©
2001 Yundy Hafizrianda Posted: November 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Perekonomian Nasional
NRP P01600002 / EPN
E-mail:
apitika@yahoo.com
Pendekatan
Aksiologi : Manfaat Global Public Goods
Pendekatan Epistemologi : Teori Globalisasi
Pendekatan
Teleologi : Dampak Global Public Goods
Globalisasi bukanlah
fenomena baru dalam sejarah peradaban dunia. Sebelum kemunculan nation-state, perdagangan dan migrasi
lintas benua telah sejak lama berlangsung. Jauh sebelumnya perdagangan regional
telah membuat interaksi antar-suku bangsa terjadi secara alamiah. Sejak masa
sejarah modern, khususnya sebelum memasuki abad ke-20 ini, globalisasi
dipandang sebagai gelombang masa depan. Dua dekade sebelum Perang Dunia I, arus
uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika Serikat,
Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik, sementara itu bank dan
investor-investor swasta sibuk mendiversifikasikan investasinya dari Argentina
hingga Singapura. Namun sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia,
gelombang globalisasi juga mengalami pasang surut. Salah satu kekuatan yang
melatarbelakanginya adalah tarik menarik antara paham internasionalis dengan
nasionalis atau isolasionis.
Gelombang globalisasi
yang melanda seantero dunia sejak dekade 1980-an jauh berbeda dari segi
intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari
globlisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan,
yang tak saja di segala bidang (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideologi),
melainkan juga telah menjamah ke tataran systems, processes, actors, dan
events. Sekalipun demikian tidak berarti bahwa prosesnya berjalan mulus. Kecenderungan globalisasi disertai dengan
fragmentasi. Gambarannya akan lebih kentara dengan mengkontraskan elemen-elemen
dari setiap kecenderungan. Pada satu sisi, globalisasi mengandung
elemen-elemen: integration, interdependence, multilateralism, openness, dan
interpenetration. Di sisi lain, elemen-elemen dari fragmentation ialah: disintegration, autarchy, unilateralism,
closure, dan isolation. Sementara
itu, globalisasi mengarah pada globalism,
spatial compression, universalism, homogeneity, dan convergency; sebaliknya fragmentasi mengarah pada nationalism atau regionalism, spatial distension, separatism, heterogeneity, dan divergency (Basri, 1999).
Seiring dengan gejala globalisasi tersebut, pada dekade ini pakar
ekonomi publik dunia mencoba untuk mencetuskan fenomena suatu barang publik yang muncul secara global tanpa
mengenal batas-batas geografi suatu negara dan merasuk keberbagai segi
kehidupan masyarakat dunia, mereka menyebutnya sebagai global public goods.
Secara
teoritis pemanfaatan global public goods akan
memberikan keuntungan yang bisa melampaui perbatasan antar negara, generasi,
dan populasi penduduk. Bagi setiap pelaku individu (private sector) global public
goods ini sering kali menjadi pilihan yang terbaik dan mereka menikmatinya
dengan bebas. Namun pada tingkat internasional, global public goods merupakan suatu permasalahan yang dilematis
bagi suatu negara didalam mengambil suatu kebijakan publiknya. Hal ini terjadi karena ekses dari global public goods semata-mata tidak hanya menimbulkan manfaat
pada suatu negara, tetapi juga bisa menyebabkan kerugian. Bahkan kalau negara
tersebut membuat sebuah kebijakan publik yang salah didalam menerima eksistensi
global public goods itu maka kadar
kerugiannya akan lebih besar dari pada manfaatnya. Akan tetapi bila suatu
negara melakukan proteksi yang ketat terhadap global public goods maka negara tersebut akan terisolasi dalam
percaturan ekonomi dunia.
Dengan adanya global public goods ini mau tidak mau setiap negara harus bisa
menyesuaikan diri. Proteksi yang sifatnya tariff
bariers maupun nontariff bariers misalnya sedikit demi sedikit harus
ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan perdagangan
dunia yang ditetapkan oleh WTO, GATT, APEC, dan sebagainya. Jika hal tersebut
dilanggar maka banyak negara-negara dagang yang melakukan protes. Contohnya
kasus mobil Timor di negara Indonesia. Pada era Suharto dahulu, mobil Timor ini
dikamuflase sebagai produksi dalam negeri sehingga perlu diproteksi dengan cara
memberikan insentif tarif impor bahan baku yang sangat rendah. Tindakan
pemerintah saat itu hanya menguntungkan Korea Selatan yang sebenarnya membuat
mobil Timor, dan PT. Timor milik Tommy Suharto yang dianggap membuat mobil
tersebut. Akhirnya negara Jepang melakukan protes dan membawa kasus ini ke
badan WTO, karena mereka sangat dirugikan dengan kebijakan pemerintah waktu itu
yang sangat diskriminatif.
Masih banyak lagi kasus yang lain
jika kita ingin mempelajarinya. Termasuk salah satunya masalah eksternal. Ekspor plywood negara Indonesia ke negara-negara Eropa
Barat pernah terganjal kebijakan ecolabeling
yang diterapkan mereka. Dianggap Indonesia saat itu sangat mengeksploitasi
kekayaan hutan dengan tidak memperhatikan konservasi sumber daya alam. Karena
itu mereka mengurangi impor plywood dari Indonesia.
Terkait dengan eksistensi global public goods tersebut tulisan ini
mencoba untuk mengangkat suatu isu yang penting untuk dikaji yakni sudah
sejauhmana negara Indonesia bisa menerima kehadiran global public goods dan bagaimana pengaruhnya terhadap kebijakan
publik yang harus diambil pemerintah.
Akhir-akhir ini kita banyak
mendengar istilah globalisasi. Banyak orang ternyata excited dengan gejala ini, mereka senang menelepon ke luar negeri,
senang memakai internet, senang membicarakan tantangan-tantangan yang sekiranya
akan dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi perdagangan bebas,
dan sebagainya.
Banyak kalangan memandang
bahwa globalisasi merupakan keniscayaan sejarah dan oleh karena itu tak dapat
dihentikan. Pandangan ini muncul sebagai reaksi dari pendapat sementara
kalangan yang sangat prihatin terhadap kecenderungan perkembangan ekonomi dunia
yang kian tak menentu dan rentan gejolak, terutama sebagai akibat dari arus
finansial global yang semakin liar. Padahal tak semua negara memiliki daya
tahan yang tangguh untuk terlibat di dalam kancah lalu lintas finansial global
yang tak lagi mengenal batas-batas negara dan semakin sulit dikontrol oleh pemerintah
negara yang berdaulat.
Definisi globalisasi banyak
sekali, dan salah satunya yang bisa dikutip adalah definisi dari seorang
sosiolog Australia yang bernama Malcolm Waters. Pada tahun 1995 dia menerbitkan
sebuah buku yang berjudul "Globalisasi". Menurutnya globalisasi
adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada
keadaan sosial-budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran
orang (Feith, 1999).
