Kerang M.
meretrix biasanya dapat dengan mudah dipanen petani, hanya menggunakan tangan
pada saat air surut. Di Thailand kerang
ini dapat dipanen satu ton per hari dari suatu kawasan saja (Nugranad dkk.,
2000), sedangkan di Vietnam hasil tangkapan di satu area mencapai 30.000 ton
per tahun (Nguyen, 2000). Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia, seperti di kawasan Panimbang, Propinsi Banten,
pemanenan dapat berlangsung sepanjang tahun dan diambil semua ukuran. Di wilayah ini diperkirakan telah terjadi
pengambilan yang berlebihan (overexploitation) sehingga menimbulkan
penurunan yang drastis terhadap populasinya dari tahun ke tahun. Berbagai langkah ke depan diperlukan untuk
melindungi jenis ini sehingga dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Salah satu usaha yang mungkin dilakukan
adalah pembudidayaan di alam dengan pengadaan benih di hatchery.
Beberapa
pertimbangan-pertimbangan ekonomi kenapa sektor budidaya kerang mesti
dikembangkan di Indonesia adalah, pertama, tingginya potensi sektor ini bila
dilihat dari sudut penawaran (supply) dan sudut permintaan (demand).
Dari sudut penawaran, Indonesia dengan garis pantai 81.000 km menyediakan
bermacam-macam ekosistem yang menyimpan sumber kekayaan laut yang besar dan
belum dimanfaatkan dengan optimal untuk pembudidayaan. Sementara itu dari sudut
permintaan, semakin tingginya kebutuhan terhadap produk-produk perikanan dan
kelautan seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya
kesehatan dan kecerdasan. Kedua,
sumberdaya yang dimanfaatkan untuk kegiatan ini adalah yang dapat diperbaharui
(renewable resources) sehingga akan mampu bertahan dalam waktu yang lama
asal dikelola dengan baik. Ketiga, kegiatan ini diyakini akan mampu menyerap
tenaga kerja dan dapat terkait dengan kegiatan (industri) lainnya. Keempat, kegiatan budidaya kerang ini juga
mempunyai andil dalam peningkatan devisa negara, walaupun selama ini yang lebih
menonjol baru budidaya kerang mutiara (pearl oyster).
Menurut Dahuri
(2002), pada masa mendatang upaya
peningkatan kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional akan banyak bertumpu
pada usaha budidaya. Untuk itu
diperlukan pengembangan, penyempurnaan dan diversifikasi usaha budidaya melalui
peningkatan kemampuan teknologi budidaya yang antara lain mencakup pemilihan
induk, pemijahan, pemeliharaan larva, pembesaran, manajemen kualitas air,
nutrisi dan pakan, genetika (breeding) dan manajemen kesehatan. Masih rendahnya produktivitas budidaya
perikanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan teknologi
budidaya ini.
Tulisan ini
khusus untuk memberikan informasi mengenai status pembudidayaan kerang M.
meretrix di Indonesia dan kemungkinan pengembangannya di masa yang akan
datang. Berbagai tinjauan diberikan antara lain informasi tempat pembudidayaan
yang potensial, faktor lingkungan yang
diperlukan, penyediaan benih, makanan,
hama dan penyakit, serta
manajemen dan perlindungan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan
untuk perikanan Indonesia, terutama kerang-kerangan sehingga di masa yang akan
datang mempunyai prospek lebih baik dan dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.
Beberapa faktor fisika-kimia lingkungan
seperti suhu, kedalaman, kecepatan arus, oksigen terlarut, salinitas, pH dan
tekstur substrat perairan terlihat mempengaruhi kelimpahan M. meretrix. Hasil pengukuran terhadap faktor
fisika-kimia perairan di Teluk Miskam Panimbang dicantumkan dalam Tabel 1.
