© 2001 Yundy Hafizrianda                                                                  Posted: November 2001 [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 
 
Eksistensi Global Public Goods Dalam Tatanan

Perekonomian Nasional

 

 

 
Oleh:
 
Yundy Hafizrianda

NRP P01600002 / EPN

E-mail: apitika@yahoo.com

 

 

 

 

Pendekatan Ontologi           :  Global Public Goods

Pendekatan Aksiologi         :  Manfaat Global Public Goods

Pendekatan Epistemologi :  Teori Globalisasi

Pendekatan Teleologi         :  Dampak Global Public Goods

 

I. PENDAHULUAN

 

Globalisasi bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan nation-state, perdagangan dan migrasi lintas benua telah sejak lama berlangsung. Jauh sebelumnya perdagangan regional telah membuat interaksi antar-suku bangsa terjadi secara alamiah. Sejak masa sejarah modern, khususnya sebelum memasuki abad ke-20 ini, globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan. Dua dekade sebelum Perang Dunia I, arus uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik, sementara itu bank dan investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan investasinya dari Argentina hingga Singapura. Namun sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang melatarbelakanginya adalah tarik menarik antara paham internasionalis dengan nasionalis atau isolasionis.

Gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak dekade 1980-an jauh berbeda dari segi intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globlisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan, yang tak saja di segala bidang (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideologi), melainkan juga telah menjamah ke tataran systems, processes, actors, dan events. Sekalipun demikian tidak berarti bahwa prosesnya berjalan mulus. Kecenderungan globalisasi disertai dengan fragmentasi. Gambarannya akan lebih kentara dengan mengkontraskan elemen-elemen dari setiap kecenderungan. Pada satu sisi, globalisasi mengandung elemen-elemen: integration, interdependence, multilateralism, openness, dan interpenetration. Di sisi lain, elemen-elemen dari fragmentation ialah: disintegration, autarchy, unilateralism, closure, dan isolation. Sementara itu, globalisasi mengarah pada globalism, spatial compression, universalism, homogeneity, dan convergency; sebaliknya fragmentasi mengarah pada nationalism atau regionalism, spatial distension, separatism, heterogeneity, dan divergency (Basri, 1999).

Seiring dengan gejala globalisasi tersebut, pada dekade ini pakar ekonomi publik dunia mencoba untuk mencetuskan fenomena suatu barang publik yang muncul secara global tanpa mengenal batas-batas geografi suatu negara dan merasuk keberbagai segi kehidupan masyarakat dunia, mereka menyebutnya sebagai global public goods.

Secara teoritis pemanfaatan global public goods akan memberikan keuntungan yang bisa melampaui perbatasan antar negara, generasi, dan populasi penduduk. Bagi setiap pelaku individu (private sector) global public goods ini sering kali menjadi pilihan yang terbaik dan mereka menikmatinya dengan bebas. Namun pada tingkat internasional, global public goods merupakan suatu permasalahan yang dilematis bagi suatu negara didalam mengambil suatu kebijakan publiknya. Hal ini terjadi karena ekses dari global public goods semata-mata tidak hanya menimbulkan manfaat pada suatu negara, tetapi juga bisa menyebabkan kerugian. Bahkan kalau negara tersebut membuat sebuah kebijakan publik yang salah didalam menerima eksistensi global public goods itu maka kadar kerugiannya akan lebih besar dari pada manfaatnya. Akan tetapi bila suatu negara melakukan proteksi yang ketat terhadap global public goods maka negara tersebut akan terisolasi dalam percaturan ekonomi dunia.

Dengan adanya global public goods ini mau tidak mau setiap negara harus bisa menyesuaikan diri. Proteksi yang sifatnya tariff bariers maupun nontariff bariers  misalnya sedikit demi sedikit harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan perdagangan dunia yang ditetapkan oleh WTO, GATT, APEC, dan sebagainya. Jika hal tersebut dilanggar maka banyak negara-negara dagang yang melakukan protes. Contohnya kasus mobil Timor di negara Indonesia. Pada era Suharto dahulu, mobil Timor ini dikamuflase sebagai produksi dalam negeri sehingga perlu diproteksi dengan cara memberikan insentif tarif impor bahan baku yang sangat rendah. Tindakan pemerintah saat itu hanya menguntungkan Korea Selatan yang sebenarnya membuat mobil Timor, dan PT. Timor milik Tommy Suharto yang dianggap membuat mobil tersebut. Akhirnya negara Jepang melakukan protes dan membawa kasus ini ke badan WTO, karena mereka sangat dirugikan dengan kebijakan pemerintah waktu itu yang sangat diskriminatif.

           Masih banyak lagi kasus yang lain jika kita ingin mempelajarinya. Termasuk salah satunya masalah eksternal. Ekspor plywood negara Indonesia ke negara-negara Eropa Barat pernah terganjal kebijakan ecolabeling yang diterapkan mereka. Dianggap Indonesia saat itu sangat mengeksploitasi kekayaan hutan dengan tidak memperhatikan konservasi sumber daya alam. Karena itu mereka mengurangi impor plywood dari Indonesia.

Terkait dengan eksistensi global public goods tersebut tulisan ini mencoba untuk mengangkat suatu isu yang penting untuk dikaji yakni sudah sejauhmana negara Indonesia bisa menerima kehadiran global public goods dan bagaimana pengaruhnya terhadap kebijakan publik yang harus diambil pemerintah.

 

II. ISU TENTANG GLOBALISASI DAN GLOBAL PUBLIC GOODS

 

Akhir-akhir ini kita banyak mendengar istilah globalisasi. Banyak orang ternyata excited dengan gejala ini, mereka senang menelepon ke luar negeri, senang memakai internet, senang membicarakan tantangan-tantangan yang sekiranya akan dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi perdagangan bebas, dan sebagainya.

Banyak kalangan memandang bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah dan oleh karena itu tak dapat dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dari pendapat sementara kalangan yang sangat prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia yang kian tak menentu dan rentan gejolak, terutama sebagai akibat dari arus finansial global yang semakin liar. Padahal tak semua negara memiliki daya tahan yang tangguh untuk terlibat di dalam kancah lalu lintas finansial global yang tak lagi mengenal batas-batas negara dan semakin sulit dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat.