Dengan meminjam definisi
globalisasi diatas yang kemudian kita kaitkan dengan public goods maka bisa disimpulkan bahwa global public goods itu merupakan suatu barang publik yang timbul
dalam proses sosial yang tidak mengenal batas-batas negara, sosial, budaya,
politik, dan ekonomi, dimana hal itu terjadi di dalam kesadaran orang untuk
menerimanya.
Dari pengalaman empiris
yang mengikuti sejarah globalisasi kita bisa membagi global public goods kedalam beberapa aspek yakni : (1) ilmu
pengetahuan dan teknologi, (2) informasi, (3) hak-hak dasar manusia dalam
keadilan, kesehatan, budaya, politik dan ekonomi, (4) migrasi, (5) hukum, dan
(6) akses pasar ekonomi. Pada umumnya pengelolaan atau pengaturan global public goods semacam ini
dilakukan oleh badan-badan internasional, dimana penggunaannya hanya diberikan
kepada negara-negara yang masuk sebagai anggota dalam badan-badan tersebut (Tambunan, 2001).
Sesuai dengan keenam aspek
di atas kita bisa membuat beberapa peta badan internasional yang menunjukkan
kehadiran dari global public goods tersebut
sebagai berikut (Feith, 1999).
Pertama, berkembangnya organisasi-organisasi antar-pemerintah
(IGO atau Inter-Governmental Organizations). IGO bisa diklasifikasikan ke dalam
:
1].
1].
Organisasi yang bersifat global-kewilayahan.
Yang bersifat global-kewilayahan ini bisa dibagi yaitu : a) bersifat global,
misalnya PBB, UNESCO (UN Educational, Scientific and Cultural Organization),
IAEA (Internatio-nal Atomic Energy Agency), ILO (Interna-tional Labor
Organization), Bank Dunia, IMF (Dana Moneter Internasional), WTO (World Trade
Organization), Mahkmah Internasional; b) bersifat kewilayahan, misalnya ASEAN,
Uni Eropa, SAARC (South Asian Association for Regional Coopera-tion), OAU
(Organization for African Unity), ASEAN Regional Forum, APEC, NATD, OSCE
(Organization for Security and Cooperation in Europe), Persemakmuran (yang
tadinya Persemakmuran Inggris), Persemakmurana Negara-negara Independen
(Commonwealth of Independent States, yang tadinya merupakan bagiannya Uni
Soviet).
2].
2].
Badan internasional yang secara formal
terkait dengan PBB (contohnya UNESCO, ILO, Bank Dunia, IMF, WTO, Mahkamah
Internasional), dan yang tidak terkait dengan PBB.
3].
3].
Badan internasional kuat dan yang lemah, yang
terdiri dari : a) yang kuat dan mantap, dengan Sekretariat yang cukup banyak
sumberdayanya (misalnya PBB, Bank Dunia, IMF, Uni Eropa), dengan seorang
Sekjen, atau Presiden yang jabatannya menjadi rebutan seperti jabatan Presiden
atau Perdana Menteri sebuah negara; dan b) yang lemah, atau karena baru atau
karena anggota-anggotanya tidak banyak memberi sumber-daya padanya (misalnya
ASEAN Regional Forum, SAARC);
4].
4].
Badan internasional yang banyak dipenguruhi
oleh dunia bisnis (mis. Bank Dunia, IMF, WTO), dan yang banyak dipe-ngaruhi
oleh INGO (International Non-Governmental Organizations) dan pendapat umum
dunia (mis. UNESCO);
5].
5].
Badan internasional yang mewakili
negara-negara berkembang atau pinggiran/periferi (mis. GNB, OPEC, OKI, ASEAN,
Organisasi Persatuan Afrika), dan yang mewakili negara-negara maju atau
negara-negara industri atau negara-negara pusat (mis. G7, Eropa, NATO,
barangkali juga Bank Dunia dan IMF).
Kedua, pada tahun-tahun terakhir ini kita menyadari akan
pentingnya kekuasaan perusahaan global yang disebut Multinational Corporations
(MNC) atau Tansnational Corporations atau Global Firms. Kita mengetahui bahwa
modalnya bergerak cepat melintasi perbatasan negara. Perusahaan transnasional
pencari untung ini tidak hanya bergerak di bidang produksi dan keuangan, tapi
juga di bidang media massa.
Ketiga, munculnya bermacam-macam organisasi internasional atau
transnasional yang bukan perusahaan dan tidak bersifat antar-pemerintah.
Organisasi antar masyarakat atau non pemerintah ini disebut juga INGO,
International Non-Governmental Organizations. INGO ini juga bisa diklasifikasi
kedalam beberapa bagian yakni :
1].
1].
Organisasi yang bersifat global dan
kewilayahan, yang global misalnya International Planned Parenthood Association,
sedangkan yang kewilayahan umpamanya Asian-Pacific Peace Research Association.
2].
2].
Organisasi yang sudah lama ada dan yang masih
baru. Palang Merah Internasional didirikan tahun 1867, Workingmen’s Association
(Socialist International) tahun 1860an, Panitia Olimpiade tahun 1895. Di antara
yang didirikan sebelum tahun 1920 Esperanto Association (yang mencita-citakan
Esperanto menjadi bahasa dunia), International Women’s League for Peace and
Freedom, International Peace Bureau, Comintern (Communist International atau
Third International). Sebaliknya ada banyak organisasi yang cukup terkenal yang
didirikan baru pada tahun 1960-an dan 1970-an, misalnya Amnesty International
(1961), Greenpeace (1971), Worldwatch, Human Rights Watch, dan Refugee
International.
3].
3].
Organisasi yang konvensional dan aktivis. Organisasi
yang konvensional misalnya Vatikan, Dewan Gereja-gereja Sedunia, Rabiyatul
Islamiyah, Theosophical Society, Interna-tional Association of Scientific
Unions, International Economic Association, Inter-national Association for the
Conservation of Nature, dan berbagai organisasi olahraga internasional.
Sedangkan yang aktifis atau perintis seperti Socialist International, Esperanto
Association, International Women’s League for Peace and Freedom, Amnesty
International, Green-peace International, International Network of Engaged
Buddhists, World Conference on Religion and Peace, World Federation of United
Nations Associations, International Physicians for the Prevention of Nuclear
War, World Council of Indigenous Peoples, Medicine Sons Frontieres (Dokter
Tanpa Perbatasan), Refugees International, Trans-parency International,
Worldwatch, Human Rights Watch dan Refugee International. Organisasi global itu
tepat disebut aktivis, tetapi cara bekerjanya cukup profesional. Mereka pada
umumnya sangat membanggakan ketelitiannya. Pendapat umum dunia ternyata banyak
sekali dipengaruhi oleh organisasi aktivis ini. Pengaruhnya banyak disalurkan
melalui pers elit, seperti Inter-national Herald Tribune, The Guardian dan The
Economist.