Analisis komponen utama terhadap faktor fisika-kimia perairan menunjukkan bahwa
suhu, pH, kecepatan arus dan salinitas mempengaruhi tingginya kelimpahan M.
meretrix pada tempat-tempat tertentu, tertinggi di muara Ciseukeut. Selain itu, M. meretrix juga
menyenangi tekstur substrat yang halus (kandungan debu dan liat yang
tinggi). Hal ini diperkirakan karena
kerang ini bersifat infauna, yaitu hidup dengan cara membenamkan diri di
bawah permukaan lumpur di perairan dangkal, sedangkan sifon yang panjang dapat
dijulurkan ke permukaan substrat untuk mengalirkan makanan.
Tabel 1. Faktor Fisika-Kimia Perairan di Teluk Miskam Panimbang pada Tahun
1999
No. |
||
1 |
suhu
(oC) |
28-30 |
2 |
kedalaman
(m) |
0,1-0,8 |
3 |
kecepatan arus (ms-1) |
0,1-0,25 |
4 |
DO
(mg/l) |
4,76-5,95 |
5 |
salinitas
(‰) |
10-32 |
6 |
pH |
|
7 |
tekstur
substrat |
pasir berlempung, lempung liat
berpasir, lempung liat dan liat |
Sumber: (Rudi, 2000)
Substrat yang kurang cocok serta arus
dapat menjadi sumber kegagalan pembudidayaan kerang. Tandanavanij (1996) melaporkan bahwa kegagalan budidaya Anadara
spp. di Thailand pernah terjadi akibat masalah ini. Setelah dilakukan pelepasan benih ke tempat pembudidayaan yaitu
di perairan pesisir barat Thailand Selatan,
ternyata hanya sebagian kecil saja yang hidup dan berkembang menjadi
dewasa di tempat yang sama.
Kelihatannya larva-larva tersebut tidak dapat menempel pada habitat yang
cocok, atau terbawa oleh arus ke tengah laut dan menempel di bagian selatan
yaitu di perairan pesisir barat pantai Malaysia.
Meretrix meretrix dewasa merupakan organisme penyaring, filter
feeder, sebagaimana halnya bivalvia pada umumnya. Berhubungan dengan sifat makan kerang ini, Dahuri (2002)
mengingatkan pentingnya sanitasi kerang-kerangan karena organisme filter
feeder tersebut akan mengakumulasikan makanan, kotoran dan bahan cemaran
lainnya dalam dagingnya. Pada umumnya
negara-negara maju memberlakukan persyaratan sanitasi yang lebih ketat terhadap
kerang-kerang impor. Akibatnya, sejak
awal 1999 lalu izin ekspor kerang-kerangan Indonesia telah dicabut oleh Komisi
Eropah karena Indonesia dianggap belum mempunyai program sanitasi
kerang-kerangan yang diakui oleh Uni Eropah. Ini tentunya menjadi tantangan
yang berat karena potensi ekspor kerang-kerangan dari Sumatera Utara saja
diperkirakan menyumbangkan devisa tidak kurang dari 1 juta dolar AS per tahun
Makanan
M. meretrix pada umumnya adalah detritus dan fitoplankton. Hasil pengamatan lambungnya menunjukkan
ditemukan fitoplankton kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae, sedangkan
zooplankton tidak ditemukan. Kelas
Bacillariophyceae ditemukan sangat dominan dengan proporsi antara 97-99%
sedangkan Cyanophyceae antara 1-3%.
Berdasarkan indeks pilihannya terhadap plankton sebagai makanan M.
meretrix yaitu dengan cara membandingkan persentase plankton di perairan
dengan yang ditemukan di lambung, maka Bacillariophyceae adalah disukai,
sedangkan Cyanophyceae tidak disukai.
Selain itu, juga terdapat keeratan hubungan antara makanan di perairan
dengan di dalam lambung dengan koefisien korelasi 0,99. Ini menunjukkan bahwa tingginya proporsi
plankton di perairan juga diikuti dengan tingginya proporsinya di dalam lambung
kerang (Rudi, 2000).
