© 2002 Waysima
Posted:
18 January 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Januari 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
MASIHKAH
ADA KESEMPATAN MEMPEROLEH SDM BERKUALITAS ?
P21600007
E-mail: wysm@indo.net.id
Akan halnya Indonesia, krisis ekonomi yang terjadi
diikuti dengan situasi politik internal yang sedang bergejolak. Situasi politik
yang labil, munculnya banyak kepentingan-kepentingan kelompok, juga move-move demokratisasi dan
desentralisasi yang nampaknya belum
dipersiapkan dengan benar untuk berlaku semakin memporakporandakan kehidupan
masyarakat. Menyusul
peristiwa-peristiwa dunia seperti resesi, peristiwa 11 September 2001 di AS
disusul dengan penyerangan AS ke Afganistan sangat mempengaruhi usaha-usaha
pemulihan perekonomian Indonesia. Terlalu banyak agenda pemerintah, yang masing-masing
menuntut untuk segera diselesaikan, namun kemampuan pemerintah tampak kurang
memadai. Akibatnya hingga sekarang pemulihan perekonomian tak kunjung tiba yang
berakibat pada kian merosotnya daya beli masyarakat. Berita terakhir mengatakan bahwa resesi global belum tuntas diatasi dan krisis internal Indonesia tak
juga menunjukkan tanda-tanda pencerahan.
Badai krisis yang tak kunjung padam ini menyebabkan PHK secara besar-besaran (akan) terjadi
lagi. Sejumlah perusahaan besar kelas
duniapun tak mampu bertahan menghadapi krisis global. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pasti, berdasarkan
perkiraan, akumulasi angka pengangguran tahun 2002 akan berada di atas angka 40
juta orang (P. C. Nitbani, Suara
Pembaruan, 13 Januari 2002).
Di pihak lain gaya
hidup konsumtif yang dibawa pengaruh global masuk ke Indonesia kian menekan
kehidupan masyarakat yang berdaya beli lemah. Gaya hidup konsumtif mendorong
mereka untuk ikut bermain di dalamnya agar mereka dapat dimasukkan ke dalam
atau merasakan menjadi bagian dari suatu masyarakat modern. Segelintir orang yang mampu mengikuti dan
dapat menikmati arus global justru berperilaku semena-mena, yang semuanya
berada ditengah ketidak-berdayaan pemerintah menegakkan hukum dan keadilan
serta tiadanya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin.
Kesulitan pemerintah Indonesia menghadapi sejumlah
persoalan krisis menyebabkan kurangnya perhatian terhadap institusi keluarga
dan anak-anak. Bahkan masyarakat dan keluargapun ikut melupakan anak-anaknya,
karena terbelit oleh kesulitan hidup keluarga yang belum dapat diatasi. Keadaan
krisis ini diberitakan meningkatkan jumlah orang miskin hingga mencapai 80 juta
orang di Indonesia. Semakin banyak
jumlah anak usia sekolah dasar yang terlihat baik di jalanan atau di pasar
tradisional pada waktu sekolah, yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghadiri
sekolah lagi. Mereka ada yang berlaku
sebagai “pengamen”, pengemis dan tenaga kasar di pasar.
Permasalahan
Dari sekian banyak fenomena
yang ditunjukkan masyarakat yang sedang dilanda krisis di berbagai macam sisi
kehidupan, ada masalah sikap dan perilaku anak-anak usia sekolah yang terpaksa
atau dipaksa kehidupan untuk berlaku sebagai “pengamen”/ pengemis terutama di
angkot di kota Bogor (diperkirakan juga terjadi di kota-kota lain) yang menarik
untuk dibahas. Bila pada awalnya
mereka terpaksa atau dipaksa melakukannya karena kehidupan ekonomi keluarganya
mengalami perubahan, maka perlahan-lahan kondisi kehidupan yang tidak juga
memberikan cahaya perbaikan membawa mereka untuk terbiasa dengan kehidupan
sebagai “pengamen” atau pengemis bahkan mungkin sebagian dari mereka telah
menikmatinya. Kenikmatan yang diperoleh
telah memadamkan semangat untuk berusaha, semangat untuk hidup lebih baik,
semangat untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih. Keluarga lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen di angkot
dan di kalanan daripada menyediakan waktu untuk pergi sekolah. Kemampuan anak
menghasilkan uang dari kegiatan ngamen/ mengemis membuat orangtua enggan
menyekolahkan anak-anaknya.
