ă 2002  Harry Triely Uhi                                                                       Posted 2 June 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3 - Program Studi DAS

Instutut Pertanian Bogor

Juni  2002

 

Dosen :

Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

 

 

ANALISIS ALIH TEKNOLOGI PERTANIAN

MASYARAKAT ASLI  DI KABUPATEN SORONG

 

 

 

Oleh:

 

 

HARRY  TRIELY  UHI

D 01604011/PTK

E-mail: harruhi@yahoo.com   

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Keberhasilan pengembangan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani asli Irian Jaya tergantung salah satunya dari faktor keberhasilan alih teknologi. Keberhasilan alih teknologi ditentukan oleh kesesuaian antara teknologi, cara mengalihkan teknologi, budaya petani, dan lingkungan petani. Penyesuaian keempat faktor itu membutuhkan koordinasi efektif yang saat ini justru bermasalah. Masalah dasar alih teknologi saat ini adalah lemahnya koordinasi antar agen pembangunan dan rendahnya pemahaman para agen pembangunan tentang budaya dan lingkungan petani. Masalah itu pada prinsipnya adalah masalah efektivitas komunikasi, pertukaran informasi dan gagasan untuk saling mengerti.

Banyak teknologi tersedia untuk dikaji atau dimodifikasi dan dialihkan namun sangat sulit untuk diadopsi oleh petani. Dilain pihak pada daerah tertentu adopsi teknologi meskipun sedikit tapi ada keinginan petani untuk menerimanya. Demikian halnya juga ada penduduk asli yang mengembangkan teknologi tradisional dan menerima teknologi baru sepanjang tidak menimbulkan konflik  sosial yang berat. Potensi itu dapat diwujudkan apabila masalah tersebut di atas dapat diatasi bila metode pengkajian teknologi yang berakar pada budaya tradisional.

Analisis alih teknologi melalui studi eksploratif ini bertujuan meningkatkan pemahaman akan teknologi pertanian spesifik lokasi yang diperlukan serta masalah dan peluang alih teknologi  di Kabupaten Sorong. Pelaksanaannya terutama secara kualitatif melalui wawancara semi berstruktur dengan berbagai pihak.

Daerah Studi

Kecamatan Teminabuan termasuk dalam Kabupaten Sorong. Kota Teminabuan dapat dicapai dengan kendaraan udara, laut, atau sungai. Desa Tofot dan Seribau terletak di sebelah barat, masing-masing sekitar  10 km dan 26 km dari kota Teminabuan (Gambar 1). Masyarakat aslinya berasal dari suku Tehit.

Wernit, Sungguer, Waigo, dan Moswaren terletak dalam satu jalur jalan ke arah timur, masing-masing berjarak kurang lebih 3 km, 20 km, dan 30 km dari kota Teminabuan. Sebagian besar penduduk desa Wermit berasal dari suku Tehit dan sedikit suku Meybrat, semakin ke Timur, proporsi penduduk dari suku Meybrat semakin besar. Desa Moswaren terletak di dua tempat berdekatan, Mos dan Waren, yang termasuk dalam wilayah kecamatan Aitinyo yang secara tradisional adalah bagian suku Meybrat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1. Daerah lokasi studi

Budaya Pertanian

Banyak definisi “budaya” telah dibuat ( Light et al., 1989; Farley. 1990; Gudykunst, 1991; Eilers, 1992). Mempertimbangkan semua definisi itu, “budaya” dalam analisis ini mengacu pada pola sikap mental dan fisik menurut suatu sistem nilai kepercayaan yang dianut bersama oleh suatu kelompok manusia. Jadi, budaya dalam hal ini dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai.

Sistem pertanian masyarakat asli masih cukup terikat pada budaya subsistem yang hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar hidup petani dan keluarganya. Sistem perladangan berpindah masih umum. Secara tradisional, lahan dan sumberdaya alam penunjang kehidupan dimiliki oleh kelompok secara komunal atau hak ulayat, hal ini sesuai dengan yang dikatan oleh  Kuntowijoyo (1987.

