© 2002 Endi
Setiadi Kartamihardja Posted: 18 April
2002
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
PEMBUKAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH:
MEGA
PROYEK PEMUSNAHAN SUMBER DAYA PERIKANAN?
Oleh:
Endi Setiadi Kartamihardja
E-mail: esetiadik@netscape.net
Luas lahan rawa di Kalimantan Tengah
diperkirakan 4,3 juta ha yang terdiri dari 0,7 juta ha rawa pasang surut dan
3,6 juta ha rawa non pasang surut. Lokasi lahan rawa tersebut berada diantara
Sampit-Palangkaraya ke arah timur hulu Sungai Kapuas dan termasuk kedalam
Kabupaten Kapuas, Barito Selatan dan sebagian kecil Kotamadya Palangkaraya.
Tanah dilokasi ini merupakan lahan rawa yang didominasi gambut dengan ketebalan
0,5-2 m dan tanah sulfat masam.
Pembukaan lahan rawa yang ditujukan
untuk pengembangan budidaya pertanian khususnya pencetakan sawah melalui Proyek
Pembukaan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah telah
dikerjakan secara bertahap mulai 4 Januari 1996. Pencetakan persawahan dalam
satu hamparan tersebut dimulai dengan pembuatan jaringan irigasi yang memotong
atau menghubungkan sungai utama yakni Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
anak-anak sungainya. Sampai saat ini Proyek PLG telah berhasil mencetak sekitar
30.000 ha lahan sawah dan nampaknya sejak tahun 1999 proyek PLG tersebut
dihentikan sejalan dengan terjadinya reformasi di segala bidang.
Pembangunan pertanian dan
pedesaan yang lestari (sustainable agricultural
and rural development) di definisikan sebagai “pengelolaan dan
konservasi berbasis sumber daya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan
sedemikian rupa untuk menjamin pencapaian dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
secara berlanjut untuk generasi kini dan mendatang” (FAO, 1997). Definisi tersebut mengandung pengertian
bagaimana seharusnya suatu pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan secara
bijak sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi generasi sekarang
dan mendatang dengan tetap memelihara kelestariannya.
Setiap pembangunan akan menimbulkan
perubahan termasuk pembukaan lahan sawah satu juta hektar. Perubahan tersebut dapat berdampak negatif
ataupun positif, namun demikian dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu
proyek harus dikurangi menjadi sekecil mungkin sedangkan dampak positifnya
perlu dikembangkan secara optimal. Dalam kaitannya dengan pembukaan lahan sawah
satu juta hektar, sumber daya perikanan merupakan bagian integral yang tidak
terpisahkan dari ekosistem rawa. Oleh karena itu, dampak negatif dan masalah
yang timbul, khususnya dalam pengembangan dan pelestarian sumber daya perikanan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembukaan lahan gambut tersebut.
Makalah ini menyoroti sebagian dampak
negatif yang ditimbulkan dari Proyek PLG terhadap sumber daya perikanan air
tawar, khususnya di Kabupaten Kapuas sebagai salah satu contoh kurang bijaknya
pemanfaatan sumber daya lahan rawa dan belum mengacu kepada prinsip pembangunan
sumber daya alam yang berkelanjutan. Data dan fakta yang dikemukakan dalam
tulisan ini merupakan data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan
yang dilakukan di Kabupaten Kapuas sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000.
