© 2002 Edwarsyah Posted:
21 June, 2002
Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains
(PPs 702)
Program Pasca Sarjana (S3)
Institut Pertanian Bogor
Juni 2002
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)
PENDEKATAN ECOREGION DALAM PENATAAN RUANG
WILAYAH BERKAWASAN PESISIR
Edwarsyah
C.026014021/SPL
e-mail : edwarsyah_mp@yahoo.com
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai panjang
pantai yang mencapai 81.000 km, merupakan pantai terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada. Hampir seluruh Propinsi yang
ada di Indonesia memiliki wilayah yang terdiri dari kawasan hulu dan
kawasan pesisir. Kedua kawasan tersebut dihubungkan oleh suatu aliran sungai
yang dikenal dengan Daerah Aliran Sungai (DAS). Akan tetapi, antara kawasan
hulu yang diketahui sebagai tempat
awal suplai air sampai ke kawasan pesisir dapat berada pada wilayah propinsi
yang lain. Selama ini dalam kegiatan penataan ruang, batasan perencanaan
wilayah menggunakan batasan administratif.
Sehingga penataan ruang dilakukan tanpa memperhatikan hubungan dengan
wilayah administratif lainnya yang juga dilalui oleh suatu aliran sungai yang
sama. Akibatnya terjadi kerusakan di kawasan pesisir yang tercermin dari
kerusakan habitat, pencemaran, eksploitasi berlebih sumberdaya hayati laut
serta konflik penggunaan ruang yang sebagian besar penyebabnya berasal dari
darat sehingga mencapai 80% (UNEP,1990;Nam,1987)
Makalah ini yang mendasarkan pada penggunaan Simulasi Model Dinamik mencoba membuktikan pentingnya suatu penataan ruang wilayah berkawasan pesisir yang berbasis pada batasan ekosistem (dikenal dengan Ecoregion). Pada berbagai skenario model disimulasikan penataan ruang wilayah berdasarkan pendekatan pembangunan sejak skenario berdasarkan kondisi saat ini ( status quo dengan pendekatan batasan administratif ) sampai dengan scenario yang berdasarkan pada pendekatan pembangunan berkelanjutan ( dengan pendekatan Ecoregion ). Diperoleh hasil bahwa suatu upaya pengelolaan kawasan pesisir perlu dikaitkan dengan komponen wilayah yang lebih luas yang diduga memberikan dampak yang signifikan terhadap kawasan pesisir yaitu suatu DAS melalui penataan ruang terpadu. Selanjutnya diketahui pula faktor faktor berpengaruh yang perlu dipertimbangkan dalam suatu konsep penataan ruang wilayah berkawasan pesisir dengan pendekatan Ecoregion.
Penataan
ruang dikawasan pesisir dengan pola pembangunan yang berwawasan lingkungan
sangat diperlukan oleh generasi masa kini dan masa mendatang, pada kesempatan
ini penulis akan memaparkan Pendekatan Ecoregion Dalam Penataan Ruang Wilayah
Berkawasan Pesisir. Tulisan ini disusun sebagai tugas individu dalam mata
kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS 702).
Tulisan
ini akan memberikan penjelasan tentang Permasalahan kurangnya pemahaman
tentang adanya keterkaitan biofisik dan sosial ekonomi antara wilayah hulu dan
hilir DAS, sehingga menjadi kendala dalam upaya penyelesaian menyeluruh atas
permasalahan lingkungan yang semakin meningkat di kawasan pesisir dan laut.
Hal tersebut menunjukkan semakin pentingnya diberlakukan pergeseran paradigma
pembangunan dari yang semula sektoral atau fragmentatif menjadi holistik
atau integratif .
