© 2002  Waysima                                                                                        Posted:  18 January 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Januari 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 MASIHKAH ADA KESEMPATAN MEMPEROLEH SDM BERKUALITAS ?

Pendekatan Tumbuh Kembang

 

 

 

 

Oleh:

 

Waysima

P21600007

E-mail: wysm@indo.net.id

 

 

Latar Belakang

Kondisi negara Indonesia beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan.  Begitu banyak permasalahan yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia.  Bermula dari krisis moneter, anjlognya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga mencapai Rp. 16.000/$AS menyebabkan munculnya krisis ekonomi.  Sektor-sektor perekonomian yang banyak tergantung pada bahan baku import menjadi collapse.  Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana.  Negara tetangga, Malaysia dan Thailand, juga mengalami hal serupa, bahkan terjadi lebih awal. Namun perlahan-lahan mereka dapat mengatasinya karena politik negara stabil, rakyat dapat bersatu untuk mengatasi permasalahannya. 

Akan halnya Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi diikuti dengan situasi politik internal yang sedang bergejolak. Situasi politik yang labil, munculnya banyak kepentingan-kepentingan kelompok, juga move-move demokratisasi dan desentralisasi  yang nampaknya belum dipersiapkan dengan benar untuk berlaku semakin memporakporandakan kehidupan masyarakat.  Menyusul peristiwa-peristiwa dunia seperti resesi, peristiwa 11 September 2001 di AS disusul dengan penyerangan AS ke Afganistan sangat mempengaruhi usaha-usaha pemulihan perekonomian Indonesia. Terlalu banyak agenda pemerintah, yang masing-masing menuntut untuk segera diselesaikan, namun kemampuan pemerintah tampak kurang memadai. Akibatnya hingga sekarang pemulihan perekonomian tak kunjung tiba yang berakibat pada kian merosotnya daya beli masyarakat.  Berita terakhir mengatakan bahwa resesi global belum tuntas  diatasi dan krisis internal Indonesia tak juga menunjukkan tanda-tanda pencerahan.  Badai krisis yang tak kunjung padam ini menyebabkan PHK  secara besar-besaran (akan) terjadi lagi.  Sejumlah perusahaan besar kelas duniapun tak mampu bertahan menghadapi krisis global.  Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pasti, berdasarkan perkiraan, akumulasi angka pengangguran tahun 2002 akan berada di atas angka 40 juta orang (P. C.  Nitbani, Suara Pembaruan, 13 Januari 2002).

Di pihak lain gaya hidup konsumtif yang dibawa pengaruh global masuk ke Indonesia kian menekan kehidupan masyarakat yang berdaya beli lemah. Gaya hidup konsumtif mendorong mereka untuk ikut bermain di dalamnya agar mereka dapat dimasukkan ke dalam atau merasakan menjadi bagian dari suatu masyarakat modern.  Segelintir orang yang mampu mengikuti dan dapat menikmati arus global justru berperilaku semena-mena, yang semuanya berada ditengah ketidak-berdayaan pemerintah menegakkan hukum dan keadilan serta tiadanya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin.

Kesulitan pemerintah Indonesia menghadapi sejumlah persoalan krisis menyebabkan kurangnya perhatian terhadap institusi keluarga dan anak-anak. Bahkan masyarakat dan keluargapun ikut melupakan anak-anaknya, karena terbelit oleh kesulitan hidup keluarga yang belum dapat diatasi. Keadaan krisis ini diberitakan meningkatkan jumlah orang miskin hingga mencapai 80 juta orang di Indonesia.  Semakin banyak jumlah anak usia sekolah dasar yang terlihat baik di jalanan atau di pasar tradisional pada waktu sekolah, yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghadiri sekolah lagi.  Mereka ada yang berlaku sebagai “pengamen”, pengemis dan tenaga kasar di pasar.  

