@2002. Grace A.J Rumagit Posted 17 May 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs-702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng, M.Sc.
ALTERNATIF MODEL PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI
ERA GLOBALISASI
(Suatu Kajian Empiris)
Oleh:
EPN/A546010041
E-mail: grace_ajr@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
Dunia di abad XXI mengalami
berbagai transformasi dalam segala aspek kehidupan manusia, baik sosial,
ekonomi, budaya, politik, pertahanan
dan sebagainya. Proses transformasi tersebut selaras dengan kekuatan yang
mendorong globalisasi, antara lain: (1)
globalisasi dari proses industrialisasi, (2) globalisasi keuangan, komunikasi
dan informasi, (3) globalisasi
kekaryaan, pekerjaan dan migrasi, (4) globalisasi efek polusi biosfir terhadap
kehidupan manusia, (5) globalisasi dari perdagangan persenjataan, dan (6)
globalisasi kebudayaan, konsumsi, dan media massa (Tilaar, 1997).
Dalam konteks
globalisasi sosial ekonomi, cepat atau lambat Indonesia akan diperhadapkan
dengan beberapa agenda global maupun regional, antara lain: (1) General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization
(WTO), Asia Pasific Economic Cooperation(APEC), dan ASEAN Free Trade
Area (AFTA). Dengan demikian bagi kelompok yang optimistik, arus
globalisasi dapat disiasati sebagai peluang untuk melakukan lompatan
tranformatif yang progresif untuk melakukan ekspansi pasar. Sedangkan bagi
kelompok yang pesimistis memandang globalisasi sosial ekonomi sebagai ancaman
dari bangsa lain, atau predator yang akan memangsa mereka yang lemah (Rustiani,
1996).
Mencermati realita perekonomian
Indonesia dalam konteks ekonomi global, Sjahrir (2001) mengemukakan bahwa,
suasana internal dan eksternal ekonomi Indonesia pada saat ini menunjukkan
fenomena yang kurang menggembirakan. Untuk itu Bangsa Indonesia perlu melakukan
prioritas dalam memulihkan ekonomi. Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka
akan menimbulkan berbagai konsekuensi serius, antara lain:
(1)
semakin meningkatnya
harga barang (tingkat inflasi yang tinggi),
(2)
pengangguran yang
semakin membengkak (apalagi pengangguran yang terjadi pada kaum
intelektual),
(3)
kemiskinan struktural
yang semakin memilukan,
(4)
utang yang semakin menggunung baik pada luar negeri maupun dalam negeri,
dan
(5)
pertumbuhan ekonomi
yang semakin rendah. Hal ini akan mempengaruhi
kondisi sosial politik dan semakin rawannya desintegrasi bangsa, serta potensi
konflik atau kerusuhan yang terjadi di tingkat masyarakat lapisan bawah (grass-root) cenderung semakin terbuka.
Selaras dengan pendapat tersebut, maka yang menjadi pertanyaan yang
akan dianalisis dalam tulisan ini, adalah:
(1)
pembangunan ekonomi
yang manakah yang seyogianya menjadi prioritas?, dan
(2)
model pembangunan
ekonomi yang bagaimanakah yang efektif dan strategis untuk digunakan dalam
melakukan pemulihan ekonomi Indonesia sehingga dapat berperan dalam situasi
saling menguntungkan (win-win situation)
dalam persaingan ekonomi global?
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk:
(1)
Menganalsis berbagai realitas pembangunan ekonomi yang
selama ini dilakukan oleh Bangsa Indonesia.
(2)
Menemukan model pembangunan ekonomi alternatif dalam
menghadapi era globalisasi.
Metode
Penulisan
Jenis data yang digunakan untuk
menyusun tulisan ini berasal dari data sekunder (secondary data) yang
diperoleh melalui penelusuran berbagai kepustakaan yang relevan. Selanjutnya, data tersebut disajikan dalam bentuk
deskriptif.