Dampak kondisi yang
memprihatinkan itu telah terlihat, kita tidak perlu menunggu bertahun-tahun
untuk mengetahui akibat buruk yang dialami.
Salah satunya adalah dapat dilihat bahwa jarang sekali di antara anak-anak pengamen atau pengemis yang menunjukkan sikap atau perilaku
berterimakasih bila seseorang telah memberikan sedekahnya. Begitu apatisnya
mereka dalam hidup seolah-olah tugas mereka adalah menyanyi (tidak peduli
apakah suara, irama, lagu atau ekspresi ketika mereka menyanyi mengganggu
orang) atau meminta-minta. Kemudian
menyodorkan kantong ke penumpang dan meminta penumpang untuk memberikan
sedekah. Di pihak lain seolah-olah
menjadi kewajiban penumpang untuk memberikan sedekah. Saya katakan sebagai kewajiban penumpang, karena setelah terjadi
pemberian sedekah berapapun jumlahnya, kegiatan selesai. Tidak ada perilaku
mereka baik dalam bentuk perilaku verbal atau non-verbal (bahasa badan) yang
menunjukkan rasa terimakasih kepada penumpang yang telah memberi sedekah,
apalagi kepada penumpang yang tidak memberi sedekah namun terganggu dengan
kehadiran mereka.
Pembahasan
Ketimpangan terus
menerus yang menghambat seseorang atau sekelompok orang mencapai tujuannya akan
menimbulkan frustrasi. Menurut Hipotesa
Frustrasi – Agresi yang diambil oleh J. Dollard (di dalam Bootzin et al, 1991), frustrasi selalu mengarah
ke bentuk-bentuk perilaku agresi. Namun
menurut beberapa psikolog lainnya, di antaranya Berkowitz (1962, di dalam
Bootzin et al, 1991), perilaku agresi
tidak muncul begitu saja karena adanya frustrasi, hanya bila frustrasi disertai
dengan munculnya kemarahan.
Walaupun reaksi
terhadap frustrasi dapat berbentuk perilaku menarik diri dan pada individu yang
masih dapat berpikir sedikit lebih sehat merespon frustrasi dengan usaha-usaha
non-agresif untuk mencapai tujuannya, namun frustrasi yang berkepanjangan,
tekanan hidup ditambah dengan krisis moral yang merasuk kehidupan masyarakat
menyebabkan banyak orang menggunakan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedikit tersinggung, sedikit perselisihan, terhambatnya pemenuhan keinginan,
apalagi provokasi merupakan hal-hal yang mudah memicu adanya tawuran massa,
pengrusakan dan penjarahan fasilitas umum atau milik pribadi hingga penghilangan
nyawa orang.
Sedikitnya ada dua
kemungkinan mengapa mereka berperilaku demikian. Yang pertama mereka masih
terlalu kecil untuk mengetahui bahwa etika bermasyarakat meminta mereka harus
menyampaikan rasa terimakasih dalam “transaksi bisnis” tersebut. Tidak sebagaimana yang terjadi, dengan
berdalih mereka telah mengeluarkan energi untuk menghibur atau mengetuk hati
penumpang, maka menjadi kewajiban penumpang (tidak mempermasalahkan apakah
penumpang senang atau tidak senang) untuk memberikan sedekah sebagai pembayaran
energi yang telah dikeluarkan. Tidak
ada atau belum adakah pemahaman bahwa kegiatan yang mereka lakukan lebih banyak
mengarah ke mengetuk kesukarelaan hati penumpang, sehingga justru menjadi
kewajiban mereka untuk berterimakasih kepada penumpang.