4].
4].
Organisasi yang pro-bisnis dan anti-bisnis,
yang pro-bisnis seperti Rotary Internatio-nal, Liberal International,
Transparency International, International Association of Tourist Agency, dan
yang anti-bisnis adalah berbagai-bagai organisasi sosialis, komunis, dan
ekologi radikal.
Telah kita ketahui bersama
pula bahwa secara umum, negara-negara yang ada di dunia ini bisa dipetakan
secara dikotomis. Negara-negara ini bisa dibagi ke dalam negara-negara besar
dan negara-negara kecil, negara-negara maju dan negara-negara berkembang,
negara-negara yang kuat dan yang lemah secara ekonomi, negara-negara yang kuat
dan yang lemah secara militer, negara-negara yang berdiri sendiri atau yang
bergabung dengan negara lain, dan lain sebagainya. Dengan adanya fenomena
semacam ini timbul suatu pertanyaan, sebenarnya global public goods ini ditujukan untuk siapa ? apakah untuk
negara-negara maju (development contry)
atau negara-negara sedang berkembang (less
development country) misalnya. Aturan mainnya atau rule of the game memang harus jelas. Jangan sampai eksistensi global public goods hanya menguntungkan
negara-negara maju saja, sementara negara-negara sedang berkembang dipaksa
untuk menerimanya meskipun untuk itu mereka harus menanggung kerugian. Oleh
karena itu didalam pengaturan global public
goods tersebut yang perlu diperhatikan adalah (Tambunan, 2001) :
1].
1].
Pelaksanaannya yang terbaik secara
internasional (best pratice international).
2].
2].
Standar internasional yang digunakan (standard international).
3].
3].
Adanya persetujuan dari negara-negara anggota
(where member agreed to)
4].
4].
Institusi yang melaksanakan (institution).
Sekiranya keempat masalah ini bisa
diselesaikan secara baik tanpa memunculkan suatu complain dari satu atau beberapa negara maka eksistensi global public goods dalam pasar
internasional khususnya, bisa menciptakan kesejahteraan dunia. Terutama adanya
peningkatan kesejahteraan di negara-negara sedang berkembang.
Dalam
dekade ini semua negara praktis sudah menerapkan open market economy (perekonomian pasar terbuka) dengan pasar
internasional. Model perekonomian tertutup bagi suatu negara sekarang ini hanya
merupakan suatu teori untuk kepentingan metodologi pedagogis. (Dumairy, 1997)
Sejarah
juga menunjukkan bahwa keterbukaan pasar di negara Indonesia sudah ada sejak
jaman Belanda. Pada waktu itu perdagangan rempah-rempah sangat mewarnai “ekspor
negara Indonesia”, yang sudah tentu keuntungannya dirampas habis oleh bangsa
Belanda. Kemudian, setelah negara kita merdeka, perkembangan perdagangan luar
negeri Indonesia tidak pernah berhenti, bahkan selalu meningkat sampai saat
ini.
Indonesia
dalam perdagangan internasional sejak dahulu hanya sebagai price taker. Artinya peran Indonesia dalam pembentukan harga
internasional praktis tidak ada. Disamping itu dalam kategori perdagangan
dunia, Indonesia disebut small economies,
atau peran perdagangangan Indonesia bisa diabaikan. Ini terjadi karena share ekspor dan impor Indonesia
terhadap total dunia amat kecil jumlahnya. (Syahrir, 1995)
Meskipun
tergolong small economies,
pertumbuhan perdagangan luar negeri Indonesia cukup mengesankan, terutama pada
periode 1970–1980. Periode ini merupakan masa kejayaan minyak di Indonesia.
Perolehan devisa dari komoditi tersebut menyebabkan pertumbuhan surplus
perdagangan kita melaju dengan pesat, rata-rata 103,7% pertahun. Puncaknya
terjadi pada tahun 1980, waktu itu neraca perdagangan mengalami surplus sampai
$ 13,116 juta atau meningkat 56,37% dari tahun 1979. Lihat Tabel 3.1. Rejeki
dadakan dari minyak, membuat Indonesia terlena didalam membangun basis ekspor
yang tangguh. Selama periode
1970–1980, struktur ekonomi
Indonesia sangat oil heavy.
Banyak juga yang menyebut Indonesia terjangkit Dutch Disease, karena sangat tergantung pada satu komoditi saja,
yang menyebabkan pengembangan komoditas yang lain diabaikan.
Tahun |
Ekspor $ juta |
Impor $ juta |
Neraca
Perdagangan |
Tahun |
Ekspor $ juta |
Impor $ juta |
Neraca
Perdagangan |
||
Surplus |
Growth % |
Surplus |
Growth |
||||||
1970 |
1108.1 |
1001.5 |
106.6 |
- |
1985 |
18586.7 |
10259.1 |
8327.6 |
4.02 |
1971 |
1233.6 |
1102.8 |
130.8 |
22.70 |
1986 |
14805 |
10718 |
4087 |
-50.92 |
1972 |
1777.7 |
1561.7 |
216 |
65.14 |
1987 |
17135.6 |
12370.3 |
4765.3 |
16.60 |
1973 |
3210.8 |
2729.1 |
481.7 |
123.01 |
1988 |
19218.5 |
13248.5 |
5970 |
25.28 |
1974 |
7426.3 |
3841.9 |
3584.4 |
644.11 |
1989 |
22160.2 |
16359.6 |
5800.6 |
-2.84 |
1975 |
7102.5 |
4757.5 |
2345 |
-34.58 |
1990 |
25675.3 |
21837.1 |
3838.2 |
-33.83 |
1976 |
8546.5 |
5673.1 |
2873.4 |
22.53 |
1991 |
29142.4 |
25868.8 |
3273.6 |
-14.71 |
1977 |
10852.6 |
6230.3 |
4622.3 |
60.87 |
1992 |
33967 |
27279.6 |
6687.4 |
104.28 |
1978 |
11643.2 |
6690.4 |
4952.8 |
7.15 |
1993 |
36823 |
28327.8 |
8495.2 |
27.03 |
1979 |
15590.1 |
7202.3 |
8387.8 |
69.35 |
1994 |
40053.4 |
31983.5 |
8069.9 |
-5.01 |
1980 |
23950.4 |
10834.4 |
13116 |
56.37 |
1995 |
45418 |
40628.7 |
4789.3 |
-40.65 |
1981 |
25164.5 |
13272.1 |
11892.4 |
-9.33 |
1996 |
49814.8 |
42928.5 |
6886.3 |
43.79 |
1982 |
22328.3 |
16858.9 |
5469.4 |
-54.01 |
1997 |
53443.6 |
41679.8 |
11763.8 |
70.83 |
1983 |
21145.9 |
16351.8 |
4794.1 |
-12.35 |
1998 |
48847.6 |
27336.9 |
21510.7 |
82.86 |
1984 |
21887.8 |
13882.1 |
8005.7 |
66.99 |
1999 |
48665.5 |
24003.3 |
24662.2 |
14.65 |
Sumber : Bank Indonesia, 1970-1999
Setelah oil boom tahun 1980 usai, ditandai dengan menurunnya harga minyak
dunia terus menerus, Indonesia baru menyadari bahwa kekuatan komoditi minyak
untuk menopang basis ekspor sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Akhirnya
dibuatlah serangkaian kebijakan untuk menjadikan export-drive sebagai prioritas utama, dengan konsentrasi terhadap
diversifikasi ekspor nonmigas.