II. REALITAS PEMBANGUNAN EKONOMI
Pembangunan ekonomi yang lebih menekankan
pada pertumbuhan (growth) yang dilaksanakan selama 32 tahun telah menimbulkan
berbagai konsekuensi serius dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya.
Beberapa konsekuensi serius yang
menimbulkan rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia, antara lain:
(1)
Utang
pemerintah yang semakin menggunung, yaitu utang luar negeri sebesar 133 milyar
dollar (sama dengan empat kali lipat lebih dari volume anggaran pendapatan dan
belanja negara setiap tahun, atau 100 persen lebih dari produk domestik
bruto/PDB) dan utang dalam negeri sebesar 600 milyar dollar (Kompas, 11 April
2002).
(2)
Di
kawasan Asia Tenggara, Pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia semakin rendah (3,0
persen), yaitu hanya menempati urutan kedua dari bawah atau setingkat di atas
Thailand (Kompas, 11 April 2002).
(3)
Terjadinya
struktur pasar distortif, seperti: pasar monopoli, oligopoli, kartel, ofensif,
dan sebagainya (Damanhuri, 1996).
(4)
Semakin
meningkatnya harga barang (tingkat inflasi yang tinggi).
(5)
Terjadinya
ketidakseimbangan atau ketimpangan inter-regional, ketimpangan antar perdesaan, dan kawasan perkotaan,
serta eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam di pedesaan sehingga
menimbulkan dampak eksternalitas yang menciptakan biaya sosial yang tinggi.
Dalam tataran realitas sosial
politik, dampak pembangunan ekonomi dapat dicermati dari:
(1)
Munculnya fenomena kekerasan politik untuk
tujuan tertentu, seperti: demonstrasi dengan kekerasan, penculikan,
penyanderaan, perampokan untuk biaya perjuangan politik, intimidasi, adu domba,
pengeboman, menciptakan ketegangan atau kerusuhan untuk destabilisasi situasi,
eksekusi peradilan jalanan oleh kelompok tertentu, dan sebagainya (Kompas, 29 September 2001, hal. 4). Aditjondro (2001)
mengemukakan bahwa, ada lima agenda militer yang melanggengkan kerusuhan,
antara lain: (a) militer ingin membalas oposisi para mahasiswa terhadap
dwifungsi ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi konflik horizontal,
(b) militer ingin memper-tahankan konsep wawasan nusantara, (c) militer ingin
mempertahankan struktur teritorial TNI, khususnya angkatan darat, (d) militer
ingin mempertahankan kepentingan bisnis militer (saat ini bisnis
kawal-mengkawal di Maluku sangat profitable), dan (e) militer ingin
mencegah pemeriksaan dan peradilan para perwira tinggi dan purnawirawan ABRI
yang dituduh terlibat kejahatan korupsi serta penggaran HAM.
(2) Munculnya
kelompok-kelompok pro status quo yang hanya ingin mempertahankan kedudukan atau
vested interested, dengan jalan korupsi, kolusi dan nepotisme, baik di lembaga
eksekutif (pemerintahan), legislatif (MPR/DPR/DPRD), maupun yudikatif. Beberapa
waktu lalu Harian Kompas melansir berita yang bertajuk “Negeri Sarat Korupsi”
(Kompas, hal 8, tanggal 17 September 2001). Disamping ketiga lembaga tersebut,
ternyata praktek korupsi juga turut melanda institusi pendidikan (18,1%),
kesehatan (21,2%) bahkan lembaga keagamaan (27,7%). Menurut Lembaga Transparancy International, Indonesia
termasuk dalam kategori negara terkorup nomor tiga (1999), nomor empat (2000),
dan nomor dua (2001) di dunia.
(3)
Munculnya kelompok-kelompok yang tetap
mencari untung (rent seeking economic activities) dengan berupaya untuk
meminjam dari luar negeri dengan harapan akan mendapatkan “share” tertentu.
