© 2001
Widada Posted: 24 December 2001
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
December 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
Pada awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun
yang lalu. Naluri manusia untuk
mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam dilakukan antara lain dengan
cara berburu, yang merupakan suatu kegiatan baik sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu hobi/hiburan.
Di Asia Timur, konservasi sumberdaya alam hayati (KSDAH) dimulai saat
Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu
dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan. Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804
M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan
sebuah buku berjudul Doomsday Book
yang berisi inventarisasi dari sumberdaya alam milik kerajaan.
Kebijakan kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk
konservasi sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka
melakukan konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I
melakukan pengelolaan sumberdaya alam hayati atas dasar adanya data yang
akurat. Namun dari sejarah tersebut,
dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan
diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat
konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno
konservasi yang merupakan cikal bakal dari konsep modern konservasi dimana
konsep modern konservasi menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan
sumberdaya alam secara bijaksana.
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa
yang kita punya (keep/save what you have),
namun secara bijaksana (wise use).
Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika
pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk
evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada
saat sekarang. Konservasi juga dapat
dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi
berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari
segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan
masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi
didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan
manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang
optimal secara sosial (Randall, 1982).
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme
hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang
meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian,
administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui
untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
Secara keseluruhan,
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati (KSDAH) adalah pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya. Adapun prinsip dasar
KSDAH dapat digambarkan melalui diagram berikut ini :
KSDAH ataupun konservasi biologi pada dasarnya
merupakan bagian dari ilmu dasar dan ilmu terapan yang berasaskan pada
pelestarian kemampuan dan pemanfaatannya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah untuk
terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia.
Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksananya. Di Indonesia,
kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan
masyarakat, mencakup masayarakat umum, swasta, lembaga swadaya masayarakat,
perguruan tinggi, serta pihak-pihak lainnya.
Sedangkan strategi konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga
hal berikut taktik pelaksanaannya, yaitu :
1.
Perlindungan
sistem penyangga kehidupan (PSPK)
a. Penetapan wilayah PSPK.
b. Penetapan
pola dasar pembinaan program PSPK.
c. Pengaturan
cara pemanfaatan wilayah PSPK.
d. Penertiban
penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK.
e. Penertiban maksimal
pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK.
2.
Pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
a. Pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya
b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan eks-situ
konservasi).
3.
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya.
a. Pemanfaatan
kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.
b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar (dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan pengembangan,
penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya).
Kawasan pelestarian alam
ataupun kawasan dilindungi ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan berbagai
macam kriteria sesuai dengan kepentingannya.
Hampir di setiap negara mempunyai kriteria/kategori sendiri untuk penetapan
kawasan dilindungi, dimana masing-masing negara mempunyai tujuan yang berbeda
dan perlakuan yang mungkin berbeda pula.
Namun di level internasional
seperti misalnya Commission on National
Park and Protected Areas (CNPPA) yaitu komisi untuk taman nasional dan
kawasan dilindungi yang berada di bawah IUCN memiliki tanggung jawab khusus
dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi secara umum di dunia, baik untuk
kawasan daratan maupun perairan.
Sedikitnya, sebanyak 124
negara di dunia telah menetapkan setidaknya satu kawasan koservasinya sebagai
taman nasional (bentuk kawasan dilindungi yang populer dan dikenal luas).
Walaupun tentu saja di antara masing-masing negara, tingkat perlindungan yang
legal dan tujuan pengelolaannya beragam, demikian juga dasar penetapannya.
Apabila suatu negara tidak
memiliki kawasan dilindungi yang khusus karena sulit untuk memenuhi standar
yang ditetapkan, maka mereka dapat mengelola kawasan alternatif seperti hutan
produksi yang dialihkan sebagai kawasan dilindungi sehingga penurunan/pengurangan
plasma nutfah dapat ditekan.
Kategori klasifikasi kawasan
dilindungi, dimana kategori pegelolaan harus dirancang agar pemanfaatan agar
seimbang, tidak lebih mementingkan salah satu fungsi dengan meninggalkan fungsi
lainnya. Adapaun kategori penetapan
kawasan dilindungi yang tepat harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :
a.
Karakteristik atau ciri khas kawasan yang
didasarkan pada kajian ciri-ciri biologi dan ciri lain serta tujuan
pengelolaan.
b.