Definisi globalisasi banyak sekali, dan salah satunya yang bisa dikutip adalah definisi dari seorang sosiolog Australia yang bernama Malcolm Waters. Pada tahun 1995 dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul "Globalisasi". Menurutnya globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial-budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang (Feith, 1999).

Dengan meminjam definisi globalisasi diatas yang kemudian kita kaitkan dengan public goods maka bisa disimpulkan bahwa global public goods itu merupakan suatu barang publik yang timbul dalam proses sosial yang tidak mengenal batas-batas negara, sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dimana hal itu terjadi di dalam kesadaran orang untuk menerimanya.

Dari pengalaman empiris yang mengikuti sejarah globalisasi kita bisa membagi global public goods kedalam beberapa aspek yakni : (1) ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) informasi, (3) hak-hak dasar manusia dalam keadilan, kesehatan, budaya, politik dan ekonomi, (4) migrasi, (5) hukum, dan (6) akses pasar ekonomi. Pada umumnya pengelolaan atau pengaturan global public goods semacam ini dilakukan oleh badan-badan internasional, dimana penggunaannya hanya diberikan kepada negara-negara yang masuk sebagai anggota dalam badan-badan tersebut (Tambunan, 2001).

Sesuai dengan keenam aspek di atas kita bisa membuat beberapa peta badan internasional yang menunjukkan kehadiran dari global public goods tersebut sebagai berikut (Feith, 1999).

Pertama, berkembangnya organisasi-organisasi antar-pemerintah (IGO atau Inter-Governmental Organizations). IGO bisa diklasifikasikan ke dalam :

1].           1].           Organisasi yang bersifat global-kewilayahan. Yang bersifat global-kewilayahan ini bisa dibagi yaitu : a) bersifat global, misalnya PBB, UNESCO (UN Educational, Scientific and Cultural Organization), IAEA (Internatio-nal Atomic Energy Agency), ILO (Interna-tional Labor Organization), Bank Dunia, IMF (Dana Moneter Internasional), WTO (World Trade Organization), Mahkmah Internasional; b) bersifat kewilayahan, misalnya ASEAN, Uni Eropa, SAARC (South Asian Association for Regional Coopera-tion), OAU (Organization for African Unity), ASEAN Regional Forum, APEC, NATD, OSCE (Organization for Security and Cooperation in Europe), Persemakmuran (yang tadinya Persemakmuran Inggris), Persemakmurana Negara-negara Independen (Commonwealth of Independent States, yang tadinya merupakan bagiannya Uni Soviet).

2].           2].           Badan internasional yang secara formal terkait dengan PBB (contohnya UNESCO, ILO, Bank Dunia, IMF, WTO, Mahkamah Internasional), dan yang tidak terkait dengan PBB.

3].           3].           Badan internasional kuat dan yang lemah, yang terdiri dari : a) yang kuat dan mantap, dengan Sekretariat yang cukup banyak sumberdayanya (misalnya PBB, Bank Dunia, IMF, Uni Eropa), dengan seorang Sekjen, atau Presiden yang jabatannya menjadi rebutan seperti jabatan Presiden atau Perdana Menteri sebuah negara; dan b) yang lemah, atau karena baru atau karena anggota-anggotanya tidak banyak memberi sumber-daya padanya (misalnya ASEAN Regional Forum, SAARC);

4].           4].           Badan internasional yang banyak dipenguruhi oleh dunia bisnis (mis. Bank Dunia, IMF, WTO), dan yang banyak dipe-ngaruhi oleh INGO (International Non-Governmental Organizations) dan pendapat umum dunia (mis. UNESCO);

5].           5].           Badan internasional yang mewakili negara-negara berkembang atau pinggiran/periferi (mis. GNB, OPEC, OKI, ASEAN, Organisasi Persatuan Afrika), dan yang mewakili negara-negara maju atau negara-negara industri atau negara-negara pusat (mis. G7, Eropa, NATO, barangkali juga Bank Dunia dan IMF).

Kedua, pada tahun-tahun terakhir ini kita menyadari akan pentingnya kekuasaan perusahaan global yang disebut Multinational Corporations (MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Kita mengetahui bahwa modalnya bergerak cepat melintasi perbatasan negara. Perusahaan transnasional pencari untung ini tidak hanya bergerak di bidang produksi dan keuangan, tapi juga di bidang media massa.

Ketiga, munculnya bermacam-macam organisasi internasional atau transnasional yang bukan perusahaan dan tidak bersifat antar-pemerintah. Organisasi antar masyarakat atau non pemerintah ini disebut juga INGO, International Non-Governmental Organizations. INGO ini juga bisa diklasifikasi kedalam beberapa bagian yakni :

1].           1].           Organisasi yang bersifat global dan kewilayahan, yang global misalnya International Planned Parenthood Association, sedangkan yang kewilayahan umpamanya Asian-Pacific Peace Research Association.

2].           2].           Organisasi yang sudah lama ada dan yang masih baru. Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen’s Association (Socialist International) tahun 1860an, Panitia Olimpiade tahun 1895. Di antara yang didirikan sebelum tahun 1920 Esperanto Association (yang mencita-citakan Esperanto menjadi bahasa dunia), International Women’s League for Peace and Freedom, International Peace Bureau, Comintern (Communist International atau Third International). Sebaliknya ada banyak organisasi yang cukup terkenal yang didirikan baru pada tahun 1960-an dan 1970-an, misalnya Amnesty International (1961), Greenpeace (1971), Worldwatch, Human Rights Watch, dan Refugee International.

3].           3].           Organisasi yang konvensional dan aktivis. Organisasi yang konvensional misalnya Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul Islamiyah, Theosophical Society, Interna-tional Association of Scientific Unions, International Economic Association, Inter-national Association for the Conservation of Nature, dan berbagai organisasi olahraga internasional. Sedangkan yang aktifis atau perintis seperti Socialist International, Esperanto Association, International Women’s League for Peace and Freedom, Amnesty International, Green-peace International, International Network of Engaged Buddhists, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United Nations Associations, International Physicians for the Prevention of Nuclear War, World Council of Indigenous Peoples, Medicine Sons Frontieres (Dokter Tanpa Perbatasan), Refugees International, Trans-parency International, Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global itu tepat disebut aktivis, tetapi cara bekerjanya cukup profesional. Mereka pada umumnya sangat membanggakan ketelitiannya. Pendapat umum dunia ternyata banyak sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Pengaruhnya banyak disalurkan melalui pers elit, seperti Inter-national Herald Tribune, The Guardian dan The Economist.