Sumber Daya Lahan Perairan
Perairan umum tawar di Kalimantan
Tengah yang tercatat seluas 2.267.800 ha terdiri dari perairan danau seluas
132.800 ha, sungai 323.500 ha dan rawa 1.811.500 ha. Lahan perairan tawar
tersebut merupakan daerah kedua terbesar (14,9% dari luas daratan Kalimantan
Tengah) setelah wilayah hutan rimba. Dari luasan lahan rawa lebak 3,6 juta ha
yang terdapat di Kalimantan Tengah, sekitar 1,8 juta ha atau sekitar 50% dari
lahan rawa lebak tersebut merupakan lahan rawa yang digunakan untuk usaha
perikanan. Di Kabupaten Kapuas, luas perairan umum yang digunakan untuk usaha
perikanan adalah 574.724 ha (Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas, 1996) atau
sekitar 25% dari luas total perairan umum di Kalimantan Tengah. Dengan
demikian, dilihat dari tipe dan tata guna lahan tersebut, sektor perikanan
khususnya perikanan air tawar dapat dijadikan sebagai penunjang utama ekonomi
daerah melalui pemanfaatan potensi lahan perairan umum yang tersedia.
Perairan umum di Kalimantan mempunyai
keanekaragaman jenis ikan yang tertinggi di Indonesia. Di perairan tersebut
telah berhasil diidentifikasi tidak kurang dari 394 jenis ikan yang sebagian
besar dari padanya termasuk kedalam ordo Ostariophysi dan Labyrinthici
(Kottelat et al., 1993). Sedangkan di
perairan tawar Kalimantan Tengah, diperkirakan terdapat tidak kurang dari 100
jenis ikan yang didominasi oleh jenis ikan gabus (Channa spp), sepat (Trichogaster
spp), jelawat (Leptobarbus hoeveni),
kelabau (Osteochilus spp), pipih (Notopterus spp), patin (Pangasius spp), betutu (Oxyeleotris marmorata), pepuyu (Anabas testudineus), baung (Mystus nemurus) dan lele (Clarias spp)
(Hamid, 1982). Jenis ikan tersebut sebagian besar termasuk ikan penghuni rawa
yang bernilai ekonomis penting. Ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa
ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi hutan rawa
disekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke hutan rawa tersebut dan
memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran
anakan ikan (nursery ground) (Welcomme, 1985).
Selama kurun waktu 15 tahun
(1980–1995) sampai dengan sebelum Proyek PLG dilaksanakan, produksi ikan
perairan umum di Kalimantan Tengah tercatat antara 53.584-42.090 ton. Produksi
ikan tersebut mengalami stagnasi bahkan sedikit menurun, namun demikian
produksi ikan perairan umum masih sedikit lebih tinggi dari produksi perikanan
laut yang tercatat sebesar 41.683 ton. Dari produksi ikan tersebut sekitar 45%
berasal dari perairan sungai, 46% dari perairan rawa dan 9% dari perairan
danau (Ditjenkan, 1996). Produksi ikan ini menunjukkan penurunan dari 51.574
ton pada tahun 1979 menjadi 42.090 ton pada tahun 1994. Namun demikian,
produksi ikan perairan umum masih lebih besar dari produksi perikanan laut yang
hanya 41.683 ton sehingga perikanan perairan umum memegang peranan penting
dalam kontribusinya terhadap produksi total ikan di Kalimantan Tengah.
Pada tahun 1994 jumlah nelayan
perairan umum Kalimantan Tengah adalah 51.657 orang terdiri dari 10.242
orang nelayan penuh, 33.516 orang nelayan sambilan utama dan sisanya
sebanyak 7.899 orang adalah nelayan sambilan tambahan (Ditjenkan, 1996).
Nelayan ini umumnya merupakan penduduk asli yang sebagian dari padanya
mengusahakan beje dan tatah (Gambar 1). Beje adalah sumur yang digali di daerah
rawa banjiran yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengumpulkan ikan untuk
kemudian ditangkapi. Sedangkan tatah adalah parit yang dibuat untuk
menghubungkan beje atau rawa dengan sungai besar dengan ukuran lebar 1-2 m,
kedalaman 1 m dan panjang beberapa kilometer.
