© 2002 Fahruddin Posted
17 May 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
PEMANFAATAN, ANCAMAN, DAN ISU-ISU
Oleh:
Fahruddin
NRP:C226010061
E-mail : f_udin@yahoo.com
Indonesia mempunyai perairan laut
yang lebih luas dari pada daratan, oleh
karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan
berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman
jasad– jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di
laut yang saling berkesinambungan
(Nybakken 1988).
Pada
tahun belakangan ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan
munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan.
Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif
baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi
maupun kawasan rekreasi atau
pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan
manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa datang.
Salah
satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun
mempunyai bebrapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan
produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber
makanan penting bagi banyak organisme. Menurut
Nybakken (1988), biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 g
bahan kering/m2, sedangkan produktifitasnya adalah 700 g karbon/m2/hari.
Oleh sebab itu padang lamun merupakan
lingkungan laut dengan produktifitas tinggi.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi
sangat berbeda dengan rumput laut (algae)
(Wood et al. 1969; Thomlinson 1974;
Askab 1999). Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub.
Lebih dari 52 jenis lamun yang telah ditemukan. Di Indonesia hanya terdapat 7
genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk
ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35 jenis )
dan Potamogetonaceae (3 marga, 15
jenis). Jenis yang membentuk komunitas
padang lamun tunggal, antara lain : Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae
serulata, dan Thallasiadendron
ciliatum Dari beberpa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum mempunyai
sebaran yang terbatas, sedangkan Halophila
spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya, Belitung dan
Lombok. Begitu pula Halophila decipiens
baru ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun Aru (Den Hartog,
1970; Askab, 1999; Bengen 2001).
Menurut Nontji (1987), lamun hidup di
perairan dangkal yang agak berpasir sering dijumpai di terumbu karang, lamun
umumnya membentuk padang yang luas di dasar laut yang masih dapat di jangkau
oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Padang lamun merupakan
ekosistem yang sangat tinggi produktifitas organiknya. Ke dalam air dan
pengaruh pasang surut serta struktur substrat mempengaruhi zona sebagian jenis
lamun dan bentuk pertumbuhannya.
Hampir semua tipe substrat dapat
ditumbuhi lamun, mulai substrat yang berlumpur sampai berbatu. Namun padang
lamun yang khas lebih sering ditemukan
di substrat lumpur berpasir yang tebal
antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Padang lamun merupakan
ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota
yang cukup tinggi. Pada ekosistem, ini hidup beraneka ragam biota laut seperti
ikan, krustasea, moluska ( Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), Ekinodermata
( Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Lamun, merupakan bagian dari
beberapa ekosistem dari wilayah pesisir dan lautan perlu dilestarikan,
memberikan kontribusi pada peningkatan hasil perikanan dan pada sektor lainya
seperti pariwisata. Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian khusus seperti
halnya ekosistem lainnya dalam wilayah pesisir untuk mempertahankan
kelestariannya melalui pengelolaan secara terpadu. Secara langsung dan tidak
langsung memberikan manfaat untuk meningkatkan perekonomian terutama bagi
penduduk di wilayah pesisir.
Mengingat
pentingnya peranan lamun bagi ekosistem di laut dan semakin besarnya tekanan
ganguan baik oleh ketifitas manusia maupun akibat alami, maka perlu diupayakan usaha pelestarian lamun melalui
pengelolaan yang baik pada ekosistem
padang lamun.
Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. Hewan yang hidup pada padang lamun ada berbagai penghuni tetap ada pula yang bersifat sebagai pengunjung. Hewan yang datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah atau
mengasuh anaknya seperti ikan.
Selain itu, ada pula hewan yang datang
mencari makan seperti sapi laut (dugong-dugong)
dan penyu (turtle) yang makan lamun Syriungodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii (Nontji, 1987).
Di daerah padang lamun, organisme melimpah, karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari predator dan kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber bahan makanan baik daunnya mapupun epifit atau detritus. Jenis-jenis polichaeta dan hewan–hewan nekton juga banyak didapatkan pada padang lamun. Lamun juga merupakan komunitas yang sangat produktif sehingga jenis-jenis ikan dan fauna invertebrata melimpah di perairan ini. Lamun juga memproduksi sejumlah besar bahan bahan organik sebagai substrat untuk algae, epifit, mikroflora dan fauna.