Budaya meramu dengan mengambil hasil bumi tanpa membudidayakannya masih bertahan. Jenis hasil bumi yang diramu adalah sagu, ikan, udang, kepiting, daging (babi, rusa, kasuari, kuskus, burung), dan bahan pembuat rumah, (kayu, rotan, nipah). Parang adalah alat kerja yang sering digunakan di mana saja. Berburu dan menangkap ikan sungai biasanya dilakukan bersama oleh pria. Perburuan dibantu sejumlah anjing dengan menggunakan alat panah, tombak dan jerat. Sebagian petani menanam bore (akar tuba) di ladangnya untuk membunuh ikan.

Pemanfaatan sumberdaya alam itu diatur oleh Pemuka-pemuka adat yang  disebut nakhohoq atau bobot. Setiap kelompok atau klien mempunyai wilayah eksekutif untuk berladang dan meramu. Pelanggaran atas  batas  wilayah suatu kelompok oleh anggota kelompok lain selalu dihindarkan untuk mencegah terjadinya pertikaian.

Masyarakat asli Sorong di setiap wilayah studi terdiri dari penduduk asli dan bukan asli atau pendatang. Karena itu hak seseorang untuk memanfaatkan sumberdaya alam di suatu wilayah berkaitan dengan tingkat keaslian itu. Ciri masyarakat tradisional yang komunal egaliter masih tampak, khususnya dalam satu kelompok. Normanya, setiap anggota masyarakat dari suatu kelompok mempunyai tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup yang kurang-lebih sama, tidak berbeda mencolok. Di sisi lain keterikatan pada budaya ini membuat kelompok itu kompak dalam mempertahankan hidup dan wilayahnya hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Boelaars (1986). Namun disisi lain, keterikatan pada budaya ini akan membuat mudah terjadinya bias pro-kelompok dan membatasi motivasinya untuk menerapkan inovasi teknologi baru yang akan diterapkan.

Sistem penggunaan ladang berpindah juga nyata pada daerah ini dimana suatu bidang lahan digarap selama 6-12 bulan setiap sekitar 3-5 tahun. Petani percaya bahwa bila tidak berpindah, kesuburan tanah dan hasil tanaman (talas) sangat menurun. Pada waktu lalu, daur tiap bidang lebih panjang (6-7 tahun). Hal itu menandakan bahwa ketersediaan lahan relatif makin rendah kesuburan alami tanah terancam mundur.

Komoditi Pertanian

Jenis tanaman yang  paling umum dibudidayakan adalah ubi-ubian berupa kedelai, bete/talas, kasbi/ubi kayu, batatas/ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, pisang, jagung, sayuran-sayuran (gedi, bayam, sawi, kacang panjang, cabe rawit), buah-buahan. Padi ladang sudah mulai banyak diusahakan khususnya di Sungguer dan Moswaren. Di daerah itu ada lokasi transmigrasi nasional yang berdampingan dengan lokasi transmigrasi lokal. Tetapi masyarakat asli tidak menanam padi di lahan yang “disediakan” melainkan ladang-ladang lain berpindah dan pemilikan lahan ulayat (bukan pribadi).

Sektor perkebunan berupa kakao dan kopi Robusta mulai dikembangkan sekitar tahun 1960-an, pemerintah Belanda. Kemudian pemerintah Indonesia, termasuk IJJDF (Irian Jaya Joint Development Foundation), berupaya untuk melanjutkan dengan membina petani kako dan kopi di daerah tersebut dan hasilnya cukup memuaskan karena petani mulai menikmati hasil yang diperolehnya.

Sektor peternakan di daerah ini didominasi oleh ternak ayam kampung dengan sistem pemeliharaan tanpa kandang (diumbar). Babi tidak banyak dipelihara karena dianggap merusak lahan dan tanaman sayur-sayuran. Sapi pernah diintroduksikan melalui program Banpres, tetapi keberhasilan belum seperti yang diharapkan. Petani asli yang belum berpengalaman dengan sapi tidak mendapat  cukup petunjuk tentang cara memelihara ternak itu. Sebagian besar petani menganggap hewan besar itu membuat banyak kerusakan pada halaman/ladang.

