© 2002 ARDI Posted: 16 June, 2002
Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains
(PPs 702)
Program Pasca Sarjana (S3)
Institut Pertanian Bogor
Juni 2002
Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)
PEMANFAATAN
MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR
KUALITAS
PERAIRAN PESISIR
Oleh:
Ardi
NRP:C-626010021
E-mail : aradinov@yahoo.com
1.
PENDAHULUAN
Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan
kawasan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai
kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber
daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya
protein hewani. Dahuri (2002),
meyatakan bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas
ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan,
pertambangan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan
pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.
Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktifitas
manusia di wilayah pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat
lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya
masukan limbah yang terus bertambah.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air
serta analisis biologi. Untuk perairan
yang dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran
sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan
yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat
dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and
Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan
yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan
bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai
petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke
habitatnya. Kelompok hewan tersebut
dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu
ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya
berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam
kelompok invertebrata makro. Kelompok
ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien
di dasar perairan. Montagna et all.
(1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos
berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan
siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya
adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia
air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen
biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan
substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
Makalah ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang
pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan, khususnya pada
wilayah pesisir. Adapun hal-hal yang
dikemukakan meliputi pengertian makrozoobentos, faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan makrozoobentos, pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator
kualitas perairan pesisir, dan spesies indikator
II. MAKROZOOBENTOS
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh
siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun
menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting
dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material
organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan
trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi
organik. Hewan bentos, terutama yang
bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang
hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk
menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai
konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau
konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan
pemakan di dasar ("bottom feeder") (Pennak, 1978; Tudorancea, Green
dan Hubner, 1978).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke
dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos
makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh
sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos
dapat ditahan dengan saringan No. 30
Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all.
(1973) dalam Rosenberg and
Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan
pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan
bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang
hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti
Crustacea dan larva serangga. Sedangkan
makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan
infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya
adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan
Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa
tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan
karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai
peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan
bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto
et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai
habitat yang relatif tetap. Dengan
sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat
hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos
bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap
perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi
dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam
Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya
terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif
dan toleran. Organisme intoleran yaitu
organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan
yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila
kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada
kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme
intoleran. Walaupun organisme ini dapat
bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir
tekanan lingkungan. Organisme toleran
yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi
lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang
berkualitas jelek. Pada umumnya
organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan
kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan
toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos
dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi
yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif)
maka penyebarannya juga sempit.
III. FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEBERADAAAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PESISIR
Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik
dan biotik. Secara abiotik, faktor
lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor
fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang
berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti
oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi
spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas
(Tudorancea et all. 1979).
Secara skematis, Hawkes (1978) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi
keberadaan hewan bentos di perairan (Gambar 1), sembilan diantaranya merupakan
faktor penentu kualitas perairan.
Keterangan : = Faktor penentu kriteria kualitas
air
=
Faktor bukan penentu kualitas air
* = Faktor yang tidak umum
=
Pengaruh langsung
=
Pengaruh interaksi
Gambar
1. Faktor-faktor kualitas air (sifat
fisika kimia) yang mempengaruhi komunitas bentos (Hawkes, 1978)
Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena
cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan
(Odum, 1993). Di perairan yang dalam,
penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar
perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan
dangkal. Suhu air merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat
perkembangbiakan organisme perairan. Pada
umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan
organisme perairan.
Klein (1972) dalam Yusuf (1994),
menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa
beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap
hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah
dan limbah yang mengandung bahan organik protein.
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan zoobentos dan
organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi
kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai
kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di
suatu perairan. Spesies yang mempunyai
kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang
mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu
saja. Berdasarkan kandungan oksigen
terlarut (DO), Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas perairan atas
empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 – 6,5 mg/l),
tercemar sedang (2,0 – 4,4 mg/l) dan tercemar berat (< 2,0 mg/l).
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi
organisme air terhadap pH bervariasi. Hal
ini tergantung, pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan
kation serta jenis dan stadium organisme.
Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan
organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos
tersebut, karena tipe substratpun ikut menentukan (Welch, 1952; Santos dan
Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990;
Lowe and Thompson, 1997).
Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu juga oleh kelandaian (slope)
pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken
(1997) dan Barnes and Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari
bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus
dan gelombang yang lemah, subtrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara
sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai
arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat
cenderung berpasir sampai berbatu.