Terhadap Habitat dan Kualitas
Perairan
Pembuatan saluran irigasi/drainasi yang memotong atau
menghubungkan antara Sungai Kapuas dan Barito serta anak-anak sungainya telah
berakibat terhadap berubahnya pola tata air, dan kualitasnya. Pembuatan saluran
tersebut telah membongkar lapisan gambut sehingga timbul senyawa firit yang
bersifat racun terhadap ikan serta menyebabkan penurunan pH perairan. Keadaan
ini telah terbukti dengan terjadinya kematian ikan secara masal dan terjadinya
perbedaan yang mencolok antara tingkat keasaman air di saluran irigasi (pH
berkisar antara 3,5-4), dengan tingkat keasaman perairan sungainya (pH berkisar
antara 5,5-6,5). Hartoto et al.
(1997) menyatakan bahwa kematian ikan secara masal yang terjadi di Sungai
Mengkatip dan anak-anak sungai Barito disebabkan oleh penurunan pH perairan
akibat dari pematusan air melalui kanal-kanal yang digali. Lapisan gambut yang
tergali menjadi terekpos sehingga menghasilkan senyawa firit yang beracun bagi
ikan.
Pembuatan saluran drainasi juga telah merubah pola tata air
dimana lahan rawa menjadi kering sehingga beje yang pada musim hujan tergenang
air sudah tidak tergenang seperti biasanya sebagai akibatnya ikan yang
berkumpul di beje tidak ada lagi.
Pembukaan lahan gambut juga telah
berakibat terhadap pengurangan lahan perikanan. Hal ini terbukti dari hilang
dan keringnya beje dan tatah di beberapa desa seperti di Desa Dadahup sebanyak
1.739 beje dan di desa Terantang, Lamunti sebanyak 100 beje (Kartamihardja et al., 1998). Sebelum proyek PLG
dilaksanakan, produksi ikan dari beje dan tatah tersebut berkisar antara
500-2000 kg/beje per tahun dengan total produksi diperkirakan sekitar 2000 ton
per tahun atau senilai 10 milyar rupiah dengan rata-rata harga ikan Rp.
5000/kg. Setelah proyek PLG dilaksanakan, pada tahun 2000 produksi beje yang
masih tersisa menurun sangat drastis hanya berkisar antara 5–150 kg ikan per
beje atau sekitar 10-20 ton ikan setara dengan 75 juta rupiah saja. Disamping
itu, jenis-jenis ikan yang tertangkappun ukurannya mengecil. Sebagai contoh, sebelum reklamasi lahan rawa, jenis ikan didominasi oleh
ikan gabus (haruan) dan setelah reklamasi didominasi oleh ikan pepuyu. Ukuran
ikan gabus mengalami penurunan dari 0,5–2,5 kg per ekor menjadi 50-200 g per
ekor demikian pula ikan pepuyu dari 50–150 g per ekor menjadi 25–75 g per ekor
(Kartamihardja dan Koeshendrajana, 2001)
Selain masalah berkurangnya lahan
perikanan dan menurunnya hasil tangkapan ikan, masalah yang tidak kalah
pentingnya adalah hilangnya mata pencaharian dan pendapatan nelayan serta
menurunnya keanekaragaman jenis ikan karena habitatnya telah rusak dan hilang.
Mata pencaharian penduduk yang utama di ke dua desa tersebut adalah nelayan dan
petani tanaman “purun” (tumbuhan untuk pembuatan tikar, dsb). Oleh karena itu,
hilangnya mata pencaharian berakibat meningkatnya pengangguran.
Penurunan keanekaragaman jenis ikan
secara ekonomis mungkin sulit untuk dinilai, namun demikian keaneka ragaman
jenis ikan tersebut tentu saja sangat berharga karena tidak dapat dinilai
dengan uang dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan mendatang.
Potensi produksi ikan lestari perairan
rawa di Kalimantan Tengah sebelum proyek PLG dilaksanakan ditaksir sebesar
sebesar 72.460 ton/th (Hamid, 1982) sedangkan setelah 3 tahun proyek PLG
dimulai potensi produksi ikan tersebut menurun tajam menjadi 29.000 ton/th
(Kartamihardja et al.,1998). Dengan
demikian, penurunan potensi produksi tersebut cukup besar yakni sekitar 60%.