4].           4].           Organisasi yang pro-bisnis dan anti-bisnis, yang pro-bisnis seperti Rotary Internatio-nal, Liberal International, Transparency International, International Association of Tourist Agency, dan yang anti-bisnis adalah berbagai-bagai organisasi sosialis, komunis, dan ekologi radikal.

 

Telah kita ketahui bersama pula bahwa secara umum, negara-negara yang ada di dunia ini bisa dipetakan secara dikotomis. Negara-negara ini bisa dibagi ke dalam negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya. Dengan adanya fenomena semacam ini timbul suatu pertanyaan, sebenarnya global public goods ini ditujukan untuk siapa ? apakah untuk negara-negara maju (development contry) atau negara-negara sedang berkembang (less development country) misalnya. Aturan mainnya atau rule of the game memang harus jelas. Jangan sampai eksistensi global public goods hanya menguntungkan negara-negara maju saja, sementara negara-negara sedang berkembang dipaksa untuk menerimanya meskipun untuk itu mereka harus menanggung kerugian. Oleh karena itu didalam pengaturan global public goods tersebut yang perlu diperhatikan adalah (Tambunan, 2001) :

1].           1].           Pelaksanaannya yang terbaik secara internasional (best pratice international).

2].           2].           Standar internasional yang digunakan (standard international).

3].           3].           Adanya persetujuan dari negara-negara anggota (where member agreed to)

4].           4].           Institusi yang melaksanakan (institution).

Sekiranya keempat masalah ini bisa diselesaikan secara baik tanpa memunculkan suatu complain dari satu atau beberapa negara maka eksistensi global public goods dalam pasar internasional khususnya, bisa menciptakan kesejahteraan dunia. Terutama adanya peningkatan kesejahteraan di negara-negara sedang berkembang.

 

III. BEBERAPA INDIKATOR PEREKONOMIAN EKSTERNAL INDONESIA  

 

A. Arus Perdagangan Internasional Indonesia

           Dalam dekade ini semua negara praktis sudah menerapkan open market economy (perekonomian pasar terbuka) dengan pasar internasional. Model perekonomian tertutup bagi suatu negara sekarang ini hanya merupakan suatu teori untuk kepentingan metodologi pedagogis. (Dumairy, 1997)

           Sejarah juga menunjukkan bahwa keterbukaan pasar di negara Indonesia sudah ada sejak jaman Belanda. Pada waktu itu perdagangan rempah-rempah sangat mewarnai “ekspor negara Indonesia”, yang sudah tentu keuntungannya dirampas habis oleh bangsa Belanda. Kemudian, setelah negara kita merdeka, perkembangan perdagangan luar negeri Indonesia tidak pernah berhenti, bahkan selalu meningkat sampai saat ini.

           Indonesia dalam perdagangan internasional sejak dahulu hanya sebagai price taker. Artinya peran Indonesia dalam pembentukan harga internasional praktis tidak ada. Disamping itu dalam kategori perdagangan dunia, Indonesia disebut small economies, atau peran perdagangangan Indonesia bisa diabaikan. Ini terjadi karena share ekspor dan impor Indonesia terhadap total dunia amat kecil jumlahnya. (Syahrir, 1995)

           Meskipun tergolong small economies, pertumbuhan perdagangan luar negeri Indonesia cukup mengesankan, terutama pada periode 1970–1980. Periode ini merupakan masa kejayaan minyak di Indonesia. Perolehan devisa dari komoditi tersebut menyebabkan pertumbuhan surplus perdagangan kita melaju dengan pesat, rata-rata 103,7% pertahun. Puncaknya terjadi pada tahun 1980, waktu itu neraca perdagangan mengalami surplus sampai $ 13,116 juta atau meningkat 56,37% dari tahun 1979. Lihat Tabel 3.1. Rejeki dadakan dari minyak, membuat Indonesia terlena didalam membangun basis   ekspor   yang  tangguh. Selama  periode  1970–1980, struktur ekonomi  Indonesia sangat oil heavy. Banyak juga yang menyebut Indonesia terjangkit Dutch Disease, karena sangat tergantung pada satu komoditi saja, yang menyebabkan pengembangan komoditas yang lain diabaikan.

 

Tabel 3.1 : Perkembangan Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 1970-1999
                            

Tahun

Ekspor

$ juta

Impor

$ juta

Neraca Perdagangan

Tahun

Ekspor

$ juta

Impor

$ juta

Neraca Perdagangan

Surplus

Growth %

Surplus

Growth

1970

1108.1

1001.5

106.6

-

1985

18586.7

10259.1

8327.6

4.02

1971

1233.6

1102.8

130.8

22.70

1986

14805

10718

4087

-50.92

1972

1777.7

1561.7

216

65.14

1987

17135.6

12370.3

4765.3

16.60

1973

3210.8

2729.1

481.7

123.01

1988

19218.5

13248.5

5970

25.28

1974

7426.3

3841.9

3584.4

644.11

1989

22160.2

16359.6

5800.6

-2.84

1975

7102.5

4757.5

2345

-34.58

1990

25675.3

21837.1

3838.2

-33.83

1976

8546.5

5673.1

2873.4

22.53

1991

29142.4

25868.8

3273.6

-14.71

1977

10852.6

6230.3

4622.3

60.87

1992

33967

27279.6

6687.4

104.28

1978

11643.2

6690.4

4952.8

7.15

1993

36823

28327.8

8495.2

27.03

1979

15590.1

7202.3

8387.8

69.35

1994

40053.4

31983.5

8069.9

-5.01

1980

23950.4

10834.4

13116

56.37

1995

45418

40628.7

4789.3

-40.65

1981

25164.5

13272.1

11892.4

-9.33

1996

49814.8

42928.5

6886.3

43.79

1982

22328.3

16858.9

5469.4

-54.01

1997

53443.6

41679.8

11763.8

70.83

1983

21145.9

16351.8

4794.1

-12.35

1998

48847.6

27336.9

21510.7

82.86

1984

21887.8

13882.1

8005.7

66.99

1999

48665.5

24003.3

24662.2

14.65

Sumber : Bank Indonesia, 1970-1999

                                                                      

           Setelah oil boom tahun 1980 usai, ditandai dengan menurunnya harga minyak dunia terus menerus, Indonesia baru menyadari bahwa kekuatan komoditi minyak untuk menopang basis ekspor sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Akhirnya dibuatlah serangkaian kebijakan untuk menjadikan export-drive sebagai prioritas utama, dengan konsentrasi terhadap diversifikasi ekspor nonmigas.