Substrat lumpur, merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir
dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan
hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena
itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah
intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi
bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai
ini. Namun, berlimpahnya partikel
organik yang halus yang mengendap di dataran lumpur juga mempunyai kemampuan
untuk menyumbat permukaan alat pernafasan.
Bentos yang dominan hidup di daerah substrat berlumpur tergolong dalam “suspended feeder”. Diantara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalva, Crustaceae,
Echinodermata dan Bakteri. Disamping
itu juga ditemukan gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta
lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos.
Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh
kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir
mengubur diri dalam substrat. Produksi
primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi diatom
yang hidup di pasir intertidal. Hampir
seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM)
atau partikel (POM). Pantai berpasir
tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi
gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi
pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm)
yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran
0,1 – 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang
banyak ditemukan adalah kelompok suspended
feeder dan karnivor. Organisme yang dominan adalah
polychaeta, bivalva dan crustacea.
Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling
padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk
spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas
biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena
bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air,
celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang bervariasi terhadap cahaya,
gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan termasuk
kelompok herbivora, scavenger, suspended
feeder dan predator. Organisme bentos yang dominan adalah
kelompok epifauna, seperti gastropoda, crustacea, bivalva dan echinodermata.
Kedalaman air mempengaruhi kelimpahan dan distribusi zoobentos. Dasar perairan yang kedalaman airnya berbeda
akan dihuni oleh makrozoobentos yang berbeda pula, sehingga terjadi
stratifikasi komunitas menurut kedalaman.
Pada perairan yang lebih dalam makrozoobentos mendapat tekanan
fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar.
Karena itu makrozoobentos yang hidup di perairan yang dalam ini tidak
banyak. Berdasarkan kedalaman laut Wright
(1984), mengelompokkan keberadaan hewan bentos dibagi atas tiga zone yaitu (1)
zona intertidal (intertidal zone), (2)
zona paparan benua (continental shelf) dan (3) zona laut dalam (deep sea).
Faktor fisika kimia lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan
makrozoobentos di perairan pesisir adalah salinitas dan keterbukaan wilayah
pesisir selama pasang surut serta buangan limbah, baik yang mengandung
senyawa-senyawa beracun (toksin) maupun logam berat.
Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi
kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana
halnya salinitas. Pasang naik dan turun
menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara
terbuka selama interval waktu tertentu.
Pada saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang
menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang
mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat
mencapai batas letal organisme. Disamping
itu, bentos juga dapat mati disebabkan oleh kehabisan air. Disisi lain, adanya genangan pasang-surut, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk
ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak.
Buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksit)
maupun logam berat, merupakan faktor lain yang juga mempengaruhi keberadaan
makrozoobentos di perairan pesisir. Bahan-bahan
ini berasal dari daerah aliran sungai maupun areal pemukiman – kota dipinggiran
pantai serta kawasan atau industri yang membuang limbah ke laut.
Eisherth (1990) mengelompokkan empat kategori
limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu : (1) pencemaran limbah
industri (industrial pollution) seperti industri pulp, kertas, pengolahan
makanan dan industri farmasi-kimia, (2) pencemaran sampah/limbah domestik
(sewage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran karena
sedimentasi (sedimentation pollution) akibat adanya erosi di daerah hulu
sungai, dan (4) pencemaran oleh aktifitas pertanian (agriculture pollution) yakni
dengan adanya penggunaan pestisida.
IV. MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN PESISIR
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan
dalam bentuk indeks biologi. Cara ini
telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok
organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme
yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian
oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan
struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat
dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh,
1993).
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah
sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik
berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang
bersifat toksik. Tidak ditemukannya
makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik,
sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung
kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan,
secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan
terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi
dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan
me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis
(Ma-gurran, 1988).
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik
untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan
sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang
melimpah.
Indeks keragaman jenis (H') menggambarkan keadaan populasi organisme secara
matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah
individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks keragaman
Shannon - Wiener.
Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai
keseragaman populasi, yang disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula
keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak
sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya
semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu spesies
digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung
berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang
tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air
tersebut setengah tercemar. Air bersih,
indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga.
Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa
berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas:
tercemar berat (0<H'<1), setengah tercemar (1<H'<2), tercemar
ringan (2<H'<3) dan tercemar sangat ringan (3<H<4,5). Kisaran nilai H' tersebut merupa-kan bagian
dari penilaian kualitas air yang dilakukan secara terpadu dengan faktor fisika
kimia air. Sedangkan Lee et all.
(1978) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar
berat, kecil dari satu (H<1), tercemar sedang (1,0 - 1,5), tercemar ringan
(1,6 – 2,0), dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0).
Pengembangan metode indeks diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May
(1975) dalam Magurran (1988), yaitu
menggunakan model distribusi kelimpahan jenis.
Model distribusi kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan
parameter yang sama namun dalam perhitungannya lebih bervariasi misalnya
rangking spesies, kelimpahan observasi, kelimpahan teoritis, dan uji kesesuaian
model, sehingga model ini lebih mendekati keadaan perairan sesungguhnya.
Model distribusi kelimpahan spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian
dan pemanfaatan sumber daya dalam komunitas (Magurran, 1988). Model-model tersebut adalah: Model
Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken Stick. Model Geometrik menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana
organisasi komunitas bersifat kompetitif dan mengalami gangguan, produktifitas
rendah, pembagian sumber daya dalam komunitas tidak merata (Southwood, 1978)
dan dalam tingkat suksesi awal atau lingkungan sangat terganggu (Magurran,
1988). Model Log normal menggambarkan organisasi
komunitas yang layak, pembagian relung yang mantap atau merata, lingkungan
perairan yang stabil sehingga mencirikan suatu komunitas yang seimbang. Model Broken Stick menggambarkan suatu
komunitas yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian relung mengacak tanpa
tumpang tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif (Southwood, 1978).
Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan
struktur komunitas makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan
“principle components analysis”. Dari gambaran ini diharapkan dapat
diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang diduga dapat digunakan sebagai
indikator kualitas perairan serta faktor fisika kimia apa saja yang terutama
mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut.
Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik
ideal dari jenis organisme indikator adalah: a). mudah diidentifikasi, b).
tersebar secara kosmopolit, c). kelimpahan
dapat dihitung, d). Variabilitas
ekologi dan genetik rendah, e). ukuran
tubuh relatif besar, f). mobilitas
terbatas dan masa hidup relatif lama, g).
karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h). terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta
i). cocok untuk digunakan pada studi
laboratorium. Rondo (1982) mengemukakan
bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus
ekslusif dengan fekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi
kehadiran 50%, dan predominan. Suatu
takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya minimal 10%.
Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator
kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat
dibandingkan pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai
indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah
ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan
memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989;
Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan
Resh, 1993). Kelemahannya adalah karena
sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan
kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).
V. SPESIES INDIKATOR
Keberadaan spesies tertentu, khususnya jika kelimpahannya
cukup memadai, menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan terpenuhi. Walaupun demikian ketidak beradaannya tidak
harus menunjukan hal yang sebaliknya, contoh satu spesies bisa secara kompetitif
terpisah dari suatu habitat tertentu, karena spesies yang lain. Namun dalam batasan tertentu, keberadaan dan
ketiadaan kelimpahan relatif dari spesies bisa dipakai sebagai indikator
kualitas lingkungan. Perubahan-perubahan
dalam keberadaan, ketiadakberadaan kelimpahan (apakah terjadi secara mendadak
atau berangsur-angsur), bisa mengimplikasikan suatu perubahan yang sebanding
dalam kondisi-kondisi lingkungan.
Secara ideal, semua anggota dari sebuah komunitas haruslah
dipandang sebagai indikator potensial akan kualitas air dan dicantumkan dalam
peragaan monitoring biologis. Dalam
prakteknya, kelompok-kelompok seperti : bakteri, alga, protozoa dan
mikroinvertebrata butuh metode penyampelan yang berbeda dan perlu keahlian
taksonomis yang baik. Kelompok yang umumnya
dikerahkan sebagai indikator adalah fauna makroinvertebrata
(makrozoobentos). Mereka punya banyak
karakteristik yang diminta, dari organisme indikator (Abel, 1989).
Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi
lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002). EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di
sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat
menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti polychaeta) merupakan indikator yang baik
untuk kualitas air lingkungan laut
karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air
tawar. Polychaeta dikenal sebagai
organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya
kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga
mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.
Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas perairan,
khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai berikut:
A. Indikator untuk perairan yang berkualitas
baik
1. Kelas Serangga
Stonefly Nymphs
(Order Plecoptera)
Common Stonefly Nymph (Family
Perlidae)
Roach-like Stonefly Nymph (Family
Peltoperlidae)
Slender Winter Stonefly Nymph (Family
Capniidae)
Mayfly Nymphs (Order
Ephemeroptera)
Brush-Legged Mayfly Nymph (Family
Oligoneuridae)
Flatheaded Mayfly Nymph (Family
Heptageniidae)
Burrowing Mayfly Nymph (Family
Ephemeridae)
Caddisfly Larvae
(Order Trichoptera)
Net-Spinning Caddis Larva
(Family Hydropsychidae)
Fingernet Caddis Larva (Family
Philopotamidae)
Case-Making Caddis Larva (various
families)
Free-living Caddis Larva (Family
Ryacophilidae)
Dobsonfly (Order
Megaloptera, Family Corydalidae)
Water Penny (Order
Coleoptera, Family Psephenidae)
Riffle Beetle (Order
Coleoptera, Family Elmidae)
2. Kelas lain
Gilled Snail (Order
Gastropoda, Family Viviparidae)
B. Indikator
untuk perairan berkualitas sedang (moderat)
1. Kelas Seranga
Dragonfly Nymph (Order
Odonata, Suborder Anisoptera)
Damselfly Nymph (Order
Odonata, Suborder Zygoptera)
Watersnipe Fly Larva
(Order Diptera, Family Athericidae)
Alderfly Larvae (Order
Megaloptera, Family Sialidae)
Cranefly Larvae (Order
Diptera, Family Tipulidae)
Beetle Larvae (Order Coleoptera)
Whirligig Beetle Larva (Family
Gyrinidae)
Predaceous Diving Beetle Larva
(Family Dytiscidae)
Crawling Water Beetle Larva
(Family Haliplidae)
2. Kelas lain
Scuds (Order Amphipoda,
Family Gammaridae)
Sowbugs (Order Isopoda,
Family Asellidae)
Crayfish (Order Decapoda,
Family Cambaridae)
C. Indikator untuk perairan
berkualitas buruk
1. Kelas Serangga
Midge Larva (Order
Diptera, Family Chironomidae)
Blackfly Larva (Order
Diptera, Family Simulidae)
2. Kelas lain
Pouch Snail (Order Gastropoda,
Family Physidae)
Planorbid Snail (Order
Gastropoda, Family Planorbidae)
Leech (Class Hirudinea)
Aquatic Worm (Class Oligochaeta)
Adapun untuk perairan
pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies yang dapat dijadikan
indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi tentang keberadaan
polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang menunjukkan kondisi
perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen yang rendah, kontaminasi
organik di sedimen dan polusi sampah.
VI. PENUTUP
Sebagai organisme yang hidupnya cenderung menetap di dasar perairan, maka
pemanfaatan makrozoobentos untuk mengetahui kualitas perairan, akan dapat
memberikan gambaran kondisi perairan yang lebih tepat. Namun dalam hal ini
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya proses pengambilan
makrozoobentos dan pengidentifikasian.
Penentuan kualitas perairan dengan menggunakan makrozoobentos dapat
dilakukan dengan menghitung tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi
serta dengan menggunakan model-model kelimpahan. Adapun untuk melihat
keterkaitannya dengan faktor fisika-kimia perairan dapat dilakukan dengan
pengujian secara regresi atau melalui analisa komponen utama.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan beberapa spesies makrozoobentos
yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, namun untuk kajian di wilayah
pesisir informasi tentang ini masih terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P. 1989. Water Pollution Biology. Department of Biology. Sunderland
Polytechnic. Ellis Horwood limited. England.
Allard, M. and G. Moreau. 1987. Effect of Experimental Acidification on
Lotic Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia 144 : 37- 49
APHA. 1992. Standart Methods for the Examination of Water and Waste Water.
18th edition. Washington.
Barnes, R. S. K. and R. N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology
3rd Edition. Blackwell Science Ltd. London.
Butler, G. C. 1978. Principles of Ecotoxicology Scope 12. John Willey &
Sons. New York.
