© 2002 Asbar Posted 19 May 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
KONSEP BIOREGION
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR:
Suatu Tinjauan
Filosofi
Oleh:
ASBAR
SPL-C226010131
E-mail: asbarspl@yahoo.com
Secara umum batasan antara daratan dan lautan di peta
tidaklah merupakan suatu garis yang jelas, akan tetapi muncul secara gradual melalui
suatu daerah yang bersifat transisional. Biasanya nama yang diberikan untuk
daerah transisi ini adalah wilayah pesisir atau daerah pesisir. Bagi
perencana dan pengelola wilayah pesisir, mendefinisikan batasan tentang wilayah
atau daerah pesisir merupakan suatu yang lebih dari sekedar masalah akademis.
Pemerintah sering membuat sistem administrasi, atau membuat kebijakan-kebijakan
yang berlaku di dalam wilayah pesisir tersebut guna memberikan arahan bagi
pengambil keputusan. Secara umum ada dua batasan yang dipakai dalam
mendefinisikan wilayah pesisir yaitu definisi berdasarkan pendekatan ilmiah dan
definisi yang berorientasikan kebijakan (Kay dan Alder 1999).
Pesisir adalah daerah di mana darat dan lautan
bertemu, jika garis pertemuan ini tidak bergerak maka akan mudah untuk
mendefinisikan pesisir akan tetapi kenyataannya proses-proses alamiah yang
membentuk wilayah ini sangat dinamis dan berobah sesuai waktu akibat
proses-proses alam tersebut. Singkatnya menurut pendekatan ilmiah wilayah
pesisir itu didefinisikan sebagai: bagian darat yang kering dan lautan yang
berdekatan (air dan tanah yang terbenam) di mana proses-proses daratan dan
tataguna lahan secara langsung mempengaruhi
proses-proses di laut dan penggunaannya dan sebaliknya (Ketchum 1972 dalam Kay dan Alder 1999). Selanjutnya menurut pendekatan
administrasi wilayah (daerah) pesisir dapat mencakup daerah yang relatif kecil
menyangkut hubungan antara darat dan laut yang bisa berupa daerah seluas beberapa ratus
meter sampai beberapa kilometer atau mulai dari daerah batas darat terus
mencapai batas laut ke daerah lepas pantai menurut jurisdiksi nasional
(Cicin-Sain dan Knecht 1998; Hildebrand
dan Norrena 1992 dalam Kay dan Alder 1999).
Menurut kesepakatan internasional terakhir, wilayah
pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara lautan dan daratan , ke
arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau
pasang surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (Beatley et al.
1994 dalam Dahuri et al. 1996; Bengen 2001), Gambar1.
Gambar
1. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)
Dilihat dari banyaknya uraian-uraian di atas, maka untuk
kepentingan pengelolaan adalah kurang begitu penting untuk menetapkan
batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku. Akan jauh lebih berarti
jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor
yang mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap
sumberdaya yang terkandung di dalamnya serta tujuan dari pengelolaan itu
sendiri.
Kekompleksan proses-proses soasial-ekonomi, biofisik,
politik dan legislasi yang terjadi di berbagai negara, menekankan perlunya
suatu pendekatan yang terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir. Strategi yang
terpadu berusaha untuk mengembangkan solusi yang dapat diterima untuk
mengurangi pertentangan kepentingan dan untuk meminimalkan kerusakan yang tidak
penting terhadap kapasitas tampung dari lingkungan dan sumberdayanya (Hotta dan
Dutton 1995).