Pengamatan
secara keseluruhan isi lambung Meretrix lyrata menunjukkan bahwa 90%
isinya adalah detritus (Vo, 2000). Detritus
ini dapat berasal dari mangrove yang ada di sekitarnya atau terbawa melalui air
sungai. Kandungan nutrien akan tinggi
terutama selama musim hujan. Adanya
kegiatan penebangan mangrove dapat mengurangi kuantitas dan kualitas makanan
kerang dan meningkatkan sedimentasi di muara sungai. Dengan demikian perlindungan terhadap
ekosistem mangrove mutlak diperlukan untuk mempertahankan stabilitas perairan
di daerah pembudidayaan.
Untuk pemeliharaan M. meretrix
pada hatchery, makanan yang biasa diberikan adalah fitoplankton
uniseluler yaitu alga jenis Isochrysis galbana, Chaetoceros
calcitrans dan Tetraselmis sp.
Jenis I. galbana dan C. calcitrans
diberikan mulai dari masa larva, sedangkan penambahan Tetraselmis
sp. dapat dilakukan sejak munculnya
larva pediveliger sampai kerang dewasa (Nugranad dkk.,
2000). Selain jenis-jenis di atas, alga
Chaetoceros muelleri, Platymonas sp., Nannochloropsis oculata
dan Chlorella sp. juga dapat diberikan (Ngunyen, 2000). Dengan demikian,
kultur terhadap jenis-jenis fitoplankton ini mutlak diperlukan bila melakukan
pembenihan dan pembesaran M. meretrix di hatchery.
Sifat
makan dan kehidupan kerang yang relatif menetap (sessil) juga
mempengaruhi akumulasi bahan-bahan percemar dalam daging kerang seperti logam
berat (heavy metal). Rudi (2000)
melaporkan analisis terhadap kandungan logam berat merkuri (Hg) dalam daging
kerang M. meretrix belum menunjukkan nilai yang melewati ambang batas,
namun logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb) sudah melewati ambang
batas. Kandungan logam berat Hg
berkisar antara 0,42x10-4-1,32x10-3, Cd antara
2,64-7,37 dan Pb antara 15,14-15,19
ppm. Menurut Dahuri (2002) ekspor hasil
perikanan Indonesia seperti tuna pernah ditolak karena terkontaminasi logam
berat Hg, Cd dan Pb. Hal yang sama bisa terjadi pada ekspor kerang-kerangan
Indonesia bila standar mutu dan sanitasi ini tidak diperhatikan.
Genus
Ostrincola merupakan anggota famili Mycoidae (Crustacea: Copepoda) yang
tinggal secara eksklusif di dalam rongga mantel bivalvia laut. Hingga kini telah ditemukan sembilan jenis
dari genus Ostrincola yang didapatkan dari 27 jenis bivalvia. Jenis Ostrincola koe
dilaporkan menjadi penyebab kematian massal budidaya kerang Meretrix
meretrix di Asia Timur Jauh seperti Jepang, Korea, China dan Taiwan,
sedangkan Ostrincola portonoviensis adalah hama yang ditemukan di
India dan Asia Tenggara.
Dari
hasil analisis kladistik O. portonoviensis yang terdapat di Portonovo
dan Quilon (India) dan Phuket (Thailand) terlihat jelas bahwa jenis tersebut
sangat dekat dengan O. koe yang ditemukan di Jepang, Korea dan
China. Hal ini menggambarkan bahwa
secara genetik mereka juga sangat dekat.
Jadi, karena O. koe telah diketahui sebagai penyebab kematian
massal budidaya kerang M. meretrix di Asia Timur Jauh (Jepang, Korea,
China dan Taiwan) maka sangat memungkinkan bahwa O. portonoviensis juga
akan menyebabkan efek yang sama pada budidaya M. meretrix di India dan
Asia Tenggara (Ho, 1998).