Yang kedua, mungkin
ungkapan terimakasih secara verbal bukan budaya kita. Tidak seperti orang barat yang begitu spontan mengungkapkan apa
yang mereka pikirkan kepada siapa saja (Thank
you, I love you, I hate you
dll), orang timur tidak ekspresif
menyatakannya. Apakah ini berarti bahwa masyarakat timur tidak mengenal
ungkapan terimakasih ? Tentunya tidak demikian, justru budaya timur sangat
kental mengenal adanya “hutang budi”,
yang tidak akan pernah terbayar walau telah digantikan dengan sejumlah
materi. Masyarakat timur mengenal
budaya sungkan, hormat, loyal kepada
orang-orang yang berlaku baik terhadapnya.
Itu semuanya merupakan ungkapan rasa terimakasih atas apa yang telah
dilakukan orang lain kepadanya. Sebagai
orang timur, rasa terimakasih mereka wujudkan dalam bahasa tubuh (sikap),
apakah dalam bentuk senyuman, anggukan kepala atau melalui ekspresi mimik
lainnya.
Dari kemungkinan
pertama di atas, bila diamati ternyata ungkapan terimakasih secara verbal lebih sering terdengar dari pengamen yang
lebih dewasa. Selain itu mereka juga
mengusahakan peningkatan cara mengamen
yang bisa membuat para pendengar bersimpati, mulai dari yang bersifat fisik seperti kalimat pengantar yang
disampaikan sebelum mengamen, peralatan yang digunakan, lagu dan irama yang
dibawakan hingga yang sifatnya psikologis seperti ekspresi menyanyi dan cara
meminta sedekah. Bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan anak-anak
pengamen, apakah usia yang mempengaruhi perbedaan perilaku mengamen yang
terjadi di antara mereka ? Yang berarti
belum saatnya bagi anak–anak mengenal etika dan perilaku santun. Bila demikian halnya, kita tidak perlu mengkawatirkan kondisi
anak-anak tersebut karena bisa diharapkan bahwa suatu saat nanti setelah mereka
tumbuh besar mereka akan tahu etika dan sopan santun.
Pernyataan itu tentu
disangkal banyak orang. Kematangan
emosi-sosial anak banyak ditentukan oleh lingkungan dimana ia berada. Goleman
(1997) dalam suatu bab dari bukunya membahas mengenai Why Emotional Intelligence Can Matter More Than IQ, yang disarikan
oleh Megawangi mengatakan bahwa banyak orangtua yang gagal mendidik
anak-anaknya. Namun kondisi emosi-sosial anak dapat dikoreksi dengan memberi
latihan pendidikan emosi kepada anak-anak di sekolah, untuk itu perlu dilakukan sejak usia dini. Perilaku yang
merupakan wujud aspek kecerdasan emosi-sosial anak dapat berkembang optimal
bila diperhatikan pengaruh lingkungan
yang kondusif untuk mengembangkannya.
Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang peduli terhadap proses
pertumbuhan dan pengembangan mereka, yang memberikan cara, fasilitas, aturan
dan pemberian reward-punishment yang
seimbang selama proses tumbuh kembang mereka.
Lingkungan kondusif bisa berbentuk keluarga yang peduli, lembaga
pendidikan dan masyarakat sekitar yang peduli.
Apa pentingnya kemampuan mengungkapkan terimakasih
atau berperilaku santun dalam kehidupan manusia ? Apakah hanya untuk
mendapatkan simpati dari para penumpang sehingga mereka tidak ragu-ragu
mengeluarkan uang dari koceknya, apakah
untuk dipandang sebagai manusia beradab yang mengetahui etika dan sopan santun
dalam berperilaku ? Kemampuan
mengungkapkan rasa terimakasih dan berperilaku santun menjawab situasi yang
dihadapi merupakan salah satu wujud
kematangan emosi-sosial anak yang sejak tahun 1990-an mendapat perhatian
besar di dunia anak-anak secara internasional.