Permasalahan pembangunan dan
penataan ruang di wilayah pesisir dengan pendekatan dan metodologi pengelolaan
ruang kawasan pesisir dengan model Dinamis. Dipandang dari epistimologi adalah
merumuskan suatu konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu (pendekatan
ecoregion) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Secara
Kausalitas bersifat timbal balik dan
dinamis dari suatu kegiatan pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam dalam
rangka mencapai tujuannya dan berlangsung di atas suatu ekosistem, untuk
kemudian diamati dampaknya terhadap keberlangsungan kemampuan dan fungsi
ekosistem itu sendiri dalam jangka waktu tertentu. Kawasan pesisir perlu dilakukan
pemamfaatan dan perencanaan tata ruang secara berkesinambungan, dipandang dari
ontologi pendekatan pembangunan yang terpilih dikawasan pesisir merupakan
cerminan suatu bangsa, dan dipandang dari aksiologi perencanaan yang berhati
hati dengan selalu mempertimbangkan konsevasi alam.
Tak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.Sc
Pengasuh/Penanggung Jawab mata kuliah Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702)
yang telah memberikan pengetahuan tentang mata kuliah ini.
Akhirnya
saya sebagai penulis membuat semaksimal mungkin yang tersirat dalam tinjauan
isi falsafah sains yang dimaksud. Semoga tulisan ini mempunyai manfaat bagi
yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2002
I PENDAHULUAN
Indonesia
sebagai negara kepulauan memiliki kawasan pesisir
yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu sepanjang 81.000 km
(Tomascik, 1997). Dapat dikatakan hampir setiap propinsi di Indonesia memiliki
kawasan pesisir yang merupakan akses keluar atau masuk, sehingga berfungsi
sebagai sarana penghubung antar pulau dan antar wilayah. Kawasan pesisir
sesungguhnya memiliki fungsi dan peran ekonomi maupun ekologi yang sangat
penting, sehingga terjadinya gangguan atau kerusakan di kawasan pesisir dapat
mengganggu aktivitas dan keberlanjutan pembangunan (Dahuri, 1996 ; Adibroto,
1994 : 11).
Terjadinya kerusakan ekologis kawasan pesisir saat ini disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui aliran sungai pada suatu Daerah Aliran Sungai (selanjutnya ditulis : DAS). DAS merupakan daerah yang menghubungkan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir (UNEP, 1990; Norrena & Wells, 1990 ; Nam, 1987). Fenomena tersebut disebabkan oleh pola pembangunan di masa lalu yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial. Pertimbangan pada faktor lingkungan dan sosial merupakan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma Pembangunan Berkelanjutan.
Sebagai konsekuensi dari negara
kepulauan, kawasan pesisir di Indonesia berkembang menjadi kawasan dengan
pertumbuhan yang cukup pesat, mengingat kawasan pesisir dapat menyediakan ruang
dengan aksesibilitas tinggi dan relatif murah dibandingkan dengan ruang daratan
di atasnya (Bengen, 1999). Oleh karena itu, pesisir menjadi tempat tujuan
pergerakan penduduk. Hampir 60% jumlah penduduk di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makasar menyebar ke daerah pesisir
(Adibroto, 1999 : 125 ; Dahuri, 1996 ; Burbridge, 1988). Dalam kaitan dengan
kemudahan akses dan hubungan antar pulau dan antar wilayah itulah sebagian
besar kota-kota di Indonesia berada di kawasan pesisir.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir
merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
pembangunan di Indonesia yang selanjutnya dijabarkan dalam bentuk perencanaan
wilayah. Oleh karena itu, perencanaan di Indonesia tidak dapat begitu saja
mengadopsi perencanaan wilayah yang berbasis daratan, karena komponen
perencanaan di Indonesia tidak hanya mencakup daratan saja tetapi juga mencakup
wilayah yang membatasinya, yaitu kawasan pesisir, laut dan daerah aliran
sungai.