 

 

Permasalahan

Dari sekian banyak fenomena yang ditunjukkan masyarakat yang sedang dilanda krisis di berbagai macam sisi kehidupan, ada masalah sikap dan perilaku anak-anak usia sekolah yang terpaksa atau dipaksa kehidupan untuk berlaku sebagai “pengamen”/ pengemis terutama di angkot di kota Bogor (diperkirakan juga terjadi di kota-kota lain) yang menarik untuk dibahas.   Bila pada awalnya mereka terpaksa atau dipaksa melakukannya karena kehidupan ekonomi keluarganya mengalami perubahan, maka perlahan-lahan kondisi kehidupan yang tidak juga memberikan cahaya perbaikan membawa mereka untuk terbiasa dengan kehidupan sebagai “pengamen” atau pengemis bahkan mungkin sebagian dari mereka telah menikmatinya.  Kenikmatan yang diperoleh telah memadamkan semangat untuk berusaha, semangat untuk hidup lebih baik, semangat untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih.   Keluarga lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk  bekerja sebagai pengemis, pengamen di angkot dan di kalanan daripada menyediakan waktu untuk pergi sekolah. Kemampuan anak menghasilkan uang dari kegiatan ngamen/ mengemis membuat orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya.

Dampak kondisi yang memprihatinkan itu telah terlihat, kita tidak perlu menunggu bertahun-tahun untuk mengetahui akibat buruk yang dialami.  Salah satunya adalah dapat dilihat bahwa jarang sekali di antara anak-anak pengamen atau pengemis yang menunjukkan sikap atau perilaku berterimakasih bila seseorang telah memberikan sedekahnya. Begitu apatisnya mereka dalam hidup seolah-olah tugas mereka adalah menyanyi (tidak peduli apakah suara, irama, lagu atau ekspresi ketika mereka menyanyi mengganggu orang) atau meminta-minta.  Kemudian menyodorkan kantong ke penumpang dan meminta penumpang untuk memberikan sedekah.  Di pihak lain seolah-olah menjadi kewajiban penumpang untuk memberikan sedekah.  Saya katakan sebagai kewajiban penumpang, karena setelah terjadi pemberian sedekah berapapun jumlahnya, kegiatan selesai. Tidak ada perilaku mereka baik dalam bentuk perilaku verbal atau non-verbal (bahasa badan) yang menunjukkan rasa terimakasih kepada penumpang yang telah memberi sedekah, apalagi kepada penumpang yang tidak memberi sedekah namun terganggu dengan kehadiran mereka.

 

Pembahasan

Ketimpangan terus menerus yang menghambat seseorang atau sekelompok orang mencapai tujuannya akan menimbulkan frustrasi.  Menurut Hipotesa Frustrasi – Agresi yang diambil oleh J. Dollard (di dalam Bootzin et al, 1991), frustrasi selalu mengarah ke bentuk-bentuk perilaku agresi.  Namun menurut beberapa psikolog lainnya, di antaranya Berkowitz (1962, di dalam Bootzin et al, 1991), perilaku agresi tidak muncul begitu saja karena adanya frustrasi, hanya bila frustrasi disertai dengan munculnya kemarahan.

Walaupun reaksi terhadap frustrasi dapat berbentuk perilaku menarik diri dan pada individu yang masih dapat berpikir sedikit lebih sehat merespon frustrasi dengan usaha-usaha non-agresif untuk mencapai tujuannya, namun frustrasi yang berkepanjangan, tekanan hidup ditambah dengan krisis moral yang merasuk kehidupan masyarakat menyebabkan banyak orang menggunakan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhannya. Sedikit tersinggung, sedikit perselisihan, terhambatnya pemenuhan keinginan, apalagi provokasi merupakan hal-hal yang mudah memicu adanya tawuran massa, pengrusakan dan penjarahan fasilitas umum atau milik pribadi hingga penghilangan nyawa orang.

Sedikitnya ada dua kemungkinan mengapa mereka berperilaku demikian. Yang pertama mereka masih terlalu kecil untuk mengetahui bahwa etika bermasyarakat meminta mereka harus menyampaikan rasa terimakasih dalam “transaksi bisnis” tersebut.  Tidak sebagaimana yang terjadi, dengan berdalih mereka telah mengeluarkan energi untuk menghibur atau mengetuk hati penumpang, maka menjadi kewajiban penumpang (tidak mempermasalahkan apakah penumpang senang atau tidak senang) untuk memberikan sedekah sebagai pembayaran energi yang telah dikeluarkan.  Tidak ada atau belum adakah pemahaman bahwa kegiatan yang mereka lakukan lebih banyak mengarah ke mengetuk kesukarelaan hati penumpang, sehingga justru menjadi kewajiban mereka untuk berterimakasih kepada penumpang. 