Kematian
massal budidaya M. meretrix dilaporkan sudah terjadi sejak tahun
1960-an, namun penelitian-penelitian yang dilakukan pada saat itu memperkirakan
bahwa penyebabnya adalah bakteri patogen Vibrio spp. Kasus kematian kerang ini belum dipublikasikan dan juga tidak
mendapatkan perhatian yang serius. Di tahun 1988 dan 1989, kematian massal
kembali terjadi di China dengan akibat yang cukup serius, total kerugian
sekitar 6 juta dolar AS. Kematian ini
dilaporkan sebagai akibat penyakit epidemis oleh bakteri Vibrio
alginolyticus. Selain itu,
dilaporkan juga bahwa pada area budidaya terdapat kopepoda parasit jenis Ergasilus
sp. yang keberadaannya berhubungan erat dengan blooming populasi bakteri
Vibrio alginolyticus.
Beberapa penelitian yang intensif
kemudian dikembangkan untuk mencari apa sebenarnya yang menyebabkan kematian massal
dari M. meretrix. Ho (1996) berhasil membuktikan bahwa kopepoda yang
diberi nama genus Ergasilus itu
sebenarnya adalah kopepoda jenis Ostrincola koe Tanaka dari famili
Mycolidae. Hal ini berarti telah
terjadi sinonim yaitu pemberian nama yang berbeda untuk jenis yang
sebenarnya sama (satu jenis).
Kehadiran sejumlah individu O. koe (biasanya 30 individu) di
rongga mantel kerang ternyata menyebabkan stress berat pada host. Hal ini tidak hanya karena kehilangan
sejumlah cairan tubuh, tapi juga luka akibat pelekatan kopepoda parasit
tersebut secara kuat dengan menggunakan kait. Dengan kondisi ini kerang dengan
mudah akan diserang oleh bakteri-bakteri patogen yang ada di perairan. Hasil penelitian Wardianto dkk. (2000) membuktikan bahwa di
perairan laut akan selalu ditemukan bakteri-bakteri patogen seperti Vibrio,
Salmonella dan Shigella.
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kerang yang diparasiti oleh
kopepoda akan mudah terkena infeksi berat bakteri patogen sehingga menimbulkan
kematian massal pada area budidaya.
Pengetahuan mengenai hama dan penyakit
pada kerang harus mendapat perhatian yang serius bila ingin melakukan
pembudidayaan, terutama dengan memperhatikan kualitas perairan. Menurut Dahuri (2002) masalah sanitasi yang
paling banyak dikeluhkan konsumen adalah kontaminasi Salmonella sp., Vibrio
parahaemolyticus dan Vibrio chorelae. Uni Eropah telah mensyaratkan
bahwa semua kerang-kerangan yang diekspor ke negara-negara Uni Eropah harus
bebas dari Escerichia coli dan bakteri-bakteri patogen.
Dengan adanya kualitas perairan yang
baik maka keberadaan dan serangan dari hama dan penyakit akan dapat
diminimalisasi. Khusus untuk Indonesia, penelitian mengenai hama dan penyakit
pada kerang, khususnya pada M. meretrix merupakan suatu subjek yang perlu
dikaji dan diteliti karena belum adanya laporan mengenai hal ini.
Penyediaan benih merupakan hal yang
mutlak dilakukan untuk usaha pembudidayaan terutama karena terbatasnya benih
dari alam. Terkadang penyediaan benih
dapat menjadi masalah yang besar untuk pembudidayaan. Bila benih tersedia tidak cukup maka akan menimbulkan penurunan
hasil panen. Beberapa solusi untuk
memecahkan masalah ini adalah dengan melakukan fertilisasi buatan di hatchery, mengoleksi spat
dari alam dan perlindungan habitat kerang.
Selain itu, lingkungan yang cocok merupakan hal yang penting, tidak
hanya penting bagi penempelan/penempatan spat tapi juga sebagai sumber
makanan bagi kerang dewasa. Pengendapan
lumpur selama musim hujan juga menjadi masalah yang perlu dimonitor supaya
tidak terjadi kegagalan pembudidayaan (Vo dan Nguyen, 1998).