Selama
ini teori-teori perencanaan yang ada lahir dari para ahli yang berasal dari
negara-negara benua, sehingga teori-teori yang digunakan sangat berorientasi
pada kepentingan benua (daratan). Dengan demikian, diduga belum ada teori perencanaan yang secara eksplisit
menempatkan secara khusus wilayah
pesisir (Kay dan Alder, 1999:63) dan lebih khusus lagi DAS serta kepulauan
dalam konteks perencanaan wilayah. Padahal,
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah pesisir dan lautan yang
selain merupakan medium interaksi antar wilayah juga berfungsi sebagai suatu
sumber daya wilayah (Widiarto, 2000:3). Dapat dikatakan bahwa unsur pesisir dan
DAS tidak dapat dipisahkan dalam konteks perencanaan wilayah secara keseluruhan
dimana kawasan pesisir dan DAS juga merupakan bagian wilayah
yang berperan penting dan strategis,
baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun ekologi.
Dengan
demikian, kegiatan pengelolaan kawasan pesisir tidak dapat
dipisahkan dari pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan permintaan akan
sumber daya air, produksi bahan makanan dari lahan beririgasi, pemakaian bahan
kimia(pupuk, pestisida) dan semakin banyaknya jumlah penduduk di kawasan
pesisir mensyaratkan adanya pendekatan pembangunan yang terpadu sejak hulu hingga
hilir suatu DAS. Permasalahannya adalah kurangnya pemahaman tentang adanya
keterkaitan biofisik dan sosial ekonomi antara wilayah hulu dan hilir DAS,
sehingga menjadi kendala dalam upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan
lingkungan yang semakin meningkat di kawasan pesisir dan laut. Hal tersebut
menunjukkan semakin pentingnya diberlakukan pergeseran paradigma pembangunan
dari yang semula sektoral atau fragmentatif menjadi holistik
atau integratif (Asdak dan Abdullah, 2000 : 21).
Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan Costanza (2000) dan Asdak & Abdullah (2000),
bahwa untuk memecahkan persoalan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir, perlu
dipertimbangkan suatu konsep pembangunan dengan tata ruang sebagai dasar
pelaksanaan pembangunan yang memperhatikan semua aspek yang berkaitan dengan
keberadaan DAS, termasuk perubahan guna lahan di sepanjang DAS sejak hulu
sampai dengan kawasan pesisir. Hal tersebut dikaitkan dengan fakta bahwa dalam
beberapa dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan ke
arah pendekatan ekosistem atau lebih dikenal sebagai konsep pembangunan
berkelanjutan. Untuk suatu wilayah yang memiliki DAS (sebagai suatu wilayah
ekologis) digunakan pendekatan DAS (watershed-based management) yang
mengintegrasikan berbagai skala kegiatan, disiplin maupun sektor pembangunan. Dalam
tahap perencanaan tata ruangnya pendekatan tersebut dikenal sebagai penataan
ruang wilayah ekologis (ecoregion). Perencanaan tata ruang wilayah ekologis
suatu DAS hendaknya menggunakan batasan wilayah perencanaan berupa keseluruhan
wilayah ekologis DAS (bukan batasan administratif) yang akan mengintegrasikan
aspek daratan di hulu (up-land), pesisir dan laut secara simultan
(land-sea interactions).
Tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah merumuskan suatu konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu (pendekatan ecoregion) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang akan dicapai adalah:
1. Identifikasi faktor dan elemen yang mempengaruhi penataan ruang wilayah ekologis suatu DAS terpadu (pendekatan ecoregion) yang sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan.
2. Suatu konsep pendekatan Ecoregion dalam penataan ruang wilayah berkawasan pesisir.
Upaya mencari tujuan dan sasaran pada
makalah ini, disadari merupakan sesuatu yang rumit dan kompleks karena
seperti biasanya pada permasalahan lingkungan perlu untuk memperhatikan
keterkaitan antar berbagai komponen yang terlibat. Maka pendekatan pemecahan
masalah yang digunakan disesuaikan dengan sifat permasalahan yang bersifat
kompleks dan multi skala tersebut dengan menggunakan Model Sistem Dinamik.