Damanhuri (1996) mengutip pendapat Robinson dan Chopponniere, bahwa ada beberapa
kelompok ilmuan di Indonesia yang memberikan pertimbangan terhadap pengambilan
keputusan ekonomi, antara lain: (a) kelompok pertama yaitu kalangan teknokrat
yang duduk di Bappenas dan Departemen Keuangan. Mereka adalah penganut paham
kebebasan pasar yang terkendali. Mereka membenarkan intervensi negara dalam
politik ekonomi untuk memperoleh pertumbuhan dan pemerataan sekaligus (delapan
jalur pemerataan); (b) kelompok kedua, yaitu mereka yang berpusat di CSIS
(aliansi beberapa jenderal dengan sekelompok pemodal swasta besar). Mereka
mendukung bangkitnya proses konglomerasi dan mendambakan semacam timbulnya
Indonesia Incoorporated. Jumlah konglomerat sekitar 200 orang atau sekitar 58
persen yang menguasai GNP Indonesia. Kelompok konglomerat lain yang masih bermasalah
terkait dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yaitu: grup Salim,
Usman Admadjaja, Mohamad “Bob” Hasan, Sjamsul Nursalim, Kaharuddin Ongko, Bank
Modern, bank Hokindo, dan Ibrahim Risjad (Kompas, 7 Maret 2002, p:15); dan (c) kelompok ketiga, yaitu, para insinyur yang
dipimpin oleh H.J. Habibie dan mereka yang ada di Departemen Perindustrian. Mereka menyiapkan indonesia
untuk memasuki high tech dalam abad XXI, serta menjadikan industrialisasi
sebagai “proses yang memimpin”.
Konsekuensi pembangunan ekonomi
dalam aspek sosial budaya dan lingkungan dapat dicermati melalui berbagai
ketimpangan, antara lain:
(1)
Terjadinya
ketimpangan personal, seperti: lunturnya nilai-nilai moral, penggusuran masyarakat secara tidak manusiawi (Kompas 20
Pebruari 1997), kurangnya pengakuan
terhadap hak-hak masyarakat kecil, hilangnya budaya malu atau rasa malu
(Kompas 18 April 2002), dan munculnya rasa prihatian yang mendalam dari
masyarakat terhadap berbagai perilaku yang tidak normatif dari pejabat negara
baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pejabat negara lebih cenderung
untuk memperjuangkan kepentingannya (cf. kenaikan gaji anggota dewan, lebih
suka studi banding, lebih suka membolos dari pada mengikuti rapat, dan
sebagainya). Isu-isu politik seperti Bulog-gate, Brunai-gate, dan gate-gate
lainnya untuk diperjuangkan dari pada: (a) menegakkan supremasi hukum, (b)
menegakkan keadilan dan menghargai hak-hak asasi manusia, (c) memberantas KKN
sampai ke akar-akarnya, (d) melakukan berbagai upaya efisiensi dan komitment
moral untuk mencari solusi terhadap utang luar negeri yang kian menggunung, (e)
mencari solusi terhadap kerusuhan di berbagai daerah yang tak kunjung
berakhir, dan sebagainya.
(2)
Ketimpangan struktural dan relasi kekuasaan, seperti
munculnya kelompok-kelompok tertentu
(“laskar-laskaran”, “forum-foruman”, “pemuda-pemudaan”, dan sebagainya) yang
beratribut tertentu sebagai panggilan moral untuk melegitimasi kegiatannya.
