenic Plants Conferred by the Chiken Lysozyme.  The Plant Cell 6:417-426.

 

Suharsono, S.  2000.  Prinsip Rekayasa Genetika.  Pelatihan Teknik Pengklonan Gen dan Pengurutan DNA.  Bogor, 14 – 26 Pebruari 2000.  Kerjasama antara Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian dan PAU Bioteknologi IPB.  23 hal.

 

Tanksley, S. D. and S. R. McCouch.  1997.  Seed Bank and Molecular Maps: Unlocking Genetic Potential from Wild.  Science 277:1063-1066.