Dalam kajian ini fenomena yang teliti merupakan hubungan sebab-akibat yang
bersifat timbal balik dan dinamis dari suatu kegiatan pembangunan yang
memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka mencapai tujuannya dan berlangsung di
atas suatu ekosistem, untuk kemudian diamati dampaknya terhadap keberlangsungan
kemampuan dan fungsi ekosistem itu sendiri dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata
lain model ini dimaksudkan untuk mengamati kegiatan sektor pembangunan
dominan yang meliputi kegiatan permukiman, pertanian dan industri di
sepanjang DAS (dipilih lokasi Way Sekampung di Propinsi Lampung) di sekitar
kawasan hulu sampai dengan hilir (sebagai penyebab) dan total dampaknya
terhadap kawasan pesisir (sebagai akibat). Diambil sebanyak 15 titik sampel
di sepanjang sungai Way Sekampung dan 6 titik sampel di perairan laut muara Way
Sekampung. Pengambilan data di 15 titik sampel tersebut
bertujuan untuk mengetahui kualitas air sungai berdasarkan parameter
pencemaran dan sedimentasi yang meliputi kadar BOD, COD, sianida dan
TSS (total suspended solid). Selanjutnya, disimulasikan
beberapa skenario yang merupakan representasi dari intervensi
kebijakan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi
sebab-akibat kegiatan manusia dengan lingkungan sekitarnya serta interaksi
sebab-akibat perubahan tata guna lahan terhadap pendapatan penduduk di berbagai sektor. Faktor-faktor tersebut digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam penataan ruang wilayah yang berkelanjutan.
Gambar II.1 Interaksi Kegiatan
Manusia dan Dampaknya
Terhadap Kualitas Lingkungan
Ada enam
skenario akan dikembangkan dalam simulasi sebagai berikut :
1.
Skenario 1: skenario yang sesuai dengan
data historis yang ada dan terjadi saat ini, atau biasa disebut kondisi status
quo. Pada skenario ini, pembangunan
belum diintervensi dengan kebijakan apapun. Laju pertumbuhan penggunaan
lahan (berdasarkan data sekunder) adalah permukiman 70 %, pertanian 20 %,
industri 1 %, dan penghijauan 0%.
2. Skenario 2: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan pertanian melalui peningkatan laju pertumbuhan lahan pertanian menjadi 25 % disertai dengan peningkatan kegiatan industri secara moderat menjadi 5%. Pendekatan pembangunan adalah pendekatan sektoral untuk semata kepentingan pertumbuhan ekonomi.
3. Skenario 3: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan industri melalui peningkatan laju pertumbuhan lahan industri yang mencapai 20%, yang disertai dengan menurunnya kegiatan pertanian menjadi 10%. Pendekatan pembangunan dilakukan sektoral untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi.
4. Skenario 4: skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan penghijauan melalui peningkatan laju pertumbuhan penghijauan menjadi 50%, dan pertanian menjadi 30%. Pendekatan pembangunan dilakukan secara sektoral untuk kepentingan ekologis.
5.
Skenario 5: skenario kebijakan menggunakan pendekatan
keterpaduan pembangunan, dimana kegiatan permukiman ditingkatkan melalui
laju pertumbuhan lahan permukiman menjadi 85%, kegiatan pertanian diturunkan
menjadi 15%, industri tetap pada keadaan status
quo, dan kegiatan penghijauan meningkat menjadi 25%. Skenario ini merupakan
upaya menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan kepentingan
ekologi, tanpa persyaratan minimal luas lahan alami.
6. Skenario
6: skenario kebijakan menggunakan pendekatan keterpaduan pembangunan
dengan komposisi perubahan konversi lahan seperti pada skenario 5. Hal penting
yang membedakan dengan skenario 5 adalah adanya persyaratan bahwa konversi
lahan terhadap lahan alami hanya boleh dilaksanakan jika luas lahan
alami telah mencapai 30 % dari luas wilayah DAS. Skenario ini merupakan
upaya menerapkan alokasi ruang untuk kepentingan daya dukung lingkungan yaitu
terjaganya 30 % luas lahan alami.