Padahal kegiatan yang dilakukan
sesungguhnya berseberangan dengan hukum positif yang berlaku. Hal ini
nampaknya didisain oleh para elit negara untuk untuk mempertahankan status
quonya. Disisi lain, munculnya pula kelompok yang berkuasa (kaum feodalis)
versus kelompok pinggiran (kaum marginal). Semuanya ini menimbulkan ketimpangan
dalam berelasi, atau dalam melakukan hubungan kemitra-setaraan yang pada
akhirnya menimbulkan hubungan eksploitatif (neo-kapitalisme) yang merugikan
kaum lemah. Fenomena ini selaras dengan hasil pooling pendapat yang dilakukan
oleh Kompas (Kompas tanggal 8 Oktober 2001,p: 8), bahwa perlakuan yang diterima
warna negara selama ini 72,7 persen belum adil. Menurut responden tidak ada
satu institusi keadilan di negeri ini yang sudah mempraktekan keadilan bagi
masyarakat. Institusi kehakiman,
kejaksaan dan kepolisian pun belum mencerminkan keadilan (71 persen). Lebih
parah lagi MA yang dipandang sebagai benteng akhir untuk mencari keadilan
ternyata hanya 2/3 persen. Ketidakadilan ini tercermin dalam penuntasan
berbagai kasus yang menyangkut politik, ekonomi, KKN, danpelanggaran HAM.
Hilangnya kewibawaan kaum penegak hukum dalam menerapkan rasa keadilan
masyarakat tampaknya menjadi batu sandungan kian terpuruknya lembaga peradilan di mata publik. Akhirnya
masyarakat (responden) menyakini bahwa hanya 15 persen kebenaran hukum yang
masih dipegang oleh penegak hukum.
(3)
Ketimpangan
relasi manusia dengan alam terlihat dari tindakan manusia yang bersifat
eksploitatif (penebangan liar, pembakaran hutan, pengrusakan terumbu karang,
mangrove, menggunakan teknologi produksi maupun pascapanen yang tidak ramah
lingkungan, dan sebagainya) terhadap lingkungan hidup sehingga terjadi
ketidakseimbangan ekosistem. Hal ini dapat ditelusuri dengan adanya berbagai
bencana alam seperti: banjir yang menggenangi Jakarta beberapa waktu lalu,
menurunnya hasil produksi (kasus beras yang masih di Impor), dan indikasi
terjadinya rawan pangan di beberapa daerah, khususnya di Jawa Barat.
Mencermati berbagai perilaku aparatur negara yang tidak normatif
(tidak sesuai dengan sistem nilai, etika, moral, dan ajaran agama) sebagai
konsekuensi logis yang ditimbulkan melalui pembangunan ekonomi, maka dapat
disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan dalam penggunaan berbagai
sumberdaya dan ketidaktenteraman dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan telah menghasilkan
pembangunan bangsa yang tak bermartabat, bangsa yang berhutang, bangsa yang
tidak menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di atas segala-galanya. Padahal pembangunan itu pada hakekatnya
adalah:
(1)
Untuk
meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat, seperti: pendapatan, pendidikan,
pangan, konsumsi, dan kesehatan.
(2) Untuk menumbuhkan harga diri masyarakat, harkat dan martabat dan
saling menghormati/menghargai.
(3) Untuk memperluas dan meningkatkan pilihan-pilihan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan nyata mereka.
(4) Untuk meningkatkan pencapaian nilai budaya mereka.
Deskripsi tersebut merupakan paradoksnya pembangunan ekonomi yang
dilakukan selama ini. Robert Rotberg, Direktur program konflik John F. Kennedy School
of Government, mengemukakan bahwa Indonesia akan selamat dan terlindung
dari bahaya menjadi negara-negara yang gagal, apabila negeri ini
memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner (Kompas, 28 Maret 2002). Selaras
dengan pendapat tersebut dan menyadari akan berbagai kekurangan/kelemahan serta
mengantisipasi berbagai peluang dan ancaman yang akan terjadi dalam konteks
global, maka diperlukan suatu upaya menemukan alternatif model pembangunan
ekonomi Indonesia sebagai jawaban dari berbagai kekurangan tersebut.