Yang kedua, mungkin ungkapan terimakasih secara verbal bukan budaya kita.  Tidak seperti orang barat yang begitu spontan mengungkapkan apa yang mereka pikirkan kepada siapa saja (Thank you, I love you, I hate you  dll),  orang timur tidak ekspresif menyatakannya. Apakah ini berarti bahwa masyarakat timur tidak mengenal ungkapan terimakasih ? Tentunya tidak demikian, justru budaya timur sangat kental  mengenal adanya “hutang budi”, yang tidak akan pernah terbayar walau telah digantikan dengan sejumlah materi.  Masyarakat timur mengenal budaya sungkan, hormat, loyal  kepada orang-orang yang berlaku baik terhadapnya.  Itu semuanya merupakan ungkapan rasa terimakasih atas apa yang telah dilakukan orang lain kepadanya.  Sebagai orang timur, rasa terimakasih mereka wujudkan dalam bahasa tubuh (sikap), apakah dalam bentuk senyuman, anggukan kepala atau melalui ekspresi mimik lainnya.

Dari kemungkinan pertama di atas, bila diamati ternyata ungkapan terimakasih secara verbal  lebih sering terdengar dari pengamen yang lebih dewasa.  Selain itu mereka juga mengusahakan peningkatan cara  mengamen yang bisa membuat para pendengar bersimpati, mulai dari yang bersifat  fisik seperti kalimat pengantar yang disampaikan sebelum mengamen, peralatan yang digunakan, lagu dan irama yang dibawakan hingga yang sifatnya psikologis seperti ekspresi menyanyi dan  cara  meminta sedekah. Bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan anak-anak pengamen, apakah usia yang mempengaruhi perbedaan perilaku mengamen yang terjadi di antara mereka ?  Yang berarti belum saatnya bagi anak–anak mengenal etika dan perilaku santun.  Bila demikian halnya,  kita tidak perlu mengkawatirkan kondisi anak-anak tersebut karena bisa diharapkan bahwa suatu saat nanti setelah mereka tumbuh besar mereka akan tahu etika dan sopan santun. 

Pernyataan itu tentu disangkal banyak orang.  Kematangan emosi-sosial anak banyak ditentukan oleh lingkungan dimana ia berada. Goleman (1997) dalam suatu bab dari bukunya membahas mengenai Why Emotional Intelligence Can Matter More Than IQ, yang disarikan oleh Megawangi mengatakan bahwa banyak orangtua yang gagal mendidik anak-anaknya. Namun kondisi emosi-sosial anak dapat dikoreksi dengan memberi latihan pendidikan emosi kepada anak-anak di sekolah, untuk itu perlu  dilakukan sejak usia dini. Perilaku yang merupakan wujud aspek kecerdasan emosi-sosial anak dapat berkembang optimal bila diperhatikan pengaruh  lingkungan yang kondusif untuk mengembangkannya.  Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang peduli terhadap proses pertumbuhan dan pengembangan mereka, yang memberikan cara, fasilitas, aturan dan pemberian reward-punishment yang seimbang selama proses tumbuh kembang mereka.  Lingkungan kondusif bisa berbentuk keluarga yang peduli, lembaga pendidikan dan masyarakat sekitar yang peduli.