Gambar
II.2 Diagram Hubungan Sebab Akibat (Causal Loop Diagram)
Model Secara Global
III HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Simulasi dan analisis dilakukan atas enam skenario
untuk mendapatkan faktor dan elemen yang berpengaruh dalam penataan ruang
wilayah berdasarkan variabel penyebab (konversi lahan dalam rangka pelaksanaan
kegiatan pembangunan) dan variabel akibat (dampak yang terlihat pada kualitas
air, dan pendapatan penduduk).
Untuk mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, baku mutu air menjadi standard perbandingan bagi masing-masing zat pencemar (BOD, COD, CN- dan TSS) pada ke 6 skenario.
Terlihat bahwa kondisi
zat pencemar (BOD, COD, CN-, dan TSS) berada diatas standard baku
mutu air pada skenario 1-5, kecuali untuk skenario 6 yang berada dibawah baku
mutu (kecuali untuk zat pencemar COD yang tetap berada dibawah baku mutu). Dari
dampak yang terjadi terhadap kualitas air, maka skenario 6 merupakan skenario yang
terbaik.
Kondisi Konsentrasi Pencemar Pada 6 Skenario
Terhadap B. Mutu Air
Selain kajian pada dampak fisik pada kualitas air sungai, juga dilakukan
kajian pada dampak yang terjadi pada kondisi sosial ekonomi penduduk melalui
nilai pendapatan. Jika melihat dari sisi pendapatan penduduk, maka justru
skenario 6 merupakan yang terendah. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan trade-off
antara kondisi kualitas lingkungan (air sungai) dengan pendapatan penduduk yang
berarti suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut dengan kondisi
kualitas lingkungan yang tetap terpelihara pada suatu masyarakat yang
berkeadilan, maka skenario 6 merupakan skenario terbaik.
Skenario |
Perubahan Pendapatan Total (Rp/orang/tahun) |
Skenario 1 |
21280 |
Skenario 2 |
19750 |
Skenario 3 |
18850 |
Skenario 4 |
140840 |
Skenario 5 |
120820 |
Skenario 6 |
18370 |
Untuk menghitung
trade-off , dilakukan pembobotan sebagai berikut :
|
Nilai
Kualitas Lingkungan |
Nilai
Pendapatan |
Bobot
2:1 |
Skenario
|
|||
Skenario 1 |
4,25 |
4 |
12,5 |
Skenario 2 |
2,25 |
3 |
7,5 |
Skenario 3 |
1,75 |
2 |
5,5 |
Skenario 4 |
3,375 |
6 |
12,75 |
Skenario 5 |
3,375 |
5 |
11,75 |
Skenario 6 |
6 |
1 |
13 |
Pembobotan dilakukan dengan memperhitungkan internalisasi
aspek lingkungan. Nilai tesebut memperlihatkan bahwa nilai suatu produk
harus memperhitungkan nilai sumberdaya alam yang dimanfaatkan terhadap
pendapatan. Oleh karena itu, perbandingan bobot nilai kualitas lingkungan
terhadap nilai pendapatan diasumsikan 2 : 1.
Berkaitan dengan
sasaran penelitian 1, dapat disimpulkan bahwa
terdapat lima faktor berpengaruh yang
perlu dipertimbangkan dalam rangka pendekatan ecoregion.
Pertama, Faktor Ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor penyebab) dan direpresentasikan melalui kebutuhan konversi lahan (permukiman, pertanian dan industri) yang meliputi :
a. Jenis penggunaan lahan; berupa alokasi ruang bagi pemenuhan kebutuhan sektor-sektor pembangunan (permukiman, pertanian dan industri) yang selalu berubah terhadap waktu. Setiap jenis penggunaan lahan tersebut harus dihitung dengan cermat karena berpengaruh terhadap perubahan kadar pencemar baik pada badan sungai maupun di pesisir. Peningkatan setiap sektor pembangunan akan mengakibatkan jenis pencemaran dan kecepatan perubahan yang berbeda, misalnya sektor pertanian meningkatkan kadar BOD.
b.