Dengan penurunan potensi produksi yang cukup besar tersebut sudah dapat
dipastikan produksi ikannya pun akan menurun pula sesuai dengan penurunan
potensinya. Secara umum, hasil tangkapan ikan di perairan umum, Kabupaten
Kapuas sejak lima tahun terakhir terus menurun dari 8.532,2 ton pada tahun 1996
menjadi 6.453,5 ton pada tahun 2000 atau rata-rata menurun 8,1% per tahun
(Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas, 2000).
Perbaikan sumber daya ikan di perairan yang sudah mengalami
kerusakan tinggi pada hakekatnya sangat sulit untuk dilakukan. Pemulihan
kembali sumber daya perikanan yang rusak akan memerlukan waktu yang lama dan
biaya yang sangat besar. Oleh karena kerusakan ini sekarang telah terjadi, maka
yang dapat dilakukan adalah hanya mengurangi dampak negatif lebih lanjut. Untuk
itu berbagai tindakan yang perlu dilakukan antara lain meliputi:
1. Rehabilitasi
Habitat dan Populasi Ikan serta Pemacuan stok. Upaya yang perlu
dilakukan meliputi rehabilitasi tempat pemijahan (spawning ground) dan
asuhan (nursery ground) ikan serta penebaran kembali (restocking)
dengan jenis ikan yang sudah mulai langka seperti ikan jelawat, baung, udang
galah, patin, dan betutu.
2. Pengembangan
Suaka Perikanan.
Pengembangan suaka perikanan dapat dilakukan dengan menetapkan beberapa
badan air atau danau-danau kecil yang masih mempunyai keanekaragaman jenis ikan
yang tinggi. Suaka perikanan tersebut akan
berfungsi sebagai penyangga bagi pelestarian produksi dan keanekaragaman jenis
ikan (Kartamihardja et al.,1995)
dengan cara memasok benih ikan secara
alami dan melindungi induk ikan dan jenis-jenis ikan lainnya terutama pada
musim kemarau dimana sebagian besar daerah rawa banjiran kering.
3. Pengembangan
Pembenihan dan Budidaya Ikan Lokal. Upaya pembenihan ikan
diprioritaskan terhadap jenis ikan lokal yang sudah mulai langka dan mempunyai
nilai ekonomis tinggi, seperti patin, jelawat, betutu, pepuyu, baung. Benih
yang dihasilkan dari pembenihan tersebut dapat digunakan untuk pengembangan
budidaya maupun penebaran kembali (restocking) di perairan dimana
populasi jenis ikan tersebut sudah mulai langka.
4. Pengembangan
pengelolaan bersama sumber daya perikanan. Agar kelestarian sumber
daya ikan terjamin dan masyarakat merasa memiliki, maka pengelolaannya harus
digali dari tujuan dan kemauan masyarakat setempat. Dalam hal ini masyarakat
diberi wewenang penuh untuk mengelola sumber daya ikan berdasarkan kesepakatan
bersama antara pemerintah dan pengguna perairan (stake holders) lainnya. Peranan Pemerintah dalam hal ini
adalah sebagai fasilitator dan pelayanan IPTEK yang diperlukan dalam
pengembangan perikanan.