Kadar perlakuan pengelolaan yang diperlukan
sesuai dengan tujuan pelestarian.
c.
Kadar toleransi atau kerapuhan ekosistem atau
spesies yang terdapat di dalamnya.
d.
Kadar
pemanfaatan kawasan yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan tersebut.
e.
Tingkat
permintaan berbagai tipe penggunaan dan kepraktisan pengelolaan.
Sedangkan secara umum, ciri-ciri suatu kawasan ditetapkan sebagai
kawasan dilindungi adalah :
1.
Karakteristik/keunikan
ekosistem, misalnya ekosistem hutan hujan dataran rendah, fauna endemik,
ekosistem pegunungan tropika, dan lain-lain.
2.
Spesies
khusus yang diminati, mencakup nilai/potensi, kelangkaan atau terancam,
misalnya menyangkut habitat jenis satwa seperti badak, harimau, beruang, dan
lain-lain.
3.
Tempat
yang memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi.
4.
Lanskap/ciri
geofisik yang bernilai estetik, dan penting untuk ilmu pengetahuan misalnya
glasier, mata air panas, kawah gunung berapi dan lain-lain.
5.
Tempat
yang berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, tanah, air dan iklim mikro.
6.
Tempat
yang potensial untuk pengembangan rekreasi alam dan wisata, misalnya danau,
pantai, pegunungan, satwa liar yang menarik, dan lain-lain.
7.
Tempat
peninggalan budaya, misalnya candi, galian purbakala, situs, dan lain-lain.
Secara umum, tujuan utama
dari pengelolaan kawasan dilindungi adalah :
1.
Penelitian
ilmiah.
2.
Perlindungan
daerah liar/rimba.
3.
Pelestarian
keanekaragaman spesies dan genetic.
4.
Pemeliharaan
jasa-jasa lingkungan.
5.
Perlindungan
fenomena-fenomena alam dan budaya yang khusus.
6.
Rekreasi dan wisata alam.
7.
Pendidikan (lingkungan).
8.
Penggunaan lestari dari sumberdaya alam yang
berasal dari ekosistem alami.
9.
Pemeliharaan
karakteristik budaya dan tradisi.
Berdasarkan tujuan manajemen tersebut, maka kawasan dilindungi dikelola
dalam berbagai kategori pengelolaan kawasn dilindungi yang ditetapkan IUCN
(1994) sebagai berikut :
1.
a.
Cagar alam mutlak (strict nature
protection)
b. Daerah liar/rimba (wilderness
area)
2.
Konservasi ekosistem dan rekreasi, misalnya
taman nasional.
3.
Konservasi fenomena alam, misalnya monumen
alam.
4.
Konservasi melalui kegiatan manajemen aktif
misalnya kawasan pengelolaan habitat.
5.
Konservasi bentang alam, laut dan rekreasi.
6.
Pemanfaatan lestari ekosistem alam.
Adapun kriteria umum bagi
berbagai kawasan yang dilindungi adalah :
1.
Taman Nasional, yaitu kawasan luas yang
relatif tidak terganggu yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan
kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh
pengunjung dan terdapat manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut.
2.
Cagar alam, umumnya kecil, dengan
habitat rapuh yang tidak terganggu oleh kepentingan pelestarian yang tinggi,
memiliki keunikan alam, habitat spesies langka tertentu, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak.
3.
Suaka margasatwa, umumnya kawasan berukuran
sedang atau luas dengan habitat stabil yang relatif utuh serta memiliki
kepentingan pelestarian mulai sedang hingga tinggi.
4.
Taman wisata, kawasan alam atau lanskap
yang kecil atau tempat yang menarik dan mudah dicapai pengunjung, dimana nilai
pelestarian rendah atau tidak akan terganggu oleh kegiatan pengunjung dan
pengelolaan yang berorientasi rekreasi.
5.
Taman buru, habitat alam atau semi
alami berukuran sedang hingga besar, yang memiliki potensi satwa yang boleh
diburu yaitu jenis satwa besar (babi hutan, rusa, sapi liar, ikan, dan
lain-lain) yang populasinya cukup besar, dimana terdapat minat untuk berburu,
tersedianya fasilitas buru yang memadai, dan lokasinya mudah dijangkau oleh
pemburu. Cagar semacam ini harus memiliki kepentingan dan nilai pelestarian
yang rendah yang tidak akan terancam oleh kegiatan perburuan atau pemancingan.