Pada padang lamun ini
hidup berbagai macam spesies hewan,
yang berassosiasi dengan padang lamun. Di perairan Pabama dilaporkan 96 spesies
hewan yang berassosiasi dengan beberapa
jenis ikan. Di teluk Ambon di temukan 48 famili dan 108 jenis ikan. Di Teluk
Ambon ditemuklan 48 famili dan 108 jenis ikan adalah sebagai penghuni lamun,
sedangkan di Kepulauan Seribu sebelah utara Jakarta di temukan 78 jenis ikan
yang berassosiasi dengan padang lamun. Selain ikan, sapi laut dan penyu serta
banyak hewan invertebrata yang
berassosiasi dengan padang lamun, seperti: Pinna sp, beberapa Gastropoda,
Lambis, Strombus, teripang, bintang laut, beberapa jenis cacing laut dan
udang (Peneus doratum) yang ditemukan
di Florida selatan (Nybakken, 1988)
Apabila air sedang surut
rendah sekali atau surut purnama, sebagian padang lamun akan tersembul keluar
dari air terutama bila komponen utamanya adalah Enhalus acoroides, sehingga burung-burung berdatangan mencari
makann di padang lamun ini (Nontji, 1987).
Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:
Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer
tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal
seperti ekosistem terumbu karang
(Thayer et al. 1975).
Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan–ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres, 1977).
Daun
lamun yang lebat akan memperlambat air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi
tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat
menguatkan dan menstabilkan dasar
permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat
mencegah erosi ( Gingsburg & Lowestan 1958).
Lamun memegang peranan penting
dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan
laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Sedangkan menurut Philips & Menez
(1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif.
ekosistem lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain:
1
Menstabilkan
dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui I tekanan–tekanan dari arus dan gelombang.
2
Daun-daun
memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi.
3
Memberikan
perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang
lamun.
4
Daun–daun
sangat membantu organisme-organisme epifit.
5
Mempunyai
produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
6
Menfiksasi
karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
Selanjutnya
dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupuin secara
modern.
Secara tradisional lamun
telah dimanfaatkan untuk :
1
Digunakan
untuk kompos dan pupuk
2
Cerutu
dan mainan anak-anak
3
Dianyam
menjadi keranjang
4
Tumpukan
untuk pematang
6
Ada
yang dimakan
7
Dibuat
jaring ikan
Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1
Penyaring
limbah
2
Stabilizator
pantai
3
Bahan
untuk pabrik kertas
4 Makanan
5 Obat-obatan
6
Sumber
bahan kimia.
Lamun
kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat bagi berbagai jenis
hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat gerakan air. bahkan ada
jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan
ekosistem lain seperti ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara
ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam
menjalankan fungsi ekologisnya.
Ekosistem padamg lamun memiliki atribut ekologi yang penting yang berhubungan
dengan sifat fisika, kimia dan proses biologi antar ekosistem di wilayah
pesisir dan proses keterkaitan ke tiga ekosistem ini dijelaskan pada gambar 1.
Gambar 1. Model interaksi tiga ekosistem utama di
wilayah pesisir yaitu: ekosistem
mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Bengen, 2001)
Serasah
yang dihasilkan oleh lamun (gambar 2) merupakan sumber makanan bagi kehidupan berbagai komunitas organisme
di ekosistem padang lamun seperti komunitas Crustacea,
ikan – ikan kecil, udang batu dan ikan
besar, salah satu jenis ikan yang ketergantungan cukup tinggi dengan lamun
adalah dugong dan penyu hijau. Lamun
dapat memproduksi 65-85 % bahan organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan keperairan
adalah sebanayak 10-20% (Keough, et al.
1995)
Ekosistem padang lamun yang memiliki produktivitas
yang tinggi, memiliki peranan dalam
sestem rantai makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic dari detritus yang dihasilkan dan serta
lamun mempunyai hubungan ekologis dengan ikan melalui rantai makanan dari produksi biomasanya seperti yang
diisajikan pada gambar 2.