Cummins, K. W. 1975. Fishes dalam Whitton
B. A. (ed.). River Ecology. Black-well Scient Publ. Oxford.
Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor
Perikanan dan Kelautan. LISPI. Jakarta.
Eishert, M. E. 1990. Integrated Environmental Mangement and Land-Based
Marin e Pollution. Tropical Area Coastel Management. ICLARM. Manila
Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicators of River Water Quality dalam A. James dan L. Evison (Ed.)
Biological Indicator of Water Quality. John Willey & Sons. Toronto.
Hynes, H. B. N. 1978. The Ecology Of Running Waters. University Press.
Liver-pool.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Man.
Pren-tice Hall of India. Private Limited. New Delhi.
Lee, C. D., S. B. Wang and C. L. Kuo. 1978. Benthic Macroinvertebrate and
Fish as Biological Indicators of Water Quality, with Reference to Communinty
Diversity Index. dalam E.A.R. Guano.
B.N. Lokani and M.C. Thank (Ed.). Water Pollution Control in Developing
Countries. Asian Inst. Tech. Bang-kok. P: 233-238.
Lind, O. T. 1985. Handbook of Common Methods in Limnology. CV. Mosby. St.
Louis.
Lowe, S., and B. Thompson. 1997. Identifying Benthic Indicators for San
Francisco Bay. http://www.sfei.org/rmp/1997C0403.htm (dk. 23 Mei 2002).
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton
Uni-versity Press. Princeton New Jersey.
Montagna, P. A., J. E. Bauer, D. Hardin and R. B., Spies.
1989. Vertical Distribution of Microbial and Meiofaunal Populations in
Sediments of Natural Coastal Hydrocarbon Seep.
Journal of Marine Science.
Nurifdinsyah, J. 1993. Studi kualitas Sungai Cikaranggelam menggunakan
Mak-rozoobentos sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan. Tesis S2.
Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Nybakken, J. W. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th. edition
An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. New York.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga.
Yogayakarta. Gajah Mada University press.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater invertebrates of the United States. 2nd. ed.
A Willey Interscience Publ. John Willey and Sons. New York.
Oey, B. L., R. E. Soeriaatmadja, W. Parjatmo. 1978. Faktor lingkungan
Penentu dalam Ekosistem Sungai. Seminar Pengendalian Pencemaran Air Dirjen.
Pengairan Dept. PU-RI. Bandung.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater invertebrates of the United States. 2nd. ed.
A Willey Interscience Publ. John Willey and Sons. New York.
Yusuf, Muh., 1994. Dampak Pencemaran Perairan Pantai terhadap Struktur
Komunitas Makrozoobentos dan Kualitas Lingkungan Perairan di Laguna Pulau
Tirangcawang Semarang. Tesis S2
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak dipub-likasikan).
Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic
Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.
Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods with Particular Reference to
the Study of Insect Population. Chapman and Hall. New York.
Sumich, J. L., 1992. An Introduction to the Biology of
Marine Life. 5th edition. Wm. S. Brown Publishers. Dubuque.
Tesky, D. 2001. Biological
Indicators http://www.suite101.com/article.cfm/ecology/57858
(dk.
23 Mei 2002).
Tudorancea, C.; R. H. Green and J. Huebner. 1978. Structure Dynamics and
Pro-duction of the Benthic Fauna in Lake Manitoba. Hydrobiologia 64 (1); 59-95.
US
Environmental Protection Agency. 2002. Marine/Tidal bioindicators
http://www.epa.gov/bioindicators/html/marinetidal.html (dk. 25 Mei 2002)
http://www.epa.gov/ceisweb1/ceishome/atlas/bioindicators/htm (dk 25 Mei 2002)
Via-Norton,
A. Maher and D. Hoffman. 2002. An Introduction to Benthic
Macroinvertebrates http://osf1.gmu.edu/~avia/about.htm (dk 25 Mei 2002)
Warrent, E. C. 1971. Biology and Water Pollution Control. W.B. Saunders
Company. London.
Welch, C. 1980. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. New York.
Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicators of Pollution. dalam Whitton B.A. (ed). River Ecology. Blackwell
Scient Publ. Oxford.
Wright, J. B. (ed). 1984. Oceanography; Unit 10 The
Benthic System. The Open University. Great Britain.