 

MASALAH ALIH TEKNOLOGI

 

Secara biofisik suatu teknologi layak diadopsi bila sesuai dengan budaya serta lingkungan (circum stances) petani. Kesesuaian biofisik teknologi tampaknya bukan merupakan masalah penting karena banyak teknologi telah dipakai atau dirakit di berbagai tempat lain dengan kondisi biofisik seperti yang ada di lokasi studi ini.

Dilain pihak keterbatasan pengalaman membuat petani cenderung lebih membutuhkan teknologi yang tidak sama sekali baru, melainkan dari pengembangan  teknologi yang telah ada. Misalnya alat tokok sagu yang lebih efisien mungkin lebih sesuai diintroduksikan daripada cangkul. Norma-norma budaya komunal masih mendominasi dan nampak diberlakukan pada berbagai kegiatan yang dilakukan bersama dan membutuhkan banyak waktu misalnya menokok sagu, berburu, membuka ladang, menangkap ikan, dan acara-acara adat. Karena itu teknologi baru yang diperlukan petani cenderung yang tidak terlalu rumit atau intensif dan  tidak menuntut banyak waktu perorangan. Introduksi bebek untuk diumbar mungkin lebih sesuai daripada kandang intensif untuk ayam.

Faktor lingkungan utama diluar kendali petani yang perlu dipertimbangkan adalah ketersedian pasar yang menguntungkan bagi produk teknologi baru. Teknologi fermentasi  biji kakao yang sulit diberlakukan  karena bila biji kakao yang difermentasi mendapat harga yang sama dengan biji kakao yang tidak difermentasi. Hal ini merupakan salah satu alasan tidak pernah dimanfaatkan rumah fermentsi yang dibangun IJJDF di Moswaren. Komoditas terong di pekarangan seorang pemuka agama di Seribau tampak produktif, tetapi tidak dipanen karena tidak mempunyai pasar yang memadai. Jadi  masalah alih teknologi berhubungan dengan kesesuaian teknologi dan kesesuaian cara alih teknologi dengan budaya (faktor internal) dan lingkungan (faktor eksternal) petani dalam penyesuaian faktor-fakor tersebut.

Pengembangan beberapa teknologi yang sebenarnya dianggap baik oleh petani pada kenyataannya dapat terhambat karena teknologi tersebut dialihkan melalui cara yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Para agen pembangunan cenderung menawarkan teknologi baru sebagai "pengganti” teknologi yang telah ada. Hal ini menyebabkan terjadinya keseganan masyarakat untuk menggunakan teknologi tersebut. Mereka merasa direndahkan (Koentjaraningrat & Ajamiseba, 1994). Sebagai contoh ada petani yang mengatakan, “dorang bilang ‘kamu orang pu cara itu tra laku, kami punya boleh” artinya “mereka mengatakan kepada kami ‘cara kalian itu jelek, cara kami inilah yang bagus”. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang dimilikinya, karena itu sulit bagi petani yang memahami pesan-pesan para agen pembangunan tentang hal yang tidak ada dalam bingkai acuan mereka, misalnya tentang budidaya lorong dan berladang menetap. Masalah itu akan lebih berat apabila agen pembangunan menggunakan bahasa atau lambang abstrak yang sulit mereka mengerti.

Kepemilikan lahan terutama bagi penduduk asli yang mengikuti transmigran lokal kurang termanfaatkan karena petani asli biasa berladang pindah, selain itu sebagian transmigran lokal secara adat tidak berhak memiliki lahan tersebut. Hal ini menyebabkan  alih teknologi dan pengembangan usahatani  menemui hambatan,  khususnya di Moswaren. Sebagian petani yang “mendapat” kebun kakao sebenarnya secara adat tidak berhak memiliki kebun itu karena bukan orang asli setempat.