Solusi pertama untuk menanggulangi
masalah benih adalah melakukan perkawinan buatan (artificial breeding)
di hatchery. Nugranad dkk. (2000) memberikan kemajuan yang berarti
dalam hal ini karena telah berhasil memijahkan M. meretrix di hatchery. Pemijahan (spawning) dirangsang
dengan menginjeksikan senyawa serotonin ke dalam gonad induk
betina, pemijahan terjadi dalam waktu
1-30 menit setelah penginjeksian. Dari
tujuh wadah yang masing-masing berisi 19-49 induk kerang yang telah diinjeksi
serotonin, 31-95 % diantaranya dapat memijah, 35-85% jantan dan 16-64% betina.
Jumlah telur yang dipijahkan masing-masing induk berkisar antara 10 ribu sampai
2,8 juta butir. Larva veliger
muncul 16 jam setelah fertilisasi dan akan menghabiskan waktu 5-7 hari sebagai
organisme planktonik, kemudian berkembang menjadi spat yang bersifat
benthik dengan tingkat kelulushidupan antara 30-80%. Juvenil atau anakan akan
memperlihatkan bentuk seperti individu dewasa setelah berumur 1,5 bulan dengan
panjang cangkang 2-3 mm. Khusus untuk di Indonesia, usaha pengadaan benih M.
meretrix pada skala hatchery belum pernah dilaporkan.
Solusi kedua dalam pengambilan larva
dari alam dan memeliharanya dalam hatchery untuk selang waktu tertentu
supaya tingkat kelulushidupannya meningkat sebelum larva menempati
substrat. Keuntungan dari metode ini
adalah biaya yang rendah dan resiko yang lebih kecil dibanding dengan melakukan
perkawinan buatan. Namun hambatannya
adalah bila kosenterasi sedimen (material tersuspensi) yang tinggi di perairan,
maka akan menimbulkan kesulitan dalam pemisahan larva kerang. Selain itu,
biasanya benih dari alam dapat ditemukan pada lokasi yang berubah-ubah
sepanjang tahun. Spat dapat
dikoleksi dengan menggunakan jala dengan diameter kecil pada saat air pasang,
lalu dipisahkan sesuai dengan ukurannya. Ukuran ini kemudian akan menentukan
kepadatan stok, harga dan kualitas.
Dengan kepadatan 1000 ind./kg, kerang akan tumbuh menjadi 40 ind./ kg
setelah 18 bulan dibudidayakan.
Masalah transportasi sebaiknya juga
menjadi perhatian serius terutama bila jarak antara hatchery dengan
lokasi pembudidayaan cukup jauh.
Poomtong dkk. (2000) menyarankan agar transportasi dari hatchery
ke lokasi pembudidayaan tidak lebih dari 12 jam dengan suhu media diatur antara
25o-29oC. Bila
waktunya lebih lama dari 12 jam maka akan menyebabkan kematian pada kerang.
Solusi
ketiga adalah dengan mengoleksi spat dari alam. Hanya saja jumlah spat
yang terdapat di alam selalu berubah-ubah sepanjang tahun yang disebabkan oleh
banyak hal antara lain dinamika populasi, perubahan kondisi fisika-kimia air serta degradasi
lingkungan. Namun yang perlu dicatat
adalah bahwa pembudidayaan tradisional sering terhalangi oleh tidak cukupnya
suplai spat bila hanya mengandalkan dari alam dan harganyapun menjadi
sangat tinggi. Ini tentu akan
menurunkan pendapatan para petani. Vo
dan Nguyen (1998) melaporkan bahwa harga spat dari Meretrix lyrata
di Vietnam mencapat 0,8-0,9 dolar AS per kg.
Padahal dalam pertumbuhan lanjutnya spat ini masih menghadapi
berbagai kendala antara lain adanya pengaruh air tawar yang menurunkan kadar
garam selama musim hujan sehingga tingkat kelulushidupan menjadi rendah.