Pengakuan terhadap nilai-nilai sosial, ekonomi,
lingkungan dan sumberdaya dari suatu wilayah pesisir mulai banyak diterima,
akan tetapi hal ini tidak selamanya demikian, pengakuan ini secara alamiah juga
tidak merata diseluruh negara dan masyarakat. Bentuk pendekatan yang tipikal
dalam pengeksploitasian sumberdaya wilayah pesisir umumnya merendahkan
sumberdaya wilayah pesisir dan potensi penggunaanya yang berganda. Nilai pasar
yang diberikan terhadap wilayah pesisir jauh dari nilai yang sebenarnya,
sehingga harga yang dibayarkan bagi akses, atau penggunaannya, atau degradasi
aset wilayah pesisir tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya (Hall dan Cairnes
1994 dalam Dutton dan Hotta
1995)
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah yang unik seperti
adanya pasang surut, hutan mangrove, terumbu karang, pantai, gelombang pasang
dan pulau penghalang, semuanya ini hanya terdapat di daerah pesisir. Lingkungan
pesisir adalah batas pertemuan antara darat dan laut, dan daerah ini meliputi
wilayah sekitar 8% permukaan bumi, merupakan daerah yang sangat beragam dan
produktif teristimewa pada perairan dangkal di wilayah daerah tropis (Birkeland
1983; Ray dan McCormick-Ray 1994; Clark 1996). Lingkungan pesisir ini telah
lama menjadi perhatian bagi umat manusia. Mereka menyediakan kebutuhan dasar
manusia (seperti makanan, perumahan dll) dan juga berbagai fungsi (contohnya:
perdagangan, infrastruktur), aestatika
(contohnya: lingkungan bersenang-senang) dan yang bersifat strategis (pilihan
daerah teritorial dan pertahanan).
Pada daerah pesisir umumnya dijumpai lebih dari dua
kelompok masyarakat dengan preferensi yang berbeda terhadap sumberdaya wilayah
tersebut. Lebih dari pada itu wilayah ini dan sumberdaya yang terkandung di
dalamnya adalah merupakan sumberdaya
yang sering merupakan milik bersama. Sering kali timbul konflik dalam
pemanfataan terhadap wilayah tersebut. Hal lain yang merupakan masalah pada
wilayah ini adalah anggapan yang merendahkan wilayah ini sehingga sering
dijadikan sebagai tempat pembuangan atau penampung limbah dari berbagai
kegiatan manusia baik di wilayah itu sendiri maupun dari wilayah diluar
pesisir.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk bumi yang terus
bertambah dari waktu ke waktu dan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia maka
pembangunan perlu dilakukan. Pembangunan tersebut adalah mutlak, akan tetapi
bila dilakukan dengan tidak terencana akan menimbulkan dampak negatif yang
besar terhadap manusia itu sendiri. Berbagai contoh menunjukan bahwa
pembangunan yang tidak terencana dapat menimbulkan bahaya terhadap baik manusia
dan sumberdaya alam yantg dimanfaatkan lewat pembangunan tersebut. Pengrusakan
hutan mangrove, penurunan hasil tangkapan ikan atau udang serta sumberdaya
perikanan lainnya, kerusakan terumbu karang adalah sebahagian dari
contoh-contoh kerusakan pada wilayah pesisir (ekosistem dan sumberdayanya).
Kerusakan-kerusakan mana pada akhirnya akan
menimbulkan kerusakan atau gangguan pada keanekaragaman hayati atau yang lebih
populer dikenal dengan istilah biodiversity degradation. Nilai ekonomi yang timbul sebagai akibat hilangnya
keanekaragaman hayati adalah sangat besar sebab kehilangan ini dapat
menimbulkan kerusakan pada sumberdaya biologi itu senduiri di mana sumberdaya
biologi hanya merupakan bagian dari keanekaragaman hayati (WRI-IUCN-UNEP 1992;
Pearce dan Moran 1994).
Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi terjadinya pengrusakan
terhadap wilayah pesisir serta
ancaman-ancaman atau permasalahan di atas, maka diperlukan suatu tindakan yang
nyata dan serius serta terrencana secara baik. Untuk kondisi wilayah pesisir
seperti yang digambarkan di atas, maka hal ini akan lebih kompleks dikarenakan
karakteristik wilayah pesisir tersebut. Untuk itu di dalam tulisan ini hendak
dijelaskan sedikit mengenai pendekatan bioregion dalam pengelolaan
wilayah pesisir guna pembangunan berkelanjutan.
Dalam bioregion ini terdapat mosaic pemanfaatan daratan
dan perairan di mana masing-masing wilayah menyediakan habitat di mana berbagai
macam species hidup dan berkembang dengan baik, dan masing-masing memiliki
keterkaitan dengan populasi manusia pada wilayah tersebut. Semua elemen-elemen
dalam mosaic tersebut
berinterkasi secara aktif. Sebagai contoh pengelolaan terhadap daerah tangkapan
air akan mempengaruhi habitat aliran sungai, estuari, perikanan dan terumbu
karang.