Mengingat sulitnya sarana dan prasarana angkutan yang menghubungkan antar wilayah maka sangat berpengaruh dan sangat berhubungan dengan pemasaran produk pertanian, dimana  hal ini juga merupakan kendala yang menyebabkan proses alih teknologi juga mendapat hambatan yang cukup besar dalam alih teknologi. Karena  itu penyesuaian antara teknologi, cara alih teknologi, budaya petani, dan lingkungan petani, memerlukan kerja sama berbagai pihak. Selain itu koordinasi antar institusi dari berbagai pihak yang berhubungan dengan teknologi yang akan dikembangkan perlu dilakukan secara terpadu.

 

 

PELUANG ALIH TEKNOLOGI

Teknologi Pertanian

Banyak teknologi pertanian yang secara biofisik sesuai bagi kondisi desa-desa di Irian Jaya telah tersedia, baik oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian maupun lembaga-lembaga lain. Pemilahan teknologi dan pelaksanaan pengkajian yang sesuai kondisi wilayah sangat penting ditawarkan kepada petani sesuai dengan budaya dan lingkungan petani. Pemilahan itu memerlukan sistem penelusuran informasi (information retrievel) yang efektif. Sebagai contoh, padi gogo sesuai dengan kondisi biofisik yang ada, hal ini terlihat jelas dimana sebagian besar petani di wilayah ini banyak yang mengusahakannya karena komoditas atau teknologi itu telah dimodifikasi sesuai dengan budaya tradisional, yakni diusahakan di ladang berpindah. Adopsi teknologi padi gogo tampaknya berkaitan dengan proses inkulturasi (inculturation). Dalam proses itu, suatu budaya  atau teknologi introduksi terasa sebagai bagian dari budaya yang telah ada sebelumnya (Eilers, 1992). Ini merupakan pertimbangan penting agar teknologi introduksi dikemas sedemikian sehingga tidak terasa sama sekali baru bagi petani asli.

Inkulturasi yang sesungguhnya adalah pengembangan teknologi yang berakar pada budaya asli (indigenous technologies). Alternatif bukan-konvensional dalam upaya  pengembangan pertanian ini sekaligus akan memelihara keragaman yang memperkokoh pertanian nasional. Misalnya, peneliti dapat mengembangkan teknologi budidaya dan pengolahan sagu. Peralatan manual (dengan pedal atau engkol) yang lebih efisien mungkin dapat dirancang untuk menokok dan meramas sagu. Sebagai pembanding, masyarakat asli Sentani, Jayapura,  telah memodifikasi pemarut kelapa bermotor menjadi alat tokok sagu yang sangat efisien.

Pedekatan Alih Teknologi

          Pendekatan dan teknik dalam upaya mempercepat proses adopsi dan alih teknologi pertanian perlu dipertimbangkan secara cermat  karena pada kenyataannya pendekatan  penting dengan mempertimbangkan sistem usahatani yang dikembangkan keluarga tani dalam suatu konteks masyarakat pedesaan. Secara ringkas kerangka pemikiran tentang pendekatan sistem usahatani adalah sebagai berikut :

q                   Keluarga tani adalah unit terkecil pembuat keputusan dalam menganalisis perkembangan pembangunan pertanian di pedesaan

q                    Masyarakat pedesaan merupakan salah satu sumber pengetahuan dan partisipasinya sangat kruisial bagi keberhasilan pembangunan pertanian

q                   Selama keputusan yang diambil pada tingkat keluarga tani mencakup produksi dan konsumsi, maka interaksi antar komponen dalam berbagai kegiatan usahatani dan kegiatan diluar pertanian menjadi sangat penting.

q                   Kondisi bio-fisik, sosial budaya, kelembagaan dan ekonomi sangat mempengaruhi rumah tangga tani dalam mengambil keputusan dan sebaliknya yang bersifat dinamis.

Pendekatan sistem usahatani bersifat holistik dan interdisiplin karena usahatani yang diterapkan oleh petani sangat dipengaruhi oleh interaksi faktor teknis, ilmiah, sosial budaya dan ekonomi.