Apa pentingnya kemampuan mengungkapkan terimakasih atau berperilaku santun dalam kehidupan manusia ? Apakah hanya untuk mendapatkan simpati dari para penumpang sehingga mereka tidak ragu-ragu mengeluarkan uang dari koceknya,  apakah untuk dipandang sebagai manusia beradab yang mengetahui etika dan sopan santun dalam berperilaku ?  Kemampuan mengungkapkan rasa terimakasih dan berperilaku santun menjawab situasi yang dihadapi merupakan salah satu wujud  kematangan emosi-sosial anak yang sejak tahun 1990-an mendapat perhatian besar di dunia anak-anak secara internasional.  Bila selama puluhan tahun kemampuan intelegensi  dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, sebagai pengembang aspek kognitif anak yang memungkinkan anak dapat berpikir alternatif, sehingga banyak sekolah yang menentukan penerimaan siswa mulai dari SD atau menseleksi siswa  SMU untuk masuk ke jurusan IPA atau IPS dengan mendasarkan pada hasil Tes Intelegensi siswa, maka sejak tahun 1990-an pandangan mengenai kecerdasan emosi-sosial anak yang merupakan modal untuk kesiapan mental dalam proses belajar telah menggantikan pengaruh aspek intelegensi terhadap keberhasilan seseorang di masa depannya.  Aspek-aspek kecerdasan emosi dan sosial anak seperti rasa percaya diri, rasa ingin tahu (tidak apatis), kemampuan mengontrol diri, bekerjasama, bergaul dengan sesama, berkonsentrasi, dan kemampuan berkomunikasi serta rasa empati merupakan bekal yang lebih penting untuk menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Megawangi-1). 

Kemampuan melakukan empati akan menyadarkan batin anak bahwa apa yang mereka lakukan dapat di samping dapat menyenangkan orang lain, juga dapat mengusik batin orang.  Kondisi ini menumbuhkan kemampuan sosial anak, yang nantinya mengembangkan kepedulian sosial anak terhadap lingkungan sekitar. Johnson dan Medinnus (1981) mengatakan bahwa kematangan sosial itu didapatkan dari belajar merespon dengan cara yang disetujui lingkungan sosialnya, kemampuan memainkan peran sosial yang diterima dan mengembangkan sikap-sikap sosialnya. 

Keluarga merupakan agen pertama dan utama  bagi sosialisasi anak, suatu proses sepanjang hidup yang membantu seseorang menjadi anggota suatu kelompok sosialnya (keluarga, masyarakat, suku dsb),  Proses itu meliputi mempelajari segala macam sikap, pandangan, kebiasaan, nilai, peran dan harapan dari suatu kelompok sosial.  Dengan demikian individu itu dapat hidup dengan senang dan berpartisipasi secara penuh di dalam kelompok budayanya (Goslin, 1969 di dalam Craig dan Kermis, 1995). Walaupun merupakan proses sepanjang hidup, namun sosialisasi yang terjadi pada masa kanak-kanak banyak disetujui para ahli akan menghasilkan perilaku yang menetap untuk masa-masa berikutnya.  Sosialisasi membantu anak membentuk inti dari nilai, sikap, harapan yang nantinya akan membentuk dirinya menjadi orang dewasa (Craig dan Kermis, 1995).  Menurut UU No.10/1992,  keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat terdiri dari suami-istri, atau  suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,  atau ibu dan anaknya (BKKBN, 1992 di dalam Sunarti, 2001).   Untuk dapat menumbuhkan kemampuan sosial,  keluarga perlu memiliki aturan, norma  yang ditetapkan bagi seluruh kehidupan, termasuk  norma hubungan antar anggota keluarga (ayah-ibu, orangtua-anak, anak-anak). 

Jelas sekali peran ibu dan keluarga sangat penting bagi tumbuh kembang anak di semua aspek, perkembangan fisik, intelektual, emosi, moral, kepribadian dan spiritual.  Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi anak agar dapat mencapai tumbuh kembang optimal (Megawangi-1) adalah kebutuhan akan kelekatan psikologis (maternal bonding); kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental dimana diperlukan perhatian besar dari orangtuanya, serta kebutuhan rasa aman dimana anak  memerlukan lingkungan yang stabil dan aman.  Dengan demikian dapat dimengerti mengapa anak jalanan / gelandangan banyak yang mengalami sociopathy atau memiliki kepribadian anti-sosial, yaitu individu yang tidak sosial dan  sering konflik dengan masyarakatnya, tidak mampu loyal terhadap individu, kelompok atau nilai-nilai sosial,  bersikap selfish, tak bertanggungjawab, impulsif,  tak punya rasa bersalah, toleransi terhadap frustrasi rendah dan cenderung menyalahkan orang lain (Page, 1971).