Menajemen
yang baik mutlak diperlukan bagi pembudidayaan yang berkelanjutan. Informasi yang diperlukan untuk membuat
seperangkat aturan (undang-undang) oleh pihak-pihak terkait semestinya
diberikan oleh institusi keilmuan sehingga kebijakan yang dikeluarkan menjadi
tepat sasaran. Beberapa aturan yang
perlu untuk pembudidayaan M. meretrix antara lain adalah larangan
penangkapan kerang selama musim memijah (spawning season) dan penetapan
ukuran minimum yang dapat dipasarkan. Walaupun Kastoro (1995) melaporkan bahwa
kebanyakan jenis bivalvia di daerah tropis seperti Anadara spp. dapat
memijah sepanjang tahun, namun Vo (2000) menyarankan agar penangkapan kerang
ini sebaiknya dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober (musim hujan) yaitu di
saat berlimpahnya makanan sehingga tercapainya kondisi optimum. Selain itu, saat tersebut merupakan kondisi
setelah terjadinya puncak masa perkawinan.
Berdasarkan
karakter biologi yaitu tingkat kematangan gonad, maka ukuran minimum kerang Meretrix
yang boleh ditangkap adalah 34-35 mm yaitu pada saat kerang telah menyelesaikan
reproduksi pertamanya (Vo, 2000). Ukuran ini sebenarnya masih lebih kecil dari
ukuran optimum yang dapat diperoleh karena ukuran tersebut masih dalam periode
pertumbuhan cepat. Selain itu ukuran
panen ini juga dipengaruhi oleh petani sendiri dengan melihat kondisi fisika
lingkungan, waktu pembudidayaan, pendapatan dan permintaan pasar. FAO (1995)
mengeluarkan sejumlah peraturan untuk manajemen dan perlindungan terhadap
Abalone, Haliotis tuberculata, yaitu dengan membatasi total penangkapan,
perlindungan dan penutupan area, membatasi masa penangkapan, pembatasan metode
penangkapan dan menetapkan ukuran minimum yang dapat dipasarkan. Sementara itu,
pengamatan yang dilakukan terhadap ukuran kerang M. meretrix hasil tangkapan petani di daerah Panimbang, Banten
menunjukkan bahwa kerang yang dipanen adalah dari semua ukuran sehingga kerang
berukuran >35 mm sangat jarang ditemukan dan waktu panen berlangsung
sepanjang tahun.
Beberapa
aturan (undang-undang) yang yang diperlukan untuk melindungi keberadaan kerang M.
meretrix agar tidak terjadi overexploitation dan pembatasan dalam
ukuran kerang yang diambil belum tersedia di Indonesia. Padahal untuk dapat menerapkan kebijakan
pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang
memadai. Sampai saat ini semua pakar
dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam dan luar negeri berpendapat bahwa
implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) bidang perikanan di
Indonesia masih lemah. Hal ini tentu perlu
diatasi dan dicarikan jalan keluarnya, sehingga tercipta kondisi yang
menguntungkan semua pihak.
Kelahiran
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) memberikan
peluang dan wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber daya kelautan dan
perikanan. Jenis kewenangan mencakup pengaturan kegiatan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan
administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum.
Dari uraian di atas terlihat bahwa
keefektifan dari peraturan yang dibuat sangat terbatas. Ukuran panen dan musim penangkapan selama
ini lebih ditentukan oleh petani sendiri dan pemintaan pasar. Selain itu, manajemen yang efektif juga
terhalang oleh kekurangan data sehingga beberapa peraturan yang dibuat tidak
berhubungan dengan kenyataan. Hal ini dapat dilihat bahwa data dasar untuk
jenis-jenis kerang komersil di Indonesia masih terbatas. Akan menjadi suatu
kekeliruan yang besar bila aturan yang dipakai hanya mengacu pada literatur
dari luar negeri. Sumbangan pemikiran dari para stakeholders sangat
diperlukan untuk proses pembudidayaan yang ekonomis dan ekologis.