Gambar 3. Aliran energi pada aktivitas makan
populasi Siganus canaliculatus di
Teluk Bay, Philipina
Keterkaitan lamun dengan ikan Siganus
canaliculatus (gambar 3) menjelaskan tentang peranan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, dalam hal ini
lamun di lingkungan pesisir dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangan plankton yaitu : mensuplai
makanan dan zat hara ke ekosistem perairan, membentuk sedimen dan berinteraksi
dengan terumbu karang, memberikan tempat untuk berassosiasinya berbagai flora
dan fauna dan mengatur pertukaran air(
Fortes 1989).
3
Ancaman pada ekosistem lamun
Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman
0,5-10 m. Namun sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lebih
banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah ugahari (Barber, 1985). Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu
komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan
tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang
sabagai suatu ekosistem, dalam hal ini hubungan hewan dan tumbuhan tadi
dipandang sebagai suatu proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh-pengaruh
interaktif dari faktor-faktor biologis, fisika, kimiawi. Ekosistem padang lamun
pada daerah tropik dapat menempati berbagai habitat, dalam hal ini status
nutrien yang diperlukan sangat berpengaruh. Lamun dapat hidup mulai dari rendah
nutrien dan melimpah pada habitat yang tinggi nutrien.
Lamun
pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai
kaitan dengan habitat dimana banyak lamun (Thalassia)
adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Menurut Haruna (Sangaji, 1994) juga
mendapatkan Enhalus acoroides dominan
hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir sedikit berlumpur dan
kadang-kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang
yang telah mati.
Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak
terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelansungan hidupnya baik
berupa ancaman alami
maupun ancaman dari aktivitas manusia.
Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh
aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam termasuk di Indonesia baik secara
alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya pengaruh terhadap integritas
sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui, namun dapat dipandang
di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang meyediakan lebih dari
60% protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan masyarakat pantai,
sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan pemeliharaanya.
Selain itu
kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak
terkontrol (Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman
alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di
Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interaksi
populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan
kemungkinan hama dan penyakit,
vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Diantara hewan invertebrata, bulu
babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya
setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi
kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila
air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih
dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat
bertahan hidup (Sangaji, 1994).
Limbah
pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur,
lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempunyai
pengaruh yang merusak lamun. Di
tempat hilangnya padang lamun, perubahan
yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:
1
Reduksi
detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring
makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2
Perubahan
dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat
planktonik.
3
Perubahan
dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.
4
Hilangnya
struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul
Banyak kegiatan atau proses
dari alam maupun aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan hidup ekosistem
lamun seperti berikut :
Dampak kegiatan manusia pada ekosistem padang lamun
(Bengen, 2001)
Kegiatan |
Dampak
Potensial |
·
Pengerukan
dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan areal estate pinggir laut,
pelabuhan, industri, saluran navigasi ·
Pencemaran
limbah industri terutama logam berat, dan senyawa organolokrin ·
Pembuangan
sampah organik ·
Pencemaran
limbah pertanian ·
Pencemaran
minyak |
·
Perusakan
total padang lamun ·
Perusakan
habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan ·
Dampak
sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya
insan hewan air. ·
Terjadinya
akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification ·
Penurunan
kandungan oksigen terlarut ·
Dapat
tmerjadi eutrofikasi yang engakibatkan blooming perifiton
yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat
menghalangi cahaya matahari ·
Pencemaran
pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun ·
Pencemar
pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi. ·
Lapisamn
minyak pada daun lamun dapat menghalangi proses fotosintesis |
Selain beberapa ancaman tersebut,
kondisi lingkungan pertumbuhan juga
mempengaruhi kelangsungan hidup suatu jenis lamun, seperti yang dinyatakan
oleh Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengontrol
produktifitas lamun pada air adalah
sekitar 20 sampai dengan 300C
untuk jenis lamun Thalassia testudinum
dan sekitar 300C untuk Syringodium filiforme. Intensitas
cahaya untuk laju fotosintesis lamun
menunjukkan peningkatan dengan
meningkatnya suhu dari 290C sampai 350C untuk Zostera marina, 300C untuk Cymidoceae nodosa dan 25-300C untuk Posidonia oceanica.