Intensitas penggunaan lahan ; seberapa besar
intensifnya pemanfaatan ruang bagi suatu sektor pembangunan akan berpengaruh
terhadap perubahan kualitas lingkungan akibat terjadinya limbah
Kedua, Faktor Ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berlangsung diatasnya, yang dihubungkan dengan dampak yang terjadi (faktor akibat), meliputi:
a. Kemampuan badan sungai; berfungsi mengencerkan konsentrasi zat-zat pencemar secara alamiah maupun sebagai tempat suplai air. Kemampuan tersebut dapat terpelihara melalui terjaminnya debit sungai dan kualitas air yang baik.
b. Kemampuan ekosistem pesisir; berfungsi mengolah dan mereduksi zat-zat pencemar yang diterima baik berasal dari kawasan pesisir maupun dari kawasan hulunya.
Ketiga, Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal 30 % dari suatu wilayah merupakan lahan alami, sebelum dapat dilakukan konversi lahan untuk kepentingan sektor-sektor pembangunan. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan daya dukung lingkungan.
Keempat, Faktor Pendekatan Keterpaduan, sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan maka konsep penataan ruang wilayah harus memperhatikan a) integrasi ekosistem darat dengan laut, b) keterpaduan antar sektor pembangunan, c) keterpaduan vertikal (skala lokal, regional dan nasional), serta d) integrasi sains dan manajemen.
Kelima, Faktor Pendapatan Penduduk, dari hasil
simulasi diketahui bahwa setiap skenario pembangunan akan berdampak pada
perubahan pendapatan di berbagai sektor. Hendaknya diupayakan pada setiap
peningkatan pendapatan penduduk, maka kualitas lingkungan tetap terjaga dalam
suatu masyarakat yang berkeadilan. Trade-off pada simulasi diperoleh
pada skenario 6.
Berkaitan
dengan sasaran penelitian 2, dapat
disimpulkan bahwa Konsep Pendekatan Ecoregion harus berisikan upaya mengintegrasikan empat komponen penting yang merupakan satu kesatuan meliputi a) Batasan
wilayah perencanaan : natural domain (bukan batasan administratif) ; b)
Kawasan pesisir sebagai dasar penataan kawasan di hulunya ; c) Pendekatan
Keterpaduan meliputi integrasi ekosistem darat-maritim, integrasi perencanaan
sektoral, integrasi perencanaan vertikal dan integrasi sains dengan manajemen;
dan d) Alokasi ruang proporsional, dimana 30% dari wilayah perencanaan
merupakan lahan alami.
Dengan demikian Konsep Pendekatan Ecoregion
Suatu DAS harus berintikan empat komponen penting yang merupakan suatu
kesatuan (bukan urutan prioritas), yaitu:
a. Batasan Wilayah Perencanaan : natural domain
Batasan perencanaan
berdasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami (natural domain)
dalam penelitian ini : DAS dan bukan pada batasan administratif.
b. Kawasan pesisir sebagai dasar penataan ruang kawasan di hulunya
Kawasan pesisir selalu menerima dampak baik dari
kegiatan di kawasan hulu maupun di kawasan pesisir sendiri, disamping mempunyai
fungsi ekologis tersendiri yang penting dan perlu dijaga kelestarian
fungsi-fungsinya. Untuk itu, bagi suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS yang
terpadu, pertimbangan terhadap keterkaitan fungsional antar kawasan (hulu dan
hilir) dan keunikan karakteristik kawasan pesisir dikaitkan dengan fungsi
ekologisnya merupakan aspek penting untuk tercapainya tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dengan demikian, dalam suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS,
kawasan pesisir harus menjadi dasar penataan ruang di kawasan hulunya.