Deregulasi saat itu memang dianggap
sebagai obat mujarab untuk mencapai hal tersebut, makanya dikeluarkan berbagai
macam deregulasi sejak Juni 1983 hingga sampai kini. Perkembangan ekspor Indonesia
kembali lagi bergairah, namun sekarang yang menjadi export leader adalah komoditi nonmigas.
Meskipun kelihatan lambat, dan selalu
naik turun, perkembangan surplus perdagangan dalam periode 1981–2000 semakin
bertambah baik. Setelah menunggu kurang lebih 18 tahun, akhirnya pada tahun
1998 Indonesia bisa melampaui surplus perdagangan yang pernah terjadi pada masa
oil boom, dimana tahun ini surplus
perdagangan Indonesia bisa mencapai $ 21,510.7 juta. Semenjak itu surplus
perdagangan kita selalu meningkat, hingga tahun 2000 sudah sebesar $ 25,100
juta.
Dalam periode 1998 – 2000 memang
kelihatan surplus perdagangan Indonesia sangat menyolok dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Apakah ini pertanda basis ekspor yang terbentuk sudah
sangat tangguh ? Belum tentu. Sebab ada indikasi bahwa lompatan surplus
perdagangan yang terjadi selama periode tersebut diakibatkan menguatnya mata
uang dolar AS (Amerika Serikat) terhadap rupiah. Karena kita melihat
perkembangan surplus perdagangan berdasarkan nilainya, maka sudah tentu
perubahan-perubahan kurs dolar sangat mempengaruhi besar kecilnya surplus
perdagangan. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa semenjak krisis ini
terjadi, ada lonjakan kurs dolar AS yang sangat tinggi. Sepanjang periode 1998–2000 kisaran kurs dolar AS
ada diantara Rp. 6.700 – Rp. 9.530 (Bank
Indonesia, 2000), sedangkan periode 1981–1996 dibawah Rp. 2.500. Sudah
jelas dengan perbedaan kurs yang sangat tinggi diantara kedua periode tersebut
menyebabkan surplus perdagangan Indonesia menggelembung besar. Padahal perubahan persentase volume ekspornya belum
tentu bisa sebesar itu.
Sekadar
ilustrasi, berikut ini disampaikan hasil perhitungan RCA (revealed comparative advantage) untuk beberapa komoditi di
Indonesia pada tahun 1999.
Tabel 3.2 : Perhitungan Revealed
Comparative Advantage (RCA) Beberapa Komoditi Ekspor
No |
Komoditi |
Impor |
Ekspor |
RCA |
01. |
Lemak, minyak dan malam |
2399143 |
1748950 |
-0.064 |
02. |
Makanan,
minuman, & minuman keras, tembakau |
1074540 |
1345113 |
-0.017 |
03. |
Prod.
Industri kimia dan industri sejenis |
3851077 |
1844362 |
-0.123 |
04. |
Plastik,
karet, dan barang dari plastik dan karet |
1015792 |
2103997 |
0.001 |
05. |
Tekstil dan barang dari tekstil |
1649344 |
6954675 |
0.074 |
06. |
Logam dan barang dari logam |
1908577 |
2012857 |
-0.038 |
07. |
Mesin,
pesawat mekanik, elektronik |
4449608 |
5218235 |
-0.078 |
08. |
Kendaraan,
pesawat terbang, kend. Air dan lengk. |
1296098 |
749699 |
-0.039 |
09. |
Karya seni, barang
koleksi, dan barang antik |
6993 |
19919 |
0.001 |
10. |
Kayu, barang
dari kayu dan brg. Anyaman |
96293 |
3795976 |
0.072 |
11. |
Barang-barang
listrik |
59025
|
3401278 |
0.067 |
Total nonmigas |
24003300 |
48665500 |
|
Sumber : Bank Indonesia 2000, data diolah
Berdasarkan Tabel 3.2, kelihatan
hanya lima komoditi saja yang memiliki keunggulan komparatif (RCA > 0), dan seperti
yang sudah diduga sebelumnya, tekstil dan pakaian jadi memang memiliki
keunggulan komparatif yang lebih tinggi
dari semua komoditi. Berikutnya menyusul kayu, barang dari kayu dan barang
anyaman, serta barang-barang listrik.
Komoditi
karya seni, barang koleksi dan barang antik Indonesia, meskipun memiliki RCA
yang sangat kecil, tetapi tandanya yang positip menunjukkan bahwa komoditi
tersebut memiliki keunggulan komparatif di pasaran internasional. Hal ini patut
menjadi perhatian pemerintah. Negara kita ini memiliki keanekaragaman budaya,
yang sudah tentu akan memperkaya hasil seni anak bangsa. Hanya saja, karena
potensi ini belum bisa digali sepenuhnya, sehingga produk yang dihasilkan lebih banyak berputar di
pasaran domestik. Kalau pemerintah mau membuat galeri-galeri seni di setiap
negara maju, sudah pasti tempat itu bisa dijadikan sebagai ajang promosi dan
transaksi karya seni negara Indonesia.
Banyaknya
produk domestik yang tidak memiliki keunggulan komparatif, seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 3.3, sebagian besar disebabkan karena berkurangnya proteksi yang
dilakukan pemerintah. Indikasinya
kita bisa melihat pada penurunan tarif yang terjadi selama periode 1993-1999.
Pada tahun 1993, rata-rata tarif yang diberlakukan
untuk semua produk impor adalah 19,40%. Adapun produk domestik yang paling
banyak diproteksi dengan tarif saat itu
adalah barang-barang manufaktur yaitu sebesar 20,3%. Sedangkan komoditi
primer sebesar 16,7%, lihat Tabel 3.3.