           Deregulasi saat itu memang dianggap sebagai obat mujarab untuk mencapai hal tersebut, makanya dikeluarkan berbagai macam deregulasi sejak Juni 1983 hingga sampai kini. Perkembangan ekspor Indonesia kembali lagi bergairah, namun sekarang yang menjadi export leader adalah komoditi nonmigas.

           Meskipun kelihatan lambat, dan selalu naik turun, perkembangan surplus perdagangan dalam periode 1981–2000 semakin bertambah baik. Setelah menunggu kurang lebih 18 tahun, akhirnya pada tahun 1998 Indonesia bisa melampaui surplus perdagangan yang pernah terjadi pada masa oil boom, dimana tahun ini surplus perdagangan Indonesia bisa mencapai $ 21,510.7 juta. Semenjak itu surplus perdagangan kita selalu meningkat, hingga tahun 2000 sudah sebesar $ 25,100 juta.

           Dalam periode 1998 – 2000 memang kelihatan surplus perdagangan Indonesia sangat menyolok dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini pertanda basis ekspor yang terbentuk sudah sangat tangguh ? Belum tentu. Sebab ada indikasi bahwa lompatan surplus perdagangan yang terjadi selama periode tersebut diakibatkan menguatnya mata uang dolar AS (Amerika Serikat) terhadap rupiah. Karena kita melihat perkembangan surplus perdagangan berdasarkan nilainya, maka sudah tentu perubahan-perubahan kurs dolar sangat mempengaruhi besar kecilnya surplus perdagangan. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa semenjak krisis ini terjadi, ada lonjakan kurs dolar AS yang sangat tinggi. Sepanjang periode             1998–2000 kisaran kurs dolar AS ada diantara Rp. 6.700 – Rp. 9.530 (Bank Indonesia, 2000), sedangkan periode 1981–1996 dibawah Rp. 2.500. Sudah jelas dengan perbedaan kurs yang sangat tinggi diantara kedua periode tersebut menyebabkan surplus perdagangan Indonesia menggelembung besar. Padahal perubahan persentase volume ekspornya belum tentu bisa sebesar itu.

           Sekadar ilustrasi, berikut ini disampaikan hasil perhitungan RCA (revealed comparative advantage) untuk beberapa komoditi di Indonesia pada tahun 1999.

 

Tabel 3.2 : Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) Beberapa Komoditi Ekspor

 

No

Komoditi

Impor

Ekspor

RCA

01.

Lemak, minyak dan malam

2399143

1748950

-0.064

02.

Makanan, minuman, & minuman keras, tembakau

1074540

1345113

-0.017

03.

Prod. Industri kimia dan industri sejenis

3851077

1844362

-0.123

04.

Plastik, karet, dan barang dari plastik dan karet

1015792

2103997

0.001

05.

Tekstil dan barang dari tekstil

1649344

6954675

0.074

06.

Logam dan barang dari logam

1908577

2012857

-0.038

07.

Mesin, pesawat mekanik, elektronik

4449608

5218235

-0.078

08.

Kendaraan, pesawat terbang, kend. Air dan lengk.

1296098

749699

-0.039

09.

Karya seni, barang koleksi, dan barang antik

6993

19919

0.001

10.

Kayu, barang dari kayu dan brg. Anyaman

96293

3795976

0.072

11.

Barang-barang listrik

59025                                                                                             

3401278

0.067

Total nonmigas

24003300

48665500

 

                                       Sumber : Bank Indonesia 2000, data diolah

 

           Berdasarkan Tabel 3.2, kelihatan hanya lima komoditi saja yang memiliki keunggulan komparatif (RCA > 0), dan seperti yang sudah diduga sebelumnya, tekstil dan pakaian jadi memang memiliki keunggulan komparatif  yang lebih tinggi dari semua komoditi. Berikutnya menyusul kayu, barang dari kayu dan barang anyaman, serta barang-barang listrik.

Komoditi karya seni, barang koleksi dan barang antik Indonesia, meskipun memiliki RCA yang sangat kecil, tetapi tandanya yang positip menunjukkan bahwa komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif di pasaran internasional. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah. Negara kita ini memiliki keanekaragaman budaya, yang sudah tentu akan memperkaya hasil seni anak bangsa. Hanya saja, karena potensi ini belum bisa digali sepenuhnya, sehingga produk  yang dihasilkan lebih banyak berputar di pasaran domestik. Kalau pemerintah mau membuat galeri-galeri seni di setiap negara maju, sudah pasti tempat itu bisa dijadikan sebagai ajang promosi dan transaksi karya seni negara Indonesia.

Banyaknya produk domestik yang tidak memiliki keunggulan komparatif, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3, sebagian besar disebabkan karena berkurangnya proteksi yang dilakukan pemerintah. Indikasinya kita bisa melihat pada penurunan tarif yang terjadi selama periode 1993-1999.

Pada tahun 1993, rata-rata tarif yang diberlakukan untuk semua produk impor adalah 19,40%. Adapun produk domestik yang paling banyak diproteksi dengan tarif saat itu  adalah barang-barang manufaktur yaitu sebesar 20,3%. Sedangkan komoditi primer sebesar 16,7%, lihat Tabel 3.3.

 

Tabel 3.3 : Rata-rata Tarif Impor Di Indonesia Tahun 1993 dan Tahun 1999

 

Mean Tarif %

1993

1999

All Products

19.4

11.9

Primary Products

16.7

11.9

Manufatured Products

20.3

11.8

 Sumber : IMF, 2000

 

Kemudian seiring dengan masuknya Indonesia dalam kesepakatan AFTA, WTO, dan sekarang IMF,  akhirnya secara bertahap tarif impor mulai diturunkan. Sehingga pada tahun 1999, tarif impor untuk semua produk berkurang menjadi 11,9%, dimana untuk produk manufaktur tarifnya sekarang sebesar 11,8% dan produk primer sebesar 11,9%.