Dari uraian di atas, berpedoman pada
potensi dan tantangan yang ada, diyakini bahwa pembudidayaan M. meretrix
di Indonesia mempunyai peluang yang besar dan prospek yang baik untuk
dikembangkan, terutama karena kondisi alam yang mendukung dan tersedianya
informasi-informasi yang dibutuhkan untuk hal tersebut. Untuk itu kerjasama dari semua pihak (stakeholders)
seperti peneliti/ilmuan, pengambil kebijakan (pemerintah), petani/nelayan dan
pengusaha (swasta) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat diperlukan untuk
memanfaatkan potensi yang ada tersebut.
Walaupun tulisan ini secara khusus membahas budidaya kerang M. meretrix, namun diharapkan dapat memberikan masukan bagi
budidaya kerang-kerangan pada umumnya.
Bengen,
D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB,
Bogor. 62p.
Carpenter,
K.E. and V. H. Neim (eds). 1998. FAO
Species Identification Guide for Fisheries Purposes: The Living Marine
Resources of The Western Central Pacific, Volume 1. Seaweeds, Coral, Bivalves
and Gastropods. Rome, FAO. 689p.
Dahuri, R. 2002.
Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan
Kelautan. Penerbit LISPI. Jakarta. 157p.
FAO. 1995.
Synopsis of Biological Data on The European Abalone, Haliotis
tuberculata Linnaeus, 1758 (Gastropoda: Haliotidae). FAO Fisheries Synopsis, no. 156. Roma.
Ho, J. S. 1996.
Myicolid Copepods
and Mass Mortality of Culture Hard Clam Meretrix meretrix. Phuket Marine
Biological Center Special Publication no 16 : 61-70
Ho, J. S. 1998.
Cladistics of Ostrincola
(Copepoda), A Genus of Pest in Clam Culture. Phuket Marine Biological Center
Special Publication 18 (2) : 237-242
Kastoro,
W.W. 1995. Reproductive Cycle of Cockle
Anadara indica (Gmelin) in
Jakarta Bay. Phuket Marine Biological
Center Special Publication no. 15 : 75-78
Nguyen,
H. P. 2000. Distribution and Yield of Commercial Gastropods and Bivalves
(Mollusca) in Coastal Waters of Vietnam.
Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 175-178
Nguyen,
T. B. N. 2000. Culture and Maintenance of Microalgae for
Mollusc Larviculture. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21
(1) : 213-216
Nugranad,
J., S. Noodang, W. Ratanachurdchai, K. Promjinda, S. Phonna and S. Chantara.
2000. Breeding of The Orintal Hard Clam
Meretrix meretrix. Phuket Marine Biological Center Special Publication
21 (1) : 203-210
Poomtong,
T., J. Hugranad and Ratanachurdchai. 2000.
Mass Transportation of Live Marine Molluscs: Case Stories on Success and
Failure. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 247-252
Rudi,
E. 2000. Ekologi dan Makanan Kerang M. meretrix Linnaeus 1758.
Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen FMIPA Unsyiah. Banda Aceh, Juni 2000.
Tandanavanij,
S. 1996. Culture of Cockle Anadara spp. on the West Coast of
Southern Thailand. Phuket Marine Biological Center Special Publication no. 16 :
97-100
Vo, S.T. 2000. Status and Solutions for Farming
and Management of the Hard Clam Meretrix lyrata at Go Cong Dong, Tien
Giang Province, Vietnam. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21
(1) : 167-170
Vo,
S.T. and H. P. Nguyen. 1998. Status of Bivalve Exploitation and Farming
in The Coastal Waters of South Vietnam. Phuket Marine Biological Center Special
Publication 18 (1) : 171-174
Wardianto,
Y., M. Krisanti and P.L. Wahjuhardini. 2000. Occurrence of Bacteria in Cockles Anadara
granosa Linnaeus in Jakarta Bay Indonesia. Phuket Marine Biological Center
Special Publication 21 (1) : 151-158
(1)
(2)
keterangan : (1) kerang Meretrix
meretrix, (2) muara sungai Ciseukeut