Mean
Tarif % |
1993 |
1999 |
All Products |
19.4 |
11.9 |
Primary Products |
16.7 |
11.9 |
Manufatured Products |
20.3 |
11.8 |
Sumber : IMF, 2000
Kemudian
seiring dengan masuknya Indonesia dalam kesepakatan AFTA, WTO, dan sekarang
IMF, akhirnya secara bertahap tarif
impor mulai diturunkan. Sehingga pada tahun 1999, tarif impor untuk semua
produk berkurang menjadi 11,9%, dimana untuk produk manufaktur tarifnya
sekarang sebesar 11,8% dan produk primer sebesar 11,9%.
Walaupun
secara global proteksi dengan tarif menurun, akan tetapi untuk beberapa
komoditi tertentu pemerintah masih melindungi dengan ketat. Contohnya komoditi beras. Waktu tiga tahun yang lalu,
tarif impor beras adalah nol persen, dan semenjak itu beras impor membanjiri
pasar domestik. Akibatnya harga beras dalam negeri menurun tajam, yang secara
teoritis harganya bisa menyamai harga dunia dengan kondisi tarif sebesar itu.
Sudah tentu situasi ini menyebabkan petani kita kelimpungan karena tidak mampu
bersaing dengan beras impor. Mereka mengeluh dan mengadukan nasibnya ke
pemerintah, minta supaya impor beras dihentikan. Pada akhirnya, meskipun
pemerintah tidak menyetop impor beras, namun tarif impor yang dikenakannya
sangat tinggi yaitu sebesar 60%.
Pemerintahnya
sepertinya masih enggan untuk mengurangi NTB (nontarrif-barriers). Hal ini tercermin dengan masih tingginya NTB
untuk produk manufaktur sebesar 30% dan produk pertanian sebesar 35%. Struktur proteksi
yang masih kuat semacam ini jelas semakin menyuburkan ketidakefisienan produksi
nasional. Selain juga menimbulkan deadweight
loss dalam perekonomian domestik. Ini berarti distorsi ekonomi masih cukup
banyak yang harus dipangkas.
Memang
meniadakan NTB pada sebuah komoditi adalah keputusan yang secara ekonomis
tepat. Namun itu hanya bisa efektif bila diputuskan oleh kekuasaan politik.
Dengan demikian pada akhirnya pengurangan proteksi adalah keputusan yang hanya
bisa terjadi dalam proses politik. (Syahrir,
1995)
Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat kritis. Disatu sisi
ada keinginan agar bisa secepatnya keluar dari krisis, akan tetapi disisi lain
hutang luar negeri terus membengkak setiap tahunnya. Akibatnya
proses recovery perekonomian belum
berjalan, persoalan baru malah muncul lagi.
Negara Indonesia, Periode 1970 - 2000
Tahun |
Hutang Luar Negeri |
Hutang LN
Perkapita |
||
Nilai ($
milyar) |
Growth (%) |
Nilai ($ ) |
Growth (%) |
|
1970 |
3.4 |
|
27.9 |
|
1980 |
20.9 |
56.7 |
13.5 |
-5.7 |
1990 |
69.9 |
26.0 |
111.5 |
80.6 |
1991 |
79.5 |
13.7 |
36.6 |
-67.2 |
1992 |
88.0 |
10.6 |
45.4 |
23.8 |
1993 |
89.2 |
1.3 |
45.2 |
-0.3 |
1994 |
107.8 |
20.9 |
397.1 |
778.1 |
1995 |
124.4 |
15.4 |
53.0 |
-86.7 |
1996 |
129.0 |
3.7 |
61.5 |
16.1 |
1997 |
132.0 |
2.3 |
62.0 |
0.8 |
1998 |
138.0 |
4.5 |
146.3 |
136.0 |
1999 |
150.9 |
9.3 |
103.3 |
-29.4 |
2000 |
148.1 |
-1.8 |
84.3 |
-18.4 |
Sumber
: US, Bureau of The Cencus; International Data Base; World Bank; IMF, 1999
Perkembangan hutang luar negeri Indonesia memang seperti tidak akan ada
habis-habisnya. Setiap tahun nilai hutang kita terus bertambah, sebagaimana
yang disajikan dalam Tabel 3.4.
Sejarah hutang luar negeri Indonesia
mungkin bisa dikatakan mulai tahun 1970. Waktu itu kita mengadakan pinjaman
luar negeri sebanyak $ 3 milyar. Kemudian terus berkembang setiap
tahunnya hingga saat ini. Pertumbuhan
hutang luar negeri Indonesia selama periode 1970-1980 kelihatan melaju sangat
pesat, rata-rata sekitar 56% pertahun. Hal ini terjadi karena negara kita baru
membangun perekonomiannya kembali yang runtuh diwaktu jaman orde lama, sehingga
membutuhkan bantuan luar negeri yang sangat banyak.
Selanjutnya
pada periode 1980-1990, perkembangan hutang luar negeri sudah mulai melambat,
rata-rata hanya 26% pertahun, dan semakin bertambah pelan dalam periode
1990-2000, kurang lebih hanya 8% pertahun. Secara keseluruhan kalau kita
mengakumulasi hutang luar negeri Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun
2000 bisa mencapai $ 1,257 milyar dolar.
Tabel 3.4 juga
menunjukkan besarnya hutang luar negeri yang harus ditanggung oleh penduduk
Indonesia (foreign debt per capita).
Kelihatan disini beban hutang yang ditanggung oleh masyarakat dari tahun
ketahunnya selalu naik turun. Peningkatan yang sangat tinggi terjadi pada tahun
1994, yang naik sampai 778,08% dari tahun 1993. Waktu tahun 1994 hutang luar
negeri per kapita Indonesia sebesar
$397.12 sedangkan tahun 1993 hanya $45.23. Sampai dengan tahun 2000
besarnya hutang luar negeri yang harus ditanggung penduduk setiap orang adalah
sebesar $84,3 atau bila dirupiahkan
pada kurs Rp. 7.425/$ (Bank Indonesia,
Januari 2000) sama dengan Rp. 625.928. Dengan demikian setiap bulannya
masyarakat harus menanggung hutang luar negeri sebanyak Rp. 52.160. Berarti
secara implisit kesejahteraan masyarakat menjadi kurang, karena secara tidak
langsung konsumsinya menjadi lebih rendah dari pada bila negara kita tidak
melakukan pinjaman luar negeri. Kalau konsumsinya berkurang, maka utiliti
menurun, dan utiliti yang menurun sudah tentu menggambarkan kesejahteraan yang
menurun pula.
Fenomena sebagaimana yang dipaparkan
secara sederhana di atas menunjukkan bahwa hutang luar negeri itu merupakan
ancaman bagi kesejahteraan masyarakat. Situasi ini akan semakin buruk lagi jika
perekonomian sedang menurun, seperti yang terjadi di negara Indonesia saat ini,
dimana saat hutang luar negeri selalu menumpuk, namun PDB riil menurun. Ini
menandakan bahwa pendapatan per kapita masyarakat Indonesia sebagai penanggung
hutang sudah berada dibawah nilai hutang negeri tersebut.