Walaupun secara global proteksi dengan tarif menurun, akan tetapi untuk beberapa komoditi tertentu pemerintah masih melindungi dengan ketat. Contohnya komoditi beras. Waktu tiga tahun yang lalu, tarif impor beras adalah nol persen, dan semenjak itu beras impor membanjiri pasar domestik. Akibatnya harga beras dalam negeri menurun tajam, yang secara teoritis harganya bisa menyamai harga dunia dengan kondisi tarif sebesar itu. Sudah tentu situasi ini menyebabkan petani kita kelimpungan karena tidak mampu bersaing dengan beras impor. Mereka mengeluh dan mengadukan nasibnya ke pemerintah, minta supaya impor beras dihentikan. Pada akhirnya, meskipun pemerintah tidak menyetop impor beras, namun tarif impor yang dikenakannya sangat tinggi yaitu sebesar 60%.

Pemerintahnya sepertinya masih enggan untuk mengurangi NTB (nontarrif-barriers). Hal ini tercermin dengan masih tingginya NTB untuk produk manufaktur sebesar 30% dan produk pertanian sebesar 35%. Struktur proteksi yang masih kuat semacam ini jelas semakin menyuburkan ketidakefisienan produksi nasional. Selain juga menimbulkan deadweight loss dalam perekonomian domestik. Ini berarti distorsi ekonomi masih cukup banyak yang harus dipangkas.

Memang meniadakan NTB pada sebuah komoditi adalah keputusan yang secara ekonomis tepat. Namun itu hanya bisa efektif bila diputuskan oleh kekuasaan politik. Dengan demikian pada akhirnya pengurangan proteksi adalah keputusan yang hanya bisa terjadi dalam proses politik. (Syahrir, 1995)

 

B. Hutang Luar Negeri dan Investasi Asing Langsung Indonesia

           Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat kritis. Disatu sisi ada keinginan agar bisa secepatnya keluar dari krisis, akan tetapi disisi lain hutang luar negeri terus membengkak setiap tahunnya. Akibatnya proses recovery perekonomian belum berjalan, persoalan baru malah muncul lagi.

 

 

Tabel 3.4 : Perkembangan Hutang  Luar Negeri  dan  Hutang  Luar  Negeri  Perkapita

                                                                         Negara Indonesia, Periode 1970 - 2000  

 

Tahun

Hutang Luar Negeri

Hutang LN Perkapita

Nilai ($ milyar)

Growth (%)

Nilai ($ )

Growth (%)

1970

3.4

 

27.9

 

1980

20.9

56.7

13.5

-5.7

1990

69.9

26.0

111.5

80.6

1991

79.5

13.7

36.6

-67.2

1992

88.0

10.6

45.4

23.8

1993

89.2

1.3

45.2

-0.3

1994

107.8

20.9

397.1

778.1

1995

124.4

15.4

53.0

-86.7

1996

129.0

3.7

61.5

16.1

1997

132.0

2.3

62.0

0.8

1998

138.0

4.5

146.3

136.0

1999

150.9

9.3

103.3

-29.4

2000

148.1

-1.8

84.3

-18.4

                                                 Sumber : US, Bureau of The Cencus; International Data Base; World Bank; IMF, 1999

 

           Perkembangan hutang luar negeri Indonesia memang seperti tidak akan ada habis-habisnya. Setiap tahun nilai hutang kita terus bertambah, sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 3.4.

Sejarah hutang luar negeri Indonesia mungkin bisa dikatakan mulai tahun 1970. Waktu itu kita mengadakan pinjaman luar negeri sebanyak $ 3 milyar. Kemudian terus berkembang setiap tahunnya hingga saat ini. Pertumbuhan hutang luar negeri Indonesia selama periode 1970-1980 kelihatan melaju sangat pesat, rata-rata sekitar 56% pertahun. Hal ini terjadi karena negara kita baru membangun perekonomiannya kembali yang runtuh diwaktu jaman orde lama, sehingga membutuhkan bantuan luar negeri yang sangat banyak.

           Selanjutnya pada periode 1980-1990, perkembangan hutang luar negeri sudah mulai melambat, rata-rata hanya 26% pertahun, dan semakin bertambah pelan dalam periode 1990-2000, kurang lebih hanya 8% pertahun. Secara keseluruhan kalau kita mengakumulasi hutang luar negeri Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 bisa mencapai $ 1,257 milyar dolar.

           Tabel 3.4 juga menunjukkan besarnya hutang luar negeri yang harus ditanggung oleh penduduk Indonesia (foreign debt per capita). Kelihatan disini beban hutang yang ditanggung oleh masyarakat dari tahun ketahunnya selalu naik turun. Peningkatan yang sangat tinggi terjadi pada tahun 1994, yang naik sampai 778,08% dari tahun 1993. Waktu tahun 1994 hutang luar negeri per kapita Indonesia sebesar    $397.12 sedangkan tahun 1993 hanya $45.23. Sampai dengan tahun 2000 besarnya hutang luar negeri yang harus ditanggung penduduk setiap orang adalah sebesar      $84,3 atau bila dirupiahkan pada kurs Rp. 7.425/$ (Bank Indonesia, Januari 2000) sama dengan Rp. 625.928. Dengan demikian setiap bulannya masyarakat harus menanggung hutang luar negeri sebanyak Rp. 52.160. Berarti secara implisit kesejahteraan masyarakat menjadi kurang, karena secara tidak langsung konsumsinya menjadi lebih rendah dari pada bila negara kita tidak melakukan pinjaman luar negeri. Kalau konsumsinya berkurang, maka utiliti menurun, dan utiliti yang menurun sudah tentu menggambarkan kesejahteraan yang menurun pula.

           Fenomena sebagaimana yang dipaparkan secara sederhana di atas menunjukkan bahwa hutang luar negeri itu merupakan ancaman bagi kesejahteraan masyarakat. Situasi ini akan semakin buruk lagi jika perekonomian sedang menurun, seperti yang terjadi di negara Indonesia saat ini, dimana saat hutang luar negeri selalu menumpuk, namun PDB riil menurun. Ini menandakan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia sebagai penanggung hutang sudah berada dibawah nilai hutang negeri tersebut.