III.ALTERNATIF MODEL PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Anwar (2002) mengemukakan bahwa, kebijaksanaaan yang
menyangkut pembangunan di masa lalu sampai sekarang dianggap hampir identik dengan pemusatan perhatian kepada
kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi
nasional yang menekankan pada akumulasi kapital fisik (physical capital)
yang bersifat sentralistik dan mengabaikan keterkaitannya dengan
kapital-kapital yang lain, seperti: (1) kapital alami (natural capital),
(2) kapital manusia (human capital) dan (3) kapital sosial (social
capital). Ketidakseimbangan antar kapital tersebut telah melahirkan
multikrisis dalam pembangunan selama ini. Untuk itu perlu dilakukan analisis
terhadap faktor penentu keberhasilan pembangunan. Berdasarkan hasil dianalsis sederhana melalui diagram tulang ikan
(fish bone diagram) ditemukan bahwa, ternyata kapital sosial (social
capital) yang merupakan faktor penentu krusial dalam menentukan keberhasilan
pembangunan, disamping ketiga kapital lainnya (Gambar 1)
Teknologi tdk ramah lingk Zero sum-game
Eksploitasi Tidak Jujur Selfselfish
Stock Terbatas Moral Hazard
Banjir/bencana alam Kurang kolaboratif KKN merajalela
Sosial
trust yang rendah Komitmen rendah
Ketimpangan
Pengetahuan yang rendah Etos kerja rendah
Utang menumpuk
Dana terbatas Kemiskinan
Keterampilan manajerial rdh Fasilitas terbatas
Gambar 1. Analisis
Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Pembangunan Ekonomi
Berdasarkan
hasil analisis tersebut, maka pendekatan model alternatifi pembangunan ekonomi
Indonesia dapat dilakukan melalui dua strategi, yaitu:
(1)
revitalisasi usaha
mikro/kecil dan menengah, dan
(2)
Reaktualisasi pembangunan sosial seiring
pembangunan ekonomi.
(1)
Revitalisasi usaha mikro, kecil dan menengah
Usaha mikro adalah usaha yang jumlah
asetnya kurang dari Rp 2 juta dan jumlah omset perhari kurang dari Rp 500 ribu.
Usaha kecil/menengah adalah usaha yang kepemilikan kekayaannya paling besar
Rp 200 juta dan memiliki omset
tahunan sampai Rp 10 milyar
(Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dan menengah). Pada tahun
2000, jumlah lembaga keuangan mikro (LKM) yang mendampingi pengusaha mikro
berjumlah 53.644 LKM dan LKM non bank
sekitar 42.186 unit (Chotim dan Handayani, 2001). Jumlah
usaha kecil dan menengah pada tahun 2001, masing-masing 40.137.773 dan 57.743
unit, sedangkan usaha besar masing-masing 2.005 dan 2.095 unit (Kompas, 6 Maret
2002, p: 15). Dari segi jumlah penyerapan
tenaga kerja dan kontribusi tenaga kerja disajikan dalam Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Laju Penyerapan
Tenaga Kerja Usaha Kecil, Menengah dan Besar,
Tahun 1997-2001
Jenis Usaha |
Tahun |
Laju Pertumbuan |
||||
1997 |
1998 |
1999 |
2000 |
2001 |
||
Kecil |
57.482.688 |
57.341.962 |
59.939.760 |
63.501.890 |
65.246.294 |
3.22 |
Menengah |
7.726.268 |
6.971.611 |
7.230.084 |
7.630.398 |
7.993.499 |
0.85 |
Besar |
392.635 |
364.493 |
366.478 |
368.413 |
406.215 |
0.85 |
Total |
65.601.591 |
64.678.006 |
67.536.322 |
71.518.701 |
73.646.008 |
2.93 |
Sumber: Kompas, 6 Maret 2002.