6.
Hutan lindung, kawasan alami atau hutan
tanaman berukuran sedang hingga besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah
tererosi, serta tanah yang mudah terbasuh hujan, dimana penutup tanah berupa
hutan adalah mutlak perlu untuk melindungi kawasan tangkapan air, mencegah
longsor dan erosi. Prioritas pelestarian tidak begitu tinggi untuk dapat diberi
status cagar.
Di Indonesia, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pndidikan, menujang
budidaya, pariwisata dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Pembagian zonasi yang
dimaksud meliputi zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan intensif. Zona inti adalah zona yang paling peka
dimana diperlukan perlindungan secara ketat. Pada dasarnya semua kegiatan
dilarang dilakukan di dalam zona inti, kecuali penelitian, upaya penangkaran
atau suatu bentuk program pendidikan konservasi yang telah diijinkan.
Zona rimba mempunyai tujuan
utama sebagai tempat untuk pelestarian, tetapi tidak seketat pada zona
inti. Kegiatan ringan seperti mendaki,
wisata alam terbatas, rehabilitasi dan pembangunan sarana (jalan setapak, papan
petunjuk, shelter, dan lain-lain)
secara terbatas dapat dimungkinkan.
Zona pemanfaatan intensif adalah
zona yang diperuntukkan bagi kepentingan terutama wisata alam, pendidikan
lingkungan, penelitian, dan lain-lain.
Di dalam zona ini dimungkinkan pembangunan sarana dan prasarana
pendukung kegiatan dimaksud dengan mengacu pada peraturan perundangan yang
berlaku.
Pada masa Pemerintahan
Belanda di Indonesia, istilah Taman Nasional tidak terdapat dalam
perundang-undangan. Akan tetapi terdapat dua jenis kawasan pelestarian alam
dalam perundang-undangan Pemerintahan Belanda, yaitu Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Saat Indonesia memerdekakan diri, telah
terbentuk 99 Cagar Alam dan 14 Suaka Margasatwa yang luas wilayahnya secara
keseluruhan mencakup hampir 20.000 Km2.
Pada tahun 1982, bersamaan
dengan diselenggarakannya Konferensi Taman Nasional Sedunia di Bali. Pemerintah
Indonesia mengumumkan lima (5) Taman Nasional pertama di Indonesia walaupun
istilah kawasan taman nasional belum terdapat dalam perundang-undangan
Indonesia.
Saat ini (tahun 2001) jumlah taman nasional di Indonesia telah
berkembang menjadi 40 buah. Apabila dilihat dari kecenderungan pengelolaan
kawasan konservasi, terlihat bahwa pengelolaan cenderung mengarah kepada sistem
pengelolaan taman nasional. Sebenarnya, tidak terdapat perbedaan yang banyak
antara pengelolaan taman nasional dengan kawasan konservasi lainnya seperti
suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam, dan lainnya, kecuali bahwa
pada pengelolaan taman nasional, unsur pemanfaatannya dilakukan secara
berimbang dengan unsur perlindungan dan unsur pengawetannya.
Salah satu taman nasional yang masih termasuk muda di Indonesia adalah
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).
Taman Nasional ini ditetapkan statusnya sebagai taman nasional
berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/92 tanggal 28
Pebruari 1992. Luas wilayah TNGH adalah
40.000 hektar yang terletak di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan
Kabupaten Bogor) serta Propinsi Banten (Kabupaten Lebak). Secara geografis, kawasan TNGH terletak di
antara 106021’ – 106038’ BT dan 6037’ – 6051’LS.
Taman Nasional Gunung Halimun merupakan kawasan hutan hujan pegunungan
terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa, dimana ekosistem hutan alamnya
memiliki peranan yang penting dengan berbagai fungsi, di antaranya :
1.
Sebagai
wahana penelitian dan pendidikan lingkungan.
2.
Mendukung
pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa.
3.
Sebagai
wahana kegiatan rekreasi dan ekowisata.
4.
Merupakan
habitat bagi plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa.
5. Pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi wilayah di sekitarnya, terutama Bogor, Sukabumi, Lebak dan juga DKI Jakarta.