Bila selama puluhan tahun kemampuan intelegensi dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan
seseorang, sebagai pengembang aspek kognitif anak yang memungkinkan anak dapat
berpikir alternatif, sehingga banyak sekolah yang menentukan penerimaan siswa
mulai dari SD atau menseleksi siswa SMU
untuk masuk ke jurusan IPA atau IPS dengan mendasarkan pada hasil Tes
Intelegensi siswa, maka sejak tahun 1990-an pandangan mengenai kecerdasan
emosi-sosial anak yang merupakan modal untuk kesiapan mental dalam proses
belajar telah menggantikan pengaruh aspek intelegensi terhadap keberhasilan
seseorang di masa depannya. Aspek-aspek
kecerdasan emosi dan sosial anak seperti rasa percaya diri, rasa ingin tahu
(tidak apatis), kemampuan mengontrol diri, bekerjasama, bergaul dengan sesama,
berkonsentrasi, dan kemampuan berkomunikasi serta rasa empati merupakan bekal
yang lebih penting untuk menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis (Megawangi-1).
Kemampuan melakukan empati akan menyadarkan batin
anak bahwa apa yang mereka lakukan dapat di samping dapat menyenangkan orang
lain, juga dapat mengusik batin orang.
Kondisi ini menumbuhkan kemampuan sosial anak, yang nantinya
mengembangkan kepedulian sosial anak terhadap lingkungan sekitar. Johnson dan
Medinnus (1981) mengatakan bahwa kematangan sosial itu didapatkan dari belajar
merespon dengan cara yang disetujui lingkungan sosialnya, kemampuan memainkan peran
sosial yang diterima dan mengembangkan sikap-sikap sosialnya.
Keluarga merupakan agen pertama dan utama bagi sosialisasi anak, suatu proses
sepanjang hidup yang membantu seseorang menjadi anggota suatu kelompok
sosialnya (keluarga, masyarakat, suku dsb),
Proses itu meliputi mempelajari segala macam sikap, pandangan,
kebiasaan, nilai, peran dan harapan dari suatu kelompok sosial. Dengan demikian individu itu dapat hidup
dengan senang dan berpartisipasi secara penuh di dalam kelompok budayanya (Goslin,
1969 di dalam Craig dan Kermis, 1995). Walaupun merupakan proses sepanjang
hidup, namun sosialisasi yang terjadi pada masa kanak-kanak banyak disetujui
para ahli akan menghasilkan perilaku yang menetap untuk masa-masa berikutnya. Sosialisasi membantu anak membentuk inti
dari nilai, sikap, harapan yang nantinya akan membentuk dirinya menjadi orang
dewasa (Craig dan Kermis, 1995).
Menurut UU No.10/1992, keluarga
yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat terdiri dari suami-istri,
atau suami-istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya
(BKKBN, 1992 di dalam Sunarti, 2001).
Untuk dapat menumbuhkan kemampuan sosial, keluarga perlu memiliki aturan, norma yang ditetapkan bagi seluruh kehidupan, termasuk norma hubungan antar anggota keluarga
(ayah-ibu, orangtua-anak, anak-anak).
Jelas sekali peran ibu dan keluarga sangat penting
bagi tumbuh kembang anak di semua aspek, perkembangan fisik, intelektual,
emosi, moral, kepribadian dan spiritual.
Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi anak agar dapat mencapai tumbuh
kembang optimal (Megawangi-1) adalah kebutuhan akan kelekatan psikologis (maternal bonding); kebutuhan akan
stimulasi fisik dan mental dimana diperlukan perhatian besar dari orangtuanya,
serta kebutuhan rasa aman dimana anak
memerlukan lingkungan yang stabil dan aman. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa anak jalanan /
gelandangan banyak yang mengalami sociopathy
atau memiliki kepribadian anti-sosial, yaitu individu yang tidak sosial
dan sering konflik dengan masyarakatnya,
tidak mampu loyal terhadap individu, kelompok atau nilai-nilai sosial, bersikap selfish,
tak bertanggungjawab, impulsif, tak
punya rasa bersalah, toleransi terhadap frustrasi rendah dan cenderung
menyalahkan orang lain (Page, 1971).