Tabel 2. Kontribusi
Penyerapan Tenaga Kerja Oleh Usaha Kecil, Menengah dan Besar,
Tahun 1997-2001
Jenis Usaha |
Tahun |
Laju Pertumbuhan |
||||
1997 |
1998 |
1999 |
2000 |
2001 |
||
Kecil |
87.62 |
88.60 |
88.75 |
88.79 |
88.59 |
0.28% |
Menengah |
11.78 |
10.78 |
10.71 |
10.67 |
10.85 |
-2.02% |
Besar |
0.6 |
0.56 |
0.54 |
0.54 |
0.55 |
-2.02% |
Total |
100 |
100 |
100 |
100 |
100 |
0.00% |
Sumber:
Kompas, 6 Maret 2002.
Data
tersebut menunjukkan bahwa, secara kuantitatif bangsa Indonesia memiliki
kekuatan atau potensi usaha mikro, kecil dan menengah yang sangat signifikan. Potensi
usaha mikro, kecil dan menengah
jumlahnya sangat banyak, distribusi cukup luas dan memiliki keunggulan
komparatif dalam penyerapan dan kontribusi tenaga kerja dibandingkan usaha
besar. Usaha mikro, kecil dan menengah lebih dikenal dengan sebutan ekonomi
kerakyatan (ekora), yaitu ekonomi yang terdiri dari sejumlah usaha kecil,
dengan orientasi usaha masih sekitar pemenuhan kebutuhan subsistensi, dikelola
oleh rakyat, modal dan akumulasinya terbatas, teknologi dan majemen
tradisional, padat karya dan output produksi diperuntukan lagi bagi rakyat (Rustiani, 1996). Ekora memiliki sejumlah keunggulan, antara lain: (a)
sebagai penyedia barang-barang murah untuk keluarga, (b) efisiensi dan
fleksibilitas usaha yang tinggi, (c) sumber penghasil wirausaha baru, (d)
semangat berusaha yang tinggi, (d) profitabilitas yang tinggi, dan (e)
kemampuan pengembalian pinjaman yang tinggi. Sedangkan kelemahannya terletak
pada kemampuan manajerial yang rendah, teknologi bersifat tradisional, dan
modal yang terbatas.
Mengacu
pada keunggulan tersebut dan mempertimbangkan berbagai kelemahan yang dimiliki
oleh usaha besar (penyerapan dan kontribusi tenaga kerja relatif kecil,
terkonsentrasi pada kelompok/orang dekat dengan sumber kekuasaan, tingkat
kemacetan pinjaman yang tinggi, moral hazard yang tinggi, tidak tahan terhadap guncangan global, dan
sebagainya) maka diperlukan upaya revitalisasi pembangunan ekonomi Indonesia
yang berbasis ekonomi kerakyatan (community based economic development)
untuk memantapkan fundamental ekonomi Indonesia. Pilihan pada ekora sangat strategis karena secara empiris telah
teruji selama masa krisis multidimensional dan sebagai instrumen pemerataan
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Reaktualisasi Pembangunan Sosial Seiring Pembangunan Ekonomi
Strategi ini dilakukan untuk mereduksi
berbagai ketimpangan yang terjadi, khususnya ketimpangan personal berbagai stakeholders
pembangunan melalui reaktualisasi modal
sosial secara sinergis dan simultan dengan modal fisik, modal manusia dan modal
alamiah. Dasar rasionalitas dari strategi ini, mengacu pada perilaku yang tidak
normatif yang dimainkan oleh stakeholders pembangunan Indonesia.