Tabel 1. Kronologis Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun
Status |
Tahun |
Pengelola |
Hutan Lindung |
1924-1934 |
Pemerintah Belanda |
Cagar Alam |
1935-1961 |
Pemerintah Belanda dan RI (Jawatan Kehutanan) |
1961-1978 |
Perum Perhutani |
|
1979-1990 |
Balai KSDA III |
|
1990-1992 |
TN Gunung Gede Pangrango |
|
Taman Nasional |
1990-1992 |
TN Gunung Gede Pangrango |
1992-1997 |
TN Gunung Gede Pangrango |
|
1997-sekarang |
Balai TN Gunung Halimun |
Untuk memantapkan fungsi kawasan tersebut, TNGH masih menghadapi berbagai
kendala yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kendala
internal dan eksternal.
Kendala Internal
1.
Aksesibilitas
rendah, yaitu : kondisi fisik lapangan berupa topografi yang bergunung-gunung, jalan
menuju kawasan sebagian besar jelek (berbatu), sarana angkutan umum sangat
terbatas.
2.
Sarana
dan prasarana terbatas, yaitu meliputi sarana dan prasarana untuk kegiatan
wisata alam, pengamanan kawasan, maupun untuk kepentingan penelitian dan
pengelolaan TNGH.
3.
Sumberdaya manusia (SDM) terbatas, terutama
daris segi kualitasdan distribusi di lapangan.
4.
Publikasi dan promosi TNGH belum optimal, baik
untuk skala lokal, nasional maupun internasional. Demikian juga data, informasi dan materi promosi belum tersedia
secara memadai.
5.
Kondisi tata batas di lapangan tidak jelas.
6.
Peraturan
yang bersifat teknis belum lengkap.
Kendala eksternal
1.
Tingkat
pendidikan dan kesadaran masyarakat sekitar kawasan yang relatif masih rendah
menyebabkan persepsi mereka tentang peranan TNGH sebagai kawasan pelestarian
alam masih terbatas.
2.
Terbatasnya
keterampilan di bidang kewirausahaan menyebabkan sebagian besar masyarakat
sekitar kawasan tergantung pada sumberdaya hutan sebagai sumber perekonomian
mereka. Hal ini tidak jarang mengakibatkan munculnya pengambilan hasil utan
kayu dan non kayu secara ilegal.
3.
Adanya
potensi tambang emas di sekitar dan di dalam kawasan TNGH menarik minat
masyarakat sekitar kawasan maupun pendatang untuk melakukan kegiatan
penambangan emas secara liar.
4.
Secara
tradisional, sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan melakukan perburuan
satwa liar di dalam kawasna hutan dan juga melakukan perambahan hutan.
5.
Koordinasi
belum dilakukan secara optimal, baik dengan instansi terkait (Pemerintah
Daerah, Dinas Pariwisata, Pekerjaan Umum, Perindustrian, Pertanian dan
Perkebunan, Koperasi, LSM, perguruan tinggi maupun pihak swasta dan pihak
terkait lainnya.
Agar fungsi utama TNGH sebagai kawasan perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan dapat diwujudkan secara optimal dan dengan memperhatikan potensi
dan kendala yang ada, maka landasan strategi pengelolaan dan pengembangan TNGH
diarahkan kepada tiga aspek berikut :
1.
Peningkatan Fungsi Ekologis, yaitu bagaimana
pengelolaan dan pengembangan TNGH tetap mempertahankan kelestarian sistem
penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
2.
Peningkatan Fungsi
Pemanfaatan,
yaitu bagaimana pengelolaan dan pengembangan TNGH mampu mewujudkan kegiatan
wisata alam atau ekowisata, penelitian dan pendidikan konservasi, serta
budidaya dengan tetap mempertahankan kelestarian dan ekosistem hutan TNGH.
3.
Peningkatan Pemberdayaan
Masyarakat Sekitar, yaitu bagaimana pengelolaan dan pengembangan TNGH mampu meningkatkan
peran serta dan kesejahteraan masyarakat sekitar TNGH.
Salah satu kendala yang cukup rumit yang dihadapi TNGH adalah mengenai
tata batas kawasan yang masih belum jelas dan juga mengenai bentuk kawasan yang
menyerupai jari-jari tangan manusia. Karena bentuknya yang tidak teratur serta
tata batas yang belum jelas, mengakibatkan munculnya kerumitan dalam upaya
pengelolaan TNGH. Ketidakjelasan tata
batas sering menimbulkan konflik antara petugas TNGH dengan pihak lain, baik
dengan masyarakat maupun dengan instansi lain.