           Indonesia sekarang ini sedang terjebak dalam Fisher Paradox, karena cicilan ditambah hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang baru. Oleh karena nilai cicilan ditambah bunga hutang luar negeri lebih besar dari hutang yang baru, maka terjadi net transffer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. (Swasono, dan Arief, 1999)

 

Tabel 3.5 : Jumlah Pinjaman Luar Negeri dan Cicilan Pemerintah Tahun 1994-2000

 

Tahun

Besarnya Pinjaman

Cicilan Pokok

Cicilan Bunga

Total Cicilan

1994

58,618

5,390

2,983

8,373

1995

59,588

5,449

3,169

8,618

1996

55,303

6,215

2,780

8,995

1997

53,865

4,714

2,562

7,276

1998

67,321

3,765

2,701

6,466

1999

75,720

4,070

3,220

7,290

2000

76,357

2,013

1,738

3,751

Sumber : Bank Indonesia, 2000

 

Dalam Tabel 3.5 kelihatan selama periode 1994-2000, sektor pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan hutang sebesar $47,018 milyar. Sementara itu dalam periode yang sama, ada tambahan hutang pemerintah sebanyak $26,469 milyar. Ini berarti secara implisit mengandung pengertian seperti Fisher Paradox, yaitu semakin banyak cicilan hutang semakin menumpuk hutang luar negeri pemerintah.

Ada kesan juga bahwa selama ini negara kita selalu gali lubang tutup lubang, atau menurut Basri (2001), kondisi hutang pemerintah saat ini dalam posisi debt trap, dimana sebagian besar hutang yang baru digunakan untuk mencicil hutang yang lama.

Secara teori kita mengenal apa yang disebut dengan loan-pull theory (teori tarikan uang). Menurut teori ini, ada negara yang benar-benar memanfaatkan hutang luar negerinya berdasarkan atas perhitungan kebijakan ekonominya secara matang guna mendorong peningkatan kapasitas produksi nasional sesuaia dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi produktif negaranya. Tetapi ada juga negara yang memanfaatkan hutang luar negerinya tidak berdasarkan perhitungan kebijakan ekonomi yang matang, yang pada dasarnya tidak pula mendorong meningkatnya kapasitas produksi nasional, bahkan malah menciptakan situasi sebaliknya (Dillon, 200). Seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, misalnya pinjaman yang diberikan oleh ADB sebesar $1,5 milyar pada tahun 1998 sebagian besar ($1,4 milyar) adalah untuk membiayai impor. Keadaan yang sama juga berlaku untuk pinjaman IMF (Swasono, dan Arief, 1999). Akibatnya tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap hutang luar negeri sampai sekarang masih sangat tinggi, karena hutang yang dipinjam tidak berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas produksi nasional.

 

 

Tabel 3.6 : Indikator Ketergantungan Perekonomian Domestik Terhadap Hutang Luar Negeri

 

Indikator

1997

1998

1999

2000

Rata-Rata

DSR

44.5

57.9

56.8

44.8

51

Posisi Hutang/Ekspor

207.3

261.8

252.1

198.2

229.85

Posisi Hutang/PDB

62.2

146.3

103.3

84.3

99.03

Sumber : Bank Indonesia, 2000

 

Indikator ketergantungan perekonomian domestik terhadap hutang luar negeri,  bisa kita lihat pada Tabel 3.6. Meskipun Tabel tersebut menunjukkan ada penurunan dari semua indikator beban hutang luar negeri, akan tetapi karena masih tingginya nilai-nilai tersebut maka tetap saja menggambarkan bahwa ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap hutang luar negeri sangat tinggi. Dimana selama periode 1997-2000, rata-rata  angka DSR setiap tahun adalah sebesar 51%, rasio hutang ekspor sebesar 229,85%, dan rasio hutang PDB sebesar 99,03%,

Menurut Bank Indonesia (2000), pada tahun 2000 sektor ekonomi domestik yang paling banyak dibiayai oleh hutang luar negeri adalah sektor jasa keuangan dan leasing yakni sebesar $ 3.6 milyar. Berikutnya sektor industri pengolahan sebesar $ 31.3, dan sektor gabungan (listrik, gas dan air bersih) sebesar $ 14,5 milyar. Dua sektor yang disebutkan pertama menunjukkan sektor-sektor swasta, sedangkan yang terakhir adalah sektor publik.

Sejak dahulu komposisi sektor ekonomi yang dibiayai hutang, paling banyak terfokus kepada ketiga sektor di atas. Sektor pertanian yang sebenarnya sudah teruji kemampuannya melalui krisis, ternyata kurang banyak mendapat perhatian pemerintah saat itu. Sebenarnya kalau pemerintah mau mengucurkan lebih banyak hutang luar negerinya ke sektor pertanian, mungkin saja pemulihan ekonomi sudah berjalan baik sekarang. Selain sudah terbukti ketangguhannya menghadapi krisis, sektor ini juga banyak menyerap lapangan kerja bagi 50% penduduk Indonesia yang mengggantungkan nasibnya pada sektor pertanian.

Sesungguhnya dari pengalaman krisis sekarang, secara empirik telah terbukti betapa fundamentalnya peran sektor pertanian bagi pembangunan bangsa, dan dari sini pula semestinya proses pemulihan perekonomian nasional bertolak. (Dillon, 2000)

 

C. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia

           Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam dasawarsa ini terkesan cukup menggembirakan. Terutama sekali sejak tahun 1998, tercatat neraca transaksi berjalan (current account) mulai mengalami surplus. Kondisi tersebut terus berlanjut sampai dengan tahun 2000. Keberhasilan ini memang tidak terlepas dari peranan pemerintah yang selalu gencar mendorong ekspor nonmigas dengan cara mengeluarkan berbagai peraturan, dan juga karena adanya kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan penerimaan devisa sektor migas melambung tinggi. Untuk melihat lebih jelas lagi kinerja NPI selama ini, berikut disajikan perkembangan NPI sepanjang periode 1994-2000.