Realitas tersebut merupakan konsekuensi dari minimnya modal sosial yang
dimiliki mereka. Menurut Uphoff (1999), ciri-ciri orang yang memiliki modal
sosial yang minim dan yang banyak (maksimal) seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri-Ciri Manusia Berdasarkan Kadar Modal
Sosial
No. |
Kadar Modal sosial |
|
Rendah (Minimized) |
Tinggi
(Maximized) |
|
1. |
Self-interest |
Kommitmen pada kesejahetraan bersama |
2. |
Self-aggrandizement |
Altruism |
3. |
Selfisness |
Self-sacrifice |
4. |
Autonomy |
Merger of individual interest |
5. |
Zero Sum-Game |
Positive Sum-Games |
6. |
Interdependent yang berfokus pada kepentingan
diri |
Positively Interdependent |
Sumber:
Uphoff (Dasgupra dan Seregeldin, 1999)
Mencermati
realitas tersebut dan mengacu pada Konsep Rothman (1984), maka disusun tiga model
intervensi, antara lain:
(a) Model Social Action
Model social
action menekankan pada gerakan pembangunan sosial yang dilakukan secara
partisipatif (collective action). Pembangunan dilakukan sebagai gerakan moral
yang lebih mengutamakan pembangunan modal sosial, seperti: kepatuhan pada
sistem norma (norms), tata nilai (values), sikap (attitudes), keyakinan (beliefs), budaya
bernegara (civic culture), saling percaya (social-trust),
solidaritas dalam bekerjasama (solidarity cooperation), perilaku dalam
bekerjasama (cooperative behavior), peran dan aturan main (roles and
rules), jaringan kerja (networks), hubungan interpersonal (interpersonal
relationship), tata cara dan keteladanan (procedures and precedents),
organisasi sosial (social organization), keterkaitan horizontal dan
vertikal (horizontal and vertical linkages).
Secara
kuantitatif, proporsi modal sosial yang diintervensi dalam pembangunan ekonomi
relatif lebih banyak (kurang lebih 75 persen) dibandingkan ketiga modal yang
lain (manusia, alamiah dan fisik). Dengan demikian model ini lebih dikenal
dengan pembangunan ekonomi berbasis pembangunan sosial.
(b) Model Social Policy
Model social
policy lebih menekankan pada perombakan kebijakan yang mengakibatkan
terjadinya ketimpangan relasi kekuasaan, upaya deregulasi atau diciptakannya
regulasi baru untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia, hak-hak kepemilikan, atau hak-hak masyarakat sipil.
Dalam konteks
pemberdayaan ekonomi kerakyatan, diperlukan beberapa upaya advokasi untuk
mengubah kebijakan dalam sistem agribisnis, antara lain: (1) subsistem agronomi
(sarana produksi), (2) subsistem usaha tani/produksi (lokasi, pemilihan
komoditas, pola usahatani, teknologi
yang digunakan, (3) subsistem
agroindustri/pengolahan hasil (sarana dan prasarana usaha), (4) subsistem
pemasaran (harga, produk, market intelligence) dan (5) subsistem
penunjang (perbankan/kredit, tataniaga, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan dan penyuluhan/pendampingan usaha (Padmowihardjo, 1995).
Upaya adokasi
kebijakan terhadap penguasa dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan
agen pembangunan (Gambar 2)
Gambar 2. Upaya Advokasi Kebijakan Melalui “Agen
Pembangunan”
Untuk mengubah kebijakan
yang saling menguntungkan, maka diperlukan Intervensi modal sosial yang masih
relatif tinggi (kurang lebih 50 persen) antara pelaku ekora dengan pembuat
kebijakan. Model ini lebih dikenal dengan pembangunan ekonomi yang ditunjang
oleh pembangunan sosial.
(c) Model Sustainable
Model
berkesinambungan (sustainable) menekankan pada intervensi modal sosial, modal manusia, modal fisik dan
modal alamiah (environment) secara sinergis dan berimbang dalam
pembangunan ekonomi. Model ini lebih dikenal dengan pembangunan ekonomi seiring
dengan pembangunan sosial (Kartasasmita, 1996), atau model pembangunan yang
mandiri (Hettne, 2001), atau pembangunan berkelanjutan karena semua faktor
produksi (total factors productivity) digunakan secara berimbang (Anwar,
2002).
Hubungan antara ketiga model tersebut ditampilkan pada
Gambar 3.