Indonesia sekarang ini sedang
terjebak dalam Fisher Paradox, karena
cicilan ditambah hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang
baru. Oleh karena nilai cicilan ditambah bunga hutang luar negeri lebih besar
dari hutang yang baru, maka terjadi net
transffer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor
asing. (Swasono, dan Arief, 1999)
Tabel
3.5 : Jumlah Pinjaman Luar Negeri dan Cicilan Pemerintah Tahun 1994-2000
Tahun |
Besarnya
Pinjaman |
Cicilan
Pokok |
Cicilan
Bunga |
Total
Cicilan |
1994 |
58,618 |
5,390 |
2,983 |
8,373 |
1995 |
59,588 |
5,449 |
3,169 |
8,618 |
1996 |
55,303 |
6,215 |
2,780 |
8,995 |
1997 |
53,865 |
4,714 |
2,562 |
7,276 |
1998 |
67,321 |
3,765 |
2,701 |
6,466 |
1999 |
75,720 |
4,070 |
3,220 |
7,290 |
2000 |
76,357 |
2,013 |
1,738 |
3,751 |
Sumber : Bank
Indonesia, 2000
Dalam
Tabel 3.5 kelihatan selama periode 1994-2000, sektor pemerintah di Indonesia
telah melakukan pembayaran cicilan hutang sebesar $47,018 milyar. Sementara itu dalam periode yang sama, ada tambahan
hutang pemerintah sebanyak $26,469 milyar. Ini berarti secara implisit
mengandung pengertian seperti Fisher
Paradox, yaitu semakin banyak cicilan hutang semakin menumpuk hutang luar
negeri pemerintah.
Ada kesan juga bahwa selama ini
negara kita selalu gali lubang tutup
lubang, atau menurut Basri (2001),
kondisi hutang pemerintah saat ini dalam posisi debt trap, dimana sebagian besar hutang yang baru digunakan untuk
mencicil hutang yang lama.
Secara
teori kita mengenal apa yang disebut dengan loan-pull
theory (teori tarikan uang). Menurut teori ini, ada negara yang benar-benar
memanfaatkan hutang luar negerinya berdasarkan atas perhitungan kebijakan
ekonominya secara matang guna mendorong peningkatan kapasitas produksi nasional
sesuaia dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi produktif negaranya. Tetapi ada juga
negara yang memanfaatkan hutang luar negerinya tidak berdasarkan perhitungan
kebijakan ekonomi yang matang, yang pada dasarnya tidak pula mendorong
meningkatnya kapasitas produksi nasional, bahkan malah menciptakan situasi
sebaliknya (Dillon, 200). Seperti
yang terjadi di Indonesia saat ini, misalnya pinjaman yang diberikan oleh ADB
sebesar $1,5 milyar pada tahun 1998 sebagian besar ($1,4 milyar) adalah untuk
membiayai impor. Keadaan yang sama juga berlaku untuk pinjaman IMF (Swasono, dan Arief, 1999). Akibatnya tingkat ketergantungan perekonomian
domestik terhadap hutang luar negeri sampai sekarang masih sangat tinggi,
karena hutang yang dipinjam tidak berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas
produksi nasional.
Tabel 3.6 : Indikator Ketergantungan
Perekonomian Domestik Terhadap Hutang Luar Negeri
Indikator |
1997 |
1998 |
1999 |
2000 |
Rata-Rata |
DSR |
44.5 |
57.9 |
56.8 |
44.8 |
51 |
Posisi
Hutang/Ekspor |
207.3 |
261.8 |
252.1 |
198.2 |
229.85 |
Posisi Hutang/PDB |
62.2 |
146.3 |
103.3 |
84.3 |
99.03 |
Sumber
: Bank Indonesia, 2000
Indikator
ketergantungan perekonomian domestik terhadap hutang luar negeri, bisa kita lihat pada Tabel 3.6. Meskipun
Tabel tersebut menunjukkan ada penurunan dari semua indikator beban hutang luar
negeri, akan tetapi karena masih tingginya nilai-nilai tersebut maka tetap saja
menggambarkan bahwa ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap hutang luar
negeri sangat tinggi. Dimana selama
periode 1997-2000, rata-rata angka DSR
setiap tahun adalah sebesar 51%, rasio hutang ekspor sebesar 229,85%, dan rasio
hutang PDB sebesar 99,03%,
Menurut Bank Indonesia (2000), pada tahun 2000 sektor ekonomi domestik yang
paling banyak dibiayai oleh hutang luar negeri adalah sektor jasa keuangan dan
leasing yakni sebesar $ 3.6 milyar. Berikutnya sektor industri pengolahan
sebesar $ 31.3, dan sektor gabungan (listrik, gas dan air bersih) sebesar $
14,5 milyar. Dua sektor yang disebutkan pertama menunjukkan sektor-sektor
swasta, sedangkan yang terakhir adalah sektor publik.
Sejak
dahulu komposisi sektor ekonomi yang dibiayai hutang, paling banyak terfokus
kepada ketiga sektor di atas. Sektor pertanian yang sebenarnya sudah teruji
kemampuannya melalui krisis, ternyata kurang banyak mendapat perhatian
pemerintah saat itu. Sebenarnya kalau pemerintah mau mengucurkan lebih banyak
hutang luar negerinya ke sektor pertanian, mungkin saja pemulihan ekonomi sudah
berjalan baik sekarang. Selain sudah terbukti ketangguhannya menghadapi krisis,
sektor ini juga banyak menyerap lapangan kerja bagi 50% penduduk Indonesia yang
mengggantungkan nasibnya pada sektor pertanian.
Sesungguhnya
dari pengalaman krisis sekarang, secara empirik telah terbukti betapa
fundamentalnya peran sektor pertanian bagi pembangunan bangsa, dan dari sini
pula semestinya proses pemulihan perekonomian nasional bertolak. (Dillon, 2000)
Perkembangan Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) dalam dasawarsa ini terkesan cukup menggembirakan. Terutama
sekali sejak tahun 1998, tercatat neraca transaksi berjalan (current account) mulai mengalami
surplus. Kondisi tersebut terus berlanjut sampai dengan tahun 2000.
Keberhasilan ini memang tidak terlepas dari peranan pemerintah yang selalu
gencar mendorong ekspor nonmigas dengan cara mengeluarkan berbagai peraturan,
dan juga karena adanya kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan penerimaan
devisa sektor migas melambung tinggi. Untuk melihat lebih jelas lagi kinerja
NPI selama ini, berikut disajikan perkembangan NPI sepanjang periode 1994-2000.