Beberapa elemen bioregion yang dapat disebutkan di sini antara
lain daerah tangkapan air, berbagai daerah suaka, lahan kritis, wilayah pesisir
dan laut, daerah penggembalaan, daerah pertanian, berbagai institusi berbasis
masyarakat yang menyokong perlindungan keanekaragaman hayati dan kota-kota
dalam lokasi bioregion berupa berbagai institusi yang menyokong
konservasi seperti kebun binatang, aquarium, pusat-pusat rehabilitasi hewan
langka dan sebagainya (WRI-IUCN-UNEP 1992). Melihat luasnya cakupan elemen-elemen
dari konsep bioregion ini maka pada paper ini hanya dibatasi pada elemen
bioregion pada wilayah pesisir.
Secara
ekologi, dampak dari sembarang kegiatan pembangunan yang tidak terkontrol di mana
saja kegiatan itu berada baik yang dekat dengan wilayah pesisir maupun yang ada
diluar wilayah pesisir memiliki potensi yang dapat merusak perikanan dan sumber
daya lainnya di wilayah pesisir (Dahuri et al. 1996; Clark 1996).
Kebijakan perlindungan terhadap sumber daya alam pesisir dengan demikian harus
menekankan bahwa adalah untuk kepentingan negara tersebut untuk memperoleh
penggunaan sumber daya negara tersebut secara berkelanjutan dan perlindungan
jangka panjang terhadap aset-aset alam lainnya.
Melihat
akan pengertian bioregion di mana terdapat unsur komunitas manusia dan
sistem lingkungannya serta tujuan dari konsep bioregion ini dan
dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada wilayah pesisir (yang
merupakan salah satu dari elemen bioregion), maka beberapa hal yang
perlu mendapat perhatian dalam penggunaan konsep bioregin dalam pengelolaan
wilayah pesisr dapat diuraikan seperti dibawah ini.
Pengelolaan
wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan bioregion memberikan
keuntungan-keuntungan baik dari segi ekologi, ekonomi maupun sosial. Hal ini
disebabkan karena dalam pemanfaatan wilayah tersebut ada keterkaitan antara
komponen biologi serta ekosistem dan manusia menjadi syarat mutlak yang
diperlukan untuk menjamin keberlanjutan dari proses-proses alam yang terjadi
pada wilayah tersebut. Dalam pendekatan ini wilayah dilihat sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Dalam pendekatan ini, sebagai contoh, wilayah dapat dibagi atas
mintakat-mintakat tertentu sesuai keunikan, sensitifitas, biota endemik atau
proses-proses penunjang kehidupan lainnya. Pembagian wilayah atas mintakat
inti, mintakat penyanggah dan mintakat
pemanfaatan adalah contoh penggunaan konsep bioregion dalam pengelolaan
suatu wilayah termasuk wilayah pesisir. Menurut UU RI No. 24/1992 tentang
penataan ruang mintakat inti dan penyanggah disebut sebagai kawasan lindung
sedangkan mintakat pemanfaatan disebutkan sebagai kawasan budi daya (Dahuri et
al. 1996). Dalam pemintakatan ini wilayah dibagi atas karakteristik
biofisik sedangkan kegiatan pembangunan harus sesuai dengan kelayakan tersebut.
Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki eksositem yang unik seperti biota-biota endemik atau
proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, tumbuh besar dan
alur migrasi biota perairan. Pada daerah ini tidak diperkenankan untuk
melakukan kegiatan apapun kecuali berupa kegiatan pendidikan dan penelitian
ilmiah. Pada mintakat konservasi kegiatan yang boleh dilakukan dibatasi pada
kegiatan-kegiatan tertentu dan terkendali saja seperti pemanfaatan hutan
mangrove dan terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism).
Kegaiatn pembangunan yang lebih intensif seperti industri, pertambakan,
perumahan, pelabuhan dan sebagainya hanya bisa dilakukan pada mintakat
pemanfaatan. Ini pun dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Dalam melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dengan menggunakan konsep bioregion maka yang harus dibuat juga adalah
penentuan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan
ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan. Kegiatan mana harus tidak
melebihi daya dukung wilayah tersebut dan daya pulih serta daya lenting dari
sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan
juga nasional (Dahuri et al. 1996; Dahuri 1998; Ongkosongo 1998).