Bagaimana dengan kehidupan anak-anak
pengamen / pengemis ? Apa yang mereka
dapatkan dari orangtua, bagaimana pengaruh keluarga terhadap mereka ? Sebagaimana digambarkan diatas, kehidupan
ekonomi keluarga mengalami kesulitan yang tak kunjung selesai, tak ada perbaikan
berarti yang dilakukan masyarakat sekitar atau negara terhadap keadaan
mereka. Kondisi ini membiasakan
keluarga untuk lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk diperlakukan
sebagai sumberdaya ekonomi. Kemampuan
anak menghasilkan uang dari kegiatan mengamen dan mengemis semakin membuat
orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya. Dengan demikian dari sejak dini,
anak-anak berada dalam lingkungan yang tidak kondusif, lingkungan yang kurang
mempedulikan proses pertumbuhan dan pengembangan mereka serta tidak memberikan
fasilitas, aturan dan reward-punishment
yang seimbang untuk tumbuh kembang mereka.
Dan lingkungan tersebut berada di sekitar anak-anak, yaitu di dalam
keluarga dan masyarakatnya serta pemerintah yang karena kerepotannya sendiri
tidak dapat melindungi mereka dengan undang-undang atau peraturan yang berpihak
pada mereka. Bagaimana mungkin
anak-anak dalam lingkungan demikian dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
dapat mengembangkan kecerdasan emosi dan kepedulian sosialnya ??? Rasanya impossible
!!!
Fakta-fakta kejahatan yang terjadi tanpa mengenal lokasi,
waktu dan jenis korban semakin banyak dijumpai. Masyarakat di kota-kota besar terpaksa atau dipaksa mematikan
kepedulian sosial, karena pilihan hidup semakin sempit. Sebagaimana disimpulkan oleh Hendardi
(aktivis) pada Acara Angin Malam di RCTI, 12 Januari 2002, rasa solidaritas
masyarakat sekitar begitu rendahnya terhadap
kejahatan yang sedang dialami seseorang yang terjadi di depan matanya. Sebagian dari mereka benar-benar tidak peduli
sedang sebagian yang lain terpaksa menampakkan ketidakpeduliannya untuk
menutupi rasa takut atau cemasnya terhadap pelaku kejahatan. Kondisi memprihatinkan masih ditambah dengan
ketidakpedulian aparat penegak hukum yang ada di sekitar dan tidak ditegakkannya
hukum bagi pelaku kejahatan. Bagaimana
mungkin masyarakat yang dipaksa atau terpaksa menumbuhkan ketidak-peduliannya
dapat memberikan atau bahkan mengajarkan kepedulian sosial pada anak-anak
pengamen/ pengemis ? Lingkaran setan telah terjadi yang membuahkan
ketidakpedulian sosial semakin meninggi diantara mereka, anak-anak dan
masyarakat.
Satu perlakuan lain yang dapat menumbuhkan sikap
tidak bertanggung jawab di kalangan orangtua
dan mematikan kreativitas anak pengamen. Tanpa disadari kebaikan orang memberi sedekah kepada anak-anak
tersebut (seberapapun besarnya) menguatkan perilaku orangtua dan anak-anak di
atas. Kondisi ini dapat dijelaskan
melalui apa yang disebut dengan instrumental
conditioning atau yang disebut juga
operant conditioning. Edward Thorndike pada tahun 1898 telah mulai
mempelajari instrumental conditioning
pada hewan, kemudian disusul oleh psikolog berikutnya, B.F. Skinner pada tahun
1930-an (Bootzin et al., 1991). Instrumental conditioning merupakan
suatu cara belajar yang terjadi akibat adanya asosiasi antara perilaku/
respon dan akibat yang menguatkan. Perilaku pengamen, dengan apa adanya tanpa
perlu memperbaiki diri, mendapat penguatan dari pemberian sedekah
penumpang. Kebiasaan yang terjadi di
kalangan kaum Muslim yang menganggap hari Jumat merupakan hari yang baik untuk
bersedekah menjadi penguat bagi mereka untuk berbondong-bondong berlaku sebagai
pengemis pada hari itu.