Alih teknologi memerlukan cara yang dapat diterima dan dimengerti petani. Dengan kata lain, cara alih teknologi perlu sesuai dengan budaya petani. “Dimengerti” dalam hal ini bukan hanya bagaimana suatu teknologi diterapkan. Program alih teknologi perlu mengandung unsur yang memotivasi petani untuk mengadopsi teknologi itu. Alih teknologi selayaknya merupakan proses inkulturasi bukan akulturasi. Beda antara keduanya tidak tegas; tetapi pada dasarnya,  inkulturasi mengemas suatu teknologi baru sebagai pengembangan atau pelengkap (komplement) teknologi lama, sedangkan akulturasi memberikan teknologi baru sebagai pengganti (substitusi) teknologi lama.

Dengan keterbatasan pengalaman petani, demonstrasi dan kunjungan merupakan metode alih teknologi efektif yang secara konkrit memperlihatkan keuntungan adopsi suatu teknologi baru dengan tolok ukur petani. Misalnya, untuk meyakinkan petani akan manfaat budidaya lorong, keuntungan yang dapat mereka peroleh dengan teknologi itu perlu didemonstrasikan (Mid-term Review Mission, 1997).

Demonstrasi merupakan cara alih teknologi yang baik bagi petani dengan latar belakang pengetahuan yang terbatas. Sebagai contoh YPMD (Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa) di Sentani, Jayapura, membeli lahan seluas 10 ha dan mengelolanya dengan tenaga upahan dari masyarakat setempat. pemilikan itu membuat YPMD bebas mendemonstrasikan cara mengelola lahan sebagai kebun buah-buahan, sayuran, dan rempah-rempah. Dalam jangka panjang dengan melihat langsung keuntungan kebun seperti itu, masyarakat setempat diharapkan akan termotivasi meniru. Keterampilan yang diperlukan masyarakat akan telah dialihkan karena sejak awal mereka ikut menangani kebun milik yayasan.

Kunjungan ke petani yang telah berhasil di daerah lain merupakan pendekatan alih teknologi yang juga efektif, bila ditangani dengan benar. Program ini sudah diusahakan Dinas Perkebunan dengan pengiriman sejumlah petani kakao kooperator ke Jember. Palopo, Sulawesi Selatan. Dimasa mendatang, kunjungan boleh jadi cukup efektif bila dilakukan antar kabupaten atau antar kecamatan. Program semacam itu menjadi lebih efektif bila sepulang dari kunjungan, petani yang bersangkutan, mampu mengajak petani-petani  lain di desanya untuk meningkatkan produktifitas.

Pesan melalui berbagai media (foto, slide, video) oleh petani, pemuka adat, pemuka agama selayaknya tidak hanya menunjukan cara menetapkan teknologi yang sedang dialihkan, tetapi juga memotivasi, memberi alasan kepada petani untuk menerapkan teknologi yang akan dikembangkan. Pesan selayaknya, dengan cara yang dapat diterima dan dimengerti petani, juga menunjukkan indikasi kesejahteraan petani di tempat yang lain yang sudah menerapkan teknologi tersebut.

Karakteristik dan Budaya Petani

Budaya dan teknologi baru saling mempengaruhi. Penggeseran budaya dapat membuat suatu teknologi baru menjadi lebih sesuai, sementara teknologi baru yang sesuai dapat menggeser budaya. Penggeseran budaya melalui atau untuk teknologi baru sepantasnya merupakan bagian dari program alih teknologi pertanian bagi masyarakat asli Sorong. Namun penggeseran budaya itu mutlak perlu didasarkan atas pengetahuan dan penguasaan akan budaya yang sedang berlaku.

Pihak yang sangat berkompeten dengan budaya petani asli sekarang ini adalah para petani itu sendiri, pemuka adat, pemuka agama, dan LSM. Karena itu dalam proses alih teknologi, para agen pembangunan selayaknya memandang petani sebagai mitra, sebagai sesama subyek pembangunan. Sekalipun biasanya selalu diabaikan di masa lalu, pengetahuan, keterampilan, dan keinovatifan petani sesungguhnya dapat sangat berguna (Chambers et al. 1989).