HC SC (75%) SC HC(25%) SC HC
(50%) NC
NC
PC NC PC
PC
Keterangan : SC = Social Capital; HC =
Human Capital; NC = Natural Capital; PC = Physical Capital
Gambar 3. Hubungan
Keterkaitan Antara Ketiga Model Intervensi Pembangunan Ekonomi
Pembangunan
ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan Indonesia selama
ini, secara empiris telah menghasilkan multikrisis yang berkepanjangan,
khususnya terjadinya ketimpangan personal (disamping ketimpangan struktural dan
ketimpangan relasi kekuasaan) pada berbagai stakeholders pembangunan.
Mencermati
realitas tersebut, maka dirasa perlu untuk memberikan pemikiran kritis sebagai
wujud kepedulian sekaligus keprihatinan melalui upaya kajian model alternatif
pembangunan ekonomi Indonesia, dalam menghadapi era globalisasi yang mau tidak
mau ataupun siap tidak siap harus dijalani. Dengan demikian agar dapat bersaing
dibutuhkan kesiapan dan kemandirian bangsa yang perlu dimulai dari kesiapan dan
kemandirian secara individu.
Berdasarkan penjelasan di atas maka paling
tidak, ada dua strategi yang seyogianya dalam implementasinya dapat
dikombinasikan, yakni: pertama, revitalisasi usaha mikro, kecil dan menengah
(UKM) atau pemberdayaan ekonomi kerakyatan atau pembangunan ekonomi berbasis
masyarakat (community based ecenomic development). Kedua, reaktualisasi
pembangunan sosial seiring pembangunan ekonomi. Diharapkan melalui kedua
strategi tersebut, maka pada gilirannya akan tercapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi disertai pemerataan yang berkeadilan sosial, bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang berkesinambungan walaupun disadari
bahwa semua upaya untuk perbaikan dan kemajuan membutuhkan pengorbanan, seperti
satu ungkapan: “there are no such things as free
for lunches”.
Aditjondro, G.J., 2001. Ketika Semerbak
Cengkih Tergusur Asap Mesiu: Tragedi Kemanusiaan Maluku di Balik Konspirasi
Militer, Kapitalis Birokrat, dan
Kepentingan Elit Politik. Tapak Ambon. Jakarta.
Anwar, A., 2002. Makalah
Pada Seminar Sehari Tentang Kebijakan Pengawasan Baitul Maal Wat Tanwil dari
Lembaga Keuangan Mikro, Jakarta.
Chotim, E.E. dan Handayani,
A.D., 2001. Lembaga Keuangan Mikro Dalam Sejarah.Jurnal
Analsis Sosial, Nolume 6, Nomor 3 Desember.
Damanhuri, D.S., 1996. Ekonomi Politik Alternatif. Agenda Revormasi Abad
21. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kartasasmita, G., 1996.
Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.
Kompas, 20 Perbruari 1997
______, 17 September 2001
______, 29 September 2001
______, 6 Maret 2002
______, 7 Maret 2002
______, 28 Maret 2002
______, 11 April 2002
Padmowihardjo, 1995. materi
Pokok LUHT 4446/2SKS/Modul 1-6. Masalah Khuus. Universitas
Terbuka
Rothman, J., 1984. Approaches
to Community Intervention dalam Strategies of Community Intervention.
Columbia University Press.
Rustiani, F. F. (Ed), 1996.
Prosiding Dialog Nasional dan Lokakarya Pengembangan Ekonomi Rakyat Dalam Era
Globalisasi: Masalah, Peluang dan Strategi Praktis. Yayasan Akatiga dan Yapika.
Sjahrir, 2001. Kompas Tanggal 29 Oktober Halaman 15.
Tilaar, H.A.R, 1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia Dalam Era
Globalisasi. Gramedia, Widiasara Indonesia, Jakarta.
Uphoff, N., dalam
Dasgupta, P. dan Seregeldin, I., 1999. Sosial
Capital. A Multifaceted Perspective. The World Bank. Washington, D.C.