Tindakan perbaikan tersebut tentu saja harus didukung oleh
semua pihak, terutama pihak pelaksana proyek PLG. Dalam pembangunan sumber daya
perikanan sesuai dengan “Code of conduct for responsible fisheries” yang
dikeluarkan FAO dikenal dengan “user pays principle” atau “asas
pemanfaat membayar”. Dalam hal ini disebutkan bahwa para pemanfaat air/perairan
dan daerah aliran harus meminimumkan setiap efek yang merusak dan menyumbang
pada pengurangan setiap dampak dari kegiatan mereka dan merehabilitasi
sistem-sistem tersebut bilamana keperluan mereka sudah berhenti. Disamping itu,
dalam pemanfaatan sumber daya air/perairan juga dikenal “the polluter-pays
principle” atau “asas pencemar membayar” yang mengandung pengertian bahwa
yang mencemarkan harus menanggung pengeluaran menyangkut penyelenggaraan
langkah-langkah untuk menjamin bahwa lingkungan berada dalam keadaan yang bisa
diterima. Dengan perkataan lain, biaya dari langkah-langkah ini haruslah
dicerminkan dalam biaya dari barang dan jasa yang menyebabkan pencemaran dalam
produksi dan atau konsumsi. Asas ini merupakan asas fundamental menyangkut
pengalokasian biaya-biaya pencegahan pencemaran dan langkah-langkah
pengendalian yang diintroduksikan oleh otoritas-otoritas publik.
·
Pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang ditujukan
untuk menyediakan lahan pengembangan pertanian telah berdampak negatif terhadap
sumber daya perikanan setempat yang meliputi: kerusakan habitat dan penurunan
kualitas perairan; penurunan keanekaragaman jenis ikan; penurunan produksi ikan
dan gangguan keamanan pelestariannya.
·
Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak tersebut
antara lain: rehabilitasi habitat dan
populasi ikan, pengkayaan stok (stock enhancement) ikan, pengembangan
suaka perikanan, domestikasi jenis-jenis ikan lokal ekonomis tinggi dan langka
serta pengembangan budidayanya, dan pengembangan pengelolaan bersama (co-management)
sumber daya perikanan.
·
Pemanfaatan sumber daya (dalam hal ini lahan rawa gambut)
yang tidak mengacu pada asas pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan
(mungkin hanya berorientasi proyek atau politis), tanpa kajian yang mendalam
akan dampak yang diperkirakan akan terjadi dan melibatkan berbagai unsur
pemanfaat (stackeholders) telah terbukti menimbulkan berbagai bencana
dan kerusakan sumber daya.
Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas. 2000.
Kumpulan Laporan Tahun 1994-2000. Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Kapuas.
Kalimantan Tengah.
Ditjenkan (Direktorat Jenderal Perikanan). 1996.
Statistik Perikanan 1994. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
FAO. 1997. FAO Technical Guidelines for
Responsible Fisheries. Roma, Italy.
Hamid, A. 1982. Status perikanan perairan umum Kalimantan
Tengah. Prosiding
Seminar Perikanan Perairan Umum. Jakarta, 19-21 Agustus 1991. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Hal. 123-129.
Hartoto, D.I., A.S. Sarnita, D.S. Sjafei, A.
Satya, Y. Syawal, Sulastri, M.M. Kamal, dan Y. Siddik. 1998. Kriteria evaluasi suaka perikanan
perairan darat. Dokumen. Puslitbang Limnologi, LIPI.
51 hal.
Kartamihardja, E.S., W. Ismail, M.
Sri Anggraeni, B. Priono dan N. Listyanto. 1995. Penelitian reservat sumber
daya perikanan di sungai Mahakam, Kalimantan Tiumur. Pros. Seminar Penelitian
Perikanan Perairan Umum th. 1994/1995. Pros. Puslitbangkan/No.35/1995. Badan
Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan. Jakarta.
Kartamihardja, E.S., A. Sudradjat dan S. Jocom.
1998. Identifikasi potensi pengembangan ikan air tawar di Kabupaten Kapuas dan
Program Aksinya. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama antara BAPPEDA D.T.II
Kapuas dengan Badan Litbang Depdagri. Jakarta.
Kartamihardja, E.S. dan S. Koeshendrajana. 2001. Produktivitas
Dan Sosial Ekonomi Perikanan Beje di kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Makalah hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 2000.
(belum dipublikasikan).
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari and
S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi
(Ikan air tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions Ltd.
Indonesia. 293p.
Welcomme, R.L. 1985. River fisheries. FAO Fish. Tech. Pap. (262): 330p.