Tabel 3.7 : Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia 1994-2000 (dalam milyar dolar)
U r a i a n 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
A. Transaksi berjalan -2,9 -6.8 -7.8 -5.0 4.1 5.8 7.7
I. Barang 7.9 6.5 5.9 10.1 18.4 20.6 25.1
1. Ekspor. fob 40.2 47.5 50.2 56.3 50.4 51.2 62.5
a. Non migas 30.3 36.9 38.0 44.6 42.9 41.0 47.0
b. Migas 9.9 10.5 12.2 11.7 7.4 10.3 15.5
2. Impor. fob -32.3 -40.9 -44.2 -46.2 -31.9 –30.6 -37.4
a. Non migas -28.7 -37.1 -39.9 -41.5 -29.1 –26.6 -32.1
b. Migas -3.6 -3.9 - 4.4 -4.8 -2.9 -4.0 -5.3
II. Jasa-jasa (bersih) -10.9 -13.3 -13.7 -15.1 -14.3 –14.9 -17.4
1. Non migas -7.9 -10.2 -10.3 -10.5 -11.4 –11.7 -12.7
2. Migas -2.9 -3.1 -3.5 -4.6 -2.9 -3.2 -4.7
B. Transaksi modal 4.0 10.6 10.9 2.5 -3.9 -4.6 -4.6
I. Modal pemerintah (bersih) 0.3 0.3 -0.5 2.9 9.9 5.4 3.8
1. Penerimaan 5.7 5.8 5.7 7.6 13.7 9.4 8.3
2. Pelunasan pinjaman -5.4 -5.4 -6.2 -4.7 -3.8 -4.1 -4.5
II. Modal swasta (bersih) 3.7 10.3 11.5 -0.4 -13.8 -9.9 -8.5
1. Penanaman modal langsung 2.1 4.4 6.2 4.7 -0.4 -2.7 -4.1
2. Lainnya 1.6 5.9 5.3 -5.0 -13.5 -7.2 -4.4
C. Jumlah 1.0 3.8 3.2 -2.5 0.2 1.2 3.1
D. Selisih perhitungan 2) -0.2 -2.3 1.3 -1.7 2.1 2.1 1.9
E. Cadangan devisa resmi 1) -0.8 -1.5 -4.5 4.1 -2.3 -3.3 -5.0
MEMORANDUM
- Total Aktiva Luar Negeri 17.4 18.8 25.5 21.4 23.7 27.1 29.3
(Dalam bulan impor nonmigas c&f) 6.6 5.5 6.9 5.6 5.9 6.7 6.3
Sumber : Bank Indonesia. 1994-2000
Berdasarkan
Tabel 3.7 di atas kelihatan perkembangan transaksi berjalan dalam periode
1994-1997 selalu defisit. Defisit yang paling besar dialami pada tahun 1996,
yakni sebesar $7.8 milyar. Kemudian defisitnya menurun di tahun 1997 menjadi
$5.0 milyar, dan mulai tahun 1998 transaksi berjalan Indonesia mengalami
surplus yang cukup tinggi yakni sebesar $4.1 milyar. Semenjak itu posisi
surplus selalu mengikuti perkembangan transaksi berjalan sampai tahun 2000.
Membaiknya transaksi berjalan dalam periode 1998-2000 disebabkan karena semakin
tingginya kinerja ekspor nonmigas dan meningkatnya penerimaan ekspor migas.
Dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekspor nonmigas, pemerintah telah banyak mengambil berbagai langkah
kebijakan antara lain melalui penurunan pajak ekspor secara bertahap,
pengeluaran keputusan tentang kuota ekspor, penyediaan pembiayaan dan
penjaminan yang termasuk pula pemberian jasa konsultasi, dan usaha-usaha
lainnya dalam rangka mendorong dan memperlancar ekspor nonmigas. Berbagai
kebijakan deregulasi yang ditempuh pemerintah tersebut pada akhirnya memberikan
dampak positif terhadap perkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Kalau pada tahun 1994 ekspor nonmigas baru mencapai
$3.0 milyar maka pada tahun 2000 sudah mencapai $4.7 milyar. Ini berarti ada
peningkatan sebesar 57% atau rata-rata 9.4% per tahun.
Disisi
lain bertambahnya penerimaan ekspor migas dalam waktu ini disebabkan karena
meningkatnya harga minyak internasional. Situasi tersebut sudah tentu secara
langsung menaikkan harga minyak
Indonesia di pasar dunia. Misalnya pada tahun 1997 harga minyak Indonesia hanya
$17.4 per barel. Selanjutnya. karena ada kepatuhan dari negara-negara anggota
OPEC terhadap kuota yang ditentukan dan kurangnya pasokan minyak dunia akibat
konflik di kawasan timur tengah akhirnya harga minyak Indonesia melonjak tinggi
pada tahun 2000 menjadi $28.6 per barel. Jelas kenaikan harga yang sangat
tinggi ini menambah penerimaan devisa dari sektor migas menjadi $15.5 milyar
pada tahun tersebut. Jika penerimaan migas pada tahun 2000 dibandingkan dengan
tahun 1994, maka akan kelihatan suatu kenaikan yang sangat menyolok yaitu
sebanyak 56.57%, dimana pada tahun 1994 penerimaan migas Indonesia hanya
sebanyak $9.9 milyar.
Dalam
upaya meningkatkan kegiatan kegiatan industri domestik yang masih tergantung
dengan bahan baku impor, pemerintah telah menempuh beberapa kebijakan antara
lain pemberian fasilitas pembebasan bea masuk impor bahan baku komoditi
tertentu. penyempurnaan skim pembiayaan dan penjaminan impor, dan membuka
kembali akses ke sumber-sumber perdagangan internasional. Semua kebijakan
tersebut pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan impor Indonesia relatif tinggi
dalam periode 1994-2000 yakni sebesar 4.42% per tahun. Pertumbuhan yang sangat
besar terjadi pada tahun 1995 yakni
26.6% dan tahun 2000 sebesar 22.2%.
Tabel
3.7 juga menunjukkan bahwa sepanjang periode 1994-2000 selalu ada peningkatan
impor migas setiap tahunnya, meskipun pertumbuhannya relatif kecil, namun
kondisi tersebut tetap saja menggambarkan bahwa pasokan minyak Indonesia sampai
saat ini belum bisa mencukupi konsumsi minyak bumi dan LNG di dalam
negeri.