            Bagaimana dengan kehidupan anak-anak pengamen / pengemis ?  Apa yang mereka dapatkan dari orangtua, bagaimana pengaruh keluarga terhadap mereka ?  Sebagaimana digambarkan diatas, kehidupan ekonomi keluarga mengalami kesulitan yang tak kunjung selesai, tak ada perbaikan berarti yang dilakukan masyarakat sekitar atau negara terhadap keadaan mereka.  Kondisi ini membiasakan keluarga untuk lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk diperlakukan sebagai sumberdaya ekonomi.  Kemampuan anak menghasilkan uang dari kegiatan mengamen dan mengemis semakin membuat orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya. Dengan demikian dari sejak dini, anak-anak berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, lingkungan yang kurang mempedulikan proses pertumbuhan dan pengembangan mereka serta tidak memberikan fasilitas, aturan dan reward-punishment yang seimbang untuk tumbuh kembang mereka.  Dan lingkungan tersebut berada di sekitar anak-anak, yaitu di dalam keluarga dan masyarakatnya serta pemerintah yang karena kerepotannya sendiri tidak dapat melindungi mereka dengan undang-undang atau peraturan yang berpihak pada mereka.  Bagaimana mungkin anak-anak dalam lingkungan demikian dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan kepedulian sosialnya ???  Rasanya impossible !!!

            Fakta-fakta kejahatan yang terjadi tanpa mengenal lokasi, waktu dan jenis korban semakin banyak dijumpai.  Masyarakat di kota-kota besar terpaksa atau dipaksa mematikan kepedulian sosial, karena pilihan hidup semakin sempit.  Sebagaimana disimpulkan oleh Hendardi (aktivis) pada Acara Angin Malam di RCTI, 12 Januari 2002, rasa solidaritas masyarakat sekitar begitu rendahnya terhadap  kejahatan yang sedang dialami seseorang yang terjadi di depan matanya.  Sebagian dari mereka benar-benar tidak peduli sedang sebagian yang lain terpaksa menampakkan ketidakpeduliannya untuk menutupi rasa takut atau cemasnya terhadap pelaku kejahatan.  Kondisi memprihatinkan masih ditambah dengan ketidakpedulian aparat penegak hukum yang ada di sekitar dan tidak ditegakkannya hukum bagi pelaku kejahatan.  Bagaimana mungkin masyarakat yang dipaksa atau terpaksa menumbuhkan ketidak-peduliannya dapat memberikan atau bahkan mengajarkan kepedulian sosial pada anak-anak pengamen/ pengemis ? Lingkaran setan telah terjadi yang membuahkan ketidakpedulian sosial semakin meninggi diantara mereka, anak-anak dan masyarakat.

Satu perlakuan lain yang dapat menumbuhkan sikap tidak bertanggung jawab di kalangan orangtua  dan mematikan kreativitas anak pengamen.  Tanpa disadari kebaikan orang memberi sedekah kepada anak-anak tersebut (seberapapun besarnya) menguatkan perilaku orangtua dan anak-anak di atas.  Kondisi ini dapat dijelaskan melalui apa yang disebut dengan instrumental conditioning atau yang  disebut juga operant conditioning.  Edward Thorndike pada tahun 1898 telah mulai mempelajari instrumental conditioning pada hewan, kemudian disusul oleh psikolog berikutnya, B.F. Skinner pada tahun 1930-an (Bootzin et al., 1991).  Instrumental conditioning merupakan suatu cara belajar yang terjadi akibat adanya asosiasi antara perilaku/ respon  dan akibat yang menguatkan.   Perilaku pengamen, dengan apa adanya tanpa perlu memperbaiki diri, mendapat penguatan dari pemberian sedekah penumpang.  Kebiasaan yang terjadi di kalangan kaum Muslim yang menganggap hari Jumat merupakan hari yang baik untuk bersedekah menjadi penguat bagi mereka untuk berbondong-bondong berlaku sebagai pengemis pada hari itu.