c. Pendekatan
Keterpaduan ; maka dalam Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus
memperhitungkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
-
Integrasi Ekosistem Terestrial (darat) dengan Maritim (laut) (land-ocean
interaction)
-
Integrasi
perencanaan sektoral (antar sektor-sektor pembangunan)
-
Integrasi
perencanaan secara vertikal (lokal, regional, nasional)
- Integrasi Sains dan Manajemen (perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan akademis sebagai input Kebijakan)
d. Alokasi ruang
yang proporsional ; dihubungkan dengan fungsi kapasitas asimilasi
lingkungan dan Daya Dukung Lingkungan. Pada Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan secara cermat fungsi
kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan melalui keserasian pola
pemanfaatan ruang antara a) kawasan budidaya, b) kawasan penyangga, dan c)
kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah preservasi yang harus
dialokasikan dalam suatu wilayah perencanaan minimal mencapai 30 % berupa lahan
alami atau hutan (dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau hutan wisata)
untuk tercapainya keseimbangan antara wilayah terbangun dengan wilayah alami.
Sehingga alokasi ruang dalam kegiatan penataan ruang tidak hanya menata
berbagai kegiatan pembangunan secara spasial yang dikaitkan dengan kesesuaian
lahan saja, tapi juga memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang terjadi
akibat pembangunan terhadap lingkungan agar dampak negatif dapat dihindari
dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
3.2 Kesimpulan
Karena pendekatan Ecoregion dalam suatu kegiatan perencanaan wilayah ini merupakan suatu pendekatan baru yang disesuaikan dengan kaidah pembangunan berkelanjutan, maka kesimpulan dibagi dalam empat bagian.
1. Teori perencanaan selalu mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Secara singkat, teori perencanaan konvensional yang berorientasi pada tujuan peningkatan kesejahteraan ekonomi mengalami pergeseran yang mengacu pada paradigma baru pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan esensi pembangunan berkelanjutan yang pada dasarnya menginternalisasikan aspek lingkungan ke dalam perencanaan kegiatan pembangunan, maka sebagai salah satu tools pelaksanaan pembangunan dikembangkan Pendekatan Perencanaan Wilayah Berkelanjutan yang diwujudkan dengan Konsep Pendekatan Ecoregion. Salah satu ciri utama Pendekatan ini adalah batasan perencanaannya disesuaikan dengan batasan ekologis yang mengikuti kesamaan karakteristik alamiah (natural phenomenon, dan tidak lagi mengikuti batasan administratif) atau biasa disebut dengan ecoregion.
2. Hasil Kajian tentang DAS dan Karakteristik Khusus Kawasan Pesisir
a. Setiap bagian suatu DAS mempunyai fungsi dan karakteristik tertentu.
b. Adanya hubungan erat antara perubahan tata guna lahan di sepanjang sungai terhadap perubahan kualitas air sungai dalam bentuk pencemaran dan sedimentasi.
Konsep perencanaan
kawasan pesisir yang sejak dekade yang lalu banyak dikembangkan baik di
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang memandang kawasan pesisir
sebagai suatu kawasan yang memiliki fungsi dan keunikan karakteristik tertentu.
Telah diketahui pula kawasan pesisir dan daratan di atasnya (kawasan hulu)
mempunyai hubungan yang erat berdasarkan proses hidrologis darat-laut melalui
aliran sungai yang bermuara ke pesisir. Dalam rangka perencanaan dan
pengelolaan kawasan pesisir, perlu pendekatan keterpaduan perencanaan dengan
kawasan di hulunya agar kegiatan manusia di kawasan hulu tidak berdampak
negatif terhadap kawasan pesisir dalam
bentuk Konsep Pendekatan Ecoregion.
3.
Melalui studi ini juga diketahui bahwa pendekatan
keterpaduan pembangunan yang merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan
berkelanjutan ternyata tidak cukup untuk dapat mempertahankan fungsi dan
kemampuan lingkungan yang dibuktikan pada skenario 5 dengan masih tingginya
angka pencemaran (berada diatas baku mutu lingkungan). Prasyarat keberhasilan pembangunan berkelanjutan perlu
dilengkapi dengan prasyarat dipenuhinya alokasi ruang proporsional khususnya
untuk kawasan lahan alami sebesar 30 % dari luas wilayah perencanaan. Hal
tersebut dibuktikan pada skenario 6, sehingga pada skenario tersebut kualitas
lingkungan tetap terjaga dengan baik sedangkan tujuan kegiatan-kegiatan
pembangunan dapat tercapai melalui pendekatan keterpaduan. Juga terungkap
perlunya dipertimbangkan penggunaan bantuan teknologi dalam mengolah limbah
an-organik (yang tidak dapat terurai
secara alamiah).