Perkembangan
transaksi modal bersih di Indonesia dalam kurun waktu 1994-2000 tidak selamanya
selalu surplus. Sepanjang tahun 1994-1998 memang transaksi modal kita terus
mengalami surplus, rata-rata $7 milyar per tahun. Akan tetapi pada tahun 1998
sampai dengan tahun 2000 perkembangannya selalu defisit, dimana rata-rata
defisitnya sebesar $4.4 milyar
pertahun. Banyak
faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Pertama, dari sisi penerimaan pemerintah. Kita melihat bahwa jika
surplus penerimaan bersih pemerintah mengalami penurunan setiap tahun, maka
perkembangan transaksi modal bersih bisa menjadi defisit pula. Sebagaimana yang
dipaparkan pada Tabel 3.7, nampak jelas bahwa sewaktu surplus penerimaan
pemerintah mengalami penurunan pada tahun 1999 sebesar 31.39% dan juga pada
tahun 2000 sebesar 11.70%, perkembangan transaksi modal dalam NPI mengalami
defisit dalam kurun waktu yang sama. Faktor utama yang menyebabkan mengapa
surplus penerimaan pemerintah bisa turun karena berkurangnnya bantuan program
dari luar negeri, baik itu bantuan bilateral maupun multilateral. Misalnya pada
tahun 2000, terjadi penurunan bantuan program dari ADB, IBRD dan Jepang sebesar
59% sehingga menjadi $1.6 milyar. Disamping itu. penurunan jumlah bantuan
pangan sebesar 73%, sehingga nilainya menjadi $73 juta, juga memberikan
kontribusi terhadap turunnya surplus lalu lintas modal bersih pemerintah (Bank Indonesia. 2000).
Kedua,
dari sisi penerimaan modal swasta. Jika setiap waktu lalu lintas modal swasta defisit, maka perkembangan transaksi
modal bersih dalam NPI bisa juga selalu defisit. Sepertinya hal inilah yang
berperan sangat besar terhadap perkembangan defisit transaksi modal.
Sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 3.7, saat lalu lintas modal swasta
berjalan defisit selama tahun 1998-2000, kurang lebih defisitnya sekitar $10.7
milyar pertahun, transaksi modal turut mengalami defisit pula. Salah satu
indikator yang membuat lalu lintas modal swasta menjadi defisit karena
meningkatnya pembayaran hutang luar negeri swasta (outflow), terutama dari sektor perbankan. Termasuk juga karena adanya capital
flight (pelarian modal ke luar negeri) bisa mengakibatkan defisitnya lalu
lintas modal swasta.
Tabel
3.7 menunjukkan pula bahwa perkembangan cadangan devisa (reverse) Indonesia selama periode 1994-2000 selalu dalam posisi
yang aman, karena setiap tahunnya rata-rata tersedia cadangan devisa yang bisa
memenuhi impor dan pembayaran hutang kurang lebih selama 5,4 bulan.
Dari berbagai fenomena perekonomian eksternal yang sudah
diuraikan di atas, kita bisa mengamati bahwa negara Indonesia ini ternyata
sangat tergantung sekali dengan perekonomian luar negeri, terutama sekali dalam
hal akses pasar dan kebutuhan modal pembangunan. Oleh karena itu isu
globalisasi yang sedang melanda seantero dunia ini sangat mempengaruhi tatanan
perekonomian nasional kita. Aspek global
public goods yang mengiringi era globalisasi tersebut tidak bisa dihindari
lagi, sebab jika Indonesia mengabaikannya sudah tentu akan dikucilkan dalam
kancah perekonomian global.
Eksistensi global
public goods mampu mendorong terciptanya tata hubungan masyarakat baru,
struktur dan sistem ekonomi baru, bahkan persepsi budaya baru dalam kehidupan
masyarakat, yang tidak mungkin diimbangi atau dihentikan secara efektif oleh
lembaga pemerintah manapun juga.
Pada tingkat nasional, disatu sisi sebagai warga dunia,
Indonesia tidak dapat menghindar dari perubahan yang bersifat global tersebut.
Tuntutan tentang penegakan demokrasi, hak asasi manusia serta pelestarian
lingkungan menjadi sangat kuat yang terwujud dalam gerakan reformasi nasional
pada saat sekarang ini. Di sisi lain krisis ekonomi, moneter yang diikuti
dengan krisis sosial dan ekonomi yang hingga kini belum dapat teratasi.
Hal
tersebut di atas, menuntut kebijakan publik yang mampu mendorong masyarakat
untuk mempertahankan eksistensi, pertumbuhan, perkembangan sistem kehidupan
nasional, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara yang kesemuanya dapat
diwujudkan melalui mekanisme sistem pemerintahan yang baik (Good Governance). Untuk dapat
mewujudkan kepemerintahan yang baik beberapa prinsip dasar yang harus
diperhatikan, antara lain : (1) prinsip kepastian hukum, (2) prinsip
keterbukaan, (3) prinsip akuntabilitas, dan (4) prinsip profesionalisme. (Hardijanto, 2000).
Alun, Tawang.
1992. Analisa Ekonomi Utang Luar Negeri.
LP3ES, Jakarta.
Arief, Sritua.
1998. Teori Kebijaksanaan Pembangunan.
Penerbit
CIDES, Jakarta.
Bank Indonesia. Laporan Tahunan dan Laporan Bulanan. Beberapa edisi, Jakarta.
Basri Faisal.
1997. Perekonomian Indonesia Menjelang
Abad XXI. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Basri Faisal. 1999. Krisis
Ekonomi Indonesia Di Tengah Gelombang Globalisasi. UI-Jakarta.
Damajanti, Nadia Sri . 1999. Strategi
Kebijakan Ekonomi Indonesia: Mungkinkah Krisis Ekonomi Berakhir. Jurnal UT. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Dillon, H.S.
2000. Utang Luar Negeri dan Orientasi Pembangunan. Republika 10 Februari 2000, Jakarta.
Dumairy.
1997. Perekonomian Indonesia.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Feith,
Herb. 1999. Globalisasi Politik Dunia
Dan Keharusan Reformasi PBB. Monash University - Melbourne.
Hardijanto.
2000. Pendayagunaan Aparatur Negara
Menuju Good Governance. Makalah
Disampaikan Pada TOT Pengadaan Barang/Jasa Menuju "Good
Governance", 11-9-2000, Jakarta.
Jhingan,
M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Just, E. Richard., et al. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall
Inc, United States of Amerika.
Myles, Garreth D. 1997. Public Economy. Cambridge University
Press, London.
Samuelson, Paul A., and William D.
Nordhaus. 1995. Makro Ekonomi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Swasono,
Sri Edi., dan Sritua Arief. 1999. Pembangunan
Tanpa Utang : Utang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia. Republika 15
Desember 1999, Jakarta.
Syahrir.
1995. Meramal Ekonomi Di Tengah
Ketidakpastian. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tambunan, Mangara. 2001. Hand Out : Ekonomi Publik Lanjutan.
Tidak dipublikasikan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tambunan,
Tulus T.H. 2000. Perekonomian Indonesia
(beberapa isu penting). Penerbit Ghalia, Jakarta.
US Bureau of The Cencus ;
International Data Base ; World Bank ; International Monetary Fund ; 1999.