 

                                             Tabel 3.7 : Perkembangan   Neraca  Pembayaran Indonesia 1994-2000 (dalam milyar dolar)       
 
  




U r a i a n                         1994   1995  1996  1997  1998  1999   2000 

 

 
 

   
A. Transaksi berjalan                -2,9  -6.8  -7.8  -5.0   4.1   5.8    7.7         
   I. Barang                          7.9   6.5   5.9  10.1  18.4  20.6   25.1      
      1. Ekspor. fob                 40.2  47.5  50.2  56.3  50.4  51.2   62.5    
         a. Non migas                30.3  36.9  38.0  44.6  42.9  41.0   47.0    
         b. Migas                     9.9  10.5  12.2  11.7   7.4  10.3   15.5     
      2. Impor. fob                 -32.3 -40.9 -44.2 -46.2 -31.9 –30.6  -37.4  
         a. Non migas               -28.7 -37.1 -39.9 -41.5 -29.1 –26.6  -32.1   
         b. Migas                    -3.6  -3.9 - 4.4  -4.8  -2.9  -4.0   -5.3   
   II. Jasa-jasa (bersih)           -10.9 -13.3 -13.7 -15.1 -14.3 –14.9  -17.4    
       1. Non migas                  -7.9 -10.2 -10.3 -10.5 -11.4 –11.7  -12.7    
       2. Migas                      -2.9  -3.1  -3.5  -4.6  -2.9  -3.2   -4.7     
 
B. Transaksi modal                    4.0  10.6  10.9   2.5  -3.9  -4.6   -4.6   
   I. Modal pemerintah (bersih)       0.3   0.3  -0.5   2.9   9.9   5.4    3.8    
      1. Penerimaan                   5.7   5.8   5.7   7.6  13.7   9.4    8.3    
      2. Pelunasan pinjaman          -5.4  -5.4  -6.2  -4.7  -3.8  -4.1   -4.5  
   II. Modal swasta (bersih)          3.7  10.3  11.5  -0.4 -13.8  -9.9   -8.5    
       1. Penanaman modal langsung    2.1   4.4   6.2   4.7  -0.4  -2.7   -4.1    
       2. Lainnya                     1.6   5.9   5.3  -5.0 -13.5  -7.2   -4.4    
 
C. Jumlah                             1.0   3.8   3.2  -2.5   0.2   1.2    3.1    
 
D. Selisih perhitungan  2)           -0.2  -2.3   1.3  -1.7   2.1   2.1    1.9  
 
E. Cadangan devisa resmi 1)          -0.8  -1.5  -4.5   4.1  -2.3  -3.3   -5.0   
 
                 MEMORANDUM                                                                                                                                            
                          - Total Aktiva Luar Negeri           17.4  18.8  25.5  21.4  23.7  27.1    29.3      
                            (Dalam bulan impor nonmigas c&f)    6.6   5.5   6.9   5.6   5.9   6.7     6.3    
 
                                              Sumber : Bank Indonesia. 1994-2000 
 

              

Berdasarkan Tabel 3.7 di atas kelihatan perkembangan transaksi berjalan dalam periode 1994-1997 selalu defisit. Defisit yang paling besar dialami pada tahun 1996, yakni sebesar $7.8 milyar. Kemudian defisitnya menurun di tahun 1997 menjadi $5.0 milyar, dan mulai tahun 1998 transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus yang cukup tinggi yakni sebesar $4.1 milyar. Semenjak itu posisi surplus selalu mengikuti perkembangan transaksi berjalan sampai tahun 2000. Membaiknya transaksi berjalan dalam periode 1998-2000 disebabkan karena semakin tingginya kinerja ekspor nonmigas dan meningkatnya penerimaan ekspor migas.

               Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas, pemerintah telah banyak mengambil berbagai langkah kebijakan antara lain melalui penurunan pajak ekspor secara bertahap, pengeluaran keputusan tentang kuota ekspor, penyediaan pembiayaan dan penjaminan yang termasuk pula pemberian jasa konsultasi, dan usaha-usaha lainnya dalam rangka mendorong dan memperlancar ekspor nonmigas. Berbagai kebijakan deregulasi yang ditempuh pemerintah tersebut pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap perkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Kalau pada tahun 1994 ekspor nonmigas baru mencapai $3.0 milyar maka pada tahun 2000 sudah mencapai $4.7 milyar. Ini berarti ada peningkatan sebesar 57% atau rata-rata 9.4% per tahun.

               Disisi lain bertambahnya penerimaan ekspor migas dalam waktu ini disebabkan karena meningkatnya harga minyak internasional. Situasi tersebut sudah tentu secara langsung  menaikkan harga minyak Indonesia di pasar dunia. Misalnya pada tahun 1997 harga minyak Indonesia hanya $17.4 per barel. Selanjutnya. karena ada kepatuhan dari negara-negara anggota OPEC terhadap kuota yang ditentukan dan kurangnya pasokan minyak dunia akibat konflik di kawasan timur tengah akhirnya harga minyak Indonesia melonjak tinggi pada tahun 2000 menjadi $28.6 per barel. Jelas kenaikan harga yang sangat tinggi ini menambah penerimaan devisa dari sektor migas menjadi $15.5 milyar pada tahun tersebut. Jika penerimaan migas pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1994, maka akan kelihatan suatu kenaikan yang sangat menyolok yaitu sebanyak 56.57%, dimana pada tahun 1994 penerimaan migas Indonesia hanya sebanyak $9.9 milyar.

               Dalam upaya meningkatkan kegiatan kegiatan industri domestik yang masih tergantung dengan bahan baku impor, pemerintah telah menempuh beberapa kebijakan antara lain pemberian fasilitas pembebasan bea masuk impor bahan baku komoditi tertentu. penyempurnaan skim pembiayaan dan penjaminan impor, dan membuka kembali akses ke sumber-sumber perdagangan internasional. Semua kebijakan tersebut pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan impor Indonesia relatif tinggi dalam periode 1994-2000 yakni sebesar 4.42% per tahun. Pertumbuhan yang sangat besar terjadi pada tahun 1995  yakni 26.6% dan tahun 2000 sebesar 22.2%.

               Tabel 3.7 juga menunjukkan bahwa sepanjang periode 1994-2000 selalu ada peningkatan impor migas setiap tahunnya, meskipun pertumbuhannya relatif kecil, namun kondisi tersebut tetap saja menggambarkan bahwa pasokan minyak Indonesia sampai saat ini belum bisa mencukupi konsumsi minyak bumi dan LNG di dalam negeri. 

               Perkembangan transaksi modal bersih di Indonesia dalam kurun waktu 1994-2000 tidak selamanya selalu surplus. Sepanjang tahun 1994-1998 memang transaksi modal kita terus mengalami surplus, rata-rata $7 milyar per tahun. Akan tetapi pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 perkembangannya selalu defisit, dimana rata-rata defisitnya sebesar   $4.4 milyar pertahun. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.