4. Pendekatan Ecoregion harus dapat mengintegrasikan kajian-kajian biologis untuk mengetahui kemampuan ekologis suatu wilayah dalam menerima dan mengolah limbah. Untuk itu diperlukan integrasi ilmu pengetahuan (sains) dalam hal pengelolaan lingkungan untuk memperkaya pemahaman akan karakteristik suatu jenis ekosistem menjadi suatu hal penting. Dalam konteks tersebut dapat dipahami bahwa batasan perencanaan wilayah perlu dirubah dari batas administratif menjadi batas natural domain. Khusus untuk suatu batas perencanaan wilayah DAS, akibat sifat aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir sehingga kawasan pesisir selalu menerima dampak dari hulu dan pentingnya fungsi ekonomi dan ekologi kawasan tersebut, maka kawasan pesisir hendaknya menjadi dasar bagi penataan ruang kawasan di hulunya.
IV DAFTAR
PUSTAKA
A.1. Pembangunan Berkelanjutan dan
Penataan Ruang Wilayah
1.
Adibroto, T.A.,
1994a : Managing
the Indonesia Marine and Coastal Environment : The
Role of Monitoring Activities ;
Proceeding no. 979 8465 07 5 pada Workshop on Technology Application on
Marine Environmental Monitoring, Forecasting and Information System :
Institutional Framework and Project Benefits, 17 November 1994, Jakarta,
Indonesia.
2. Dahuri R dan Ginting S.P., 2000 : Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ; makalah pada Linggarjati Environmental Meeting, 9-13 November 2000.
3. UNEP, 1995 : Meeting of Government designated Experts to Review and Revice a Global Program of Action to Protect the Marine Environment from Land-based Activities, Reykjavik, 6-10 Maret 1995 (UNEP/ICL/IG/1/2).
4. Widiarto, 2000 : Perencanaan Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Lautan Dalam Kesatuan Tata Ruang Regional ; makalah disampaikan pada Temu Pakar Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Ruang, Ditjen P3K, DKP, Jakarta 10 Oktober 2000.
A.2 Berkaitan dengan Pengembangan Daerah Aliran
Sungai
5. Asdak C., 2001 : Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Waduk dan Danau ; Journal Ekologi dan Pembangunan 5, 5-17 ; Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan LP-UNPAD, Bandung.
A.3 Berkaitan dengan Pengembangan Kawasan Pesisir
6. Adibroto, T.A., 1999 : The Role of Seawatch Indonesia in Supporting Policy for The Coastal Management in Indonesia ; Proceeding in International Seminar on Application of Seawatch Indonesia Information System for Indonesia Marine Resources Development, March 10 11, 1999, Jakarta, Indonesia (ISBN 979 8465 19 9)
7. Burbridge, D.R (Eds), 1998 : Coastal Zone Management is the Strait of Malacca, Proceedings of Symposium on Environmental Research and Coastal Zone Management is the Strait of Malacca in 1995, Medan, Indonesia.
8.
Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P. (Eds), 1996 : Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu ; PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, Indonesia.
9. Kay, R dan Alder, J., 1999 : Coastal Planning and Management, E & FN SPON, London dan New York.
10. Ministry of State for Environment, 1995 : ADB Report : Coastal Environment Management Planning, Vol. 1, Indonesia.
11. UNEP, 1990 : GESAMP, The State of the Marine Environment. UNEP Regional Seas Report 115, 111 pp, UN Environmental Program, Nairobi.
A.4. Metodologi Pemecahan Masalah
12. Costanza R (Eds), 1991 : Ecological Economics ; The Science and Management of Sustainability, Columbia University Press, New York, USA.
13. Forrester J.W, 1961 : Industrial Dynamics, Productivity Press, Oregon, USA.