Keadaan yang sama terjadi di negara-negara lain
(seperti Belanda, Amerika) yang
memberikan tunjangan sosial kepada warganya dengan status seperti penganggur, single parent atau pekerja dengan gaji rendah. Tunjangan sosial ini semakin dirasakan
menjadi masalah besar bagi pemerintah, karena bantuan yang diberikan tidak
banyak membantu penerima tunjangan untuk berperilaku lebih baik, mereka tetap
saja tergantung, bermalas-malasan dan semakin tidak bertanggung jawab terhadap
keluarga (Bahan mata kuliah PSDK 2001). Pemberian santunan kepada penganggur
justru akan mende-fungsionalisasi keluarga yang pada akhirnya akan membuat
keluarga menjadi lemah (Megawangi-2).
Bila kita meninjau apa yang disebut sebagai
Ketahanan Keluarga sebagaimana telah disarikan oleh Sunarti (2001) yaitu
kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki dan menanggulangi
masalah yang dihadapi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial keluarga,
maka kondisi krisis di Indonesia semakin memperlihatkan rontoknya ketahanan
keluarga. Keluarga semakin lemah dalam
memfungsikan dirinya. Masih bisakah
kita berharap akan memperoleh sumberdaya manusia berkualitas untuk generasi
yang akan datang ? Manusia yang
mendapat kesempatan dan mampu mengembangkan kecerdasan intelegensi,
emosi-sosial dan spiritualnya ???
Apabila pemerintah dapat diajak untuk memberikan
perhatian lebih kepada keluarga miskin dan kebijakan pemerintah dapat dibuat
untuk berpihak kepada rakyat kecil, apabila program pengentasan kemiskinan
tidak bocor dimana-mana dan tidak salah sasaran, apabila hukum dapat ditegakkan
dengan adil sehingga masyarakat dapat belajar
dengan baik, apabila ada kepedulian masyarakat terhadap sekelompok
masyarakat yang kurang beruntung seperti mendidik anak berperilaku sopan dan
merespon ungkapan terimakasih anak yang berarti menguatkan perilakunya, apabila
segala program dan kebijakan keluarga diarahkan untuk meningkatkan ketahanan
keluarga dan apabila ada usaha serta kerja keras dari seluruh lapisan
masyarakat untuk mewujudkan negara Indonesia yang lebih baik, barangkali ada
harapan untuk memperoleh sumberdaya manusia generasi mendatang yang
berkualitas.
Bootzin, R.R., G.H. Bower & J. Crocker. 1991.
Psychology Today. McGraw-Hill, Inc. 7th ed.
Craig, G.J. and M.D. Kermis. 1995. Children
Today. Prentice Hall. Englewood Cliffs,
New Jersey 07632
Goleman, D. 1997. Emotional Intelligence: Why it
can matter more than IQ. New York, NY: Bantam
Books. http://www.casel.org/ , 9/11/00.
Johnson, R.C. & G. R. Medinnus. 1969. Child Psychology : Behavior and Development.
John Wiley & Sons, Inc. 2nd ed.
Hilgard, E.R., R.C. Atkinson and R.L. Atkinson.
1975. Introduction to Psychology. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 6 th ed.
Levinger, B.
1996. Critical Transitions :
Human Capacity Development across the Lifespan. Chapter 3. Young Children
And The Potential To Participate. Education Development Center, Inc. Newton.
Lilik
Noor Yualiati. 2001. Perkembangan Sosial. Tugas m.k. PSDK tahun 2001
Megawangi-1,R.
Perkembangan Emosi-Sosial Anak.
Megawangi-2,R. Konsep Keluarga Sejahtera dan Kontradiksinya Dengan Konsep Kesetaraan Gender.
Myers, R. 1992. The Twelve Who Survive.
Strengthening Programmes of Early Childhood Development in the Third World. Routledge-Unesco. London
Page, J.D. 1971.
Psychopathology. The Science of Understanding Deviance. Aldine*Atherton,
Inc. Chicago
Sunarti, E. 2001.
Ketahanan Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.
Waysima, 2001. Pengembangan Intelegensi. Tugas m.k. PSDK tahun 2001.