               Pertama, dari sisi penerimaan pemerintah. Kita melihat bahwa jika surplus penerimaan bersih pemerintah mengalami penurunan setiap tahun, maka perkembangan transaksi modal bersih bisa menjadi defisit pula. Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 3.7, nampak jelas bahwa sewaktu surplus penerimaan pemerintah mengalami penurunan pada tahun 1999 sebesar 31.39% dan juga pada tahun 2000 sebesar 11.70%, perkembangan transaksi modal dalam NPI mengalami defisit dalam kurun waktu yang sama. Faktor utama yang menyebabkan mengapa surplus penerimaan pemerintah bisa turun karena berkurangnnya bantuan program dari luar negeri, baik itu bantuan bilateral maupun multilateral. Misalnya pada tahun 2000, terjadi penurunan bantuan program dari ADB, IBRD dan Jepang sebesar 59% sehingga menjadi $1.6 milyar. Disamping itu. penurunan jumlah bantuan pangan sebesar 73%, sehingga nilainya menjadi $73 juta, juga memberikan kontribusi terhadap turunnya surplus lalu lintas modal bersih pemerintah (Bank Indonesia. 2000).

               Kedua, dari sisi penerimaan modal swasta. Jika setiap waktu lalu lintas modal  swasta defisit, maka perkembangan transaksi modal bersih dalam NPI bisa juga selalu defisit. Sepertinya hal inilah yang berperan sangat besar terhadap perkembangan defisit transaksi modal. Sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 3.7, saat lalu lintas modal swasta berjalan defisit selama tahun 1998-2000, kurang lebih defisitnya sekitar $10.7 milyar pertahun, transaksi modal turut mengalami defisit pula. Salah satu indikator yang membuat lalu lintas modal swasta menjadi defisit karena meningkatnya pembayaran hutang luar negeri swasta (outflow), terutama dari sektor perbankan. Termasuk juga karena adanya capital flight (pelarian modal ke luar negeri) bisa mengakibatkan defisitnya lalu lintas modal swasta.

               Tabel 3.7 menunjukkan pula bahwa perkembangan cadangan devisa (reverse) Indonesia selama periode 1994-2000 selalu dalam posisi yang aman, karena setiap tahunnya rata-rata tersedia cadangan devisa yang bisa memenuhi impor dan pembayaran hutang kurang lebih selama 5,4 bulan.

 

IV. PENUTUP

 

Dari berbagai fenomena perekonomian eksternal yang sudah diuraikan di atas, kita bisa mengamati bahwa negara Indonesia ini ternyata sangat tergantung sekali dengan perekonomian luar negeri, terutama sekali dalam hal akses pasar dan kebutuhan modal pembangunan. Oleh karena itu isu globalisasi yang sedang melanda seantero dunia ini sangat mempengaruhi tatanan perekonomian nasional kita. Aspek global public goods yang mengiringi era globalisasi tersebut tidak bisa dihindari lagi, sebab jika Indonesia mengabaikannya sudah tentu akan dikucilkan dalam kancah perekonomian global.

Eksistensi global public goods mampu mendorong terciptanya tata hubungan masyarakat baru, struktur dan sistem ekonomi baru, bahkan persepsi budaya baru dalam kehidupan masyarakat, yang tidak mungkin diimbangi atau dihentikan secara efektif oleh lembaga pemerintah manapun juga.

Pada tingkat nasional, disatu sisi sebagai warga dunia, Indonesia tidak dapat menghindar dari perubahan yang bersifat global tersebut. Tuntutan tentang penegakan demokrasi, hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan menjadi sangat kuat yang terwujud dalam gerakan reformasi nasional pada saat sekarang ini. Di sisi lain krisis ekonomi, moneter yang diikuti dengan krisis sosial dan ekonomi yang hingga kini belum dapat teratasi.

           Hal tersebut di atas, menuntut kebijakan publik yang mampu mendorong masyarakat untuk mempertahankan eksistensi, pertumbuhan, perkembangan sistem kehidupan nasional, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara yang kesemuanya dapat diwujudkan melalui mekanisme sistem pemerintahan yang baik (Good Governance). Untuk dapat mewujudkan kepemerintahan yang baik beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan, antara lain : (1) prinsip kepastian hukum, (2) prinsip keterbukaan, (3) prinsip akuntabilitas, dan (4) prinsip profesionalisme. (Hardijanto, 2000).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alun,    Tawang. 1992. Analisa Ekonomi Utang Luar Negeri. LP3ES, Jakarta.

Arief,   Sritua. 1998. Teori Kebijaksanaan Pembangunan. Penerbit CIDES, Jakarta.

Bank   Indonesia. Laporan Tahunan dan Laporan Bulanan. Beberapa edisi, Jakarta.

Basri   Faisal. 1997. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI. Penerbit Erlangga, Jakarta.

 

Basri   Faisal. 1999. Krisis Ekonomi Indonesia Di Tengah Gelombang Globalisasi.   UI-Jakarta.

             

            Damajanti, Nadia Sri . 1999. Strategi Kebijakan Ekonomi Indonesia: Mungkinkah Krisis Ekonomi Berakhir. Jurnal UT. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.

 

            Dillon, H.S. 2000. Utang Luar Negeri dan Orientasi Pembangunan. Republika 10 Februari 2000, Jakarta.

                

            Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta.

             

            Feith, Herb. 1999. Globalisasi Politik Dunia Dan Keharusan Reformasi PBB. Monash University - Melbourne.

           

            Hardijanto. 2000. Pendayagunaan Aparatur Negara Menuju Good Governance. Makalah  Disampaikan Pada TOT Pengadaan Barang/Jasa Menuju "Good Governance", 11-9-2000, Jakarta.

              

            Jhingan, M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

             

Just,    E. Richard., et al. 1982.  Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall Inc, United States of Amerika.

           

           

            Myles, Garreth D. 1997. Public Economy. Cambridge University Press, London.

                

            Samuelson, Paul A., and William D. Nordhaus. 1995. Makro Ekonomi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

 

            Swasono, Sri Edi., dan Sritua Arief. 1999. Pembangunan Tanpa Utang : Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia. Republika 15 Desember 1999, Jakarta.

 

            Syahrir. 1995. Meramal Ekonomi Di Tengah Ketidakpastian. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

            Tambunan, Mangara. 2001. Hand Out : Ekonomi Publik Lanjutan. Tidak dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

 

            Tambunan, Tulus T.H. 2000. Perekonomian Indonesia (beberapa isu penting). Penerbit Ghalia, Jakarta.

 

            US Bureau of The Cencus ; International Data Base ; World Bank ; International Monetary Fund ; 1999.