Kondisi ekosistem padang lamun di perarain pesisir Indonesia sekitar 30-40%. Di pesisir pulau
Jawa kondisi ekosistem padang lamun
telah mengalami gangguan yang cukup serius
akibat pembuangan limbah indusri
dan pertumbuhan penduduk dan
diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan
pulau Lombok ganguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah
berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan sepsiens lamun (Fortes, 1989).
Selanjutnya
dijelaskan oleh Fortes (1989) bahwa
rekolonialisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi
membutuhkan waktu antara 5-15 tahun dan
biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di
daerah tropis berkisar 22800-684.000 US
$/ha. Oleh karena itu aktiviras pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat memenimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang
mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu: aspek kelestarian lingkungan, aspek
ekonomi dan aspek sosial.
Ancaman
kerusakan ekosistem padang lamun di perairan pesisir berasal dari aktivitas
masyarakat dalam mengeksploatasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan
menggunakan potassium sianida, sabit dan gareng serta pembuangan limbah
industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal
ini Fauzi (2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akifitas
masyarakat terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat
digunakan dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen
universal dalam mengevaluasi dampak
lingkungan akibat aktivitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi
dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari
sumber daya alam.
4 Isu-isu pengelolaan
padang lamun
Permasalahan dan isu pengelolaan sumber
daya pesisir dan lautan dalam hal ini ekosistem padang lamun, secara umum
sedang dihadapi di Indonesia, bahkan juga sama dengan yang terjadi di beberapa
negara berkembang lainnya. Walaupun dalam skala mikro bisa jadi tidak terlalu
persis karena perbedaan sosial ekonomi dan budaya. Karena itu, isu persoalan seperti kemiskinan, konflik
interes antar lembaga, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan,
pencemaran laut dan pesisir, keterbatasan dana pengelolaan merupakan persoalan
yang sedang dihadapi. (PKSPL, 1999).
Disadari bahwa padang lamun memberikan
banyak manfaat bagi manusia. Dengan demikian, mempertahankan areal-areal padang
lamun, termasuk tumbuhan dan hewannya, sangat penting untuk pembangunan ekonomi
dan sosial. Namun, akhir-akhir ini, tekanan penduduk semakin meningkat akan
sumberdaya laut menjadi faktor utama dalam perubahan lingkungan ekosistem di
laut.
Yang menjadi kelemahan adalah bahwa
selama ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa areal pesisir mutlak
merupakan milik umum yang sangat luas yang dapat mengakomodasi segala bentuk
kepentingan termasuk kegiatan yang berbahaya sekalipun. Ini suatu
kelemahan cara berpikir dan
pengetahuan yang dapat mengancam
keberlangsungan sumber daya pesisir dan laut salah satunya adalah ekosistem
padang lamun. Meskipun telah banyak produk hukum yang jelas–jelas mengatur
bahwa tidak ada satu orang ataupun kelompok yang dapat semena-mena memanfaatkan dan mengelola kawasan pesisir ini, tetapi penegakkannya melalui
pengenaan sanksi yang tegas dan transparan
belum berjalan sebagaimana mestinya.
Meskipun
beberapa areal ekosistem pesisir termasuk areal padang lamun di Indonesia telah
dimasukan ke dalam suatu kawasan lindung, namun pada kenyataan di lapangan
menunjukkan banyak diantaranya yang masih mendapat tekanan yang cukup berarti.
Sebagai upaya pemecahan, kini pihak pemerintah dalam hal ini Departemen
Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan instansi terkait
lainnya berusaha
mengembangkan pendekatan terpadu yang
melibatkan berbagai pihak, yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
atau Integrated Coastal Management
(ICM).
Pengeloaan
pesisir secara terpadu memerlukan
justifikasi yang bersifat komprehensip dari subsistem-subsistem yang
terlibat di dalamnya. misalnya implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi
dan sosial budaya dalam perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial.
Pada lingkunag pesisir, memiliki kendala
khusus dalam melihat implikasi dari suatu strategi pengelolaan, hal ini
disebabkan karena adanya bermacam-macam aktivitas dan kelompok masyarakat
sebagai pengguna, seperti rencana pengelolaan
yang dibuat oleh pemerintah sering tidak dapat mencakup semua
kepentingan masayarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam sebagai open
acces resources (Raharjo, 1996)
Namun yang paling penting
dalam pengelolaan ekosistem di dalam wilayah pesisir harus diingat, bahwa suatu
ekosistem di wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa
ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara
sosioal-ekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung
pada aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat
setempat. Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan
sumber daya ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara
terpadu memiliki pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut
dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan
tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek
sosial-ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan
dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Pelestarian
ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk
dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif
terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan.
Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai
kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan
manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap
sumberdaya alam diberikan porsi yang
lebih besar.
Dengan
demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal
padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem
pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya
sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
Salah
satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam
konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah
pengelolaan berbasis masyakaratak (Community
Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan
langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan.. Dalam
konteks ini pula perlu diperhatikan
mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering
dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir
adalah dekstrusi masayakarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu,
dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya
adalah untuk mangurangi tekanan
terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.
5
Penutup
Sebagai sumber daya pesisir,
ekosistem padang lamun memiliki multi fungsi untuk menunjang sistem kehidupan
dan berperan penting dalam dinamika pesisir dan laut, terutama perikanan pantai
sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem lamun merupakan salah satu
alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut.
Ekosistem
lamun sangat terkait dengan ekosistem di dalam wilayah pesisir seperti
mangrove, terumbu karang, estauria dan ekosistem lainya dalam menunjang
keberadaan biota terutama pada perikanan serta beberapa aspek lain seperti
fungsi fisik dan sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan keberadaan ekosistem lamun
adalah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ekosistem sekitarnya,
bahkan sangat dipengaruhi aktifitas darat. Namun, akhir-akhir ini kondisi
padang lamun semakin menyusut oleh
adanya kerusakan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia.
Sebagai upaya konservasi dan kelestariannya dalam rangka tetap mempertahankan lingkungan dan penggunaan yang berkelanjutan, maka dikembangkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak untuk membuat solusi tepat dalam mempertahankan fungsi ekologis dari ekosistem yaitu pengelolaan pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Management (ICM)
DAFTAR ACUAN
Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan terumbu di
Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya,
Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai
Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari
Teluk Kuta, Lombok.Dalam:P3O-LIPI,
Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Balitbang
Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.
Azkab,M.H. 1999. Pedoman
Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Barber,
B.J.1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf productivity
of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany 22:61-69.
Bengen,D.G.
2001. Sinopsis ekosistem dan
sumberdaya alam pesisir. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Den Hartog,C.1970. The seagrasses of the world. Dalam: Azkab,M.H.
1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Fauzi, A. 2000. Persepsi terhadap
nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Makalah
Pelatihan untuk Pelatih, 13-18
November 2000. Bogor.
Fortes,M.D. 1989. Seagrasses: a resource unknow in the Asean region. Iccarm Education, Manila, Pihilippines.
Hutomo,M.1977. Teluk Jakarta: Sumberdaya, sifat-sifat oseanologis serta
permasalahannya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta.
Kikuchi,T. anfd J.M. Peres.
1977. Consumer ecology of seagraa beds.
Dalam: Azkab,M.H.
1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis.
Gramedia, Jakarta.
Philips,C.R. and E.G. Menez.
1988. Seagrass. Smith Sonian. Institutions Press. WashingtonD.C.
PKSPL(Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan).1999. Perumusan
kebijakan pengelolaan hayati laut
Sulawesi Selatan. Proyek kerjasama BAPEDAL dengan Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Raharjo,Y.1996.
Community based management di wilayah
pesisir. Pelatihan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pusat Kajian
Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Sangaji,
F.1994. Pengaruh sedimen dasar terhadap penyebaran, kepadatan, keanekaragaman,
dan pertumbuhan padang lamun di laut sekitar pulau Barang Lompo. Thesis, Pasacasarjana, Universitas
hasanuddin. Ujung Pandang.
Thayer, G.W., S.M.Adams and
M.W. Lacroix 1975. Structural and functional aspects of recently establilized Zostera marina community: Dalam: Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Thomlinsom,P.B. 1974. Vegetative morphology and meristem
dependence-the foundation
of productivity in seagrass. dalam
Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.
Wood, E.J.,W.E. Odum and
J.C. Ziemn 1969. Influence of seagrass on
productivity of
coastal
lagoons. Dalam: Azkab,M.H. 1999.
Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.