Keadaan yang sama terjadi di negara-negara lain (seperti Belanda, Amerika)  yang memberikan tunjangan sosial kepada warganya dengan status seperti penganggur, single parent atau  pekerja dengan gaji rendah.  Tunjangan sosial ini semakin dirasakan menjadi masalah besar bagi pemerintah, karena bantuan yang diberikan tidak banyak membantu penerima tunjangan untuk berperilaku lebih baik, mereka tetap saja tergantung, bermalas-malasan dan semakin tidak bertanggung jawab terhadap keluarga (Bahan mata kuliah PSDK 2001). Pemberian santunan kepada penganggur justru akan mende-fungsionalisasi keluarga yang pada akhirnya akan membuat keluarga menjadi lemah (Megawangi-2).

Bila kita meninjau apa yang disebut sebagai Ketahanan Keluarga sebagaimana telah disarikan oleh Sunarti (2001) yaitu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki dan menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial keluarga, maka kondisi krisis di Indonesia semakin memperlihatkan rontoknya ketahanan keluarga.  Keluarga semakin lemah dalam memfungsikan dirinya.   Masih bisakah kita berharap akan memperoleh sumberdaya manusia berkualitas untuk generasi yang akan datang ?  Manusia yang mendapat kesempatan dan mampu mengembangkan kecerdasan intelegensi, emosi-sosial dan spiritualnya  ???

 

Penutup

Apabila pemerintah dapat diajak untuk memberikan perhatian lebih kepada keluarga miskin dan kebijakan pemerintah dapat dibuat untuk berpihak kepada rakyat kecil, apabila program pengentasan kemiskinan tidak bocor dimana-mana dan tidak salah sasaran, apabila hukum dapat ditegakkan dengan adil sehingga masyarakat dapat belajar  dengan baik, apabila ada kepedulian masyarakat terhadap sekelompok masyarakat yang kurang beruntung seperti mendidik anak berperilaku sopan dan merespon ungkapan terimakasih anak yang berarti menguatkan perilakunya, apabila segala program dan kebijakan keluarga diarahkan untuk meningkatkan ketahanan keluarga dan apabila ada usaha serta kerja keras dari seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan negara Indonesia yang lebih baik, barangkali ada harapan untuk memperoleh sumberdaya manusia generasi mendatang yang berkualitas.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Bootzin, R.R., G.H. Bower & J. Crocker. 1991. Psychology Today. McGraw-Hill, Inc. 7th ed.

 

Craig, G.J. and M.D. Kermis. 1995. Children Today.  Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey 07632

 

Goleman, D. 1997. Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ. New York, NY:  Bantam Books. http://www.casel.org/ , 9/11/00.

 

Johnson, R.C. & G. R. Medinnus. 1969.  Child Psychology : Behavior and Development. John Wiley & Sons, Inc.  2nd ed.

 

Hilgard, E.R., R.C. Atkinson and R.L. Atkinson. 1975. Introduction to Psychology. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 6 th ed.

 

Levinger, B.  1996.  Critical Transitions : Human Capacity Development across the Lifespan.  Chapter 3.  Young Children And The Potential To Participate. Education Development Center, Inc. Newton.

 

Lilik Noor Yualiati. 2001. Perkembangan Sosial. Tugas m.k. PSDK tahun 2001

 

Megawangi-1,R.  Perkembangan Emosi-Sosial Anak. 

 

Megawangi-2,R. Konsep Keluarga Sejahtera dan Kontradiksinya Dengan Konsep Kesetaraan Gender.

 

Myers, R. 1992. The Twelve Who Survive. Strengthening Programmes of Early Childhood Development  in the Third World. Routledge-Unesco. London

 

Page, J.D. 1971.  Psychopathology. The Science of Understanding Deviance. Aldine*Atherton, Inc. Chicago

 

Sunarti, E. 2001.  Ketahanan Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan. Disertasi.  Program Pascasarjana IPB.

 

Waysima, 2001. Pengembangan Intelegensi.  Tugas m.k. PSDK tahun 2001.