Sesuai pengertian dan konsep bioregion dan kaitannya dengan
karakterisitk wilayah pesisir terutama menyangkut cakupan wilayah dan komunitas
manusia yang ada pada wilayah tersebut dengan berbagai preferensi maka
keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir dengan konsep ini perlu menjadi
keharusan. Semua pihak yang menggunakan wilayah pesisir baik secara langsung
ataupun tidak secara langsung harus terlibat secara aktif dalam pengelolaan
wilayah tersebut. Hal ini sesua dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu atau yang dikenal dengan istilah Integrated Coastal Resources
Management (Dahuri et al. 1995; Cicin-Sain dan Knecht 1998; Kay dan
Alder 1999).
Seringkali dalam penentuan pemanfaatan terhadap suatu wilayah pesisir
hanya sekelompok orang yang terlibat dalam proses tersebut dan masih banyak
pendekatan yang bersifat sektoral yang dilakukan dalam pengelolaan tersebut.
Dalam konsep bioregion untuk pengelolaan wilayah pesisir maka semua stakeholder
perlu terlibat termasuk juga pihak-pihak lain diluar stakeholder utama
yang tertarik pada wilayah pesisir. Pendekatan sektoral harus dihilangkan dan
diganti dengan pendekatan partisipatoris di mana semua pihak terlibat dalam
proses mulai dari pendefinisian masalah sampai pada pemanfaatan dan pemantauan
serta pengawasan
Keterpaduan semua stakeholder dan pihak lain yang berminat dalam
menyusun rencana sampai pada pelaksanaan (WRI-IUCN-UNEP 1992; Fernandes 1992;
Mikkelsen 1995) diperlukan dalam menjalankan konsep bioregion dalam
pengelolaan wilayah pesisir. Perusahan-perusahan besar dan berbagai perusahan
lain yang tertarik dan beraktivitas dalam wilayah tersebut harus terlibat dalam
semua proses di atas, demikian juga pemerintah yang berperan dalam mengeluarkan
keputusan.
Agenda pertama dalam perencanaan bioregion kemungkinan adalah
menyangkut isu-isu pokok seperti masalah kesehatan/kesejahteraan masyarakat,
akses terhadap sumberdaya-sumberdaya kritis seperti sumber kayu bakar dan air,
angkatan kerja, dan kebutuhan pembuatan keputusan secara kolektif. Pada titik
ini perlu diperkenalkan keterkaitan berbagai isu tentang pengelolaan sumberdaya
alam termasuk keanekaragaman hayati perlu diperkenalkan (WRI-IUCN-UNEP 1992).
Hal ini sejalan dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Mengingat luasnya wilayah bioregion dan tujuan dari konsep ini
dalam pengelolaan wilayah pesisir maka kerjasama antar wilayah sangat
diperlukan apabila bioregion ini mencakup lebih dari satu wilayah
administrasi. Apabila bioregion tersebut mencakup dua daerah dengan
batas wilayah administratif yang berbeda seperti antar propinsi atau kabupaten,
maka keterpaduan antar wilayah administratif dalam perencanaan dan pengelolaan bioregion
sangat diperlukan (Cicin-Sain dan Knecht 1998).
Dinegara-negara maju seperti Amerika dan Inggris, sebagai contoh, ada
konsep bioregion authority seperti watershed authority, national
river authority dan sebagainya yang berfungsi mengatur bioregion tersebut.
Pengaturan dilakukan secara menyeluruh mulai dari hulu sampai ke perikanan
daerah estuaria (WRI-IUCN-UNEP 1992). Hal yang sama juga apabila ini melibatkan
beberapa negara seperti misalnya pada kasus-kasus perlindungan terhadap hutan
tropis, ikan paus, tuna, penyu dan sebagainya. Hal ini mengingat hewan-hewan
laut tersebut, sebagai contoh, memiliki ruaya yang luas (oceanic migration).
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dibuat beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Pengelolaan wilayah
pesisir dengan menggunakan konsep bioregion sangat berguna dan
memberikan keuntungan-keuntungan baik secara ekologi, ekonomi mapun sosial
2.