Oleh karena itu, dalam rangka pemantapan kawasan tersebut, maka
dilakukan upaya-upaya, antara lain :
1.
Rekonstruksi Tata Batas, adalah penataan batas
ulang kawasan TNGH. Untuk itu diupayakan melalui kerjasama kehutanan (INTAG)
dengan Pemerintah Daerah dan melibatkan pula persetujuan masyarakat setempat.
2.
Penataan Batas Zonasi, adalah penataan batas
berdasarkan fungsi kawasan yang mencakup zona inti, zona rimba dan zona
pemanfaatan intensif.
3.
Survey
Identifikasi Kawasan Hutan dalam rangka usulan perluasan kawsan TNGH.
Upaya pengelolaan sumberdaya alam mencakup aktivitas penelitian, inventarisasi,
monitoring dan evaluasi terhadap potensi flora, fauna dan ekosistemnya termasuk
sumberdaya air. Data potensi yang diperoleh dari kegiatan penelitian atau
inventarisasi tersebut dijadikan database
untuk mendukung perkembangan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan sekaligus
untuk kepentingan dalam penentuan rencana dan kebijakan pengelolaan TNGH.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka TNGH
berupaya melibatkan dan bekerja sama dengan instansi lain, seperti LIPI,
Litbang Kehutanan, Perguruan Tinggi, atau LSM yang terkait dalam kegiatan
penelitian, evaluasi dan monitoring. Di samping itu, TNGH juga memberikan
banyak kemudahan kepada pihak lain (mahasiswa atau peneliti) yang ingin
melakukan kegiatan di TNGH. Sarana dan prasarana untuk mendukung program
penelitian telah mulai dikembangkan, misalnya dengan membangun Pusat Penelitian
Cikaniki yang dilengkapi dengan berbagai peralatan laboratorium dan konservasi
yang memadai. Demikian juga untuk
penelitian ekosistem tajuk hutan, telah tersedia fasilitas Canopy Trail dengan panjang 100 meter dan tinggi 20-30 meter dari
permukaan tanah.
Perlindungan dan pengamanan adalah upaya untuk mencegah dan membatasi kerusakan
flora dan fauna beserta ekosistemnya akibat dari adanya gangguan kawasan. Gangguan kawasan TNGH yang bersumber dari
perbuatan manusia antara lain PETI, perambahan kawasan, pencurian kayu,
perburuan ilegal, dan lain-lain. Di
samping itu, gangguan kawasan bisa disebabkan karena hama dan penyakit atau
akibat bencana alam.
Upaya penanggulangan gangguan kawasan dilakukan dengan pendekatan
secara preventif dan represif.
Preventif, yaitu tindakan pencegahan yang dilakukan melalui kegiatan
operasi gabungan, patroli rutin secara intensif, mengembangkan pengamanan
swakarsa masyarakat, menjalin kemitraan dengan kader konservasi, dan
lain-lain. Sedangkan secara represif,
yaitu penindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dilakukan melalui upaya
penindakan pelanggar secara langsung berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
TNGH dengan segala potensi keindahan, kekayaan alam, dan budaya
masayarakat setempat serta dengan jarak yang relatif dekat dari Jakarta (± 100 km) pada dasarnya memiliki nilai jual
yang tinggi sebagai obyek wisata.
Dengan kata lain, upaya pengembangan wisata alam TNGH menjanjikan dan
berpeluang tumbuh dan berkembang dan mampu menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi
dan sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan TNGH.
Dalam rangka mewujudkan optimalisasi
pengembangan wisata alam TNGH dengan memperhatikan potensi dan kendala yang
ada, maka upaya-upya yang ditempuh antara lain, sebagai berikut :
1.
Peningkatan
kualitas sumberdaya manusia TNGH, melalui berbagai pelatihan di bidang wisata
alam, baik di dlaam maupun di luar negeri di samping kegiatan on the job
training untuk meningkatkan kemampuan SDM dalam perencanaan, pengembangan dan
pengelolaan wisata alam.
2.