Budaya komunal egaliter masih berpengaruh kuat pada kehidupan para petani di desa-desa studi. Sekalipun demikian, berbagai gejala menunjukkan bahwa mereka berpotensi mengembangkan teknologi tradisional dan terbuka pada teknologi introduksi, selama tidak menimbulkan konflik sosial yang berat.Barter merupakan sistem ekonomi yang telah lama ada dalam tradisi petani asli dan memperbesar peluang pengembangan sistem pasar modern yang memacu produktivitas petani melalui alih teknologi.

Koordinasi  Antar Institusi

Untuk keberhasilan alih teknologi pertanian, Badan Litbang Pertanian selayaknya membina kerjasama produktif dengan semua pihak berkompeten. Kerjasama tersebut merupakan aktualisasi konsep partisipatori, yakni pelibatan secara aktif dan proporsional semua pihak yang berkompeten dalam perencanan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Dengan konsep itu, alih teknologi dari agen pembangunan kepada petani tidak lagi dilihat sebagai komponen mandiri dominan, tetapi berpasangan komplementer dengan alih aspirasi dari petani kepada agen pembangunan dalam sistem pembangunan pertanian.

Kerjasama membutuhkan koordinasi atau komunikasi yang efektif. Artinya potensi keberhasilan alih teknologi dapat terwujud karena hanya bila koordinasi atau komunikasi dapat diatasi. Komitment para petugas dalam pembangunan pertanian masyarakat asli Irian Jaya sangat dibutuhkan. Peran dan koordinasi pemerintah daerah dan pusat akan sangat berarti.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

Keberhasilan alih teknologi ditentukan oleh kesesuian antara teknologi, pendekatan alih teknologi, budaya petani, dan lingkungan petani. Penyesuaian keempat faktor itu membutuhkan koordinasi efektif yang saat ini justru bermasalah.

Lemahnya koordinasi antar agen pembangunan dan rendahnya pemahaman para agen pembangunan tentang sosial budaya dan lingkungan petani menyebabkan alih teknologi berjalan lambat.

 

Saran dan Implikasi Kebijakan

Kerjasama, koordinasi dan komunikasi yang efektif perlu ditingkatkan oleh setiap pihak yang terlibat. Kerjasama tersebut merupakan aktualisasi konsep partisipatori, yakni kelibatan secara aktif dan proporsional semua pihak berkompeten dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Dengan konsep itu alih teknologi dari agen pembangunan kepada petani tidak lagi dilihat sebagai komponen mandiri dominan, tetapi berpasangan komplementer dengan alih aspirasi dari petani pada agen pembangunan dalam keseluruhan sistem pembangunan pertanian.

 

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Boelaars, J. 1986. Manusia Irian: dahulu – sekarang – masa depan. Gramedia, Jakarta. P129-53.

Chambers, R. A., Pacey and L.A. Thrupp. 1989. Farmer First: Farmer Innovation and Agricultur Researech. Intermediate Technology, London.

Eilers, F. J. 1992. Comunicating Between Cultures: An Introduktion to Intercultural communication, 2nd (eds). Divine Word, Manila.

Farley,  J. E. 1990. Siciology. Prentice-Hall, Englewood Cliffis, New Jersey.

Gudykunst, W.B. 1991. Bridging Differences: Effective Inter-group Communication. Sage, Newbury Park.

Koentjaraningrat dan D. Ajamesiba. 1994. Reaksi Penduduk Asli Terhadap Pembangunan dan Perubahan. In: Koentjaraningrat (eds), Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta  p.433-52.

Kuntuwijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Light, D.,  S. Keller and C. Calhoun. 1989. Sociology, 5th ed. Knopt; New York.

Mid-term Review Mission. 1997. Darf, Memorandum of Understanding Between Government Agencies and the Asian Development Bank Mid-term Review Mision for Loan No. 1258-INO (SF) Suistainable Agriculture Development Project in Irian Jaya. Jakarta, 3 July.

Wanane, T. K. E. 1991. Makna Kain Timur dalam Kehidupan Masyarakat Tehit di Daerah Kepala Burung Irian Jaya. Skripsi, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cendrawasih, Jayapura.