Penting untuk membagi
wilayah-wilayah dalam wilayah pesisir sesuai peruntukan dan semua kegiatan
pembangunan pada wilayah ini harus berpedoman pada kelayakan biofisik wilayah
tersebut. Kegiatan mana tidak boleh melebihi daya dukung wilayah serta daya
pulih atau daya lenting sumberdaya alam wilayah tersebut.
3.
Semua stakehloder dan
mereka yang memiliki perhatian pada wilayah pesisir perlu secara aktif terlibat
dalam pengelolaan wilayah pesisir mulai dari tahap penentuan isu, perencanaan
sampai pada pelaksanaan dan pemantauan.
4.
Jika wilayah pesisir
tersebut memuat delta/estuari suatu sungai, maka konsep bioregion adalah
suatu watershed. Apabila watershed ini melintas batas
administrasi maka perlu dibentuk watershed authority untuk pengelolaan
DAS termasuk daerah pesisir sampai ke arah laut.
DAFTAR ACUAN
Bengen, D.E. 2001. Sinopsis Ekosistem dan
Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of
Nearby Land Masses in Combination with Local Water Movement Patterns on the
Nature in Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island
Marine Ecosystem. UNESCO Report in Marine Science No. 27. Dunedin. hal.
16-31
Cicin-Sain, B. dan R.W. Knecht. 1998. Integrated
Coastal and Ocean Management. Consepts and Practices. Island Press.
Washington, D.C., USA
Clark, R.J. 1996. Coastal Zone Management Hand
Book. CRC Lewis Publishers. Boca Raton, Florida USA.
Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis
Pembangunan Pulau Pulau Kecil Berkelanjutan. Dalam: Prosiding
Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau Pulau Kecil di Indonesia. Edyanto,
CB.H., R. Ridlo, H.S. Naryanto dan B. Setiadi. (Eds). Departemen Dalam Negeri,
Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources
Management Project, AUSAID. Pulau Matahari - Kep. Seribu, Jakarta, Indonesia.
Desember 7-10. hal. B32-B42
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J., Sitepu.
1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu.
PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Dutton, I. dan K. Hotta. 1995. Introduction. Dalam:
Coastal Management in the Asia-Pacific Region: Issues and Approaches.
Hotta, K. dan I. Dutton (Eds). Japan International Marine Science and
Technology Federation. Tokyo, Japan. hal 3-18
Fernandes, W. 1993. Partisipatoris Rakyat dalam
Pembangunan: Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam: Fernades,
W. dan R.. Tandon (Eds). Riset Partisipatoris Riset Pembebasan. PT
Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan Karti Sarana.. Jakarta,
Indonesia. hal. 27-66
Hotta, K. dan I.M., Dutton. 1995. Coastal Management
in the Asia-Pacific Region: Issues and Approaches. Japan International
Marine Science and Technology Federation. Tokyo, Japan.
Kay, R. dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and
Managenment. E & FN Spon. An Imprint of Routledge. London, UK.
Mikkelsen, B. 1995. Metoda Penelitian
Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Sebuah Buku Pegangan bagi Para
Praktisi Lapangan. Yayasan Obor Jakarta. Jakarta, Indonesia.
Ongkosongo,
O.S.R. 1998. Permasalahan
dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Dalam: Prosiding Seminar
dan Lokakarya Pengelolaan Pulau Pulau Kecil di Indonesia. Edyanto,
CB.H., R. Ridlo, H.S. Naryanto dan B. Setiadi. (Eds). Departemen Dalam Negeri,
Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources
Management Project, AUSAID. Pulau Matahri Kep. Seribu, Jakarta, Indonesia.
Desember 7-10. hal. H34-H47
Pearce, D. dan D. Moran. 1994. The Economic Value
of Biodiversity. Earthscan Publications Ltd. London, UK.
Ray, C.C. dan G. McCormick_Ray. 1994. Coastal Marine
Proctected Areas, a Moving Target. Proceeding from the International
Workshop on Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves.
ANCA/UNESCO. Canberr, Australia.
WRI IUCN UNEP (Word Resouces Institue The World
Conservation Union United Nation Environment Programme ), 1992. Global
Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save, Study, and Use Earths
Biotic Wealth Sustainably and Equitably.