Pembangunan
sarana dan prasarana serta fasilitas untuk mendukung kegiatan wisata alam serta
pengembangan potensi obyek wisata untuk berbagai jenis kegiatan wisata di
berbagai lokasi di TNGH.
3.
Peningkatan sarana, media, dan kegiatan
publikasi serta promosi TNGH baik dalam skala nasional maupun internasinal
dengan media elektronik dan cetak.
4.
Pembangunan Pusat informasi Pengunjung di
kantor pusat TNGH di Kabandungan dan Cikaniki, serta membangun arboretum
sebagai miniatur kawasan TNGH.
5.
Pembinaan dan pengembangan keterampilan dalam
wirausaha di bidang wisata alam kepada masyarakat di sekitar kawasan maupun
dengan lembaga bisnis professional dan juga melibatkan LSM serta perguruan
tinggi.
6.
Pengembangan paket-paket wisata alam bernuansa
pendidikan lingkungan dan atau penelitian konservasi dengan melibatkan LSM dan
perguruan tinggi serta pihak-pihak terkait lainnya.
Mengingat tingkat sosial
ekonomi masyakarakt di sekitar kawasan TNGH (52 desa penyangga) kondisinya
masih sangat rendah, maka salah satu kunci keberhasilan pengelolaan adalah dengan
melibatkan partisipasi masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi desa
penyangga. Sejalan
dengan upaya tersebut, maka program pembinaan daerah dilakukan dengan tujuan
utama, yaitu :
1.
Memberikan
dan meningkatkan wawasan/pengetahuan masyarakat desa penyangga tentang
pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
2.
Meningkatkan
keterampilan masyarakat desa dalam melakukan budidaya sumberdaya alam yang
berwawasan konservasi.
3.
Meningkatkan
keterampilan kewirausahaan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa penyangga.
4.
Menjalin
kemitraan dengan harapan masyarakat mampu berperan aktif dalam upaya menjaga
dan melestarikan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistem kawasan TNGH.
Program-program pembinaan
daerah diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan, antara lain :
1.
Pelatihan partisipasi masyarakat desa dalam
pembangunan konservasi (PRA).
2.
Pelatihan kewirausahaan dan koperasi bagi
masyarakat desa penyangga.
3.
Pengembangan ekonomi masyarakat desa penyangga
melalui pemberian bantuan Usaha Pedesaan yang sejalan dengan misi konservasi.
4.
Pengembangan
model atau pilot project pemberdayaan
ekonomi masyarakat berbasiskan konservasi sumberdaya alam.
5.
Pendidikan
lingkungan atau pendidikan konservasi untuk tingkat anak-anak (sekolah dasar),
generasi muda dan tingkat dewasa (masyarakat).
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan TNGH, maka dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan kawasan dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain
seperti Pemerintah Daerah Tk. I dan II, tokoh masyarakat, LSM, perguruan
tinggi, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Untuk itu, TNGH berupaya melakukan lokakarya, rapat koordinasi, dan
kegiatan-kegiatan pertemuan lainnya dalam rangka pemantapan koordinasi.
Dalam kaitannya dengan progam konservasi di Indonesia, Taman Nasional
Gunung Halimun memiliki peranan yang sangat penting, terutama karena kawasannya
merupakan habitat berbagai flora dan fauna serta plasma nutfah yang sangat
berharga. Namun demikian, diperlukan
pula suatu pengelolaan yang bijaksana dan menyeluruh serta mampu menggali
potensi yang ada tersebut sehingga pada akhirnya, sumberdaya alam yang ada
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat terutama yang berada di sekitar kawasan, dan
juga memberikan pengaruh yang positif
bagi konservasi di Indonesia.
Basuni, S. 1993. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi.
Laboratorium Pengelolaan Kawasan Konservasi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1991. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Harada,
Jauhar, Widada. 2000. Guide Book: Gunung
Halimun National National Park. Biodiversity
Conservation Project.. Bogor
MacKinnon, J., K. MacKinnon, G.
Child & J. Thorsell. 1990.
Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada Press. Jogjakarta.
Ministry of National Development Planning/National Development Planning
Agency. 1993. Biodiversity: Action Plan for Indonesia. Jakarta.
Widada,
Mulayati, Kobayashi. 2001. Sekilas Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
dan Ekosistemnya. Biodiversity
Conservation Project. Bogor